Annisa berjalan beriringan dengan Nayla mengikuti orang tua Nayla memasuki restoran ternama. Sebelumnya keluarga Nayla sudah menyewa ruangan khusus di restoran tersebut karena acaranya berlangsung secara private.
"Kau tahu, saat ini aku sangat gugup," bisik Nayla kepada Annisa yang duduk di samping kanannya.
Posisi Nayla saat ini duduk di tengah di antara Maya-mamanya- dan Annisa. Sementara papanya duduk di kursi tunggal dekat istrinya.
Annisa tersenyum menanggapi sahabatnya yang mengaku sedang merasa gugup menanti kedatangan calon tunangannya.
"Tenanglah, semua akan baik-baik saja," kata Annisa.
"Menurutmu, apa aku tidak salah mengambil keputusan seperti ini?" tanya Nayla.
"Sekarang bukan waktunya untuk menyesal, Nayla," ucap Annisa dengan suara pelan.
"Aku hanya bercanda," jawab Nayla. "Bagaimana mungkin aku menyesal menikah dengan pria yang kucintai sejak lama," sambungnya lagi dengan suara berbisik.
"Dasar kau." Annisa menc
"Loh, Zidane?"Nayla terkejut melihat kehadiran Zidane yang ternyata adalah putra dari Vivi dan Alfian, pria yang akan dijodohkan dengannya.Refleks, Nayla menoleh ke arah Annisa yang juga terkejut dengan semua ini. Gadis itu terdiam seribu bahasa dengan sorot mata berkaca-kaca. Tak terbayang sesak dan sakitnya perasaan gadis itu sekarang."Kalian sudah saling mengenal?" tanya Diki.Para orang tua terkejut mengetahui ternyata anak-anak mereka sudah saling mengenal satu sama lain."Kay, kamu kenal sama Nayla dan Annisa?" tanya Vivi lembut.Zidane tak menjawab. Pandangannya terkunci pada gadis berhijab yang ada di hadapannya. Dia tak menduga akan bertemu dengan Annisa dalam situasi yang akan menggiring menuju ke kesalahpahaman."Iya, Bi. Kami sudah saling mengenal," jawab Nayla gugup sambil melirik ke arah Annisa sekilas.Alfian memperhatikan putranya yang tidak mengalihkan pandangan menatap Annisa, bukan Nayla. Kening pria paruh
Ponsel Annisa terus bergetar, tetapi dia tidak ingin menjawab telepon Zidane dan lebih memilih untuk menonaktifkannya. Zidane semakin merasa frustrasi karena teleponnya tak kunjung dijawab oleh Annisa. Dia kembali menjambak rambutnya, lalu mendengkus kasar. Kakinya terpaku menatap bayangan sang istri yang telah menghilang dari pandangan sambil mengepalkan kedua tangannya. Pria itu membalikkan badan, berjalan kembali memasuki restoran dengan perasaan yang tak tenang. Langkah Zidane terhenti tepat di mejanya semula. Tajam netra yang menyerupai elang itu menatap dingin pada semua orang yang ada di sana terutama kepada kedua orang tuanya. Pandangan itu beralih saat suara seorang wanita menanyainya. "Kay, ada apa? Apa yang sebenarnya terjadi di antara kalian? Kenapa Annisa tiba-tiba pergi?" tanya Maya. Pria yang sedang ditanyai itu tak langsung menjawab. Dia terlebih dulu menarik kursi kosong, lalu mendudukinya dengan tenang. Namun, sorot matanya nampak di
"Berhenti di sini saja, Pak!" ucap Annisa kepada sopir taksi yang ditumpanginya.Gadis itu memilih berhenti di dekat halte bus, tidak ingin pulang ke rumah karena di sana dia pasti akan bertemu dengan Zidane. Sebenarnya, bisa saja Annisa pergi ke kafe bukunya untuk menenangkan pikiran, tetapi dia berpikir tempat itu juga pasti akan di datangi suaminya."Baik, Nona." Sopir itu mengangguk patuh.Annisa turun setelah membayar tarip ongkosnya. Dia berjalan gontai tidak memiliki tujan pasti. Suasana di tempat itu sudah agak sepi pejalan kaki, mungkin karena orang-orang sudah beristirahat di rumah masih-masing.Gadis itu mendongak, melihat ke arah langit sambil menengadahkan tangan kanannya. Dia merasakan tetesan air terjatuh dari atas sana mengenai telapak tangannya."Hujan," gumamnya lirih.Kepalanya memutar ke kiri dan kanan, menacari tempat untuk berteduh karena tetesan air langit itu turun semakin deras. Tidak ada pilihan lain, Annisa memutus
Tubuh Annisa menggigil kedinginan karena pakaiannya basah kuyup terkena air hujan. Dengan langkah yang lemah gadis itu berjalan sambil mencari taksi yang sedari tadi tidak terlihat melintas di area tersebut. Mungkin karena sudah larut malam dan cuaca baru saja diguyur hujan lebat.Annisa merogoh ponsel dalam saku blezernya, bermaksud ingin menghubungi seseorang untuk menjemputnya. Namun, nasibnya begitu sial. Benda pipih itu tidak bisa menyala karena kehabisan beterai."Astaghfirullah ... kenapa nasibku sangat sial sekali hari ini?" gumamnya bernada frustrasi.Dia memutar kepala ke kiri dan kanan untuk memastikan keadaan di sekelilingnya yang sepi. Rasa takut mulai menyeruak memenuhi pikiran. Takut jika tiba-tiba saja ada penjahat yang ingin melukainya."Ya Allah, aku takut." Gadis itu mengusap wajahnya yang basah dengan air mata sambil melanjutkan berjalan mencari tempat yang agak ramai.Langkah Annisa terhenti seketika, bola matanya membulat semp
