Beberapa hari setelah Rizky dan Tiara berhasil mengumpulkan lumayan banyak bukti, mereka memutuskan untuk membuat janji pertemuan dengan Zidane. Mereka tidak ingin suasana semakin runyam. Bahkan, mungkin saja menyebabkan banyak masalah baru yang hadir di dalam kehidupan Zidane. “Yakin, mau sekarang?” tanya Tiara kepada Rizky.Saat ini, mereka berada di rumah Tiara sambil memindahkan banyak barang bukti yang sudah didapatkannya. Memang, mereka sengaja menyimpan semua berkas itu ke perangkat lain agar tidak menghilang, dikarenakan penyimpanan ponsel yang sudah tidak memenuhi. File itu sedang dipindahkan ke dalam flashdisk. “Iya. Sebelum wanita pelakor itu semakin berulah,” kata Rizky masih fokus memindahkan berkas-berkas yang bisa membongkar keburukan dan kejahatan Nayla dan Diki.“Memang, kamu sudah menghubungi Pak Zidane?” tanya Tiara.Tiara duduk di sebuah kursi plastik yang ada di depan kekasihnya. Dia dengan santai menagamati Rizky sambil menikmati sebungkus batagor. Makanan favo
Zidane termangu menatap layar laptopnya yang menampakkan rekaman tentang bukti yang diberikan oleh Rizky dan Tiara tadi siang. Pikirannya jadi kalut, bingung harus menerima kenyataan tersebut dengan cara apa. Zidane berkali-kali melihat rekaman tersebut, memastikan jika sosok pria yang ada di sana adalah benar Dika. Tega sekali pria itu, sampai-sampai menghalalkan segala cara. Ia sama sekali tidak menyangka jika Diki akan membayar orang untuk membuat kecurangan di perusahaan sang ayah. Semuanya hanya demi agar Nayla bisa menikah dengannya. Mana mungkin ia mau menikah dengan wanita lain di saat ia sudah memiliki istri yang begitu sempurna? Bukankah Keterlaluan sekali? Zidane tidak akan menyikapi semuanya dengan santai lagi. Tangan Zidane mengepal kuat, ia menutup laptopnya dengan kasar. Zidane harus segera bertindak, Diki bisa menghentikan rencanannya. Ia yakin betul, pria itu saat ini pasti sedang memikirkan segala cara untuk mengancamnya lagi. “Aku buatin kopi untuk kamu, diminum
Usai rapat, Diki sama sekali tidak bisa tenang usai Zidane menyindir pengkhianat. Kedua tangannya berkeringat. Pikirannya selalu terbayang jika ia ketahuan. Jantungnya pun berdegup dengan ritme kencang. Apalagi Zidane menegur dirinya di ruang rapat. Diki mengatur napasnya agar lebih tenang lagi. “Semua akan baik-baik saja,” gumamnya yang baru saja keluar dari ruang rapat. “Baik-baik saja apanya, Pak Diki?” tanya Alfian yang tidak sengaja mendengar gumaman Diki. Para direksi yang baru keluar pun berhenti. Mereka memperhatikan Diki yang kini tampak pias. Diki menelan salivanya, ia tidak berani menatap Alfian langsung. Irisnya menatap ke arah lain. Diki berdeham pelan. “Ekhem, perusahaan ini akan baik-baik saja ke depannya maksud saya.” Zidane yang melihat itu menampilkan smirknya. “Barangkali Pak Diki tahu, siapa pengkhianat di perusahaan ini. Makanya Pak Diki mengatakan baik-baik saja.” Kecepatan jantung Diki meningkat dua kali lipat. “Hah? S-saya belum mengetahuinya,
“Kenapa?” tanya Zidane menatap Annisa yang terlihat cemas. “Ada masalah di kantor?” lanjutnya. “Nggak, Mas. Cuma masalah audit data. Karena ini sudah malam jadi besok saja bahasnya,” jawab Annisa tersenyum lebar. “Oh ....” “Mau lanjut pijat lagi, Mas?” tanya Annisa. “Iya, tapi sambil tiduran, ya. Mas ganti baju dulu,” jawab Zidane kemudian mengganti pakaian koko dan sarungnya. Annisa pun turut melepaskan mukena. Menyisakan pakaian tidurnya yang sudah melekat. Ia naik ke ranjang terlebih dahulu. Setelah itu disusul oleh Zidane. Annisa kembali melanjutkan pijatannya pada kepala sang suami. Zidane berbaring menghadap Annisa. Jadi mereka saling tatap satu sama lain. “Masalah berat pun akan terasa ringan kalau kaya gini. Dipijat sama kamu, lihat muka kamu.” “Apa, sih, Mas. Kamu setiap hari juga lihatnya muka aku. Emang ada wanita lain?” singgung Annisa menutupi groginya. “Ya nggak ada, Kia. Mas tidak akan berpaling dari kamu walau disuguhkan miss dunia sekalipun
