Tentu saja Dinda belum mempunyai jawaban untuk ini. Semisal dia pulang, ibu dan ayah sudah terus memintanya untuk tinggal di sini saja. Tapi jika tidak pulang, dia tidak tega meninggalkan keluarganya di kampung. Dinda menggeleng, “Belum tahu. Kalau aku tidak pulang, kasihan ibu dan adik-adik almarhum di sana.”Riko tidak bertanya kembali mereka sama-sama terdiam dalam waktu yang cukup lama. Hingga suasana terlibat sangat hening.Calia menguap beberapa kali dan akhirnya tumbang di dada Riko. Setelah memastikan anak itu terlelap, Dinda ingin memindahkan Calia.Riko pada akhirnya berpamitan, “Kalau begitu aku pulang dulu ya? Kamu beristirahat yang baik, mumpung anakmu tidur.” Dinda mengangguk.Riko menunduk, mencium kening Calia yang sudah ada di gendongan Dinda. “Papa pulang dulu ya, Nak? Kalau bangun nanti, jangan menangis. Besok Papa Riko kemari lagi, kita main lagi ya? Cepatlah sembuh.” Hati Dinda bergetar saat menatap Riko yang menunduk untuk mencium putrinya. Kemudian pria itu j
Bulan telah terlewati, Dinda sudah memutuskan untuk tinggal di sini saja bersama kedua orang tuanya. Itu juga karena sudah mendapatkan restu dari Bu Marni yang juga telah setuju dengan keputusan Dinda yang ingin tinggal di rumah kedua orang tuanya di kota. “Fiah, kamu harus pintar jagain warung ya?” Dia berpesan pada adik iparnya saat ditelepon.“Iya, Mbak Dinda. Tapi Fiah sedih. Kita nggak bisa ketemu lagi ya? Padahal aku kangen sama Calia.”“Pasti kita akan bertemu. Kapan-kapan kami pasti berkunjung ke sana. Doain saja kami sehat serta panjang umur.”Fiah menangis saat obrolan mereka berakhir. Dia merasa sangat sedih karena tidak ada lagi mbak Dinda-nya di sini. Tidak ada Calia imut di tengah-tengah mereka. Dunia terasa mendadak sepi bagi mereka. Meskipun mereka merasa bersedih dan kurang rela dengan keputusan Dinda, tapi mereka tidak bisa memaksa. Dinda sudah tidak punya harapan di sini. Jika dulu dia bertahan karena masih ada sang suami yang masih bisa dinantinya, sekarang apa
“Mbak Mia, aku rencananya mau cari kerja. Bagaimana menurutmu? Aku tidak enak jika harus terus merepotkan mbak Silvia dan mas Farhan. Aku juga banyak kebutuhan, untuk masa depan Calia juga. Sementara mereka sudah bertanggung jawab atas ibu dan ayah. Masa iya aku dan Calia juga harus menjadi tanggung jawab mereka?” Ucap Dinda. Gara mendengar pembicaraan Dinda dan istrinya. “Jadi, kamu mau cari kerja, Din?” Tanya Gara.“Iya, Mas. Rencananya, besok aku mau coba melamar kerja. Lagian, Calia sudah mau sama ibu. Mbak Silvia juga mau kok bantuin jaganya.”“Mau melamar dimana?” Tanya Mia."Belum tahu. Kalau tidak, biar aku jadi pelayan di sini saja. Gaji mereka lumayan juga, nggak kalah sama karyawan kantor," canda Dinda. "Apaan sih, Din? Masa iya adikku sendiri mau jadi pelayan di rumahku? Aku jadi kakak durhaka kalau begitu," jawab Mia, bercanda juga. Gara menghampiri mereka sambil menggendong Azura yang baru selesai menyusu. "Coba melamar ke perusahaan Mas Gara, mumpung saat ini ada
Dinda duduk di depan komputernya setelah berkenalan dengan beberapa rekan kerja. Ia mengirim pesan kepada ibunya, memberitahu bahwa dia diterima dan hari ini sudah mulai bekerja. Dia mulai bekerja dengan bimbingan seorang leader. Dinda diberi arahan dan petunjuk mengenai tugas-tugasnya. Pada dasarnya, Dinda memang cerdas, sehingga dalam waktu singkat ia sudah paham semuanya. Leader-nya tersenyum bangga dan membiarkan Dinda untuk bekerja.Di sisi lain, Riko sesekali melirik jam tangan. Ada rasa tidak sabar di hatinya, menunggu waktu istirahat siang. Jelas, Riko ingin segera mengajak Dinda untuk makan di luar. Namun sebelumnya, tentu saja dia sudah meminta izin terlebih dahulu pada Gara."Tuan, apa Anda ingin makan di luar?" Gara menoleh, dia seperti sudah paham dengan jalan pikiran sekretarisnya. Biasanya, Riko tidak akan pernah bertanya seperti itu; dia akan menunggu sampai Gara yang mengajak dia makan di luar, di kantor, atau pulang. Namun, hari ini?Gara tersenyum. "Aku ingin pula
