Untuk sejenak, Helenina merasa seolah semua kecamuk pikiran dan emosi di dalam dirinya ditarik keluar, lenyap membawa kekosongan. Histeria itu dia rasakan singkat dalam sepersekian detik setelah namanya disebut.
Dan tidak sampai di sana, saking terhenyaknya, Helenina dengan tatapan kosong mengulang nama itu di lidahnya sendiri. “Helenina ... Rutherford?” bisiknya, dengan nada yang terdengar seperti sebuah pertanyaan alih-alih pernyataan, seolah itu bukan namanya sendiri.
Bagaimana pria ini bisa tahu ...?
Kemudian Helenina menggeleng, melepaskan cengkeraman tangan pria itu di dagunya. Veil yang Helenina kenakan belum dilepas, jadi pastinya pria ini belum mengenali siapa dirinya bukan?
“Kenapa? Apakah itu bukan namamu?”
Terdengar nada sarkas di suara pria itu.
Helenina menarik napas dalam-dalam, memberanikan diri mendongakkan pandangannya dan menatap kembali wajah suaminya—yang sebenarnya tidak terlalu tampak jelas dalam pandangannya.
Helenina berkata dengan segenap keberaniannya, “K-kau ... kenapa kau menyebut nama wanita lain di kamar pengantinmu sendiri, T-Tuan Rutherford?”
Ah, Helenina ingin mengutuk dirinya sendiri karena berbicara dengan terbata-bata, tapi berharap bahwa ucapannya terdengar cukup meyakinkan.
Satu-satunya yang membuat Helenina berkata demikian adalah keyakinan bahwa saat ini keluarganya pasti sudah menemukan Rosaline. Dan dalam beberapa jam, kalau Helenina berhasil mempertahankan sandiwara ini, dia akan segera ditukar dengan Rosaline, dan semuanya pasti akan baik-baik saja—kembali seperti semula seolah tidak ada hal buruk yang pernah terjadi.
Namun sepertinya, Helenina terlalu optimis dalam hal tersebut.
Sebelah ujung bibir Arthur Rutherford terangkat sedikit, membentuk sebuah senyum sinis yang sama sekali tidak menyampaikan humor di matanya.
“Wah! Aku tidak pernah menyangka bahwa Keluarga Baron akan mengkhianatiku sampai sejauh ini. Kalian berpikir terlalu rendah padaku, bukan? Ataukah kau ... Helenina, yang menghinaku terlalu bodoh sekarang sehingga kau bisa berpikir bahwa akan mudah untuk menipuku?”
“A-ah, tidak. Siapa ... siapa yang—”
“Cukup!”
Helenina berjengit. Bersamaan dengan itu veilnya disingkap, ditarik ke belakang sehingga kepalanya tersentak dengan napas yang ikut tercekat. Helenina dipaksa untuk mendongak dengan kasar, menatap api kemarahan di mata kelam milik pria itu yang seolah menyala.
Keputusasaan mulai merayap membungkus Helenina. Dia tidak tahan dengan semua tekanan yang pria ini berikan padanya, sehingga tanpa bisa dikontrol air matanya jatuh berlinang begitu saja.
Tapi bahkan dengan itu, ekspresi keras di wajah Arthur Rutherford tidak berubah. Air mata wanita ini tidak cukup membuatnya bersimpati atau meredakan sedikit amarahnya.
Memang apa yang Helenina harapkan? Semua pria juga pasti akan bereaksi sama. Siapa yang mau istri cantiknya yang bak bidadari ditukar dengan wanita jelek sepertinya?
Kalau saja pernikahan ini berjalan lancar, dan yang ada di posisinya sekarang adalah Rosaline, pastinya Arthur Rutherford akan dilingkupi kebahagiaan dan senyuman alih-alih kemarahan yang membara seperti sekarang.
Helenina sudah sering menghadapi amarah seseorang yang ditujukan padanya. Selama hidupnya, ayahnya tidak sekali pun menganggap Helenina pantas menerima kasih sayang. Pada hari-hari tertentu, Helenina akan dipanggil dan dimarahi habis-habisan tanpa alasan yang jelas. Tidak segan-segan ayahnya juga akan memukulnya, lalu mengatakan hal-hal yang membuat Helenina sakit hati.
