Bab 1. Hasil ProposalDi ruanganny, Zidane duduk di kursinya dengan seriusnya menatap sebuah dokumen di tangannya. Wajahnya mengerut seolah tampak tidak suka dengan apa yang tertulis di dalam sana. Zidane menghela napas dan menyenderkan tubuhnya pada penyangga kursi yang diduduki. Menatap tajam pada Nayla di depannya, berdiri dengan menundukkan kepalanya. Sesekali Nayla itu melirik, menatap pada Zidane yang terlihat marah itu.“A-apa ada yang Pak Zidane permasalahkan dengan isi proposal tersebut?” tanya Nayla takut-takut.Zidane mengerutkan dahinya, ia pun kembali duduk pada posisinya semula dan menaruh berkas dokumen itu dengan cukup keras. Menghasilkan suara yang menggema ke seluruh ruangan. Nayla bergidik terkejut mendengar suara dari berkas yang dibanting oleh Zidane. Mata Nayla melirik pada berkas yang terpampang jelas di atas meja dengan isinya yang berantakan akibat bantingan keras oleh Zidane. Di sampingnya menumpuk banyaknya dokumen yang baru saja ditanda-tangani oleh Zidan
Bab 2. KemurkaanPak Alfian tersenyum senang mendengar penuturan Zidane tentang perusahaannya yang tidak akan bangkrut. Dan sepenuhnya bangkit seperti semula. Proposal yang Zidane sampaikan membawa harapan baru pada Pak Alfian. Ia terlihat sangat bangga dan langsung menyetujui proposal yang telah disampaikan oleh Zidane.“Bagus, ayah bangga padamu. Ini luar biasa, tentu saja. Kita bisa bangkit dan memulihkan perusahaan seperti semula. Zidane, terimakasih. Terimakasih karena telah menolong ayah,” ucap Pak Alfian bangkit dari tempat duduknya.Ia berjalan dan menghampiri Zidane. Mengulurkan tangannya dan tentu saja, Zidane langsung menyambut uluran tangan ayahnya itu. Keduanya pun saling melempar senyum dan saling berpelukkan. Sementara Pak Diki yang ada di sana menatap tidak suka. Ia mengepal tangannya, dan menahan amarahnya. Setelah selesai mempresentasikan proposal, Zidane kembali ke ruangannya seorang diri.Sedangkan, Nayla mengikuti Pak Diki untuk masuk ke ruangannya. Saat keduanya
Pagi itu, suasana kantor sangat tegang sekali. Sudah seminggu berlalu dari presentasi proposal yang Zidane kumpulkan. Tapi, ia mengingikan semua para pejabat untuk menghadiri rapat dadakan yang diadakan hari itu. Tak hanya para semua atasan yang kebingungan, tapi Pak Alfian pun sama bingungnya dengan apa yang sedang Zidane lakukan hari ini. Ia sedang duduk di ruangannya dan menatap sebuah dokumen yang baru saja dikirim oleh Zidane melalu email.“Apa ini ... adalah hari kebangkitan perusahaanku? Zidane, kamu memang tidak pernah mengecewakan ayah,” ucapnya sembari tersenyum lebar. Ia sangat puas akan hasil yang diberikan Zidane.Beberapa dewan direksi, para manajer dan semua jajaran atas sudah berdatangan dan memasuki ruang rapat. Mereka semua sangat kebingungan karena diundang dalam rapat yang begitu sangat dadakan sehingga mereka harus menunda acara yang sudah dijadwalkan.Tak terkecuali Pak Diki yang semakin gusar dengan rapat yang diadakan hari itu. Ia sedikit ragu untuk menghadiri
Zidane menatap lurus ke arah Diki yang tampak pias. Atmosfer di dalam ruangan terasa begitu dingin. Rasa tegang mendominasi. Ucapan Zidane masih menggantung. “Ada sebuah kejutan untuk perusahaan ini. Inilah pelaku di balik merosotnya grafik keuangan di perusahaan kita.” Zidane memutar sebuah video dan menunjukkannya pada proyektor yang kini menjadi pusat perhatian. Sebuah video di mana Diki dengan jelas memberikan banyak sekali uang dan memperlihatkan pengkhianatan yang ia lancarkan dengan rekannya untuk menjatuhkan perusahaan ini. Zidane menyunggingkan senyum puas. Ia menatap satu persatu pengkhianat perusahaan ini yang kini memucat dengan keringat dingin yang membasahi dahi. Tidak ada yang bisa berkutik. Kini terungkap siapa dalang di balik menurunnya profit perusahaan. “Saya tidak perlu membuang waktu untuk menjelaskan apa yang sudah terekam dalam cctv,” ujar Zidane menghentikan video. Para petinggi perusahaan menatap ke arah Pak Diki yang terungkap melakukan penyua
