Annisa buru-buru berjalan cepat ke bahu jalan. Menghindari mobil yang melaju kencang ke arahnya. Mobil pun berlalu saat Annisa sudah berdiri dengan kaki gemetar di atas trotoar. “Astaghfirullah, hampir saja.” Jantung Annisa berdegup dua kali lipat ia hampir saja tertabrak mobil. “Lain kali hati-hati, Mbak. Jangan main hape kalau di tengah jalan,” tegur orang yang tadi meneriaki Annisa. “Iya, terima kasih.” Annisa masih syok. Ia memegangi dadanya yang bergemuruh. Tuhan masih mengizinkan Annisa hidup. Ia pun berjalan ke restoran yang sedang ia tuju. Ia menyakui ponsel dan belum membalas pesan dari suaminya. Tidak baik kalau fokusnya terpecah hanya karena ponsel. Annisa berjalan memesan makanan, kemudian duduk menunggu di meja dekat jendela yang langsung mengarah pada jalanan yang ramai. Ia kembali mengeluarkan ponselnya. [Kia, mas hari ini pulang malam, ya] Begitu isi pesan yang suaminya kirimkan. Annisa langsung menelepon suaminya untuk menanyakan hal yang le
“Tidak ada yang menyuruhmu untuk bicara dan saya tidak butuh apa pun tanggapan darimu. Pintu keluar ada di sebelah kanan. Silakan keluar,” ucap Zidane penuh penekanan dalam setiap katanya. Tubuh Nayla menegang mendengar ucapan Zidane yang tidak bersahabat. Bahkan dia tak menyangka Zidane berani meninggikan suara padanya. “I-iya, Pak. Aku keluar sekarang juga.” Nayla beranjak dari kursinya. Ia berjalan cepat keluar dari ruangan Zidane. Ekspektasi Nayla begitu tinggi pada Zidane. Ia kira dia menyentuh dagunya untuk dicium. Namun ia mendapatkan semprotan kata-kata penuh penekanan. “Tch, kenapa dia malah mengamuk padaku?” tanya Nayla setelah keluar dari ruangan Zidane. Ia menghentakkan kakinya kesal. Tangannya mengepal kuat. Niat hati ingin mencuri hati Zidane malah didepak begitu saja. “Aku harus bagaimana mencuri hatinya? Aku sudah bisa mencuri hati orangtuanya, tapi mendapatkan hati Zidane susah sekali.” Nayla geram sekali, mengingat tadi Zidane menyebut istrinya.
“Gimana masakan buatan mas?” tanya Zidane pada Annisa. Annisa memakan ayam kecap buatan suaminya. Ia mengecap rasa makanan tersebut dalam lidah. “Eum enak,” ucapnya setelah menelan makanannya. “Enak beneran atau bohongan?” Zidane menaik-turunkan alisnya. “Beneran, Mas. Apa mulai besok Mas aja yang masak?” canda Annisa. “Nanti mas jadi bapak rumah tangga dong.” “Iya sekalian nanti yang hamil Mas aja.” Annisa memecahkan tawanya. Sementara itu, Zidane terdiam melihat istrinya yang menyinggung soal kehamilan. Apakah Annisa ingin segera memiliki anak? Ia memperhatikan Annisa yang masih tertawa mengalunkan suara tawanya yang merdu. Ia baru melihat tawa lepas Annisa. Setelah dari kemarin Annisa selalu memasang wajah bingung karena tidak ia jawab ketika bertanya sedang ada masalah apa. “Sayang,” panggil Zidane mengalihkan tawa Annisa. “Iya, Mas,” jawabnya. “Kamu sudah ingin jadi ibu?” tanya Zidane membuat Annisa diam terpaku. Menjadi ibu adalah cita-cita mul
