"Loh, Zidane?"
Nayla terkejut melihat kehadiran Zidane yang ternyata adalah putra dari Vivi dan Alfian, pria yang akan dijodohkan dengannya.
Refleks, Nayla menoleh ke arah Annisa yang juga terkejut dengan semua ini. Gadis itu terdiam seribu bahasa dengan sorot mata berkaca-kaca. Tak terbayang sesak dan sakitnya perasaan gadis itu sekarang.
"Kalian sudah saling mengenal?" tanya Diki.
Para orang tua terkejut mengetahui ternyata anak-anak mereka sudah saling mengenal satu sama lain.
"Kay, kamu kenal sama Nayla dan Annisa?" tanya Vivi lembut.
Zidane tak menjawab. Pandangannya terkunci pada gadis berhijab yang ada di hadapannya. Dia tak menduga akan bertemu dengan Annisa dalam situasi yang akan menggiring menuju ke kesalahpahaman.
"Iya, Bi. Kami sudah saling mengenal," jawab Nayla gugup sambil melirik ke arah Annisa sekilas.
Alfian memperhatikan putranya yang tidak mengalihkan pandangan menatap Annisa, bukan Nayla. Kening pria paruh
Ponsel Annisa terus bergetar, tetapi dia tidak ingin menjawab telepon Zidane dan lebih memilih untuk menonaktifkannya. Zidane semakin merasa frustrasi karena teleponnya tak kunjung dijawab oleh Annisa. Dia kembali menjambak rambutnya, lalu mendengkus kasar. Kakinya terpaku menatap bayangan sang istri yang telah menghilang dari pandangan sambil mengepalkan kedua tangannya. Pria itu membalikkan badan, berjalan kembali memasuki restoran dengan perasaan yang tak tenang. Langkah Zidane terhenti tepat di mejanya semula. Tajam netra yang menyerupai elang itu menatap dingin pada semua orang yang ada di sana terutama kepada kedua orang tuanya. Pandangan itu beralih saat suara seorang wanita menanyainya. "Kay, ada apa? Apa yang sebenarnya terjadi di antara kalian? Kenapa Annisa tiba-tiba pergi?" tanya Maya. Pria yang sedang ditanyai itu tak langsung menjawab. Dia terlebih dulu menarik kursi kosong, lalu mendudukinya dengan tenang. Namun, sorot matanya nampak di
"Berhenti di sini saja, Pak!" ucap Annisa kepada sopir taksi yang ditumpanginya.Gadis itu memilih berhenti di dekat halte bus, tidak ingin pulang ke rumah karena di sana dia pasti akan bertemu dengan Zidane. Sebenarnya, bisa saja Annisa pergi ke kafe bukunya untuk menenangkan pikiran, tetapi dia berpikir tempat itu juga pasti akan di datangi suaminya."Baik, Nona." Sopir itu mengangguk patuh.Annisa turun setelah membayar tarip ongkosnya. Dia berjalan gontai tidak memiliki tujan pasti. Suasana di tempat itu sudah agak sepi pejalan kaki, mungkin karena orang-orang sudah beristirahat di rumah masih-masing.Gadis itu mendongak, melihat ke arah langit sambil menengadahkan tangan kanannya. Dia merasakan tetesan air terjatuh dari atas sana mengenai telapak tangannya."Hujan," gumamnya lirih.Kepalanya memutar ke kiri dan kanan, menacari tempat untuk berteduh karena tetesan air langit itu turun semakin deras. Tidak ada pilihan lain, Annisa memutus
Tubuh Annisa menggigil kedinginan karena pakaiannya basah kuyup terkena air hujan. Dengan langkah yang lemah gadis itu berjalan sambil mencari taksi yang sedari tadi tidak terlihat melintas di area tersebut. Mungkin karena sudah larut malam dan cuaca baru saja diguyur hujan lebat.Annisa merogoh ponsel dalam saku blezernya, bermaksud ingin menghubungi seseorang untuk menjemputnya. Namun, nasibnya begitu sial. Benda pipih itu tidak bisa menyala karena kehabisan beterai."Astaghfirullah ... kenapa nasibku sangat sial sekali hari ini?" gumamnya bernada frustrasi.Dia memutar kepala ke kiri dan kanan untuk memastikan keadaan di sekelilingnya yang sepi. Rasa takut mulai menyeruak memenuhi pikiran. Takut jika tiba-tiba saja ada penjahat yang ingin melukainya."Ya Allah, aku takut." Gadis itu mengusap wajahnya yang basah dengan air mata sambil melanjutkan berjalan mencari tempat yang agak ramai.Langkah Annisa terhenti seketika, bola matanya membulat semp
