Riko tersenyum, “Oh boleh-boleh, misal sebagai papa angkatnya, tidak masalah. Aku suka sama anak kecil. Apalagi Calia sangat imut, pasti sangat menyenangkan bisa memiliki putri seperti dia.”“Tuh, kan, apa kataku? Kamu pasti sedang jatuh cinta.” Riko melotot, sebelum dia membuka suara Gara sudah berkata lagi, “Maksudnya jatuh cinta pada Calia, Riko. Bukan pada mamanya.”Mereka tertawa, “Tapi tidak masalah juga kalau sama mamanya,malah bagus. Kita bisa iparan.” “Tuan, ngomong apa sih?” “Ah, aku hanya bercanda. Jangan dimasukin hati. Bagaimanapun juga adik iparku itu janda anak satu, tidak mungkin juga kamu akan suka.” Riko meringis dalam hati. Untuk memikirkan menikah saja Riko belum ada niat sama sekali. Ini bukan masalah Dinda janda atau apa, tanah kuburan suaminya saja masih merah. Tega sekali jika Riko memikirkan sampai ke sana.Rasa bersalahnya saja masih menggantung kuat di hatinya.Mobil mereka berhenti di rumah sakit, Gara turun untuk kembali ke ruangan dimana Mia berada
Sore ini rumah Gara terlihat ramai, ada acara syukuran sederhana yang diadakan dalam rangka memberi nama pada putri dan putra Gara Mahendra. Mereka memang sepakat untuk tidak ada pesta. Bukannya tidak ingin meramaikan pesta pemberian nama anak-anak mereka, tetapi tidak mungkin mereka berpesta sementara keluarga mereka masih ada yang tengah bergabung. Itu sebabnya mereka hanya mengundang ustadz untuk mendoakan pemberian nama bayi kembar mereka.Gara lebih memilih untuk membagikan sedekah bagi panti asuhan dan beberapa pedagang kaki lima bentuk ucapan syukur atas anugerah yang telah diberikan Allah pada mereka.Acara berjalan dengan sedikit meriah saja Bu Rita, pak Wibowo, Silvia dan Farhan sudah datang dari tadi, tetapi Dinda tidak ada di antara mereka.Karena tidak melihat Dinda, akhirnya Mia pun bertanya. “Bu, apa Dinda tidak ikut?”“Tidak, Mia. Calia sedang demam . Jadi Ibu melarang, tadi waktu dia mau ikut. Kasihan Calia , semalaman menangis terus. Ibu bilang, nanti saja dia bisa
Riko tersenyum tipis, “Kamu bilang Calia tidak rewel kan? Tapi aku dengar, ibu kamu bilang kalau semalaman Calia menangis terus. Apa kamu tidak kasihan padanya? Dia sampai demam begini karena kebanyakan menangis.”Dinda kembali menunduk, “Maaf, aku hanya tidak ingin merepotkan Mas Riko saja.”Riko bergerak untuk duduk di sofa, “Lain kali jangan seperti itu. Tidak ada yang direpotkan, kecuali kalau aku sudah beristri dan memiliki anak, mungkin itu bisa merepotkan. Kalau begini, tidak ada yang ku urus selain pekerjaan dan Tuan Gara, jadi waktuku banyak. Jika kalian tidak keberatan aku dekat dengan Calia, aku akan sangat senang.”Keberatan? Mana mungkin mereka akan keberatan, justru akan sangat senang dan berterima kasih sekali karena sudah bisa dilihat jika Calia memang ingin terus dekat dengan Riko. Dinda tidak berani menjawab lagi, dia hanya mengangguk. Riko duduk sambil mendekat Calia yang sudah tidak menangis lagi. Anak itu malah mengoceh sambil menundukkan kepalanya di dada Riko.
