“Nay, Yogi, aku pergi duluan,” ucapnya sambil beranjak dari duduk dan mengusapkan tisu untuk membersihkan sisa minyak di bibirnya. Zidane beranjak pergi meninggalkan warung makan itu, setelah membayarkan semua pesanannya, termasuk pesanan milik Nayla. Yogi dan Nayla masih menetap di warung itu. Mereka saling terdiam, seakan tidak ada topik pembahasan yang lebih serius. Beberapa detik kemudian, Yogi membuka obrolan dengan Nayla yang sudah terlanjur kesal karena ditinggal oleh Zidane. “Nay, kamu nggak capek, ngejar-ngejar Zidane terus?” tanya Yogi sambil mengambil gelas berisi air es milik Nayla yang masih utuh. Nayla mentap tajam ke arah Yogi. “Apa urusannya sama kamu?”Yogi terdiam sesaat. Dia masih bingung harus menjawab apa. Padahal, di dalam hatinya sangat memberontak untuk mengungkapkan sesuatu. “Ah—Kasihan saja, ditolak mulu,” kata pria itu menyeruput sekali tegukan air es itu. “Nggak butuh belas kasihan,” jawab Nayla tegas sambil mengaduk bakso yang belum ditambahkan bumbu
Kedua mata Zidane terpejam sambil memikirkan cara agar perusahaan ayahnya bisa selamat. Memang masalah ini sungguh memusingkan karena dihubungkan dengan kehidupan pribadinya. Andai saja kedua orang tuanya tidak mendesaknya menikahi Nayla, mungkin dia bisa berpikir lebih jernih. "Hahh... mengapa sangat rumit sekali?" keluh Zidane. Tiba-tiba saja pintu ruang kerjanya diketuk oleh seseorang. Ternyata yang datang adalah Nayla. Jelas kehadiran wanita itu membuat mood Zidane makin memburuk. "Mau apa lagi kau?" tanya Zidane dingin. "Kamu nggak pulang, Dane? Apa mau nginep di kantor?" Lagi-lagi Nayla sok perhatian pada Zidane. "Nanti juga aku pulang. Kau pulang duluan saja," usir Zidane. Nayla mendecak sambil geleng-geleng kepala. Dia tahu betul jika pria yang duduk di hadapannya itu pikirannya sedang kusut. "Kamu nggak usah mikirin soal perusahaan terlalu dalam, Dane. Nanti juga ada solusinya," ujar Nayla. Tampaknya Zidane makin kesal karena kehadiran Nayla. Rasanya dia ingin langsun
Pagi ini Annisa terlihat anggun memakai hijab abu-abu. Dia memilih setelan blazer peach serta rok plisket bahan premium yang berwarna sama dengan hijabnya sebagai outfit kerjanya hari ini. Zidane juga tak kalah tampan dengan setelan jas berwarna abu-abu. Pria itu sengaja mengenakan outfit yang terlihat senada dengan sang istri agar dibilang serasi. "Gimana aku tampan 'kan?" tanya Zidane sambil memegang kerah jasnya. Dia bahkan bergaya bak model di hadapan Annisa sehingga istrinya itu terkekeh geli. "Kamu tampan banget, Mas. Pokoknya semua pria lain lewat sama kamu," puji Annisa yang masih memasang senyuman di wajahnya. "Yang benar? Kamu bukannya cuma mau nyenengin aku aja?" Dahi Zidane berkerut samar sambil menatap Annisa lekat. Annisa mengangguk yakin sebab baginya memang hanya Zidane pria yang paling tampan. Meski ada pria lain yang katanya melebihi suaminya, tetap saja dia tak peduli. "Kamu juga yang paling cantik bagi aku. Wanita lain itu di mata aku semuanya kelihatan nge-b
