Dinda duduk di depan komputernya setelah berkenalan dengan beberapa rekan kerja. Ia mengirim pesan kepada ibunya, memberitahu bahwa dia diterima dan hari ini sudah mulai bekerja. Dia mulai bekerja dengan bimbingan seorang leader. Dinda diberi arahan dan petunjuk mengenai tugas-tugasnya. Pada dasarnya, Dinda memang cerdas, sehingga dalam waktu singkat ia sudah paham semuanya. Leader-nya tersenyum bangga dan membiarkan Dinda untuk bekerja.Di sisi lain, Riko sesekali melirik jam tangan. Ada rasa tidak sabar di hatinya, menunggu waktu istirahat siang. Jelas, Riko ingin segera mengajak Dinda untuk makan di luar. Namun sebelumnya, tentu saja dia sudah meminta izin terlebih dahulu pada Gara."Tuan, apa Anda ingin makan di luar?" Gara menoleh, dia seperti sudah paham dengan jalan pikiran sekretarisnya. Biasanya, Riko tidak akan pernah bertanya seperti itu; dia akan menunggu sampai Gara yang mengajak dia makan di luar, di kantor, atau pulang. Namun, hari ini?Gara tersenyum. "Aku ingin pula
Riko nampak menarik nafas berat, sementara Dinda, dadanya berdebar menunggu Riko berbicara."Dinda. Jujur saja, selama ini aku menyimpan rasa bersalah padamu dan Putrimu. Aku penyebab kamu harus berpisah dari suamimu. Penyebab Calia tidak merasakan kasih sayang ayahnya. Maafkan aku. Dulu, aku yang sudah membongkar kesalahan Almarhum suamimu bahkan memenjarakannya. Maafkan aku Dinda, aku tidak tahu kalau suamimu sakit seperti itu. Aku sungguh merasa bersalah hingga detik ini. Aku hanya bekerja dan menjalankan kewajibanku."Mendengar ucapan Riko, Dinda menunduk. Dia kembali teringat tentang suaminya. Matanya berkaca-kaca."Kamu tidak salah, Mas Riko. Jadi tidak perlu meminta maaf. Andai saja waktu itu kamu membebaskan Mas Alex, pada akhirnya kami juga akan terpisah. Yang aku sesalkan hanyalah, aku tidak pernah tahu jika dia menderita penyakit itu sejak dulu. Dan yang lebih sedih lagi, dia melakukan semua itu hanya demi aku." Air mata Dinda terjatuh kembali.Riko terdiam sesaat, kemudian
Riko sampai tidak tahan dan ingin cepat-cepat pulang untuk berjumpa dengan mamanya Calia.Argh… Riko berteriak dalam hati.Mobil Riko mulai melaju, namun belum separuh perjalanan, tiba-tiba turun hujan begitu lebat dan petir saling menyambar.Dinda terlihat ketakutan."Mas Riko. Mending cari tempat berhenti dulu. Jangan diteruskan, takut ada kecelakaan, Mas."Riko setuju dengan pendapat Dinda."Ke rumahku saja. Tidak jauh dari sini."Dinda mengangguk, meskipun belum tahu itu dimana.Benar saja, tak lama kemudian Riko membelokkan mobilnya ke sebuah rumah yang lumayan besar dan terlihat sepi.Riko membuka pintu mobil."Ayo turun. Cepat!"Dinda turun dengan cepat. Riko meraih tangan Dinda dan membawa lari ke teras rumahnya.Riko segera membuka pintu rumahnya."Ayo masuk.""Ini rumah, Mas Riko?" Tanya Dinda setelah berada di dalam."Iya. Sepi ya? Rumah ini memang tidak ada yang menghuni. Aku hanya sesekali kesini karena lebih banyak tinggal di rumah Tuan Gara. Hanya ada asisten rumah saja
"Papa.. Papa.." Calia tertawa-tawa senang saat Riko menyambutnya dengan kedua tangannya dan menggendongnya."Putri papa Riko pinter banget, sih? Papa kangen." Riko menciumi kening Calia. Calia juga membalasnya, mencium dan menabrak-nabrakkan keningnya ke kening Riko."Papa.. Papa.." sambil terus melonjak-lonjak di gendongan Riko. Terlihat sekali Calia begitu senang bertemu dengan Riko.Mereka kini duduk di ruang tamu. Ibu menyisih untuk membuat kopi. Sementara Silvia ikut nimbrung disana."Riko, gimana kabarnya? Udah selesai pekerjaan di luar kotanya?" Tanya Silvia."Baik, Mbak. Kerjaan sudah selesai. Tapi dua hari lagi harus balik kesana karena akan ada proyek lagi. Aku pulang dulu karena kangen sama ini nih, si kecil ini." Riko menunduk, kembali mencium kepala Calia."Wah.. Calia beruntung banget sih, dikangenin papa Riko." Ledek Silvia."Ayah dan Mas Farhan kemana, Mbak?" Tanya Riko."Ayah pergi ke tetangga. Nggak tau ada acara apa gitu. Kalau Mas Farhan belum pulang. Tadi aku pula
