Zidane menatap lurus ke arah Diki yang tampak pias. Atmosfer di dalam ruangan terasa begitu dingin. Rasa tegang mendominasi. Ucapan Zidane masih menggantung. “Ada sebuah kejutan untuk perusahaan ini. Inilah pelaku di balik merosotnya grafik keuangan di perusahaan kita.” Zidane memutar sebuah video dan menunjukkannya pada proyektor yang kini menjadi pusat perhatian. Sebuah video di mana Diki dengan jelas memberikan banyak sekali uang dan memperlihatkan pengkhianatan yang ia lancarkan dengan rekannya untuk menjatuhkan perusahaan ini. Zidane menyunggingkan senyum puas. Ia menatap satu persatu pengkhianat perusahaan ini yang kini memucat dengan keringat dingin yang membasahi dahi. Tidak ada yang bisa berkutik. Kini terungkap siapa dalang di balik menurunnya profit perusahaan. “Saya tidak perlu membuang waktu untuk menjelaskan apa yang sudah terekam dalam cctv,” ujar Zidane menghentikan video. Para petinggi perusahaan menatap ke arah Pak Diki yang terungkap melakukan penyua
Kepanikan menyerang diri Nayla kalah melihat banyak polisi yang mendatangi perusahaan. Nayla tidak diperbolehkan mendekat ke arah ruang meeting. Ia hanya bisa melihat dari kejauhan. Ia meremas tangannya cemas. “Kamu kenapa, Nay?” tanya salah satu staf karyawan yang melihat Nayla memantau ruang rapat. Tubuh Nayla tersentak. “Eh, aku tidak apa-apa. Memang kenapa?” Nayla bertanya balik. “Kamu kelihatan cemas gitu lihatin polisi di sana. Polisi di luar sana untuk menangkap pengkhianat kantor ‘kan?” Nayla menjawab dengan bergumam. “Siapa saja, ya, kira-kira yang akan ditangkap oleh polisi?” tanya staf karyawan tersebut. Detik itu juga pintu ruang meeting dibuka. Polisi bergerak menodongkan senjata api ke kepala Pak Diki. Nayla yang melihatnya mengatupkan kedua tangan di depan mulut. “Papah ....” Manik mata Nayla berkaca. Ia hampir memecahkan tangisnya. Polisi tersebut membawa ayahnya dan orang-orang yang terlibat dalam kasus ini. Pak Diki yang berjalan dengan diser
Zidane tidak memiliki rasa hormat pada gadis yang ada di hadapannya. Menjatuhkan harga diri sebagai perempuan di depannya. Tentu Zidane bukan laki-laki yang haus belaian wanita. “Semua yang dilakukan ayahmu akan dipertanggungjawabkan. Satu lagi, saya tidak sudi untuk didekati oleh wanita sepertimu.” Zidane mendorong tubuh Nayla yang menghalangi pintu. Gila sekali, Zidane saja yang mendengar Nayla mengucapkan kata-kata tidak pantas malu. Entah apa isi pikiran gadis itu. Cinta membuat Nayla gila dan tidak bisa lagi berpikir positif. Ia menatap punggung Zidane yang menjauh. Ia pun berteriak frustasi. “Kenapa seperti ini?” tanya Nayla meremas rambutnya sendiri. Penampilan Nayla jauh sekali dari kata rapi. Rambut acak-acakan, pakaian kusut dan wajah yang make-upnya sudah luntur. Ditambah kedua mata yang sembab. Nayla pantas disebut stres dengan penampilannya yang sekarang. Langkahnya untuk mendapatkan Zidane terhenti di sini. Ia kehilangan semuanya hanya demi mendapatk
Nayla memejamkan matanya, ia mendengar suara tabrakan. Namun ia tidak merasakan sakit sama sekali. Ia belum berani membuka mata. Tangannya meraba-raba wajah dan tubuhnya. Tidak ada luka sama sekali. Perlahan ia membuka mata, tubuhnya masih utuh dan selamat. Ia membuka jendela mobilnya. Terlihat truk terjungkir menabrak mobil sedan berwarna silver. Dengan barang bawaan truk yang berserakan. Lalu lintas macet karena kecelakaan ini. Jendela mobilnya diketuk-ketuk oleh seorang polisi. Nayla masih terbayang kejadian tadi di kantor di mana ayahnya ditodong pistol oleh pihak kepolisian. Ia menarik napas panjang. Semoga saja ia tidak akan terlibat dengan pihak kepolisian atau hidupnya akan semakin rumit. Ia membuka pintu mobil. Nayla masih syok, lidahnya tidak dapat berkata-kata. “Selamat siang, apa keadaan mbak baik-baik saja?” tanya polisi itu ramah. Nayla mengangguk. “S-saya baik-baik saja, Pak.” “Boleh meminta waktunya untuk menjelaskan kejadian kecelakaan tadi, menuru