“Terima kasih, Pak, atas kerja samanya,” ucap Zidane sambil mengajak sang klien untuk berjabat tangan. Klien dengan jas hitam dan dasi merah hati itu pun membalas jabatan tangan itu diirngi dengan senyuman. Setelah itu, dia pamit pergi meninggalkan Zidane dan Nayla di salah satu kafe yang tidak jauh dari perusahaan.Nayla yang masih berdiri setelah mengamati langkah kaki klien itu pun mengambil berkas-berkasnya. “Habis ini kamu mau ke mana, Dane?” tanya Nayla. Zidane melihat ke arah jam tangannya. Waktu masih menunjukkan pukul setengah tiga sore. Masih ada waktu setengah jam untuk mencari hadiah spesial. Namun, pada saat Zidane menatap ke arah depan, dia melihat Annisa tengah bersama seorang pria. “Mau menghampiri istriku,” jawab Zidane sambil melangkahkan kakinya ke depan.Nayla buru-buru berdiri dengan tegak. Benar saja, dia sudah kecepatan oleh langkah kaki Zidane yang mulai menjauh. Wanita dengan dua buah map di tangan itu pun mengikuti langkah kaki Zidane. “Dane, tunggu. Aku p
Tiara dan Rizky tengah mencari tahu tentang keburukan yang dilakukan oleh Diki untuk menjatuhkan perusahaan milik Zidane. Mungkin saja, dengan hal itu bisa membuat hubungan Annisa dan Zidane bisa membaik dan mendapatkan restu dari orang tuanya. Namun, Tiara dan Rizky harus menyusun strategi yang matang sebelum terjun lebih dalam. “Kita harus bisa mendapatkan bukti, tanpa ketahuan. Kalau sampai salah satu dari kita ada yang tertangkap, bisa-bisa kita dibunuh secara mendadak oleh Diki.” Rizky memeringati Tiara yang saat ini menjadi kekasihnya. Tiara mengangguk dengan otak yang kosong. Masih memikirkan langkah paling baik untuk menjadi seorang mata-mata. “Kita terpisah?” tanya Tiara dengan suara lirih.“Tentu saja, nggak. Mana mungkin aku melepaskanmu,” jawab Rizky mendadak takut kehilangan sosok Tiara di dalam hidupnya.Tiara menarik napas panjang. “Maksud aku, kita terpisah untuk mencari bukti-bukti itu?” jawabnya sedikit kesal.“Oh, nggak. Berdua saja.”“Terus, kita harus melakukan
Saat ini pasangan bucin itu sudah sampai di rumah Tiara. Rizky terburu-buru menyambungkan ponsel Tiara yang tadi mereka gunakan untuk merekam ke laptop miliknya. Harapan mereka adalah suara rekaman itu bisa terdengar lebih jernih supaya dapat menjadi bukti yang akurat. "Tadi pas kamu ngerekam, aku sempat ambil foto. Aku bela-belain pakai sisa memori buat ini supaya bisa bantu Pak Zidane," ujar Rizky. "Woah... ternyata pacar aku ini sangat luar biasa ya! Punya dedikasi tinggi terhadap atasan," puji Tiara sambil mengacungkan kedua jempol tangan pada kekasihnya. "Jelas dong. Waktu pertama kali aku dapat tugas ini dari Pak Zidane aja, udah bikin aku deg-degan banget. Soalnya aku juga udah geram sih sama orang jahat yang berusaha menghancurkan rumah tangga Pak Zidane dan Bu Annisa. Kamu tahu nggak kalau mereka berdua itu pasangan panutan aku," ungkap Rizky menggebu. Kedua alis Tiara bertaut. Ia penasaran dengan maksud Rizky soal sebutan 'panutan' yang dibilang oleh kekasihnya itu. "Pa
Beberapa hari setelah Rizky dan Tiara berhasil mengumpulkan lumayan banyak bukti, mereka memutuskan untuk membuat janji pertemuan dengan Zidane. Mereka tidak ingin suasana semakin runyam. Bahkan, mungkin saja menyebabkan banyak masalah baru yang hadir di dalam kehidupan Zidane. “Yakin, mau sekarang?” tanya Tiara kepada Rizky.Saat ini, mereka berada di rumah Tiara sambil memindahkan banyak barang bukti yang sudah didapatkannya. Memang, mereka sengaja menyimpan semua berkas itu ke perangkat lain agar tidak menghilang, dikarenakan penyimpanan ponsel yang sudah tidak memenuhi. File itu sedang dipindahkan ke dalam flashdisk. “Iya. Sebelum wanita pelakor itu semakin berulah,” kata Rizky masih fokus memindahkan berkas-berkas yang bisa membongkar keburukan dan kejahatan Nayla dan Diki.“Memang, kamu sudah menghubungi Pak Zidane?” tanya Tiara.Tiara duduk di sebuah kursi plastik yang ada di depan kekasihnya. Dia dengan santai menagamati Rizky sambil menikmati sebungkus batagor. Makanan favo
