Sore ini rumah Gara terlihat ramai, ada acara syukuran sederhana yang diadakan dalam rangka memberi nama pada putri dan putra Gara Mahendra. Mereka memang sepakat untuk tidak ada pesta. Bukannya tidak ingin meramaikan pesta pemberian nama anak-anak mereka, tetapi tidak mungkin mereka berpesta sementara keluarga mereka masih ada yang tengah bergabung. Itu sebabnya mereka hanya mengundang ustadz untuk mendoakan pemberian nama bayi kembar mereka.Gara lebih memilih untuk membagikan sedekah bagi panti asuhan dan beberapa pedagang kaki lima bentuk ucapan syukur atas anugerah yang telah diberikan Allah pada mereka.Acara berjalan dengan sedikit meriah saja Bu Rita, pak Wibowo, Silvia dan Farhan sudah datang dari tadi, tetapi Dinda tidak ada di antara mereka.Karena tidak melihat Dinda, akhirnya Mia pun bertanya. “Bu, apa Dinda tidak ikut?”“Tidak, Mia. Calia sedang demam . Jadi Ibu melarang, tadi waktu dia mau ikut. Kasihan Calia , semalaman menangis terus. Ibu bilang, nanti saja dia bisa
Riko tersenyum tipis, “Kamu bilang Calia tidak rewel kan? Tapi aku dengar, ibu kamu bilang kalau semalaman Calia menangis terus. Apa kamu tidak kasihan padanya? Dia sampai demam begini karena kebanyakan menangis.”Dinda kembali menunduk, “Maaf, aku hanya tidak ingin merepotkan Mas Riko saja.”Riko bergerak untuk duduk di sofa, “Lain kali jangan seperti itu. Tidak ada yang direpotkan, kecuali kalau aku sudah beristri dan memiliki anak, mungkin itu bisa merepotkan. Kalau begini, tidak ada yang ku urus selain pekerjaan dan Tuan Gara, jadi waktuku banyak. Jika kalian tidak keberatan aku dekat dengan Calia, aku akan sangat senang.”Keberatan? Mana mungkin mereka akan keberatan, justru akan sangat senang dan berterima kasih sekali karena sudah bisa dilihat jika Calia memang ingin terus dekat dengan Riko. Dinda tidak berani menjawab lagi, dia hanya mengangguk. Riko duduk sambil mendekat Calia yang sudah tidak menangis lagi. Anak itu malah mengoceh sambil menundukkan kepalanya di dada Riko.
Tentu saja Dinda belum mempunyai jawaban untuk ini. Semisal dia pulang, ibu dan ayah sudah terus memintanya untuk tinggal di sini saja. Tapi jika tidak pulang, dia tidak tega meninggalkan keluarganya di kampung. Dinda menggeleng, “Belum tahu. Kalau aku tidak pulang, kasihan ibu dan adik-adik almarhum di sana.”Riko tidak bertanya kembali mereka sama-sama terdiam dalam waktu yang cukup lama. Hingga suasana terlibat sangat hening.Calia menguap beberapa kali dan akhirnya tumbang di dada Riko. Setelah memastikan anak itu terlelap, Dinda ingin memindahkan Calia.Riko pada akhirnya berpamitan, “Kalau begitu aku pulang dulu ya? Kamu beristirahat yang baik, mumpung anakmu tidur.” Dinda mengangguk.Riko menunduk, mencium kening Calia yang sudah ada di gendongan Dinda. “Papa pulang dulu ya, Nak? Kalau bangun nanti, jangan menangis. Besok Papa Riko kemari lagi, kita main lagi ya? Cepatlah sembuh.” Hati Dinda bergetar saat menatap Riko yang menunduk untuk mencium putrinya. Kemudian pria itu j