Ibu Nayla baru pulang dari acara arisan. Dia pulang lebih awal karena berita suaminya yang banyak diperbincangkan di berbagai media informasi. Wanita berumur sebaya itu menahan malu ketika teman-teman sosialita bertanya tentang kabar itu. Karena ia memang tidak dikabari oleh suaminya. Menelepon pun tak diangkat. Nayla menceritakan pada ibunya. Kalau sang ayah ditangkap polisi di kantor setelah meeting. Ia juga menceritakan kalau ia sempat diwawancarai oleh banyak wartawan. Dua wanita itu menangisi takdir yang tidak berpihak baik. Pikiran mereka sama-sama kacau. Nayla berusaha menguatkan ibunya. Karena Nayla masih bisa mengontrol sedikit pikirannya. Namun ibunya gampang stres dan kepikiran. “Kita pasti bisa melewati ini, Mah,” ujar Nayla. “Bagaimana melewati masalah besar ini, Nayla? Apa kamu tidak berpikir kalau kita juga akan kena imbasnya?” Ibu Nayla sudah berpikir jauh. Bagaimana jika suaminya mendekam di dalam penjara bertahun-tahun? Bisa saja ia membayar pengacara t
Nayla begitu syok melihat isi kotak yang terdapat bangkai ayam yang berulat. Nayla sampai mual melihat bangkai ayam tersebut. Bau tidak sedap membuatnya tidak berhenti mual. Ia yang belum makan sedari siang terasa lebih lemas. Kenapa ada orang yang iseng sekali mengirimkan bangkai ayam ke rumahnya? Nayla pergi ke wastafel untuk mencuci tangan yang tadi menyentuh kotak berisi bangkai. Belum ada sehari ia mendapati masalah ayahnya, sudah ada yang mengirimkannya bangkai hewan yang menjijikan. Bagaimana dengan besok? Apa Nayla akan dikirimkan bangkai hewan lainnya atau dikirim hewan-hewan berbahaya. Kepala Nayla terasa pening. Bibirnya terlihat pucat pasi. Ia seperti orang yang sedang sakit keras. Nayla melanjutkan jalannya menuju warung untuk membeli mie instan. Dengan langkah ringkihnya, ia berjalan kira-kira sepuluh meter untuk sampai di warung. Ibu-ibu yang kebetulan juga sedang membeli bahan makanan melihat ke arah Nayla dengan tatapan tak ramah. Nayla memberanikan di
Sinar matahari yang menembus sela-sela jendela menyilaukan mata yang masih butuh istirahat. Kelopak mata gadis itu bergerak. Ia perlahan membuka matanya. Kepalanya terasa berat. Ia melihat sekitar kamarnya. Kemudian menghela napas panjang. Apa akan ada kejutan besar untuk dirinya? Nayla tidak bersemangat untuk turun dari ranjangnya. Ia malas sekali semenjak kemarin. “Apa masalah ini akan selalu membuntutiku terus?” tanyanya pada diri sendiri. Ia keluar dari kamar, semalam ia berhasil tidur saat jam menunjukkan waktu dini hari. Ia juga terganggu oleh dua laki-laki yang berniat jahat padanya. Nayla berjalan ke arah jendela depan rumahnya. Mulut Nayla terbuka lebar saat melihat kaca jendelanya telah pecah. Ia kemudian membuka pintu. Melihat ke jendela lainnya yang sama memiliki kaca yang tak berbentuk. “Oh my God.” Semalam dua orang itu terlalu niat mengganggu waktu istirahatnya. Nayla pun berjalan ke garasi. Ia membuka mobil dan mencari ponselnya. Sudah banyak pes
Nayla membawa belanjaannya yang begitu berat. Ia kesusahan membawa banyak plastik di tangannya. Pikiran Nayla yang hendak meminta tolong pada Zidane dan Annisa untuk membebaskan ayahnya ia urungkan. Ia tidak mau mengemis pada Annisa. Nayla merasa kalah kalau harus menjatuhkan harga diri di depan Annisa. Nayla tidak mau terlihat lemah. Cukup Nayla memohon-mohon pada Zidane dan dihempas begitu saja. Kalau ia memohon pada Annisa. Ia yakin kalau Annisa akan bersikap sok baik padanya dan mencari muka di depan Zidane. Lalu Zidane akan merasa kagum dengan Annisa. Bayangan yang Nayla tidak akan terjadi. Lebih baik ia memikirkan sendiri saja sampai stres sekalipun. Ia memasukkan belanjaan ke dalam mobil. Kiranya sudah cukup belanjaan yang telah ia beli. Nayla segera pulang. Ia bernapas lega ketika sampa di rumah dengan selamat. Tidak ada hambatan sama sekali. Nayla tetap membawa belanjaannya sendiri. Semua pekerja di rumahnya sudah dipecat karena gaji asisten rumah tangganya memb