Setelah pertempuran malam panjang yang panas dan membara itu, akhirnya pagi datang juga.Sinar matahari menerobos melewati celah kaca jendela. Angin semilir menyibak sedikit tirai. Terlihat awan putih berarak menandakan jika malam sudah terlewati dengan baik.Azam masuk ke dalam kamar itu. Membawa nampan sarapan, ada jus dan buah segar juga. Semua makanan yang sudah disiapkan khusus oleh nama mertua sendiri untuk menantunya.Matanya langsung tertuju pada Arumi yang masih bermalas-malasan di atas ranjang. Sudah memakai baju, Rambutnya terlihat masih basah. Rupanya dia sudah bangun dan sudah mandi.Hati Azam merasa senang melihat ada seorang wanita di atas ranjangnya sekarang. Semalam tidur bersamanya juga.'Eh, bukan tidur, melainkan bergerak bersama.'Padahal hanya bertambah satu anggota keluarga baru dalam rumah ini, tapi rasanya rumah ini langsung berubah begitu indah.Sedikit pun gerakan Arumi begitu terlihat indah di matanya.Azam menghampiri Arumi yang hanya melirik kedatanganny
"Karena kamu terlalu kasar, Azam! Kamu tidak ada lembutnya." Arumi masih dengan suara keras."Dimananya yang kasar? Coba sebutkan."Rimbun kali ini tidak menjawab."Yang semalam ya?"Arumi belum menjawab, hanya memutar bola matanya saja."Kalau yang semalam,.""Sudah diam, jangan mengungkitnya lagi!"Arumi jadi geram."Tidak ada yang mendengarnya sayang. Hanya kita berdua ini.""Meskipun, aku tetap malu. Sudah. Aku mau sarapan." Arumi tidak ingin Azam membahas hal semalam. Walaupun hanya didengar berdua, tetap itu sangat memalukan bagi Arumi."Tapi kamu suka, kan?" Azam masih saja bertanya."Stop Azam!" Dia menutup bibir Azam dengan telunjuknya.Azam menarik tangan Arumi lalu mendekatkan wajahnya. "Semalam kamu terus memanggil namaku terus lho.""Astaga. Sudah, kataku!"Azam tergelak, kemudian beranjak setelah beberapa kali menyambar bibir Arumi."Makanlah. Aku harus keluar dulu." Dia menyodorkan piring sarapan untuk Arumi."Kamu sudah sarapan?" Arumi menerima piring itu."Maaf ya. Ak
Azam menghentikan mobilnya, kemudian meloncat turun.Setelah seorang pelayan membukakan pintu, Azam terburu menaiki tangga menuju kamar.Ingin cepat melihat si Jelek yang sudah dirindukannya."Jelekku.. Apa kamu masih tidur?" menghampiri ranjang.Arumi yang masih tergeletak menoleh."Kamu sudah pulang?" Dia duduk ditepi ranjang."Tentu saja. Mana bisa aku berlama-lama meninggalkanmu sendirian." Azam jugaduduk di tepian ranjang. Meraih tengkuk Arumi untuk menghadiahi kecupan."Kamu sudah menghabiskan sarapanmu?""Sudah. Aku bahkan sudah lapar lagi."Azam melirik jam. "Kita akan makan siang bersama mama. Kamu belum bertemu mama, kan?" Dia mendekap Arumi."Belum. Aku masih malu.""Tidak mengapa. Mama mengerti. Lagian mama juga pergi ke rumah nenek, belum pulang. Dia tidak mau mengganggumu dulu. Dia pengertian."Arumi hanya mengangguk."Apa sudah bisa berjalan?""Kamu kira aku lumpuh!" Jawab Arumi, kesal."Mungkin sedikit kesusahan.""Itu tahu!""Maaf ya. Semua karena ulahku." Azam kemba
Saat sore hari, Heru mengatakan rencana Adi pada Nita. Nita tidak tau harus menjawab apa. Jujur saja, memang uang simpanan dia telah ludes untuk membeli tanah itu. Sementara modal untuk tokonya pun ikut ke pakai juga."Apa toko kita ditutup dulu aja ya? Jadi aku bisa ke kebun itu bersama Adi." Ucap Heru."Jangan dong Mas. Sayang, itu masih banyak barang yang belum ke jual." Bantah Nita."Tapi kalau Adi sendiri pasti akan sangat lama ngerjain kebun itu. Kasihan juga, mana gak di bayar, cuma bisa kasih beras sama rokok saja." Sahut Heru."Aku bisa jaga toko sembari nulis. Bagaimana? Kalian bisa ke kebun. Sambil tunggu aku gajian, ya meskipun masih satu bulan lagi."Heru menoleh pada Adi yang memang ada disitu."Jangan lah Her, istri kamu nanti tidak akan fokus. Aku tau nulis itu memang gak butuh tenaga dan gak capek badannya. Tapi otak main, dan jangan main-main. Main otak itu malah bikin lemes. Kalau sambil jaga toko, belum lagi jaga Gemilang, duh.. yang ada nanti istri kamu KO."Dua o
Rani menghitung uang yang ia punya saat ini. Dan itu tidak cukup untuk membayar hutang tanah pada bude Iyah. Dia bahkan sudah meminjam uang 2 juta pada koperasi jalan ( bank titil kalau istilah orang sini menyebutnya.)Satu-satunya jalan hanya dengan menekan Susi. Dia pada akhirnya mendatangi Susi, karena lewat chat Susi sama sekali tidak merespon lagi. Bahkan centang satu. Entah Rani di blokir atau memang si Susi tidak punya paketan data internet.Rani buru-buru melangkah ke ruang Susi setelah mengintip dari teras rumahnya, dan melihat suami Susi sudah berangkat kerja.Rani takut kalau ada suami Susi dirumah, semalam mereka sudah terdengar bertengkar hebat. Bahkan nama Rani disebut suaminya sebagai dalang penyebab istrinya berhutang.Sampai dirumah Susi, Rani memohon agar Susi segera mengembalikan uangnya."Aku mau cari dimana, Ran? Sumpah aku bingung. Semalam udah ngomong sama suamiku. Tapi bosnya belum bisa kasih kasbon, karena kasbon kami masih sisa. Lagian ini belum ganti bulan.