Bulan telah terlewati, Dinda sudah memutuskan untuk tinggal di sini saja bersama kedua orang tuanya. Itu juga karena sudah mendapatkan restu dari Bu Marni yang juga telah setuju dengan keputusan Dinda yang ingin tinggal di rumah kedua orang tuanya di kota. “Fiah, kamu harus pintar jagain warung ya?” Dia berpesan pada adik iparnya saat ditelepon.“Iya, Mbak Dinda. Tapi Fiah sedih. Kita nggak bisa ketemu lagi ya? Padahal aku kangen sama Calia.”“Pasti kita akan bertemu. Kapan-kapan kami pasti berkunjung ke sana. Doain saja kami sehat serta panjang umur.”Fiah menangis saat obrolan mereka berakhir. Dia merasa sangat sedih karena tidak ada lagi mbak Dinda-nya di sini. Tidak ada Calia imut di tengah-tengah mereka. Dunia terasa mendadak sepi bagi mereka. Meskipun mereka merasa bersedih dan kurang rela dengan keputusan Dinda, tapi mereka tidak bisa memaksa. Dinda sudah tidak punya harapan di sini. Jika dulu dia bertahan karena masih ada sang suami yang masih bisa dinantinya, sekarang apa
“Mbak Mia, aku rencananya mau cari kerja. Bagaimana menurutmu? Aku tidak enak jika harus terus merepotkan mbak Silvia dan mas Farhan. Aku juga banyak kebutuhan, untuk masa depan Calia juga. Sementara mereka sudah bertanggung jawab atas ibu dan ayah. Masa iya aku dan Calia juga harus menjadi tanggung jawab mereka?” Ucap Dinda. Gara mendengar pembicaraan Dinda dan istrinya. “Jadi, kamu mau cari kerja, Din?” Tanya Gara.“Iya, Mas. Rencananya, besok aku mau coba melamar kerja. Lagian, Calia sudah mau sama ibu. Mbak Silvia juga mau kok bantuin jaganya.”“Mau melamar dimana?” Tanya Mia."Belum tahu. Kalau tidak, biar aku jadi pelayan di sini saja. Gaji mereka lumayan juga, nggak kalah sama karyawan kantor," canda Dinda. "Apaan sih, Din? Masa iya adikku sendiri mau jadi pelayan di rumahku? Aku jadi kakak durhaka kalau begitu," jawab Mia, bercanda juga. Gara menghampiri mereka sambil menggendong Azura yang baru selesai menyusu. "Coba melamar ke perusahaan Mas Gara, mumpung saat ini ada
Dinda duduk di depan komputernya setelah berkenalan dengan beberapa rekan kerja. Ia mengirim pesan kepada ibunya, memberitahu bahwa dia diterima dan hari ini sudah mulai bekerja. Dia mulai bekerja dengan bimbingan seorang leader. Dinda diberi arahan dan petunjuk mengenai tugas-tugasnya. Pada dasarnya, Dinda memang cerdas, sehingga dalam waktu singkat ia sudah paham semuanya. Leader-nya tersenyum bangga dan membiarkan Dinda untuk bekerja.Di sisi lain, Riko sesekali melirik jam tangan. Ada rasa tidak sabar di hatinya, menunggu waktu istirahat siang. Jelas, Riko ingin segera mengajak Dinda untuk makan di luar. Namun sebelumnya, tentu saja dia sudah meminta izin terlebih dahulu pada Gara."Tuan, apa Anda ingin makan di luar?" Gara menoleh, dia seperti sudah paham dengan jalan pikiran sekretarisnya. Biasanya, Riko tidak akan pernah bertanya seperti itu; dia akan menunggu sampai Gara yang mengajak dia makan di luar, di kantor, atau pulang. Namun, hari ini?Gara tersenyum. "Aku ingin pula
Riko nampak menarik nafas berat, sementara Dinda, dadanya berdebar menunggu Riko berbicara."Dinda. Jujur saja, selama ini aku menyimpan rasa bersalah padamu dan Putrimu. Aku penyebab kamu harus berpisah dari suamimu. Penyebab Calia tidak merasakan kasih sayang ayahnya. Maafkan aku. Dulu, aku yang sudah membongkar kesalahan Almarhum suamimu bahkan memenjarakannya. Maafkan aku Dinda, aku tidak tahu kalau suamimu sakit seperti itu. Aku sungguh merasa bersalah hingga detik ini. Aku hanya bekerja dan menjalankan kewajibanku."Mendengar ucapan Riko, Dinda menunduk. Dia kembali teringat tentang suaminya. Matanya berkaca-kaca."Kamu tidak salah, Mas Riko. Jadi tidak perlu meminta maaf. Andai saja waktu itu kamu membebaskan Mas Alex, pada akhirnya kami juga akan terpisah. Yang aku sesalkan hanyalah, aku tidak pernah tahu jika dia menderita penyakit itu sejak dulu. Dan yang lebih sedih lagi, dia melakukan semua itu hanya demi aku." Air mata Dinda terjatuh kembali.Riko terdiam sesaat, kemudian
