Pagi ini Annisa terlihat anggun memakai hijab abu-abu. Dia memilih setelan blazer peach serta rok plisket bahan premium yang berwarna sama dengan hijabnya sebagai outfit kerjanya hari ini. Zidane juga tak kalah tampan dengan setelan jas berwarna abu-abu. Pria itu sengaja mengenakan outfit yang terlihat senada dengan sang istri agar dibilang serasi. "Gimana aku tampan 'kan?" tanya Zidane sambil memegang kerah jasnya. Dia bahkan bergaya bak model di hadapan Annisa sehingga istrinya itu terkekeh geli. "Kamu tampan banget, Mas. Pokoknya semua pria lain lewat sama kamu," puji Annisa yang masih memasang senyuman di wajahnya. "Yang benar? Kamu bukannya cuma mau nyenengin aku aja?" Dahi Zidane berkerut samar sambil menatap Annisa lekat. Annisa mengangguk yakin sebab baginya memang hanya Zidane pria yang paling tampan. Meski ada pria lain yang katanya melebihi suaminya, tetap saja dia tak peduli. "Kamu juga yang paling cantik bagi aku. Wanita lain itu di mata aku semuanya kelihatan nge-b
“Terima kasih, Pak, atas kerja samanya,” ucap Zidane sambil mengajak sang klien untuk berjabat tangan. Klien dengan jas hitam dan dasi merah hati itu pun membalas jabatan tangan itu diirngi dengan senyuman. Setelah itu, dia pamit pergi meninggalkan Zidane dan Nayla di salah satu kafe yang tidak jauh dari perusahaan.Nayla yang masih berdiri setelah mengamati langkah kaki klien itu pun mengambil berkas-berkasnya. “Habis ini kamu mau ke mana, Dane?” tanya Nayla. Zidane melihat ke arah jam tangannya. Waktu masih menunjukkan pukul setengah tiga sore. Masih ada waktu setengah jam untuk mencari hadiah spesial. Namun, pada saat Zidane menatap ke arah depan, dia melihat Annisa tengah bersama seorang pria. “Mau menghampiri istriku,” jawab Zidane sambil melangkahkan kakinya ke depan.Nayla buru-buru berdiri dengan tegak. Benar saja, dia sudah kecepatan oleh langkah kaki Zidane yang mulai menjauh. Wanita dengan dua buah map di tangan itu pun mengikuti langkah kaki Zidane. “Dane, tunggu. Aku p
Tiara dan Rizky tengah mencari tahu tentang keburukan yang dilakukan oleh Diki untuk menjatuhkan perusahaan milik Zidane. Mungkin saja, dengan hal itu bisa membuat hubungan Annisa dan Zidane bisa membaik dan mendapatkan restu dari orang tuanya. Namun, Tiara dan Rizky harus menyusun strategi yang matang sebelum terjun lebih dalam. “Kita harus bisa mendapatkan bukti, tanpa ketahuan. Kalau sampai salah satu dari kita ada yang tertangkap, bisa-bisa kita dibunuh secara mendadak oleh Diki.” Rizky memeringati Tiara yang saat ini menjadi kekasihnya. Tiara mengangguk dengan otak yang kosong. Masih memikirkan langkah paling baik untuk menjadi seorang mata-mata. “Kita terpisah?” tanya Tiara dengan suara lirih.“Tentu saja, nggak. Mana mungkin aku melepaskanmu,” jawab Rizky mendadak takut kehilangan sosok Tiara di dalam hidupnya.Tiara menarik napas panjang. “Maksud aku, kita terpisah untuk mencari bukti-bukti itu?” jawabnya sedikit kesal.“Oh, nggak. Berdua saja.”“Terus, kita harus melakukan
Saat ini pasangan bucin itu sudah sampai di rumah Tiara. Rizky terburu-buru menyambungkan ponsel Tiara yang tadi mereka gunakan untuk merekam ke laptop miliknya. Harapan mereka adalah suara rekaman itu bisa terdengar lebih jernih supaya dapat menjadi bukti yang akurat. "Tadi pas kamu ngerekam, aku sempat ambil foto. Aku bela-belain pakai sisa memori buat ini supaya bisa bantu Pak Zidane," ujar Rizky. "Woah... ternyata pacar aku ini sangat luar biasa ya! Punya dedikasi tinggi terhadap atasan," puji Tiara sambil mengacungkan kedua jempol tangan pada kekasihnya. "Jelas dong. Waktu pertama kali aku dapat tugas ini dari Pak Zidane aja, udah bikin aku deg-degan banget. Soalnya aku juga udah geram sih sama orang jahat yang berusaha menghancurkan rumah tangga Pak Zidane dan Bu Annisa. Kamu tahu nggak kalau mereka berdua itu pasangan panutan aku," ungkap Rizky menggebu. Kedua alis Tiara bertaut. Ia penasaran dengan maksud Rizky soal sebutan 'panutan' yang dibilang oleh kekasihnya itu. "Pa