Lamat, netra teduh itu menatap wajah gadis cantik yang terbaring lemah di atas ranjang dalam keadaan demam. Cukup lama terdiam, sama sekali tidak ingin mengalihkan pandangannya.Rizky mendengkus kasar. Entah apa yang sedang dia pikirkan saat ini hingga sepertinya begitu sesak dan rumit. Pria itu lantas meremas handuk kecil yang dia rendam pada air hangat di dalam baskom kecil, lalu menyimpannya di dahi Annisa dengan hati-hati.Suara getaran ponsel yang beradu dengan meja nakas menyadarkan pria itu dari lamunannya. Dia hanya melihat ponselnya sekilas, tetapi tidak berniat untuk menjawab. Membiarkan benda pipih itu terus bergetar hingga berhenti dengan sendirinya."Kenapa kau tidak menjawab teleponnya?"Rizky menoleh ke belakang, seorang gadis cantik berjalan menghampirinya dengan pandangan yang sulit diartikan."Apa kau berencana menyembunyikan Nona Annisa di sini selamanya?" tanyanya lagi."Aku tidak berpikir seperti itu." Rizky langsung men
"Sial! Kenapa dia tidak menjawab teleponku?" umpat Zidane. Dia kesal karena Rizky berkali-kali tidak menjawab teleponnya.Pria tampan itu memukul stir mobilnya, merasa frustrasi karena sudah tengah malam tapi mesih belum bertemu dengan Annisa."Sebanarnya kamu ada di mana sekarang, Kia? Aku sangat mencemaskanmu," gumam Zidane.Dia mendengkus kasar, menyenderkan punggung pada penyangga kursi sambil memijit pangkal hidungnya karena kepalanya berdenyut sangat sakit.Zidane langsung mengambil ponselnya begitu benda tersebut tiba-tiba berdering. Dia pikir, Rizky menghubungi untuk memberitahu keberadaan Annisa. Namun, dugaannya salah. Bukan Rizky, tetapi Nayla yang meneleponnya.Dia sudah mengabaikannya sejak tadi, tetapi gadis itu seperti tidak menyerah. Entah apa yang ingin dia bicarakan, Zidane tidak peduli karena yang dia ingin tahu adalah keberadaan Annisa saat ini ada di mana dan bagaimana keadaannya.Pria itu menyimpan kembali ponsenya pada
Zidane berjalan gontai menuju ke kamarnya. Langkah pria itu terhenti di ambang pintu, menatap kekosongan pada ruangan yang berukuran sedang. Tak ada orang yang biasanya selalu menciptakan suasana rumah menjadi ramai dan penuh kehangatan walau hanya tinggal berdua.Pria beralis tebal itu mendesah kasar sebelum akhirnya melanjutkan langkahnya memasuki kamar. Dia melempar jas yang tadi dia kenakan ke sembarangan arah, lalu melempar tubuhnya ke atas kasur penuh beban.Lelah, tetapi tak ingin menyerah.Capek, tetapi tak bisa beristirahat.Zidane kembali mendengkus kasar sambi meninju-ninju dahinya sendiri sambil memejamkan mata karena kepalanya terasa berat.Bibir pria itu terkatup rapat, tetapi di dalam otak dan hatinya tak berhenti berbicara sendiri. Memang semua salahnya yang tak jujur, padahal dia sendiri yang meminta agar di antara mereka tidak boleh ada rahasia, tetapi malah dirinya sendiri yang menyimpan rahasia. Wajar jika istrinya itu marah dan
