Rasa sakit karena ditinggalkan, amarah karena ketidakadilan, atau kesedihan yang hadir kala kesepian, Helenina Baron telah merasakan semua emosi itu bahkan merasa familiar dengannya. Dia juga tahu apa itu kebahagiaan dan rasa kasih sayang, kedua emosi itu telah diberikan dan diajarkan padanya oleh pengasuhnya semenjak kecil. Dia pikir, dia paham semua emosi yang ada di dunia ini.Namun ternyata Helenina salah.Setiap kali dia berbaring di ranjang ini, dengan seorang pria di atasnya yang wajahnya saja tidak bisa Helenina lihat dengan jelas, Helenina bertanya-tanya; apa nama emosi yang satu ini?Tubuh Helenina panas. Setiap jengkal kulitnya tergelitik sensitif seolah arus listrik mengalir dengan lembut di setiap saraf-saraf kecilnya. Dan semua ini diakibatkan oleh sentuhan yang pria itu berikan padanya.Helenina tidak bisa melawan, tidak juga menolak. Dia menerima semuanya dengan pasrah, bahkan terkadang menginginkan lebih walau terlalu malu untuk mengungkapkan.“Beri tahu aku jika rasa
Sebuah upacara pernikahan seharusnya dilaksanakan hari ini, tepatnya seharusnya tujuh menit yang lalu. Ruang pesta telah dihias menjadi sedemikian megah dan elegan, bernuansa putih yang disentuh oleh warna hijau dari tumbuh-tumbuhan dan bunga-bunga yang jumlahnya sangat banyak sehingga setiap kali Helenina Baron menarik napas, indera penciumannya akan dipenuhi dengan aroma yang manis dan menggoda dari bunga-bunga itu. Para tamu yang jumlahnya lebih dari seribu orang telah hadir mengisi setiap kursi yang ada, menunggu sang mempelai wanita muncul dari pintu mahoni itu, berjalan menyusuri altar bersama sang wali, sebelum diserahkan ke hadapan suaminya yang berdiri di atas tiga undakan tangga di hadapan pastor. Namun, kini sebelas menit telah berlalu. Dengan gelisah, Helenina melirik ke arah arlojinya. Saat itulah tiba-tiba saja dia merasakan sebuah cengkeraman kencang di pergelangan tangannya. “Nona Helene, Anda dipanggil oleh Tuan Baron.” Tanpa menunggu respon Helenina, pelayan wani
Untuk sejenak, Helenina merasa seolah semua kecamuk pikiran dan emosi di dalam dirinya ditarik keluar, lenyap membawa kekosongan. Histeria itu dia rasakan singkat dalam sepersekian detik setelah namanya disebut. Dan tidak sampai di sana, saking terhenyaknya, Helenina dengan tatapan kosong mengulang nama itu di lidahnya sendiri. “Helenina ... Rutherford?” bisiknya, dengan nada yang terdengar seperti sebuah pertanyaan alih-alih pernyataan, seolah itu bukan namanya sendiri. Bagaimana pria ini bisa tahu ...? Kemudian Helenina menggeleng, melepaskan cengkeraman tangan pria itu di dagunya. Veil yang Helenina kenakan belum dilepas, jadi pastinya pria ini belum mengenali siapa dirinya bukan? “Kenapa? Apakah itu bukan namamu?” Terdengar nada sarkas di suara pria itu. Helenina menarik napas dalam-dalam, memberanikan diri mendongakkan pandangannya dan menatap kembali wajah suaminya—yang sebenarnya tidak terlalu tampak jelas dalam pandangannya. Helenina berkata dengan segenap keberanianny
TAMING THE DEVILISH HUSBAND chapter 03 – Agreement (1) Helenina bisa merasakan wajahnya memanas. Bagaimana bisa seseorang mengatakan hal seperti itu dengan ekspresi yang begitu serius dan suara sedingin es? Dan bagaimana pria ini bisa tahu bahwa Helenina memiliki rambut sewarna merah, padahal ini adalah pertemuan pertama mereka? Tidak hanya itu, Arthur juga berkata bahwa dia langsung bisa mengenali Helenina saat menuju altar padahal wajah Helenina telah ditutup veil putih dan sepanjang acara dia tidak sekali pun mengangkat wajah atau pandangannya. Helenina bertanya-tanya bagaimana pria ini bisa tahu? “Haruskah aku mengulangi ucapanku?” desis pria itu dengan tajam. Helenina seharusnya merasa takut, tapi pertanyaan di benaknya berhasil mengalihkan perasaan tersebut. Helenina justru menatap Arthur dengan bingung. Dekatnya jarak di antara mereka membuat Helenina bisa mencium aroma parfum itu lagi, sehingga tanpa sadar Helenina menahan napasnya. Kemudian dengan kehati-hatian, Helenina