Bab 1. Hasil ProposalDi ruanganny, Zidane duduk di kursinya dengan seriusnya menatap sebuah dokumen di tangannya. Wajahnya mengerut seolah tampak tidak suka dengan apa yang tertulis di dalam sana. Zidane menghela napas dan menyenderkan tubuhnya pada penyangga kursi yang diduduki. Menatap tajam pada Nayla di depannya, berdiri dengan menundukkan kepalanya. Sesekali Nayla itu melirik, menatap pada Zidane yang terlihat marah itu.“A-apa ada yang Pak Zidane permasalahkan dengan isi proposal tersebut?” tanya Nayla takut-takut.Zidane mengerutkan dahinya, ia pun kembali duduk pada posisinya semula dan menaruh berkas dokumen itu dengan cukup keras. Menghasilkan suara yang menggema ke seluruh ruangan. Nayla bergidik terkejut mendengar suara dari berkas yang dibanting oleh Zidane. Mata Nayla melirik pada berkas yang terpampang jelas di atas meja dengan isinya yang berantakan akibat bantingan keras oleh Zidane. Di sampingnya menumpuk banyaknya dokumen yang baru saja ditanda-tangani oleh Zidan
Bab 2. KemurkaanPak Alfian tersenyum senang mendengar penuturan Zidane tentang perusahaannya yang tidak akan bangkrut. Dan sepenuhnya bangkit seperti semula. Proposal yang Zidane sampaikan membawa harapan baru pada Pak Alfian. Ia terlihat sangat bangga dan langsung menyetujui proposal yang telah disampaikan oleh Zidane.“Bagus, ayah bangga padamu. Ini luar biasa, tentu saja. Kita bisa bangkit dan memulihkan perusahaan seperti semula. Zidane, terimakasih. Terimakasih karena telah menolong ayah,” ucap Pak Alfian bangkit dari tempat duduknya.Ia berjalan dan menghampiri Zidane. Mengulurkan tangannya dan tentu saja, Zidane langsung menyambut uluran tangan ayahnya itu. Keduanya pun saling melempar senyum dan saling berpelukkan. Sementara Pak Diki yang ada di sana menatap tidak suka. Ia mengepal tangannya, dan menahan amarahnya. Setelah selesai mempresentasikan proposal, Zidane kembali ke ruangannya seorang diri.Sedangkan, Nayla mengikuti Pak Diki untuk masuk ke ruangannya. Saat keduanya
Pagi itu, suasana kantor sangat tegang sekali. Sudah seminggu berlalu dari presentasi proposal yang Zidane kumpulkan. Tapi, ia mengingikan semua para pejabat untuk menghadiri rapat dadakan yang diadakan hari itu. Tak hanya para semua atasan yang kebingungan, tapi Pak Alfian pun sama bingungnya dengan apa yang sedang Zidane lakukan hari ini. Ia sedang duduk di ruangannya dan menatap sebuah dokumen yang baru saja dikirim oleh Zidane melalu email.“Apa ini ... adalah hari kebangkitan perusahaanku? Zidane, kamu memang tidak pernah mengecewakan ayah,” ucapnya sembari tersenyum lebar. Ia sangat puas akan hasil yang diberikan Zidane.Beberapa dewan direksi, para manajer dan semua jajaran atas sudah berdatangan dan memasuki ruang rapat. Mereka semua sangat kebingungan karena diundang dalam rapat yang begitu sangat dadakan sehingga mereka harus menunda acara yang sudah dijadwalkan.Tak terkecuali Pak Diki yang semakin gusar dengan rapat yang diadakan hari itu. Ia sedikit ragu untuk menghadiri
Zidane menatap lurus ke arah Diki yang tampak pias. Atmosfer di dalam ruangan terasa begitu dingin. Rasa tegang mendominasi. Ucapan Zidane masih menggantung. “Ada sebuah kejutan untuk perusahaan ini. Inilah pelaku di balik merosotnya grafik keuangan di perusahaan kita.” Zidane memutar sebuah video dan menunjukkannya pada proyektor yang kini menjadi pusat perhatian. Sebuah video di mana Diki dengan jelas memberikan banyak sekali uang dan memperlihatkan pengkhianatan yang ia lancarkan dengan rekannya untuk menjatuhkan perusahaan ini. Zidane menyunggingkan senyum puas. Ia menatap satu persatu pengkhianat perusahaan ini yang kini memucat dengan keringat dingin yang membasahi dahi. Tidak ada yang bisa berkutik. Kini terungkap siapa dalang di balik menurunnya profit perusahaan. “Saya tidak perlu membuang waktu untuk menjelaskan apa yang sudah terekam dalam cctv,” ujar Zidane menghentikan video. Para petinggi perusahaan menatap ke arah Pak Diki yang terungkap melakukan penyua