Keesokan paginya, Annisa mengejapkan mata menyesuaikan penglihatannya dengan silau cahaya matahari yang menyeruak masuk melalui celah jendela kamar. Kedua alisnya saling bertautan saat melihat sekeliling ruangan yang begitu tidak asing lagi baginya. Namun, dia belum sepenuhnya sadar bahwa saat ini sedang berada di rumahnya."Aku di mana? Kenapa tempat ini sangat tidak asing," gumamnya sambil beranjak bangun. Tangan kanan gadis itu refleks menyentuh dahinya, mengambil kain handuk yang masih menempel. Kamudian menyimpan handuk kecil tersebut di atas nakas.Gadis itu meringis sambil memegangi kepalanya yang terasa berat dan berdenyut sakit. Matanya terpejam sesaat untuk menetralisir rasa sakit tersebut."Kau sudah bangun, Sayang?"Annisa menoleh ke arah sumber suara. Seketika itu ekpresinya berubah masam melihat sosok yang dibencinya berjalan menghampiri sambil membawa nampan berisi gelas dan mangkuk."Kau? Kenapa kau ada di sini?" Gadis itu terdiam s
"Hem."Annisa dan Zidane refleks menoleh ke arah sumber suara, mereka langsung membenarkan posisi berdiri dengan perasaan nampak canggung."Nayla," gumam Annisa pelan.Entah mengapa, ada yang berdenyut sesak di dalam dada Annisa saat melihat Nayla. Mungkin ini efek dari kejadian kemarin malam yang belum selesai."Maaf aku mengganggu kalian," ucap Nayla sambil tersenyum tipis.Dia berusaha menekan perasaannya agar tidak nampak jelas terlihat bahwa saat ini dia sedang cemburu pada pasangan suami istri yang ada di hadapannya itu."Kamu tidak mengganggu, kok," sahut Annisa tenang.Sedetik kemudian, Annisa mendongak menatap Zidane sekilas sebelum melanjutkan perkataannya."Kalian pasti ingin mengobrol, ya. Kalau begitu, aku pergi ke kantor dulu," ucap Annisa sambil tersenyum canggung.Setelah itu, dia terburu-buru ingin segera pergi dari sana. Namun, langkahnya tertahan karena Zidane mencekal lengannya sedikit mencengkram.
“Kamu pasti bohong, kan?” Zidane berusaha untuk tidak percaya dengan kebenaran itu. Namun, binar mata Rizky yang tidak berkedip sedikit pun itu menghancurkan pengharapannya. “Saya punya buktinya, Pak. Orang suruhan Pak Alfian telah mengaku kepada kita. Bahkan saya sudah memberikan sejumlah uang yang nominalnya lebih besar dari yang ia terima agar pria itu mau membuka mulutnya,” jelas Rizky sambil mengutak atik layar IPADnya kemudian memberikannya kepada Zidane untuk dilihat pria itu. Zidane menggebrak meja lagi. Darahnya berdesir. Dadanya terasa sakit seperti ada pisau yang menusuk di sana. “Apa motifnya?” tanya Zidane lagi. Tangan lebarnya meraup wajah kasarnya. Rambut tipis telah tumbuh di dagu dan kumisnya akibat ia belum punya waktu untuk mencukur. “Perusahaan Alfian ingin menekan perusahaan ini agar anjlok dan tunduk di bawah kekuasaan mereka. rencana mereka ingin membeli separuh saham milik kita. Maka dari itu mereka sengaja menciptakan rumor palsu tentang perusahaan ini.” Z
Setelah mengetahui kebenaran kalau selama ini Annisalah yang membantu perusahaan ayahnya ketika hampir bangkut membuat Zidane semakin bersemangat untuk bekerja dan tidak boleh berleha-leha lagi. Zidane sangat berterimakasih kepada istrinya itu yang masih mau membantu perusahaan milik mertuanya meski Annisa belum mendapatkan restu sama sekali dari mereka. Cara satu-satunya yang bisa Zidane lakukan untuk membalas semua kebaikan istrinya meskipun tidak bisa semua kebaikan istrinya yang bisa ia balas adalah dengan memastikan pekerjaan di kantor bisa beres semua tanpa ada kesalahan sedikit pun. Zidane tidak boleh membebani Annisa lagi, istrinya itu belum cukup pulih benar. Selama kehamilan ini, keadaan Annisa selalu dipantau oleh dokter spesialis kandungannya. Dokter juga menyarankan Zidane untuk bisa menjadi suami siaga. Maka dari itu, sebisa mungkin ia tidak akan membawa pekerjaan ke rumah karena selama di rumah fokusnya harus penuh ke istrinya itu. Tumpukan berkas di meja Zidane dari