Riko sampai tidak tahan dan ingin cepat-cepat pulang untuk berjumpa dengan mamanya Calia.Argh… Riko berteriak dalam hati.Mobil Riko mulai melaju, namun belum separuh perjalanan, tiba-tiba turun hujan begitu lebat dan petir saling menyambar.Dinda terlihat ketakutan."Mas Riko. Mending cari tempat berhenti dulu. Jangan diteruskan, takut ada kecelakaan, Mas."Riko setuju dengan pendapat Dinda."Ke rumahku saja. Tidak jauh dari sini."Dinda mengangguk, meskipun belum tahu itu dimana.Benar saja, tak lama kemudian Riko membelokkan mobilnya ke sebuah rumah yang lumayan besar dan terlihat sepi.Riko membuka pintu mobil."Ayo turun. Cepat!"Dinda turun dengan cepat. Riko meraih tangan Dinda dan membawa lari ke teras rumahnya.Riko segera membuka pintu rumahnya."Ayo masuk.""Ini rumah, Mas Riko?" Tanya Dinda setelah berada di dalam."Iya. Sepi ya? Rumah ini memang tidak ada yang menghuni. Aku hanya sesekali kesini karena lebih banyak tinggal di rumah Tuan Gara. Hanya ada asisten rumah saja
Tidak ada tetangga yang datang karena mereka sengaja, lamaran malam ini dengan sederhana saja. Tidak ada yang dibawa oleh Dodi karena memang mereka sudah berunding untuk tidak memaksakan diri dan tidak membawa apapun. Ini adalah pesan Gita, jadi Dodi datang hanya membawa ucapan niat dan cincin seberat 2 gram saja sebagai tanda pengikat antara mereka. Acara lamaran berlangsung sederhana namun penuh keseriusan dari kedua belah pihak. Pakde Gita tak banyak bicara, sebab di sini ia hanya menjadi saksi, bukan untuk dimintai pendapat. Sebelumnya, Bu Mila sudah berpesan demikian. Sebelum lamaran ini, Pakde sempat menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pernikahan Gita dengan Dodi. Alasannya, masa depan Dodi kurang cerah dan hanya akan membebani Gita, terlebih Gita kini sudah sukses. Pakde khawatir banyak orang berbiat buruk, lalu menjadikan alasan ingin menikahi Gita. Bu Mila menegaskan untuk tidak perlu ikut campur urusan mereka . Dodi memandang Heru dengan mata terbelalak, seperti kura
Sebagai orang tua, mereka hanya perlu menyetujui, memberi restu, dan dukungan. Meski tak suka, Pakde tak bisa berbuat apa-apa selain mengiyakan.Mungkin ia sadar bahwa selama ini ia tak pernah membantu atau ikut memberi makan Gita dan Anisa sejak mereka lahir, lalu mereka ditinggal orang tua mereka, dan kini telah tumbuh dewasa.Acara lamaran selesai, disambung dengan obrolan ringan, basa-basi sebelum waktunya pulang.Tidak ada yang istimewa di acara malam ini, tetapi bagi Gita dan Dodi, acara ini sangat spesial dan membekas di hati. Karena malam ini, mereka resmi menjadi sepasang tunangan dan berencana menikah bulan depan. Awalnya, ketika ditanya oleh Pak De kapan mereka akan menikah, Dodi masih ragu untuk menjawab. Bukan karena ragu, tetapi dia ingin benar-benar siap. Namun, Gita yang langsung menjawab, "Rencana kami adalah bulan depan, Pak De. Setelah bulan ini habis, kami akan berunding lagi untuk menentukan hari yang tepat."Dodi tidak bisa berkomentar karena takut Gita tersinggu