Riko nampak menarik nafas berat, sementara Dinda, dadanya berdebar menunggu Riko berbicara."Dinda. Jujur saja, selama ini aku menyimpan rasa bersalah padamu dan Putrimu. Aku penyebab kamu harus berpisah dari suamimu. Penyebab Calia tidak merasakan kasih sayang ayahnya. Maafkan aku. Dulu, aku yang sudah membongkar kesalahan Almarhum suamimu bahkan memenjarakannya. Maafkan aku Dinda, aku tidak tahu kalau suamimu sakit seperti itu. Aku sungguh merasa bersalah hingga detik ini. Aku hanya bekerja dan menjalankan kewajibanku."Mendengar ucapan Riko, Dinda menunduk. Dia kembali teringat tentang suaminya. Matanya berkaca-kaca."Kamu tidak salah, Mas Riko. Jadi tidak perlu meminta maaf. Andai saja waktu itu kamu membebaskan Mas Alex, pada akhirnya kami juga akan terpisah. Yang aku sesalkan hanyalah, aku tidak pernah tahu jika dia menderita penyakit itu sejak dulu. Dan yang lebih sedih lagi, dia melakukan semua itu hanya demi aku." Air mata Dinda terjatuh kembali.Riko terdiam sesaat, kemudian
Riko sampai tidak tahan dan ingin cepat-cepat pulang untuk berjumpa dengan mamanya Calia.Argh… Riko berteriak dalam hati.Mobil Riko mulai melaju, namun belum separuh perjalanan, tiba-tiba turun hujan begitu lebat dan petir saling menyambar.Dinda terlihat ketakutan."Mas Riko. Mending cari tempat berhenti dulu. Jangan diteruskan, takut ada kecelakaan, Mas."Riko setuju dengan pendapat Dinda."Ke rumahku saja. Tidak jauh dari sini."Dinda mengangguk, meskipun belum tahu itu dimana.Benar saja, tak lama kemudian Riko membelokkan mobilnya ke sebuah rumah yang lumayan besar dan terlihat sepi.Riko membuka pintu mobil."Ayo turun. Cepat!"Dinda turun dengan cepat. Riko meraih tangan Dinda dan membawa lari ke teras rumahnya.Riko segera membuka pintu rumahnya."Ayo masuk.""Ini rumah, Mas Riko?" Tanya Dinda setelah berada di dalam."Iya. Sepi ya? Rumah ini memang tidak ada yang menghuni. Aku hanya sesekali kesini karena lebih banyak tinggal di rumah Tuan Gara. Hanya ada asisten rumah saja
"Papa.. Papa.." Calia tertawa-tawa senang saat Riko menyambutnya dengan kedua tangannya dan menggendongnya."Putri papa Riko pinter banget, sih? Papa kangen." Riko menciumi kening Calia. Calia juga membalasnya, mencium dan menabrak-nabrakkan keningnya ke kening Riko."Papa.. Papa.." sambil terus melonjak-lonjak di gendongan Riko. Terlihat sekali Calia begitu senang bertemu dengan Riko.Mereka kini duduk di ruang tamu. Ibu menyisih untuk membuat kopi. Sementara Silvia ikut nimbrung disana."Riko, gimana kabarnya? Udah selesai pekerjaan di luar kotanya?" Tanya Silvia."Baik, Mbak. Kerjaan sudah selesai. Tapi dua hari lagi harus balik kesana karena akan ada proyek lagi. Aku pulang dulu karena kangen sama ini nih, si kecil ini." Riko menunduk, kembali mencium kepala Calia."Wah.. Calia beruntung banget sih, dikangenin papa Riko." Ledek Silvia."Ayah dan Mas Farhan kemana, Mbak?" Tanya Riko."Ayah pergi ke tetangga. Nggak tau ada acara apa gitu. Kalau Mas Farhan belum pulang. Tadi aku pula
Tidak lama kemudian Dinda turun, kemudian meminta Calia dari pangkuan Riko."Ikut mama dulu sebentar. Mama juga kangen Lho.. Seharian nggak ketemu. Papa biar minum kopi dulu."Calia menoleh dulu pada Riko, seperti berat lepas dari pangkuan papanya. Tapi kemudian mengerti dan mau berpindah pangkuan.Hingga beberapa saat lamanya mereka mengobrol santai, Riko mengintip Wajah Calia. Saat memastikan Calia tertidur, Riko baru berpamitan.Malam semakin larut, baik Dinda dan Riko malam ini sama-sama gelisah dan tidak bisa tidur dengan baik.Sesekali Riko melirik Hpnya. Ingin sekali menelpon Dinda, tapi takut Calia terbangun. Kemudian Riko mengetik pesan.Dinda yang disana juga terlihat gelisah. Dia masih teringat ciuman Riko sore tadi. Ada rasa bahagia yang menyelinap di hatinya.Apa memang seharusnya aku menerima Mas Riko saja? Mas Riko terlihat sangat tulus pada Calia. Calia juga sangat menyukainya.Dinda lagi-lagi mendesah berat. Ada rasa takut membayangkan menjadi istri Riko, tetapi tidak