Zidane masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya barusan. Ternyata isi amplop cokelat besar itu adalah dokumen penting yang tertera bahwa Annisa telah mengalirkan dana miliaran rupiah ke perusahaan Alfian. Zidane baru menyadari bahwa orang yang telah membeli saham perusahaan Alfian ketika perusahaan itu hampir bangkrut adalah Annisa."Bagaimana bisa aku nggak tahu Kia melakukan ini di belakangku?" gumam Zidane seraya mengembus napas lirih. Ia agak sedikit marah karena waktu itu ia sudah melarang Annisa melakukan itu sebab tak mau dianggap sebagai suami yang memanfaatkan kekayaan sang istri. Kedua mata Zidane masih fokus membaca isi dokumen secara runut. Dari mulai lembaran pertama hingga ke lembaran selanjutnya. Saking fokusnya ia tak menyadari jika sudah menghabiskan waktu hampir lima belas menit. "Astaga! Aku ke kamar 'kan niatnya mau cari obatnya Kia." Zidane menepuk keningnya pelan. Ia pun kembali memasukkan lembaran-lembaran itu ke amplop dan menaruhnya di tempat semula. Ama
Zidane sejenak tertegun sambil memandang ke arah jendela ruang kantornya. Waktu sudah hampir petang sebab eksistensi matahari sebentar lagi akan digantikan oleh bulan. Sesekali ia mengembus napas kasar sebab memikirkan masalah yang tengah melanda perusahaannya. Suasana di ruangan kantor itu juga terasa sangat gelap dan sunyi, hanya terdengar denting jam dinding. Zidane sengaja tak menghidupkan lampu karena ia lebih senang berpikir dalam keadaan minim cahaya. Menurutnya itu bisa lebih membuat pikirannya rileks. Seperti yang diperintahkan oleh Zidane tadi, Rizky sudah menyuruh admin publishing untuk mengunggah sertifikat uji kelayakan produk milik perusahaan. Setelah sertifikat itu di-upload banyak pihak yang berkomentar dan komen negatif mulai sedikit terkikis. Untung saja mereka bertindak cepat, kalau tidak perusahaan akan mengalami kerugian lebih besar. "Saya juga sudah menangani beberapa artikel buruk mengenai produk kita, Pak. Semuanya akan dihapus secara bertahap," terang Rizky
“Annisa!!!” Zidane berteriak seperti orang kesetanan begitu sampai di rumah. Pria itu mencari istrinya ke setiap sudut rumah dengan perasaan campur aduk. Begitu melihat Annisa di dapur, ia langsung berlari dan memeluknya. “Kamu kenapa tumben pulang cepat?” tanya Annisa bingung begitu ia memisahkan diri dari pelukan Zidane. “Tangan kamu kenapa ini?” Zidane manatap tangan Annisa dengan penuh kekhawatiran begitu melihat tangan kanan Annisa yang penuh dengan luka gores. “Oh ini, tadi nggak sengaja kena duri mawar.” Tatapan Zidane kini beralih ke arah Vivi. “Mama nyuruh Annisa untuk melakukan ini semua kan? Iya kan? Jawab pertanyaan aku.” Vivi langsung memasang tampang masam. Kedua tangannya ia lipat di depan dada. “Istrimu yang ngadu ya? Mama cuma mau membantu Annisa semua nggak malas-malasan saja di kamar. Ternyata istri kamu ini adalah wanita yang lemah. Baru segini saja sudah mengeluh,” sindir Vivi. “Mama!!! Sudah berapa kali Zidane bilang kalau Annisa ini tidak boleh terlalu cap