Tidak lama kemudian Dinda turun, kemudian meminta Calia dari pangkuan Riko."Ikut mama dulu sebentar. Mama juga kangen Lho.. Seharian nggak ketemu. Papa biar minum kopi dulu."Calia menoleh dulu pada Riko, seperti berat lepas dari pangkuan papanya. Tapi kemudian mengerti dan mau berpindah pangkuan.Hingga beberapa saat lamanya mereka mengobrol santai, Riko mengintip Wajah Calia. Saat memastikan Calia tertidur, Riko baru berpamitan.Malam semakin larut, baik Dinda dan Riko malam ini sama-sama gelisah dan tidak bisa tidur dengan baik.Sesekali Riko melirik Hpnya. Ingin sekali menelpon Dinda, tapi takut Calia terbangun. Kemudian Riko mengetik pesan.Dinda yang disana juga terlihat gelisah. Dia masih teringat ciuman Riko sore tadi. Ada rasa bahagia yang menyelinap di hatinya.Apa memang seharusnya aku menerima Mas Riko saja? Mas Riko terlihat sangat tulus pada Calia. Calia juga sangat menyukainya.Dinda lagi-lagi mendesah berat. Ada rasa takut membayangkan menjadi istri Riko, tetapi tidak
Riko menunduk dan mencium kening Dinda.Hingga beberapa saat lamanya, mobil mereka berhenti di sebuah hotel.Dengan lembut Riko membangunkan Dinda.Merasa ada belaian di pipinya, Dinda membuka matanya. Dia terkejut Ketika menyadari posisinya. Dia langsung bangun dengan wajah merah menahan malu."Maaf. Aku ketiduran. Maaf ya." Dinda egera memeriksa, apakah ada air liur yang menetes dari bibirnya.Siapa tahu saja tadi dia ngiler, terus jatuh ke celana Riko?Riko tertawa kecil. "Aman kok. Kamu nggak ngiler."Dinda benar-benar tersipu malu. "Kok nggak di bangunin sih, Mas? Kamu kan jadi capek.""Nggak papa. Lagian kamu nyenyak banget. Nggak tega aku banguninnya. Eh, ayo turun!""Udah sampai ya?" Dinda langsung mengintip keluar.Kemudian mereka turun dan menuju sebuah kamar yang telah dipesan oleh perusahaan mereka."Satu kamar?" Dinda berdiri mematung di depan pintu kamar hotel."Aku tidak akan memerkosamu. Tenang saja." Riko berkata sambil membuka pintu dan masuk.Dengan ragu-ragu Dinda
Riko kemudian melirik Dinda. Sepertinya Dinda sudah tidur atau hanya pura-pura tidur, tidak tahu juga. Riko bergerak pelan untuk keluar dari kamar itu. Dinda tidak menyadari itu. Perlahan dia mulai memejamkan matanya dan kemudian terlelap.Sementara di kamar sebelah, Riko sama Sekali tidak dapat memejamkan matanya. Bayangan tubuh Dinda yang ambruk ke tubuhnya tadi menyita habis pikiran Riko."Ya Tuhan.. Ternyata jatuh cinta itu berat juga ya?" Dia mengeluh dan berbolak balik. Sampai mungkin hampir pagi baru Riko bisa tertidur.Pagi hari Dinda bangun. Dia tidak melihat keberadaan Riko."Mas Riko tidur dimana? Apa sedang mandi?" Dinda melihat pintu kamar mandi. Tidak ada suara dari dalam. Artinya tidak ada orang.Apa mungkin keluar?Dinda tidak ingin memusingkan hal itu dan kemudian pergi mandi.Setelah selesai berganti dan berkemas kemas, Dinda kembali heran kenapa Riko tidak datang juga."Mas Riko kemana ya?" Kemudian berinisiatif untuk menelpon saja. Ketika memanggil nomor Riko, rupa
Perasaan lega dan bahagia bercampur menjadi satu dihati Riko ketika mendengar jawaban dari Dinda. Bu Rita dan Pak Wibowo seketika tersenyum juga."Alhamdulillah.. Akhirnya kalian akan bersatu." Ucap Bu Rita."Tapi, Nak Riko. Apa Nak Riko benar-benar sudah bulat akan menikahi Dinda? Sekali lagi ayah ingatkan, Dinda bukan perawan. Dia bahkan sudah memiliki anak. Mungkin, kalau Nak Riko sendiri sudah yakin, tetapi bagaimana dengan orang tua dan keluarga Nak Riko? Itu juga harus dipikirkan." Ucap pak Wibowo hanya ingin meyakinkan keputusan Riko.Dinda yang tadi sudah yakin akan jawabannya seketika menjadi ragu kembali. Dia menoleh pada Riko yang mengembangkan senyum."Tidak, Ayah. Aku yakin keluargaku akan menerima Dinda dan Calia dengan baik. Karena sebelum ini aku juga sudah pernah bercerita mengenai Dinda dan juga Calia kepada mereka. Mereka malah menyarankan aku untuk segera melamar mamanya Calia."Ibu dan ayah saling menatap dan kemudian mengangguk."Oh.. Syukurlah kalau begitu, Nak