Jadi sekarang, ketika dia menghadapi amarah dari seseorang selain ayahnya, tentu ini bukanlah apa-apa bukan? Helenina memejamkan mata lebih erat dan mengatakan pada dirinya sendiri bahwa dia tidak harus takut. Dia sudah pernah menghadapi yang terburuk dari luapan kemarahan seseorang, jadi kali ini bukanlah apa-apa. Dia juga bisa menghadapi yang satu ini.
Helenina siap merasakan sengatan rasa sakit dari pukulan yang mungkin akan dilayangkan kepadanya, seperti yang sering kali ayahnya lakukan. Dan bayangan tersebut terus berputar dalam benaknya. Helenina tidak ingin apa pun selain untuk lenyap saat ini juga.
“Ma-maafkan aku, T-tuan. Ku-kumohon ... maaf.” Dengan mata terpejam erat, Helenina tidak henti-hentinya menggumamkan kata maaf dengan suara terbata, karena hanya itulah yang bisa dia katakan.
“Buka matamu!”
Helenina tidak sadar bahwa napasnya telah memburu dan air matanya mengalir terlalu deras sehingga sesekali suara sesenggukan terdengar. Bayangan yang terbentuk di benaknya langsung buyar.
Tidak ada rasa sakit. Tidak ada suara pukulan atau bentakan menggelegar yang membuat telinganya berdengung.
Tidak ada.
Saat Helenina perlahan membuka mata, pandangannya belum beradaptasi dengan minimnya cahaya sehingga yang dia lihat hanya siluet seorang pria bertubuh besar dan kokoh berdiri di hadapannya. Di tangan pria itu, terdapat kain putih yang tampaknya adalah veil yang sebelumnya Helenina kenakan.
Sekarang, sudah tidak ada alasan bagi Helenina untuk menyembunyikan semuanya.
“Jelaskan dirimu!”
Nada memerintah itu terlalu kuat sehingga tanpa pikir panjang Helenina langsung menurut.
“Ro-Rosaline pergi. Dia menghilang dari kamarnya pagi ini.” Helenina masih sesenggukan sehingga ucapannya terjeda. Dia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya pelan untuk menenangkan diri, kemudian dia melanjutkan, “A-ayah ... ayah memintaku untuk menggantikan Rosaline di altar. Aku tidak tahu apa-apa, su-sungguh! Aku hanya menurut apa yang ... apa yang Ayah perintahkan.”
“....”
Keheningan yang menyertai penjelasan payah itu semakin membuat Helenina cemas.
Sekarang dia telah membuka mata lebar-lebar, tapi tetap tidak bisa melihat ekspresi apa yang kiranya terpasang di wajah pria di hadapannya ini. Jadi Helenina menunduk. Kalau dia tidak bisa melihat dengan jelas, lebih baik orang juga tidak perlu melihatnya.
“Maafkan aku, Tuan Rutherford. Aku benar-benar tidak bermaksud menipumu,” ucap Helenina lagi, kali ini dengan suara yang lebih pelan dan hati-hati.
Setelah itu, dia mendengar suara langkah. Arthur Rutherford berjalan menjauh dan berhenti di dekat jendela.
Kemudian dia berkata, “Kuakui, bahwa kejadian ini benar-benar di luar dugaan dan cukup memancing amarahku.”
Helenina mengangkat pandangannya sedikit, mengintip sosok pria itu dari balik bulu matanya yang basah. Tubuh Arthur dibasuh cahaya bulan yang masuk melalui jendela, tangannya yang tadi mencengkeram Helenina dengan kasar bergerak menyugar rambutnya yang Helenina yakin berwarna hitam legam bahkan ketika berada di bawah cahaya.
“Tapi semuanya sudah terlanjur terjadi. Tidak ada yang bisa dilakukan dengan itu,” Arthur melanjutkan.