Zidane termangu menatap layar laptopnya yang menampakkan rekaman tentang bukti yang diberikan oleh Rizky dan Tiara tadi siang. Pikirannya jadi kalut, bingung harus menerima kenyataan tersebut dengan cara apa. Zidane berkali-kali melihat rekaman tersebut, memastikan jika sosok pria yang ada di sana adalah benar Dika. Tega sekali pria itu, sampai-sampai menghalalkan segala cara. Ia sama sekali tidak menyangka jika Diki akan membayar orang untuk membuat kecurangan di perusahaan sang ayah. Semuanya hanya demi agar Nayla bisa menikah dengannya. Mana mungkin ia mau menikah dengan wanita lain di saat ia sudah memiliki istri yang begitu sempurna? Bukankah Keterlaluan sekali? Zidane tidak akan menyikapi semuanya dengan santai lagi. Tangan Zidane mengepal kuat, ia menutup laptopnya dengan kasar. Zidane harus segera bertindak, Diki bisa menghentikan rencanannya. Ia yakin betul, pria itu saat ini pasti sedang memikirkan segala cara untuk mengancamnya lagi. “Aku buatin kopi untuk kamu, diminum
“Kamu pasti bohong, kan?” Zidane berusaha untuk tidak percaya dengan kebenaran itu. Namun, binar mata Rizky yang tidak berkedip sedikit pun itu menghancurkan pengharapannya. “Saya punya buktinya, Pak. Orang suruhan Pak Alfian telah mengaku kepada kita. Bahkan saya sudah memberikan sejumlah uang yang nominalnya lebih besar dari yang ia terima agar pria itu mau membuka mulutnya,” jelas Rizky sambil mengutak atik layar IPADnya kemudian memberikannya kepada Zidane untuk dilihat pria itu. Zidane menggebrak meja lagi. Darahnya berdesir. Dadanya terasa sakit seperti ada pisau yang menusuk di sana. “Apa motifnya?” tanya Zidane lagi. Tangan lebarnya meraup wajah kasarnya. Rambut tipis telah tumbuh di dagu dan kumisnya akibat ia belum punya waktu untuk mencukur. “Perusahaan Alfian ingin menekan perusahaan ini agar anjlok dan tunduk di bawah kekuasaan mereka. rencana mereka ingin membeli separuh saham milik kita. Maka dari itu mereka sengaja menciptakan rumor palsu tentang perusahaan ini.” Z
Setelah mengetahui kebenaran kalau selama ini Annisalah yang membantu perusahaan ayahnya ketika hampir bangkut membuat Zidane semakin bersemangat untuk bekerja dan tidak boleh berleha-leha lagi. Zidane sangat berterimakasih kepada istrinya itu yang masih mau membantu perusahaan milik mertuanya meski Annisa belum mendapatkan restu sama sekali dari mereka. Cara satu-satunya yang bisa Zidane lakukan untuk membalas semua kebaikan istrinya meskipun tidak bisa semua kebaikan istrinya yang bisa ia balas adalah dengan memastikan pekerjaan di kantor bisa beres semua tanpa ada kesalahan sedikit pun. Zidane tidak boleh membebani Annisa lagi, istrinya itu belum cukup pulih benar. Selama kehamilan ini, keadaan Annisa selalu dipantau oleh dokter spesialis kandungannya. Dokter juga menyarankan Zidane untuk bisa menjadi suami siaga. Maka dari itu, sebisa mungkin ia tidak akan membawa pekerjaan ke rumah karena selama di rumah fokusnya harus penuh ke istrinya itu. Tumpukan berkas di meja Zidane dari