TAMING THE DEVILISH HUSBAND chapter 04 – Agreement (2) “Helenina.” Pandangan Helenina saat itu tertuju pada bibir Arthur, melihat bagaimana bibir itu bergerak menyebut namanya. Helenina merasa malu yang entah karena apa sehingga dia dengan cepat mengalihkan pandangnya ke arah lain “Ya,” jawab Helenina kemudian. “Ikuti aku!” kata Arthur, yang melangkah pergi menuju sofa panjang. Duduk di sana dengan tangan yang bersandar pada punggung sofa. Helenina mengikutinya dan duduk di hadapannya. Dari tempatnya, dia bisa melihat bagaimana tubuh Arthur yang baginya sangat besar, mengambil banyak tempat di sofa panjang itu, dan kakinya yang panjang juga mustahil bisa diluruskan. Kemudian Arthur mulai berbicara, dan Helenina langsung mengalihkan pandangannya. “Seperti yang kau tahu, Helenina, bahwa rencana pernikahan ini telah dirusak sepenuhnya oleh ulah adikmu yang tidak bertanggung jawab itu. Sehingga kedua belah pihak harus menanggung semuanya, dan salah satunya adalah dirimu yang terpak
Arthur melangkah cepat menuju ruang kerjanya. Ekspresi yang dia miliki di wajah menunjukkan dengan jelas bagaimana amarahnya sebentar lagi akan meledak. Dasi kupu-kupu yang dia kenakan sudah tidak lagi di tempatnya, dan rambutnya yang semula tertata rapi kini telah acak-acakkan menunjukkan seberapa kali dia menyugarnya ke belakang dengan jari.Seorang pria berambut pirang menyusulnya dari belakang. Berkata dengan napas yang memburu karena mengejar tuannya dari lantai bawah. “Tuan, belum ada kabar terbaru lagi tentang Nona Rosaline.”Sang tuan sama sekali tidak menghiraukannya.Tapi pria itu berkata lagi, “Dan saya sudah memerintahkan pelayan untuk membersihkan kamar tamu dan sekarang Nona Helenina Baron sudah diantar ke sana.”Mendengar nama itu, langkah Arthur sontak terhenti. Dia kemudian berbalik menatap asistennya tersebut.“Kenapa kamar tamu?” tanyanya.“Haruskah saya menyiapkan kamar—”“Tidak. Tidak perlu!” potong Arthur dengan cepat. Dia menunduk dan memejamkan matanya seolah u
Selama hampir seharian ini, Helenina lebih banyak menghabiskan waktunya dengan bersantai. Bahkan berpikir bahwa dia sangat dimanjakan oleh pelayan pribadinya. Tidak sedikit pun kekurangan kudapan, dan tehnya dipastikan selalu dalam keadaan hangat. Helenina bertanya-tanya apakah tidak ada pekerjaan apa pun untuknya sebagai seorang Nyonya? Dia melihat ibunya di rumah tampak sangat sibuk setiap saat, sesekali juga melakukan pekerjaan bisnis ke luar kota atau negara untuk membantu ayahnya. Apakah nanti Helenina juga akan melakukan hal-hal semacam itu? Bukannya Helenina tidak mau, tapi dia ragu tubuhnya akan bisa mengemban tugas bepergian jauh. Bahkan saat dia tidak melakukan apa pun, tubuhnya sering jatuh sakit. Selama tinggal di rumah keluarganya, tidak sekali pun Helenina diberikan tugas-tugas atau pekerjaan oleh ayahnya. Sementara jadwal Rosaline padat, seperti menghadiri pesta-pesta bergengsi atau melakukan perwakilan ke luar negeri. Orang-orang mungkin akan berpikir bahwa Helenin
Mata Helenina berkedip menatap wanita itu, yang tampaknya juga sama terkejutnya seperti Helenina. Mereka berdiri di sana tanpa mengatakan apa pun. Kemudian seolah tersadar, ekspresi terkejut di wajah wanita itu lenyap, dia menegakkan bahunya dan melangkah melewati Helenina— pergi dengan langkah tergesa. Helenina tanpa sadar memandang wanita itu sampai dia menghilang di belokan lorong yang akan membawanya ke tangga. Sebelum Helenina sempat mencerna kejadian tersebut, sebuah suara kembali mengejutkannya. “Helenina.” Helenina langsung berjengit dan kembali menoleh ke depan. Saat ini, tubuh yang lebar dan kokoh memenuhi ambang pintu dan menutupinya dalam bayangan gelap. Helenina mendongak, menatap sepasang mata kelam yang menatapnya dingin. “Apa yang kau lakukan di sini?” kata Arthur. Barulah saat itu Helenina teringat akan tujuan awalnya untuk datang. Dia mengalihkan pikirannya dari wanita tadi dan mengabaikan rasa segannya, kemudian menjawab, “Aku ingin bicara sebentar. Bolehkah?”