Annisa buru-buru berjalan cepat ke bahu jalan. Menghindari mobil yang melaju kencang ke arahnya. Mobil pun berlalu saat Annisa sudah berdiri dengan kaki gemetar di atas trotoar. “Astaghfirullah, hampir saja.” Jantung Annisa berdegup dua kali lipat ia hampir saja tertabrak mobil. “Lain kali hati-hati, Mbak. Jangan main hape kalau di tengah jalan,” tegur orang yang tadi meneriaki Annisa. “Iya, terima kasih.” Annisa masih syok. Ia memegangi dadanya yang bergemuruh. Tuhan masih mengizinkan Annisa hidup. Ia pun berjalan ke restoran yang sedang ia tuju. Ia menyakui ponsel dan belum membalas pesan dari suaminya. Tidak baik kalau fokusnya terpecah hanya karena ponsel. Annisa berjalan memesan makanan, kemudian duduk menunggu di meja dekat jendela yang langsung mengarah pada jalanan yang ramai. Ia kembali mengeluarkan ponselnya. [Kia, mas hari ini pulang malam, ya] Begitu isi pesan yang suaminya kirimkan. Annisa langsung menelepon suaminya untuk menanyakan hal yang le
“Tidak ada yang menyuruhmu untuk bicara dan saya tidak butuh apa pun tanggapan darimu. Pintu keluar ada di sebelah kanan. Silakan keluar,” ucap Zidane penuh penekanan dalam setiap katanya. Tubuh Nayla menegang mendengar ucapan Zidane yang tidak bersahabat. Bahkan dia tak menyangka Zidane berani meninggikan suara padanya. “I-iya, Pak. Aku keluar sekarang juga.” Nayla beranjak dari kursinya. Ia berjalan cepat keluar dari ruangan Zidane. Ekspektasi Nayla begitu tinggi pada Zidane. Ia kira dia menyentuh dagunya untuk dicium. Namun ia mendapatkan semprotan kata-kata penuh penekanan. “Tch, kenapa dia malah mengamuk padaku?” tanya Nayla setelah keluar dari ruangan Zidane. Ia menghentakkan kakinya kesal. Tangannya mengepal kuat. Niat hati ingin mencuri hati Zidane malah didepak begitu saja. “Aku harus bagaimana mencuri hatinya? Aku sudah bisa mencuri hati orangtuanya, tapi mendapatkan hati Zidane susah sekali.” Nayla geram sekali, mengingat tadi Zidane menyebut istrinya.
“Gimana masakan buatan mas?” tanya Zidane pada Annisa. Annisa memakan ayam kecap buatan suaminya. Ia mengecap rasa makanan tersebut dalam lidah. “Eum enak,” ucapnya setelah menelan makanannya. “Enak beneran atau bohongan?” Zidane menaik-turunkan alisnya. “Beneran, Mas. Apa mulai besok Mas aja yang masak?” canda Annisa. “Nanti mas jadi bapak rumah tangga dong.” “Iya sekalian nanti yang hamil Mas aja.” Annisa memecahkan tawanya. Sementara itu, Zidane terdiam melihat istrinya yang menyinggung soal kehamilan. Apakah Annisa ingin segera memiliki anak? Ia memperhatikan Annisa yang masih tertawa mengalunkan suara tawanya yang merdu. Ia baru melihat tawa lepas Annisa. Setelah dari kemarin Annisa selalu memasang wajah bingung karena tidak ia jawab ketika bertanya sedang ada masalah apa. “Sayang,” panggil Zidane mengalihkan tawa Annisa. “Iya, Mas,” jawabnya. “Kamu sudah ingin jadi ibu?” tanya Zidane membuat Annisa diam terpaku. Menjadi ibu adalah cita-cita mul
Bab 1. Hasil ProposalDi ruanganny, Zidane duduk di kursinya dengan seriusnya menatap sebuah dokumen di tangannya. Wajahnya mengerut seolah tampak tidak suka dengan apa yang tertulis di dalam sana. Zidane menghela napas dan menyenderkan tubuhnya pada penyangga kursi yang diduduki. Menatap tajam pada Nayla di depannya, berdiri dengan menundukkan kepalanya. Sesekali Nayla itu melirik, menatap pada Zidane yang terlihat marah itu.“A-apa ada yang Pak Zidane permasalahkan dengan isi proposal tersebut?” tanya Nayla takut-takut.Zidane mengerutkan dahinya, ia pun kembali duduk pada posisinya semula dan menaruh berkas dokumen itu dengan cukup keras. Menghasilkan suara yang menggema ke seluruh ruangan. Nayla bergidik terkejut mendengar suara dari berkas yang dibanting oleh Zidane. Mata Nayla melirik pada berkas yang terpampang jelas di atas meja dengan isinya yang berantakan akibat bantingan keras oleh Zidane. Di sampingnya menumpuk banyaknya dokumen yang baru saja ditanda-tangani oleh Zidan