Kepanikan menyerang diri Nayla kalah melihat banyak polisi yang mendatangi perusahaan. Nayla tidak diperbolehkan mendekat ke arah ruang meeting. Ia hanya bisa melihat dari kejauhan. Ia meremas tangannya cemas. “Kamu kenapa, Nay?” tanya salah satu staf karyawan yang melihat Nayla memantau ruang rapat. Tubuh Nayla tersentak. “Eh, aku tidak apa-apa. Memang kenapa?” Nayla bertanya balik. “Kamu kelihatan cemas gitu lihatin polisi di sana. Polisi di luar sana untuk menangkap pengkhianat kantor ‘kan?” Nayla menjawab dengan bergumam. “Siapa saja, ya, kira-kira yang akan ditangkap oleh polisi?” tanya staf karyawan tersebut. Detik itu juga pintu ruang meeting dibuka. Polisi bergerak menodongkan senjata api ke kepala Pak Diki. Nayla yang melihatnya mengatupkan kedua tangan di depan mulut. “Papah ....” Manik mata Nayla berkaca. Ia hampir memecahkan tangisnya. Polisi tersebut membawa ayahnya dan orang-orang yang terlibat dalam kasus ini. Pak Diki yang berjalan dengan diser
“Kamu pasti bohong, kan?” Zidane berusaha untuk tidak percaya dengan kebenaran itu. Namun, binar mata Rizky yang tidak berkedip sedikit pun itu menghancurkan pengharapannya. “Saya punya buktinya, Pak. Orang suruhan Pak Alfian telah mengaku kepada kita. Bahkan saya sudah memberikan sejumlah uang yang nominalnya lebih besar dari yang ia terima agar pria itu mau membuka mulutnya,” jelas Rizky sambil mengutak atik layar IPADnya kemudian memberikannya kepada Zidane untuk dilihat pria itu. Zidane menggebrak meja lagi. Darahnya berdesir. Dadanya terasa sakit seperti ada pisau yang menusuk di sana. “Apa motifnya?” tanya Zidane lagi. Tangan lebarnya meraup wajah kasarnya. Rambut tipis telah tumbuh di dagu dan kumisnya akibat ia belum punya waktu untuk mencukur. “Perusahaan Alfian ingin menekan perusahaan ini agar anjlok dan tunduk di bawah kekuasaan mereka. rencana mereka ingin membeli separuh saham milik kita. Maka dari itu mereka sengaja menciptakan rumor palsu tentang perusahaan ini.” Z
Setelah mengetahui kebenaran kalau selama ini Annisalah yang membantu perusahaan ayahnya ketika hampir bangkut membuat Zidane semakin bersemangat untuk bekerja dan tidak boleh berleha-leha lagi. Zidane sangat berterimakasih kepada istrinya itu yang masih mau membantu perusahaan milik mertuanya meski Annisa belum mendapatkan restu sama sekali dari mereka. Cara satu-satunya yang bisa Zidane lakukan untuk membalas semua kebaikan istrinya meskipun tidak bisa semua kebaikan istrinya yang bisa ia balas adalah dengan memastikan pekerjaan di kantor bisa beres semua tanpa ada kesalahan sedikit pun. Zidane tidak boleh membebani Annisa lagi, istrinya itu belum cukup pulih benar. Selama kehamilan ini, keadaan Annisa selalu dipantau oleh dokter spesialis kandungannya. Dokter juga menyarankan Zidane untuk bisa menjadi suami siaga. Maka dari itu, sebisa mungkin ia tidak akan membawa pekerjaan ke rumah karena selama di rumah fokusnya harus penuh ke istrinya itu. Tumpukan berkas di meja Zidane dari