"Hehe. Sini." Nita meninggalkan teh Ainun dulu untuk mengambilkan bensin Edi."Cepet ya. Udah ditunggu teman-teman. Mau muat.""Oke." Nita segera menakar dan Edi mengulurkan uang.Dia sempat melihat pria itu mampir dahulu ke rumahnya yang terletak di ujung sana.Tapi tak berapa lama dari Edi terlihat belok ke rumahnya dan Nita baru kembali pada Teh Ainun, mereka dikejutkan dengan suara Keributan yang berasal dari rumah Edi dan Susi.Sepertinya mereka sedang bertengkar hebat kali ini.Ainun dan Nita sampai kepo dan mengintip dari kejauhan.Rupanya saat Edi berniat mampir ke rumah untuk mengambil air minum yang sudah habis, dia mendapati istrinya sedang ditagih oleh dua rentenir.Tak tanggung-tanggung Susi harus membayar 2 juta setengah bersama bunganya.Edi terkejut bukan main saat mendengar Istrinya mempunyai hutang tujuh juta pada rentenir. Edi marah, lebih marah lagi saat Susi belum bisa membayar angsuran pertama. Dua pria rentenir itu menyita hp satu-satunya milik mereka.Saat dua
Pada akhirnya, mau tidak mau, Nita dan Ainun harus menjadi saksi untuk diinterogasi oleh polisi.Hingga sore hari, teras rumah Susi masih terlihat rame.Rani mondar-mandir di rumahnya setelah tadi juga sempat berlari ke rumah Susi dan sempat melihat keadaan Susi sebelum dimasukkan ke dalam ambulans."Ya Allah…" Dia merinding, mengingat jika naas yang menimpa Susi itu adalah gara-gara di tagih hutang oleh renternir. Dan, semua itu berawal dari Skincare.Rani meraba lengannya, bulu kuduknya berdiri. Tadi dia melihat, betapa mengerikannya luka bakar yang dialami oleh Susi. Wajahnya sampai melepuh total dan rambutnya terbakar habis.Rani gemetaran, dia takut setengah mati jika di tanyai oleh pihak yang berwajib atau sampai di tuntut oleh keluarga Susi, karena mau tidak mau dan bagaimana pun juga, dia terlibat dalam terjadinya pertengkaran Susi dan Edi. Dialah biang keroknya, yang menghasut Susi supaya menghutang pada renternir."Tapi kan dia memang ngutang duitku! Wajarlah aku minta duitk
Karena dasar dari dia tega melakukan hal keji ini memang murni tersulut emosi, tanpa direncanakan.Pengakuan saksi, Nita dan Ainun sedikit meringankan hukuman Edi. Karena Edi membeli bensin memang benar titipan sang sopir.Tapi dari tindakan keji Edi, telah berakibat fatal.Tiga Minggu di rumah sakit, dokter telah melakukan apapun cara untuk menyembuhkan luka bakar yang diderita Susi, namun Tuhan berkehendak lain.Menurut Dokter, Luka bakar masih bisa di tangani, tetapi bensin yang menyiram tubuh Susi dari atas kepala hingga kaki telah terhirup sebanyak mungkin, hingga menyebabkan paru-paru dan jantung Susi rusak tak dapat lagi berfungsi.Susi menghembuskan nafas terakhir, tepat setelah berada di rumah sakit selama dua puluh hari.Tangisan pilu dari keluarga Almarhum menyambut kepulangan jenasah Susi.Sang ibu bahkan pingsan berkali-kali. Dia tidak menyangka, jika anaknya yang baru saja menikah belum ada lebih dari dari satu tahun itu akan mati oleh tangan suaminya sendiri.Tapi, inil