Helenina mengernyit tidak mengerti.
Arthur Rutherford menoleh sedikit ke belakang, saat itulah Helenina bisa melihat sedikit wajahnya. Hanya hidung mancung dan bentuk rahang yang tajam. Kemudian pria itu berkata lagi dengan nada tenang, “Kau tetap adalah istriku.”
“A-apa ...!” Helenina menatapnya dengan ekspresi terkejut.
Sebuah kekehan tanpa humor terdengar. “Yah, sejak awal ... aku tidak peduli siapa di antara kedua putri Thomas Baron yang harus kunikahi, selama dia berasal dari Keluarga Baron, selama dia sanggup memberikanku keturunan. Aku tidak masalah.”
Helenina tahu bahwa pernikahan antara Arthur Rutherford dan Rosaline Baron adalah sebuah pernikahan yang dilandasi perjodohan, tapi dengan pria itu berkata seperti ini, Helenina dibuat terkejut dan ... sedih.
“Ah, tapi ... tapi janji pernikahannya—” Helenina terbata, mencoba mengingat kembali prosesi pernikahan tadi.
“Kenapa dengan janji pernikahannya?”
“Nama. Itu tidak sah!” Helenina langsung terdiam dan menunduk takut saat menyadari bahwa nada suaranya meninggi.
Arthur berbalik, suara langkah kakinya yang mendekat menggema di telinga Helenina. Pria itu kembali berdiri tepat di hadapan Helenina. Auranya yang kuat dan gelap oleh kemarahannya yang tersisa, membuat Helenina menciut dan berharap bahwa dia bisa bersembunyi saat itu juga.
“Ah, jadi kau tidak memperhatikan sama sekali. Kau tidak mendengar nama siapa yang kusebut?”
Helenina tidak menjawab. Dia yakin bahwa tentu saja nama adiknya yang tersebut, namun ucapan pria itu membuat Helenina meragu. Dia pun menggeleng. “Si-siapa?” tanyanya balik.
Jemari yang panjang menyentuh dagu Helenina lagi, kali ini tidak sekasar sentuhan sebelumnya. “Helenina Baron. Aku tahu itu dirimu sejak pertama kali kakimu menyentuh altar. Kau pikir dengan berdandan seperti adikmu membuatmu berpikir bahwa kau bisa mengelabuiku?”
“...!”
Napas Helenina tercekat. Tidak hanya fakta bahwa sejak awal Arthur Rutherford mengenalinya, namun kalimat terakhir pria ini juga cukup menusuk Helenina. Ah, ya, tentu saja. Mau bagaimana pun dia berdandan untuk menyerupai Rosaline, tentu tidak akan bisa. Si itik buruk rupa mustahil bisa menjelma menjadi angsa yang cantik, bulu-bulunya yang kotor tidak mungkin bisa disembunyikan.
“Dan ya, aku menyebut namamu, bukan nama adikmu.”
“...!”
“Tidak seperti kau maupun keluargamu, aku cukup memandang tinggi sebuah sumpah yang kuucapkan di hadapan Tuhan, jadi tidak ada alasan bagiku untuk menutupinya.”
“A-ah ... aku—”
Arthur tiba-tiba saja menunduk, mensesejajarkan wajahnya dengan Helenina, membuat napas Helenina tercekat di tenggorokan.
“Berapa kali harus kukatakan bahwa kau harus menatap mata suamimu saat kau berbicara dengannya.”
“Su-suami?” Helenina merasakan otaknya kembali kosong saat mencoba untuk mencerna semua ucapan yang dia dengar.
Sebuah senyum terbit di bibir Arthur. “Ya, suamimu,” sahutnya.
Helenina mengerjap, tidak tahu harus mengatakan apa.
Sentuhan yang Helenina rasakan pada dagunya kini beralih menyusuri rahang dan tepat berhenti di bawah telinganya. Helenina melihat bagaimana tangan itu kemudian bermain di untaian rambutnya—lebih tepatnya adalah rambut hitam bergelombang palsu yang dia kenakan.