Annisa terpaksa bangun dari istirahat siangnya begitu mendengar suara pintu kamar yang diketuk. Sejak tadi pagi tubuhnya letih sekali sehingga memutuskan untuk tidur setelah mengantarkan Zidane berangkat bekerja. Sudah beberapa hari Annisa dan Zidane memutuskan untuk tinggal di rumah Vivi dan Alfian demi mengupayakan agar Vivi bisa sembuh lebih cepat. Meskipun kurang nyaman, tapi Annisa mencoba untuk bertahan sekuat mungkin di rumah besar dan megah ini. Andaikan hubungan Annisa dengan Mama mertuanya tidak seburuk ini, mungkin ia akan betah untuk tinggal. Selama berada di sini, Annisa merasa waktu berjalan sangat lambat dibandingkan dengan waktu yang ia habiskan di rumahnya sendiri. Pun dengan Zidane yang akhir-akhir ini sering pulang terlambat dari kantor menambah kurangnya semangat Annisa dalam menjalani harinya. Annisa bisa saja meminta Zidane untuk kembali saja ke rumah mereka, tapi itu akan menambah buruk hubungannya dengan Vivi. Ditambah lagi Annisa tidak ingin mertuannya jatu
Keesokan harinya Tiara bisa bermalas-malasan di rumah karena memang sedang weekend. Tadinya ia akan pergi berkencan dengan Rizky, tapi nyatanya kekasihnya itu harus bekerja lembur sehingga rencana mereka gagal. "Ra, kamu sudah bangun belum?" panggil Rubi sambil mengetuk pintu kamar putri sulungnya. Tiara yang sudah bangun sedari tadi dan hanya main smartphone di atas kasur pun menyahuti mamanya dengan malas. "Aku udah bangun kok, Ma. Cuma lagi males aja keluar kamar. Lagian sekarang juga libur."Rubi yang berada di depan pintu kamar Tiara hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum. Ia paham betul putrinya itu memang suka sekali bermalas-malasan saat libur kerja. Namun, mulai saat ini ia harus segera mengubah pola hidup anaknya itu. "Sekarang kamu keluar dulu, Ra. Masa perempuan yang sudah mau dilamar orang kerjanya malas-malasan. Coba belajar untuk tetap mandi pagi dan turun dari kasur setelah bangun walaupun sedang libur," suruh Rubi. Tak berapa lama, Tiara muncul membuka pintu
Setelah berbincang dengan Zidane di kafe tadi, Rizky sedikit mempertimbangkan saran dari atasannya itu. Namun, ia masih merasa jika saat ini belum waktunya untuk menjelaskan semuanya pada Tiara. Hatinya masih meragu karena takut kekasihnya itu akan pergi jika ia menceritakan soal rencana perjodohannya. Waktu sekarang menunjukkan tepat pukul lima sore dan Rizky bersiap-siap untuk pulang. Namun, baru saja ia membuka pintu ruangannya tiba-tiba saja Tiara muncul di hadapannya sambil tersenyum manis. Wajah Rizky terlihat kusut karena sedari tadi memikirkan masalah perjodohannya. Sebagai kekasih dari Rizky, jelas Tiara bisa sangat peka jika pasangannya itu sedang menyembunyikan masalah. "Biasanya kalau aku muncul kamu langsung peluk aku terus nyengir. Nah ini kok kamu diem aja dan mukanya ditekuk gitu. Kamu ada masalah ya?" tebak Tiara sambil mengerutkan dahi dan menatap Rizky tajam. "Nggak ada kok. Aku cuma lagi capek aja soalnya kerjaan lagi numpuk," dalih Rizky. Tiara tak serta mert
Setelah menghabiskan waktu pagi bersama Annisa dengan sarapan dan berjalan-jalan di taman, Zidane pun berangkat ke kantor. Hatinya baru bisa lega saat istrinya itu sudah tidak marah lagi padanya. Sebenarnya Zidane agak khawatir meninggalkan Annisa sendiri di rumah orang tuanya, tapi Annisa meyakinkannya jika tidak akan ada masalah. Istrinya itu mengatakan jika bisa mengatasi semuanya dengan baik. Ia pun percaya karena memang harus segera berangkat ke kantor sebab pekerjaan sudah menunggu. "Aku berangkat dulu ya," pamit Zidane. "Hati-hati ya, Mas," sahut Annisa sambil mencium punggung tangan kanan suaminya. Zidane pun menaiki mobilnya menuju kantor. Ia harus segera sampai karena memang sudah telat. Untung saja tidak ada panggilan mendadak sehingga ia tak perlu terlalu terburu-buru. Lagi pula sebelumnya ia juga sudah menghubungi Rizky perihal kedatangannya yang terlambat. Baru saja sampai di kantor, Zidane langsung bergegas menuju ruangannya. Kedatangannya disambut oleh beberapa pe