Dodi menarik nafas resah. Tadinya, dia sudah cukup senang, khayalannya melambung tinggi, menikahi Gita dan hidup bahagia penuh cinta. Namun, setelah obrolan dengan ibunya, perasaannya berubah menjadi kacau.Jika nanti dia menikah, bagaimana mungkin dia bisa tinggal bersama Gita? Bagaimana dengan ibu dan dik-adiknya? Tapi jika dia mengajak Gita untuk tinggal bersamanya, tentu saja itu juga tidak mungkin. Dia tidak bisa membawa Gita untuk tinggal di pondok mereka dan mengurus keluarganya.Tiba-tiba, sebuah pesan singkat dari Gita masuk. "Dodi, sedang apa? Apa kamu sudah pulang kerja?""Iya, Gita. Aku sudah pulang dari tadi." Mulai hari ini dan seterusnya, Dodi memang sudah mau belajar untuk memanggil Gita dengan nama saja. Mereka sudah sepakat."Bisa gak nanti malam ke rumah? Ada hal yang ingin aku bicarakan."Karena Dodi juga ingin membicarakan suatu hal dengan Gita, dia pun setuju. "Iya, aku akan ke sana nanti malam."Gita tersenyum, selain memang ada sesuatu yang ingin dibicarakan se
Yang di sana menutup mulutnya dengan satu tangan menahan agar tidak tertawa keras karena saking senangnya.Ya ampun… Ternyata Dodi romantis juga ya?Akhirnya sepanjang malam ini mereka sama-sama begadang, melanjutkan chat mesra dan rencana untuk kedepannya nanti. Sampai terlupa, ketiduran tanpa sengaja. Ponsel masing-masing terjatuh dari tangan dan paginya ponsel mereka sama-sama ngedrop!Dodi merasa sangat kesal karena tidak bisa mengirimi pesan atau melihat pesan chat dari Gita. Akhirnya berangkat kerja tanpa membawa ponsel.Gita juga demikian, terpaksa pergi mengajar meninggalkan ponselnya di rumah untuk dicas.Di tempat kerja, mereka tidak konsen.Saling memikirkan satu sama lain. Andai saja tadi ponsel bisa dibawa, setidaknya bisa berkirim chat, menanyakan kabar. Lagi ngapain? Udah makan belum?Duh, kasmaran!Sayangnya semalam lupa , seharusnya sambil di cas saja. Kan tidak sampai ngedrop?Saat Dodi pulang dari kerja, di jalan melihat kecelakaan. Sebuah mobil sedan menabrak seora
Anisa mengusir mereka dengan bercanda, "Sudah, jalan sana, nanti keburu magrib."Gita dan Dodi akhirnya berangkat menggunakan motor Anisa. Mereka berboncengan, menarik perhatian orang-orang di jalan karena penampilan mereka yang berbeda dari biasanya. Beberapa mencibir, tapi banyak juga yang memuji kecocokan mereka.Sesampainya di acara, suara musik orgen tunggal menyambut. Mereka disambut oleh tim penyambut tamu, dan beberapa orang langsung mengenali mereka, "Mbak Gita sama Mas Dodi? Wah, cocok banget!”Gita dan Dodi hanya tersenyum malu mendengar godaan-godaan itu. Setelah mengambil makanan, mereka duduk bersama dan menikmati hidangan. Sesekali mereka melirik satu sama lain dan tersenyum, tapi tidak bisa fokus karena hati mereka sama-sama berdebar.Setelah makan, Dodi mengajak Gita untuk memberikan amplop kepada pasangan pengantin. "Cepat menyusul kami ya!" ucap mempelai wanita, membuat Gita semakin tersipu."Kenapa semua orang berpikir kita pacaran?" tanya Gita saat mereka kembali
Penjelasan Gita diterima, dan beberapa siswa bahkan membuka platform novel online untuk memeriksa kebenarannya. Mereka akhirnya paham bahwa kehidupan Gita dan Anisa telah berubah berkat kerja keras Gita.Sejak saat itu, tak ada lagi yang menuduh atau membicarakan Anisa dan keluarganya. Kabar tentang Gita yang menjadi penulis menyebar, dan kehidupan mereka menjadi lebih damai. Tidak ada lagi tuduhan atau hinaan dari Cindy dan teman-temannya.Hari itu, Gita merasa sangat lelah setelah seharian membersihkan rumah bersama Anisa. Malam harinya, ia mengalami sakit kepala yang parah. Anisa khawatir melihat suhu tubuh kakaknya yang sangat panas."Mbak Gita sakit, ya? Badannya panas sekali!" seru Anisa.Gita mengeluh, "Kepala Mbak sakit, tubuh juga rasanya ngilu-ngilu."Anisa segera memberi tahu Bu Mila, yang panik. "Tunggu sebentar, Anisa. Biar nenek menemui Mbak Nita.""Biar Anisa saja, Nek. Nenek tungguin Mbak Gita," ujar Anisa, langsung berlari ke rumah Nita. Mendengar kabar itu, Nita dan