Beberapa hari setelah Rizky dan Tiara berhasil mengumpulkan lumayan banyak bukti, mereka memutuskan untuk membuat janji pertemuan dengan Zidane. Mereka tidak ingin suasana semakin runyam. Bahkan, mungkin saja menyebabkan banyak masalah baru yang hadir di dalam kehidupan Zidane. “Yakin, mau sekarang?” tanya Tiara kepada Rizky.Saat ini, mereka berada di rumah Tiara sambil memindahkan banyak barang bukti yang sudah didapatkannya. Memang, mereka sengaja menyimpan semua berkas itu ke perangkat lain agar tidak menghilang, dikarenakan penyimpanan ponsel yang sudah tidak memenuhi. File itu sedang dipindahkan ke dalam flashdisk. “Iya. Sebelum wanita pelakor itu semakin berulah,” kata Rizky masih fokus memindahkan berkas-berkas yang bisa membongkar keburukan dan kejahatan Nayla dan Diki.“Memang, kamu sudah menghubungi Pak Zidane?” tanya Tiara.Tiara duduk di sebuah kursi plastik yang ada di depan kekasihnya. Dia dengan santai menagamati Rizky sambil menikmati sebungkus batagor. Makanan favo
Zidane termangu menatap layar laptopnya yang menampakkan rekaman tentang bukti yang diberikan oleh Rizky dan Tiara tadi siang. Pikirannya jadi kalut, bingung harus menerima kenyataan tersebut dengan cara apa. Zidane berkali-kali melihat rekaman tersebut, memastikan jika sosok pria yang ada di sana adalah benar Dika. Tega sekali pria itu, sampai-sampai menghalalkan segala cara. Ia sama sekali tidak menyangka jika Diki akan membayar orang untuk membuat kecurangan di perusahaan sang ayah. Semuanya hanya demi agar Nayla bisa menikah dengannya. Mana mungkin ia mau menikah dengan wanita lain di saat ia sudah memiliki istri yang begitu sempurna? Bukankah Keterlaluan sekali? Zidane tidak akan menyikapi semuanya dengan santai lagi. Tangan Zidane mengepal kuat, ia menutup laptopnya dengan kasar. Zidane harus segera bertindak, Diki bisa menghentikan rencanannya. Ia yakin betul, pria itu saat ini pasti sedang memikirkan segala cara untuk mengancamnya lagi. “Aku buatin kopi untuk kamu, diminum
Usai rapat, Diki sama sekali tidak bisa tenang usai Zidane menyindir pengkhianat. Kedua tangannya berkeringat. Pikirannya selalu terbayang jika ia ketahuan. Jantungnya pun berdegup dengan ritme kencang. Apalagi Zidane menegur dirinya di ruang rapat. Diki mengatur napasnya agar lebih tenang lagi. “Semua akan baik-baik saja,” gumamnya yang baru saja keluar dari ruang rapat. “Baik-baik saja apanya, Pak Diki?” tanya Alfian yang tidak sengaja mendengar gumaman Diki. Para direksi yang baru keluar pun berhenti. Mereka memperhatikan Diki yang kini tampak pias. Diki menelan salivanya, ia tidak berani menatap Alfian langsung. Irisnya menatap ke arah lain. Diki berdeham pelan. “Ekhem, perusahaan ini akan baik-baik saja ke depannya maksud saya.” Zidane yang melihat itu menampilkan smirknya. “Barangkali Pak Diki tahu, siapa pengkhianat di perusahaan ini. Makanya Pak Diki mengatakan baik-baik saja.” Kecepatan jantung Diki meningkat dua kali lipat. “Hah? S-saya belum mengetahuinya,
“Kenapa?” tanya Zidane menatap Annisa yang terlihat cemas. “Ada masalah di kantor?” lanjutnya. “Nggak, Mas. Cuma masalah audit data. Karena ini sudah malam jadi besok saja bahasnya,” jawab Annisa tersenyum lebar. “Oh ....” “Mau lanjut pijat lagi, Mas?” tanya Annisa. “Iya, tapi sambil tiduran, ya. Mas ganti baju dulu,” jawab Zidane kemudian mengganti pakaian koko dan sarungnya. Annisa pun turut melepaskan mukena. Menyisakan pakaian tidurnya yang sudah melekat. Ia naik ke ranjang terlebih dahulu. Setelah itu disusul oleh Zidane. Annisa kembali melanjutkan pijatannya pada kepala sang suami. Zidane berbaring menghadap Annisa. Jadi mereka saling tatap satu sama lain. “Masalah berat pun akan terasa ringan kalau kaya gini. Dipijat sama kamu, lihat muka kamu.” “Apa, sih, Mas. Kamu setiap hari juga lihatnya muka aku. Emang ada wanita lain?” singgung Annisa menutupi groginya. “Ya nggak ada, Kia. Mas tidak akan berpaling dari kamu walau disuguhkan miss dunia sekalipun