Zidane masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya barusan. Ternyata isi amplop cokelat besar itu adalah dokumen penting yang tertera bahwa Annisa telah mengalirkan dana miliaran rupiah ke perusahaan Alfian. Zidane baru menyadari bahwa orang yang telah membeli saham perusahaan Alfian ketika perusahaan itu hampir bangkrut adalah Annisa."Bagaimana bisa aku nggak tahu Kia melakukan ini di belakangku?" gumam Zidane seraya mengembus napas lirih. Ia agak sedikit marah karena waktu itu ia sudah melarang Annisa melakukan itu sebab tak mau dianggap sebagai suami yang memanfaatkan kekayaan sang istri. Kedua mata Zidane masih fokus membaca isi dokumen secara runut. Dari mulai lembaran pertama hingga ke lembaran selanjutnya. Saking fokusnya ia tak menyadari jika sudah menghabiskan waktu hampir lima belas menit. "Astaga! Aku ke kamar 'kan niatnya mau cari obatnya Kia." Zidane menepuk keningnya pelan. Ia pun kembali memasukkan lembaran-lembaran itu ke amplop dan menaruhnya di tempat semula. Ama
Zidane sejenak tertegun sambil memandang ke arah jendela ruang kantornya. Waktu sudah hampir petang sebab eksistensi matahari sebentar lagi akan digantikan oleh bulan. Sesekali ia mengembus napas kasar sebab memikirkan masalah yang tengah melanda perusahaannya. Suasana di ruangan kantor itu juga terasa sangat gelap dan sunyi, hanya terdengar denting jam dinding. Zidane sengaja tak menghidupkan lampu karena ia lebih senang berpikir dalam keadaan minim cahaya. Menurutnya itu bisa lebih membuat pikirannya rileks. Seperti yang diperintahkan oleh Zidane tadi, Rizky sudah menyuruh admin publishing untuk mengunggah sertifikat uji kelayakan produk milik perusahaan. Setelah sertifikat itu di-upload banyak pihak yang berkomentar dan komen negatif mulai sedikit terkikis. Untung saja mereka bertindak cepat, kalau tidak perusahaan akan mengalami kerugian lebih besar. "Saya juga sudah menangani beberapa artikel buruk mengenai produk kita, Pak. Semuanya akan dihapus secara bertahap," terang Rizky
“Annisa!!!” Zidane berteriak seperti orang kesetanan begitu sampai di rumah. Pria itu mencari istrinya ke setiap sudut rumah dengan perasaan campur aduk. Begitu melihat Annisa di dapur, ia langsung berlari dan memeluknya. “Kamu kenapa tumben pulang cepat?” tanya Annisa bingung begitu ia memisahkan diri dari pelukan Zidane. “Tangan kamu kenapa ini?” Zidane manatap tangan Annisa dengan penuh kekhawatiran begitu melihat tangan kanan Annisa yang penuh dengan luka gores. “Oh ini, tadi nggak sengaja kena duri mawar.” Tatapan Zidane kini beralih ke arah Vivi. “Mama nyuruh Annisa untuk melakukan ini semua kan? Iya kan? Jawab pertanyaan aku.” Vivi langsung memasang tampang masam. Kedua tangannya ia lipat di depan dada. “Istrimu yang ngadu ya? Mama cuma mau membantu Annisa semua nggak malas-malasan saja di kamar. Ternyata istri kamu ini adalah wanita yang lemah. Baru segini saja sudah mengeluh,” sindir Vivi. “Mama!!! Sudah berapa kali Zidane bilang kalau Annisa ini tidak boleh terlalu cap
Annisa terpaksa bangun dari istirahat siangnya begitu mendengar suara pintu kamar yang diketuk. Sejak tadi pagi tubuhnya letih sekali sehingga memutuskan untuk tidur setelah mengantarkan Zidane berangkat bekerja. Sudah beberapa hari Annisa dan Zidane memutuskan untuk tinggal di rumah Vivi dan Alfian demi mengupayakan agar Vivi bisa sembuh lebih cepat. Meskipun kurang nyaman, tapi Annisa mencoba untuk bertahan sekuat mungkin di rumah besar dan megah ini. Andaikan hubungan Annisa dengan Mama mertuanya tidak seburuk ini, mungkin ia akan betah untuk tinggal. Selama berada di sini, Annisa merasa waktu berjalan sangat lambat dibandingkan dengan waktu yang ia habiskan di rumahnya sendiri. Pun dengan Zidane yang akhir-akhir ini sering pulang terlambat dari kantor menambah kurangnya semangat Annisa dalam menjalani harinya. Annisa bisa saja meminta Zidane untuk kembali saja ke rumah mereka, tapi itu akan menambah buruk hubungannya dengan Vivi. Ditambah lagi Annisa tidak ingin mertuannya jatu