Lamat, netra teduh itu menatap wajah gadis cantik yang terbaring lemah di atas ranjang dalam keadaan demam. Cukup lama terdiam, sama sekali tidak ingin mengalihkan pandangannya.Rizky mendengkus kasar. Entah apa yang sedang dia pikirkan saat ini hingga sepertinya begitu sesak dan rumit. Pria itu lantas meremas handuk kecil yang dia rendam pada air hangat di dalam baskom kecil, lalu menyimpannya di dahi Annisa dengan hati-hati.Suara getaran ponsel yang beradu dengan meja nakas menyadarkan pria itu dari lamunannya. Dia hanya melihat ponselnya sekilas, tetapi tidak berniat untuk menjawab. Membiarkan benda pipih itu terus bergetar hingga berhenti dengan sendirinya."Kenapa kau tidak menjawab teleponnya?"Rizky menoleh ke belakang, seorang gadis cantik berjalan menghampirinya dengan pandangan yang sulit diartikan."Apa kau berencana menyembunyikan Nona Annisa di sini selamanya?" tanyanya lagi."Aku tidak berpikir seperti itu." Rizky langsung men
"Sial! Kenapa dia tidak menjawab teleponku?" umpat Zidane. Dia kesal karena Rizky berkali-kali tidak menjawab teleponnya.Pria tampan itu memukul stir mobilnya, merasa frustrasi karena sudah tengah malam tapi mesih belum bertemu dengan Annisa."Sebanarnya kamu ada di mana sekarang, Kia? Aku sangat mencemaskanmu," gumam Zidane.Dia mendengkus kasar, menyenderkan punggung pada penyangga kursi sambil memijit pangkal hidungnya karena kepalanya berdenyut sangat sakit.Zidane langsung mengambil ponselnya begitu benda tersebut tiba-tiba berdering. Dia pikir, Rizky menghubungi untuk memberitahu keberadaan Annisa. Namun, dugaannya salah. Bukan Rizky, tetapi Nayla yang meneleponnya.Dia sudah mengabaikannya sejak tadi, tetapi gadis itu seperti tidak menyerah. Entah apa yang ingin dia bicarakan, Zidane tidak peduli karena yang dia ingin tahu adalah keberadaan Annisa saat ini ada di mana dan bagaimana keadaannya.Pria itu menyimpan kembali ponsenya pada
Zidane berjalan gontai menuju ke kamarnya. Langkah pria itu terhenti di ambang pintu, menatap kekosongan pada ruangan yang berukuran sedang. Tak ada orang yang biasanya selalu menciptakan suasana rumah menjadi ramai dan penuh kehangatan walau hanya tinggal berdua.Pria beralis tebal itu mendesah kasar sebelum akhirnya melanjutkan langkahnya memasuki kamar. Dia melempar jas yang tadi dia kenakan ke sembarangan arah, lalu melempar tubuhnya ke atas kasur penuh beban.Lelah, tetapi tak ingin menyerah.Capek, tetapi tak bisa beristirahat.Zidane kembali mendengkus kasar sambi meninju-ninju dahinya sendiri sambil memejamkan mata karena kepalanya terasa berat.Bibir pria itu terkatup rapat, tetapi di dalam otak dan hatinya tak berhenti berbicara sendiri. Memang semua salahnya yang tak jujur, padahal dia sendiri yang meminta agar di antara mereka tidak boleh ada rahasia, tetapi malah dirinya sendiri yang menyimpan rahasia. Wajar jika istrinya itu marah dan
Keesokan paginya, Annisa mengejapkan mata menyesuaikan penglihatannya dengan silau cahaya matahari yang menyeruak masuk melalui celah jendela kamar. Kedua alisnya saling bertautan saat melihat sekeliling ruangan yang begitu tidak asing lagi baginya. Namun, dia belum sepenuhnya sadar bahwa saat ini sedang berada di rumahnya."Aku di mana? Kenapa tempat ini sangat tidak asing," gumamnya sambil beranjak bangun. Tangan kanan gadis itu refleks menyentuh dahinya, mengambil kain handuk yang masih menempel. Kamudian menyimpan handuk kecil tersebut di atas nakas.Gadis itu meringis sambil memegangi kepalanya yang terasa berat dan berdenyut sakit. Matanya terpejam sesaat untuk menetralisir rasa sakit tersebut."Kau sudah bangun, Sayang?"Annisa menoleh ke arah sumber suara. Seketika itu ekpresinya berubah masam melihat sosok yang dibencinya berjalan menghampiri sambil membawa nampan berisi gelas dan mangkuk."Kau? Kenapa kau ada di sini?" Gadis itu terdiam s