"Udah, jangan dilihat terus. Besok langsung dicoba aja," goda Nita, sambil tersenyum melihat Anisa yang terus memandangi motor barunya.Anisa tertawa kecil, benar-benar tidak menyangka dirinya bisa mendapatkan motor sebagus itu. Dia menoleh pada Gita, "Mbak Gita, terima kasih ya. Pasti mahal banget."Gita tersenyum dan menepuk tangan Anisa lembut, "Yang penting kamu senang, Anisa. Harga motor ini nggak ada apa-apanya dibanding kebahagiaan kamu.""Ya ampun, Mbak Gita! I love you deh!" Anisa memeluk kakaknya dengan rasa terima kasih."Makanya, jangan bandel. Kamu nggak kerja tapi dibeliin motor sama HP baru. Semangat belajar dan bantu-bantu di rumah, ya," Bu Mila mengingatkan."Siap, Nek! Anisa makin semangat," jawab Anisa riang, disambut tawa seluruh keluarga.Heru lalu berdiri, "Maaf, aku harus pulang. Toko nggak ada yang jaga lama-lama.""Aku juga pulang, nih," kata Nita sambil mengeluarkan kado kecil dari sakunya.Heru melihat kado itu dan tertawa, "Ya ampun, kado kamu kecil banget,
Karena Anisa memang adik yang pengertian, meskipun hatinya sedikit terluka oleh ucapan kakaknya, dia tidak berani menjawab. Anisa mencoba mengerti, mungkin kakaknya sedang banyak pikiran atau lelah, jadi dia memilih untuk diam saja.Kemudian, Anisa beranjak dari kamar Gita untuk mencari neneknya, tetapi tidak menemukannya. Dia lalu pergi ke dapur dan membuka tudung saji. Ternyata tidak ada makanan apapun di meja. Bahkan di magic com pun tidak ada nasi. Anisa mendengus kesal, lalu kembali ke kamar Gita."Mbak, nenek nggak masak ya? Nenek pergi kemana?" tanya Anisa lagi.Kakaknya terlihat kesal, lalu melemparkan guling ke arah Anisa."Kamu itu manja banget sih! Kamu kan bisa masak sendiri, masak mie, ceplok telor, atau apa gitu. Nggak usah terus ngandelin nenek. Nenek lagi pergi ke rumah Bude dari tadi pagi, jadi nggak sempat masak. Kamu aja yang masak nasi, sana!” ujar kakaknya.Anisa merasa sedih melihat perubahan kakaknya yang tiba-tiba menjadi pemarah. Namun, dia tidak berani memban
“Ya Allah, ternyata ini pekerjaan Mbak Gita yang jarang diketahui orang. Pantas saja Mbak bisa membeli ini itu dan mengubah ekonomi keluarga. Aku benar-benar tidak menyangka kalau Mbak bisa sehebat ini.”Gita mengangguk kemudian tersenyum kecil sambil melanjutkan untuk memberitahu Dodi tentang aplikasi-aplikasi novel miliknya.“Mungkin beberapa orang di kampung banyak yang membicarakan aku, tapi aku tidak mau peduli. Karena mereka juga tidak tahu apa yang aku lakukan sebenarnya. Yang terpenting bagiku adalah aku mencari pekerjaan secara halal dan ini merupakan anugerah serta rezeki dari Allah yang diberikan padaku. Aku telah diberi jalan untuk bisa mengubah ekonomi keluargaku.”Dodi mendongak, "Mungkin sebagian orang membicarakan keluarga Mbak karena mereka tidak tahu yang sebenarnya. Tapi benar kata Mbak, tidak usah dipedulikan. Bukankah Mbak tidak merugikan siapa-siapa? Mbak menulis dengan ide sendiri tanpa mengganggu orang lain.""Itulah yang sering dikatakan oleh Mbak Nita. Makany