Kepanikan menyerang diri Nayla kalah melihat banyak polisi yang mendatangi perusahaan. Nayla tidak diperbolehkan mendekat ke arah ruang meeting. Ia hanya bisa melihat dari kejauhan. Ia meremas tangannya cemas. “Kamu kenapa, Nay?” tanya salah satu staf karyawan yang melihat Nayla memantau ruang rapat. Tubuh Nayla tersentak. “Eh, aku tidak apa-apa. Memang kenapa?” Nayla bertanya balik. “Kamu kelihatan cemas gitu lihatin polisi di sana. Polisi di luar sana untuk menangkap pengkhianat kantor ‘kan?” Nayla menjawab dengan bergumam. “Siapa saja, ya, kira-kira yang akan ditangkap oleh polisi?” tanya staf karyawan tersebut. Detik itu juga pintu ruang meeting dibuka. Polisi bergerak menodongkan senjata api ke kepala Pak Diki. Nayla yang melihatnya mengatupkan kedua tangan di depan mulut. “Papah ....” Manik mata Nayla berkaca. Ia hampir memecahkan tangisnya. Polisi tersebut membawa ayahnya dan orang-orang yang terlibat dalam kasus ini. Pak Diki yang berjalan dengan diser
Zidane tidak memiliki rasa hormat pada gadis yang ada di hadapannya. Menjatuhkan harga diri sebagai perempuan di depannya. Tentu Zidane bukan laki-laki yang haus belaian wanita. “Semua yang dilakukan ayahmu akan dipertanggungjawabkan. Satu lagi, saya tidak sudi untuk didekati oleh wanita sepertimu.” Zidane mendorong tubuh Nayla yang menghalangi pintu. Gila sekali, Zidane saja yang mendengar Nayla mengucapkan kata-kata tidak pantas malu. Entah apa isi pikiran gadis itu. Cinta membuat Nayla gila dan tidak bisa lagi berpikir positif. Ia menatap punggung Zidane yang menjauh. Ia pun berteriak frustasi. “Kenapa seperti ini?” tanya Nayla meremas rambutnya sendiri. Penampilan Nayla jauh sekali dari kata rapi. Rambut acak-acakan, pakaian kusut dan wajah yang make-upnya sudah luntur. Ditambah kedua mata yang sembab. Nayla pantas disebut stres dengan penampilannya yang sekarang. Langkahnya untuk mendapatkan Zidane terhenti di sini. Ia kehilangan semuanya hanya demi mendapatk
Nayla memejamkan matanya, ia mendengar suara tabrakan. Namun ia tidak merasakan sakit sama sekali. Ia belum berani membuka mata. Tangannya meraba-raba wajah dan tubuhnya. Tidak ada luka sama sekali. Perlahan ia membuka mata, tubuhnya masih utuh dan selamat. Ia membuka jendela mobilnya. Terlihat truk terjungkir menabrak mobil sedan berwarna silver. Dengan barang bawaan truk yang berserakan. Lalu lintas macet karena kecelakaan ini. Jendela mobilnya diketuk-ketuk oleh seorang polisi. Nayla masih terbayang kejadian tadi di kantor di mana ayahnya ditodong pistol oleh pihak kepolisian. Ia menarik napas panjang. Semoga saja ia tidak akan terlibat dengan pihak kepolisian atau hidupnya akan semakin rumit. Ia membuka pintu mobil. Nayla masih syok, lidahnya tidak dapat berkata-kata. “Selamat siang, apa keadaan mbak baik-baik saja?” tanya polisi itu ramah. Nayla mengangguk. “S-saya baik-baik saja, Pak.” “Boleh meminta waktunya untuk menjelaskan kejadian kecelakaan tadi, menuru
Ibu Nayla baru pulang dari acara arisan. Dia pulang lebih awal karena berita suaminya yang banyak diperbincangkan di berbagai media informasi. Wanita berumur sebaya itu menahan malu ketika teman-teman sosialita bertanya tentang kabar itu. Karena ia memang tidak dikabari oleh suaminya. Menelepon pun tak diangkat. Nayla menceritakan pada ibunya. Kalau sang ayah ditangkap polisi di kantor setelah meeting. Ia juga menceritakan kalau ia sempat diwawancarai oleh banyak wartawan. Dua wanita itu menangisi takdir yang tidak berpihak baik. Pikiran mereka sama-sama kacau. Nayla berusaha menguatkan ibunya. Karena Nayla masih bisa mengontrol sedikit pikirannya. Namun ibunya gampang stres dan kepikiran. “Kita pasti bisa melewati ini, Mah,” ujar Nayla. “Bagaimana melewati masalah besar ini, Nayla? Apa kamu tidak berpikir kalau kita juga akan kena imbasnya?” Ibu Nayla sudah berpikir jauh. Bagaimana jika suaminya mendekam di dalam penjara bertahun-tahun? Bisa saja ia membayar pengacara t