Zidane masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya barusan. Ternyata isi amplop cokelat besar itu adalah dokumen penting yang tertera bahwa Annisa telah mengalirkan dana miliaran rupiah ke perusahaan Alfian. Zidane baru menyadari bahwa orang yang telah membeli saham perusahaan Alfian ketika perusahaan itu hampir bangkrut adalah Annisa."Bagaimana bisa aku nggak tahu Kia melakukan ini di belakangku?" gumam Zidane seraya mengembus napas lirih. Ia agak sedikit marah karena waktu itu ia sudah melarang Annisa melakukan itu sebab tak mau dianggap sebagai suami yang memanfaatkan kekayaan sang istri. Kedua mata Zidane masih fokus membaca isi dokumen secara runut. Dari mulai lembaran pertama hingga ke lembaran selanjutnya. Saking fokusnya ia tak menyadari jika sudah menghabiskan waktu hampir lima belas menit. "Astaga! Aku ke kamar 'kan niatnya mau cari obatnya Kia." Zidane menepuk keningnya pelan. Ia pun kembali memasukkan lembaran-lembaran itu ke amplop dan menaruhnya di tempat semula. Ama
Zidane sejenak tertegun sambil memandang ke arah jendela ruang kantornya. Waktu sudah hampir petang sebab eksistensi matahari sebentar lagi akan digantikan oleh bulan. Sesekali ia mengembus napas kasar sebab memikirkan masalah yang tengah melanda perusahaannya. Suasana di ruangan kantor itu juga terasa sangat gelap dan sunyi, hanya terdengar denting jam dinding. Zidane sengaja tak menghidupkan lampu karena ia lebih senang berpikir dalam keadaan minim cahaya. Menurutnya itu bisa lebih membuat pikirannya rileks. Seperti yang diperintahkan oleh Zidane tadi, Rizky sudah menyuruh admin publishing untuk mengunggah sertifikat uji kelayakan produk milik perusahaan. Setelah sertifikat itu di-upload banyak pihak yang berkomentar dan komen negatif mulai sedikit terkikis. Untung saja mereka bertindak cepat, kalau tidak perusahaan akan mengalami kerugian lebih besar. "Saya juga sudah menangani beberapa artikel buruk mengenai produk kita, Pak. Semuanya akan dihapus secara bertahap," terang Rizky
“Annisa!!!” Zidane berteriak seperti orang kesetanan begitu sampai di rumah. Pria itu mencari istrinya ke setiap sudut rumah dengan perasaan campur aduk. Begitu melihat Annisa di dapur, ia langsung berlari dan memeluknya. “Kamu kenapa tumben pulang cepat?” tanya Annisa bingung begitu ia memisahkan diri dari pelukan Zidane. “Tangan kamu kenapa ini?” Zidane manatap tangan Annisa dengan penuh kekhawatiran begitu melihat tangan kanan Annisa yang penuh dengan luka gores. “Oh ini, tadi nggak sengaja kena duri mawar.” Tatapan Zidane kini beralih ke arah Vivi. “Mama nyuruh Annisa untuk melakukan ini semua kan? Iya kan? Jawab pertanyaan aku.” Vivi langsung memasang tampang masam. Kedua tangannya ia lipat di depan dada. “Istrimu yang ngadu ya? Mama cuma mau membantu Annisa semua nggak malas-malasan saja di kamar. Ternyata istri kamu ini adalah wanita yang lemah. Baru segini saja sudah mengeluh,” sindir Vivi. “Mama!!! Sudah berapa kali Zidane bilang kalau Annisa ini tidak boleh terlalu cap
Annisa terpaksa bangun dari istirahat siangnya begitu mendengar suara pintu kamar yang diketuk. Sejak tadi pagi tubuhnya letih sekali sehingga memutuskan untuk tidur setelah mengantarkan Zidane berangkat bekerja. Sudah beberapa hari Annisa dan Zidane memutuskan untuk tinggal di rumah Vivi dan Alfian demi mengupayakan agar Vivi bisa sembuh lebih cepat. Meskipun kurang nyaman, tapi Annisa mencoba untuk bertahan sekuat mungkin di rumah besar dan megah ini. Andaikan hubungan Annisa dengan Mama mertuanya tidak seburuk ini, mungkin ia akan betah untuk tinggal. Selama berada di sini, Annisa merasa waktu berjalan sangat lambat dibandingkan dengan waktu yang ia habiskan di rumahnya sendiri. Pun dengan Zidane yang akhir-akhir ini sering pulang terlambat dari kantor menambah kurangnya semangat Annisa dalam menjalani harinya. Annisa bisa saja meminta Zidane untuk kembali saja ke rumah mereka, tapi itu akan menambah buruk hubungannya dengan Vivi. Ditambah lagi Annisa tidak ingin mertuannya jatu