Keesokan harinya Tiara bisa bermalas-malasan di rumah karena memang sedang weekend. Tadinya ia akan pergi berkencan dengan Rizky, tapi nyatanya kekasihnya itu harus bekerja lembur sehingga rencana mereka gagal. "Ra, kamu sudah bangun belum?" panggil Rubi sambil mengetuk pintu kamar putri sulungnya. Tiara yang sudah bangun sedari tadi dan hanya main smartphone di atas kasur pun menyahuti mamanya dengan malas. "Aku udah bangun kok, Ma. Cuma lagi males aja keluar kamar. Lagian sekarang juga libur."Rubi yang berada di depan pintu kamar Tiara hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum. Ia paham betul putrinya itu memang suka sekali bermalas-malasan saat libur kerja. Namun, mulai saat ini ia harus segera mengubah pola hidup anaknya itu. "Sekarang kamu keluar dulu, Ra. Masa perempuan yang sudah mau dilamar orang kerjanya malas-malasan. Coba belajar untuk tetap mandi pagi dan turun dari kasur setelah bangun walaupun sedang libur," suruh Rubi. Tak berapa lama, Tiara muncul membuka pintu
Setelah berbincang dengan Zidane di kafe tadi, Rizky sedikit mempertimbangkan saran dari atasannya itu. Namun, ia masih merasa jika saat ini belum waktunya untuk menjelaskan semuanya pada Tiara. Hatinya masih meragu karena takut kekasihnya itu akan pergi jika ia menceritakan soal rencana perjodohannya. Waktu sekarang menunjukkan tepat pukul lima sore dan Rizky bersiap-siap untuk pulang. Namun, baru saja ia membuka pintu ruangannya tiba-tiba saja Tiara muncul di hadapannya sambil tersenyum manis. Wajah Rizky terlihat kusut karena sedari tadi memikirkan masalah perjodohannya. Sebagai kekasih dari Rizky, jelas Tiara bisa sangat peka jika pasangannya itu sedang menyembunyikan masalah. "Biasanya kalau aku muncul kamu langsung peluk aku terus nyengir. Nah ini kok kamu diem aja dan mukanya ditekuk gitu. Kamu ada masalah ya?" tebak Tiara sambil mengerutkan dahi dan menatap Rizky tajam. "Nggak ada kok. Aku cuma lagi capek aja soalnya kerjaan lagi numpuk," dalih Rizky. Tiara tak serta mert
Setelah menghabiskan waktu pagi bersama Annisa dengan sarapan dan berjalan-jalan di taman, Zidane pun berangkat ke kantor. Hatinya baru bisa lega saat istrinya itu sudah tidak marah lagi padanya. Sebenarnya Zidane agak khawatir meninggalkan Annisa sendiri di rumah orang tuanya, tapi Annisa meyakinkannya jika tidak akan ada masalah. Istrinya itu mengatakan jika bisa mengatasi semuanya dengan baik. Ia pun percaya karena memang harus segera berangkat ke kantor sebab pekerjaan sudah menunggu. "Aku berangkat dulu ya," pamit Zidane. "Hati-hati ya, Mas," sahut Annisa sambil mencium punggung tangan kanan suaminya. Zidane pun menaiki mobilnya menuju kantor. Ia harus segera sampai karena memang sudah telat. Untung saja tidak ada panggilan mendadak sehingga ia tak perlu terlalu terburu-buru. Lagi pula sebelumnya ia juga sudah menghubungi Rizky perihal kedatangannya yang terlambat. Baru saja sampai di kantor, Zidane langsung bergegas menuju ruangannya. Kedatangannya disambut oleh beberapa pe