Tentu saja Dinda belum mempunyai jawaban untuk ini. Semisal dia pulang, ibu dan ayah sudah terus memintanya untuk tinggal di sini saja. Tapi jika tidak pulang, dia tidak tega meninggalkan keluarganya di kampung. Dinda menggeleng, “Belum tahu. Kalau aku tidak pulang, kasihan ibu dan adik-adik almarhum di sana.”Riko tidak bertanya kembali mereka sama-sama terdiam dalam waktu yang cukup lama. Hingga suasana terlibat sangat hening.Calia menguap beberapa kali dan akhirnya tumbang di dada Riko. Setelah memastikan anak itu terlelap, Dinda ingin memindahkan Calia.Riko pada akhirnya berpamitan, “Kalau begitu aku pulang dulu ya? Kamu beristirahat yang baik, mumpung anakmu tidur.” Dinda mengangguk.Riko menunduk, mencium kening Calia yang sudah ada di gendongan Dinda. “Papa pulang dulu ya, Nak? Kalau bangun nanti, jangan menangis. Besok Papa Riko kemari lagi, kita main lagi ya? Cepatlah sembuh.” Hati Dinda bergetar saat menatap Riko yang menunduk untuk mencium putrinya. Kemudian pria itu j
Bulan telah terlewati, Dinda sudah memutuskan untuk tinggal di sini saja bersama kedua orang tuanya. Itu juga karena sudah mendapatkan restu dari Bu Marni yang juga telah setuju dengan keputusan Dinda yang ingin tinggal di rumah kedua orang tuanya di kota. “Fiah, kamu harus pintar jagain warung ya?” Dia berpesan pada adik iparnya saat ditelepon.“Iya, Mbak Dinda. Tapi Fiah sedih. Kita nggak bisa ketemu lagi ya? Padahal aku kangen sama Calia.”“Pasti kita akan bertemu. Kapan-kapan kami pasti berkunjung ke sana. Doain saja kami sehat serta panjang umur.”Fiah menangis saat obrolan mereka berakhir. Dia merasa sangat sedih karena tidak ada lagi mbak Dinda-nya di sini. Tidak ada Calia imut di tengah-tengah mereka. Dunia terasa mendadak sepi bagi mereka. Meskipun mereka merasa bersedih dan kurang rela dengan keputusan Dinda, tapi mereka tidak bisa memaksa. Dinda sudah tidak punya harapan di sini. Jika dulu dia bertahan karena masih ada sang suami yang masih bisa dinantinya, sekarang apa
“Mbak Mia, aku rencananya mau cari kerja. Bagaimana menurutmu? Aku tidak enak jika harus terus merepotkan mbak Silvia dan mas Farhan. Aku juga banyak kebutuhan, untuk masa depan Calia juga. Sementara mereka sudah bertanggung jawab atas ibu dan ayah. Masa iya aku dan Calia juga harus menjadi tanggung jawab mereka?” Ucap Dinda. Gara mendengar pembicaraan Dinda dan istrinya. “Jadi, kamu mau cari kerja, Din?” Tanya Gara.“Iya, Mas. Rencananya, besok aku mau coba melamar kerja. Lagian, Calia sudah mau sama ibu. Mbak Silvia juga mau kok bantuin jaganya.”“Mau melamar dimana?” Tanya Mia."Belum tahu. Kalau tidak, biar aku jadi pelayan di sini saja. Gaji mereka lumayan juga, nggak kalah sama karyawan kantor," canda Dinda. "Apaan sih, Din? Masa iya adikku sendiri mau jadi pelayan di rumahku? Aku jadi kakak durhaka kalau begitu," jawab Mia, bercanda juga. Gara menghampiri mereka sambil menggendong Azura yang baru selesai menyusu. "Coba melamar ke perusahaan Mas Gara, mumpung saat ini ada
Dinda duduk di depan komputernya setelah berkenalan dengan beberapa rekan kerja. Ia mengirim pesan kepada ibunya, memberitahu bahwa dia diterima dan hari ini sudah mulai bekerja. Dia mulai bekerja dengan bimbingan seorang leader. Dinda diberi arahan dan petunjuk mengenai tugas-tugasnya. Pada dasarnya, Dinda memang cerdas, sehingga dalam waktu singkat ia sudah paham semuanya. Leader-nya tersenyum bangga dan membiarkan Dinda untuk bekerja.Di sisi lain, Riko sesekali melirik jam tangan. Ada rasa tidak sabar di hatinya, menunggu waktu istirahat siang. Jelas, Riko ingin segera mengajak Dinda untuk makan di luar. Namun sebelumnya, tentu saja dia sudah meminta izin terlebih dahulu pada Gara."Tuan, apa Anda ingin makan di luar?" Gara menoleh, dia seperti sudah paham dengan jalan pikiran sekretarisnya. Biasanya, Riko tidak akan pernah bertanya seperti itu; dia akan menunggu sampai Gara yang mengajak dia makan di luar, di kantor, atau pulang. Namun, hari ini?Gara tersenyum. "Aku ingin pula
Riko nampak menarik nafas berat, sementara Dinda, dadanya berdebar menunggu Riko berbicara."Dinda. Jujur saja, selama ini aku menyimpan rasa bersalah padamu dan Putrimu. Aku penyebab kamu harus berpisah dari suamimu. Penyebab Calia tidak merasakan kasih sayang ayahnya. Maafkan aku. Dulu, aku yang sudah membongkar kesalahan Almarhum suamimu bahkan memenjarakannya. Maafkan aku Dinda, aku tidak tahu kalau suamimu sakit seperti itu. Aku sungguh merasa bersalah hingga detik ini. Aku hanya bekerja dan menjalankan kewajibanku."Mendengar ucapan Riko, Dinda menunduk. Dia kembali teringat tentang suaminya. Matanya berkaca-kaca."Kamu tidak salah, Mas Riko. Jadi tidak perlu meminta maaf. Andai saja waktu itu kamu membebaskan Mas Alex, pada akhirnya kami juga akan terpisah. Yang aku sesalkan hanyalah, aku tidak pernah tahu jika dia menderita penyakit itu sejak dulu. Dan yang lebih sedih lagi, dia melakukan semua itu hanya demi aku." Air mata Dinda terjatuh kembali.Riko terdiam sesaat, kemudian