Keesokan harinya Tiara bisa bermalas-malasan di rumah karena memang sedang weekend. Tadinya ia akan pergi berkencan dengan Rizky, tapi nyatanya kekasihnya itu harus bekerja lembur sehingga rencana mereka gagal. "Ra, kamu sudah bangun belum?" panggil Rubi sambil mengetuk pintu kamar putri sulungnya. Tiara yang sudah bangun sedari tadi dan hanya main smartphone di atas kasur pun menyahuti mamanya dengan malas. "Aku udah bangun kok, Ma. Cuma lagi males aja keluar kamar. Lagian sekarang juga libur."Rubi yang berada di depan pintu kamar Tiara hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum. Ia paham betul putrinya itu memang suka sekali bermalas-malasan saat libur kerja. Namun, mulai saat ini ia harus segera mengubah pola hidup anaknya itu. "Sekarang kamu keluar dulu, Ra. Masa perempuan yang sudah mau dilamar orang kerjanya malas-malasan. Coba belajar untuk tetap mandi pagi dan turun dari kasur setelah bangun walaupun sedang libur," suruh Rubi. Tak berapa lama, Tiara muncul membuka pintu
Setelah berbincang dengan Zidane di kafe tadi, Rizky sedikit mempertimbangkan saran dari atasannya itu. Namun, ia masih merasa jika saat ini belum waktunya untuk menjelaskan semuanya pada Tiara. Hatinya masih meragu karena takut kekasihnya itu akan pergi jika ia menceritakan soal rencana perjodohannya. Waktu sekarang menunjukkan tepat pukul lima sore dan Rizky bersiap-siap untuk pulang. Namun, baru saja ia membuka pintu ruangannya tiba-tiba saja Tiara muncul di hadapannya sambil tersenyum manis. Wajah Rizky terlihat kusut karena sedari tadi memikirkan masalah perjodohannya. Sebagai kekasih dari Rizky, jelas Tiara bisa sangat peka jika pasangannya itu sedang menyembunyikan masalah. "Biasanya kalau aku muncul kamu langsung peluk aku terus nyengir. Nah ini kok kamu diem aja dan mukanya ditekuk gitu. Kamu ada masalah ya?" tebak Tiara sambil mengerutkan dahi dan menatap Rizky tajam. "Nggak ada kok. Aku cuma lagi capek aja soalnya kerjaan lagi numpuk," dalih Rizky. Tiara tak serta mert
Setelah menghabiskan waktu pagi bersama Annisa dengan sarapan dan berjalan-jalan di taman, Zidane pun berangkat ke kantor. Hatinya baru bisa lega saat istrinya itu sudah tidak marah lagi padanya. Sebenarnya Zidane agak khawatir meninggalkan Annisa sendiri di rumah orang tuanya, tapi Annisa meyakinkannya jika tidak akan ada masalah. Istrinya itu mengatakan jika bisa mengatasi semuanya dengan baik. Ia pun percaya karena memang harus segera berangkat ke kantor sebab pekerjaan sudah menunggu. "Aku berangkat dulu ya," pamit Zidane. "Hati-hati ya, Mas," sahut Annisa sambil mencium punggung tangan kanan suaminya. Zidane pun menaiki mobilnya menuju kantor. Ia harus segera sampai karena memang sudah telat. Untung saja tidak ada panggilan mendadak sehingga ia tak perlu terlalu terburu-buru. Lagi pula sebelumnya ia juga sudah menghubungi Rizky perihal kedatangannya yang terlambat. Baru saja sampai di kantor, Zidane langsung bergegas menuju ruangannya. Kedatangannya disambut oleh beberapa pe