Mendadak, aura kemarahan yang sebelumnya sempat mereda, kembali terasa pekat.
Hal selanjutnya yang Helenina rasakan adalah tarikan lembut di rambutnya, tapi gerakan itu mengejutkan Helenina sehingga dia refleks mengaduh.
Tatapan Arthur Rutherford mendingin. “Sekarang setelah semuanya cukup jelas, bisakah kau melepas rambut palsu sialan ini supaya aku bisa melihat rambut merahmu yang indah itu? Hm, Istriku?”
***
TAMING THE DEVILISH HUSBAND chapter 03 – Agreement (1) Helenina bisa merasakan wajahnya memanas. Bagaimana bisa seseorang mengatakan hal seperti itu dengan ekspresi yang begitu serius dan suara sedingin es? Dan bagaimana pria ini bisa tahu bahwa Helenina memiliki rambut sewarna merah, padahal ini adalah pertemuan pertama mereka? Tidak hanya itu, Arthur juga berkata bahwa dia langsung bisa mengenali Helenina saat menuju altar padahal wajah Helenina telah ditutup veil putih dan sepanjang acara dia tidak sekali pun mengangkat wajah atau pandangannya. Helenina bertanya-tanya bagaimana pria ini bisa tahu? “Haruskah aku mengulangi ucapanku?” desis pria itu dengan tajam. Helenina seharusnya merasa takut, tapi pertanyaan di benaknya berhasil mengalihkan perasaan tersebut. Helenina justru menatap Arthur dengan bingung. Dekatnya jarak di antara mereka membuat Helenina bisa mencium aroma parfum itu lagi, sehingga tanpa sadar Helenina menahan napasnya. Kemudian dengan kehati-hatian, Helenina
TAMING THE DEVILISH HUSBAND chapter 04 – Agreement (2) “Helenina.” Pandangan Helenina saat itu tertuju pada bibir Arthur, melihat bagaimana bibir itu bergerak menyebut namanya. Helenina merasa malu yang entah karena apa sehingga dia dengan cepat mengalihkan pandangnya ke arah lain “Ya,” jawab Helenina kemudian. “Ikuti aku!” kata Arthur, yang melangkah pergi menuju sofa panjang. Duduk di sana dengan tangan yang bersandar pada punggung sofa. Helenina mengikutinya dan duduk di hadapannya. Dari tempatnya, dia bisa melihat bagaimana tubuh Arthur yang baginya sangat besar, mengambil banyak tempat di sofa panjang itu, dan kakinya yang panjang juga mustahil bisa diluruskan. Kemudian Arthur mulai berbicara, dan Helenina langsung mengalihkan pandangannya. “Seperti yang kau tahu, Helenina, bahwa rencana pernikahan ini telah dirusak sepenuhnya oleh ulah adikmu yang tidak bertanggung jawab itu. Sehingga kedua belah pihak harus menanggung semuanya, dan salah satunya adalah dirimu yang terpak
Arthur melangkah cepat menuju ruang kerjanya. Ekspresi yang dia miliki di wajah menunjukkan dengan jelas bagaimana amarahnya sebentar lagi akan meledak. Dasi kupu-kupu yang dia kenakan sudah tidak lagi di tempatnya, dan rambutnya yang semula tertata rapi kini telah acak-acakkan menunjukkan seberapa kali dia menyugarnya ke belakang dengan jari.Seorang pria berambut pirang menyusulnya dari belakang. Berkata dengan napas yang memburu karena mengejar tuannya dari lantai bawah. “Tuan, belum ada kabar terbaru lagi tentang Nona Rosaline.”Sang tuan sama sekali tidak menghiraukannya.Tapi pria itu berkata lagi, “Dan saya sudah memerintahkan pelayan untuk membersihkan kamar tamu dan sekarang Nona Helenina Baron sudah diantar ke sana.”Mendengar nama itu, langkah Arthur sontak terhenti. Dia kemudian berbalik menatap asistennya tersebut.“Kenapa kamar tamu?” tanyanya.“Haruskah saya menyiapkan kamar—”“Tidak. Tidak perlu!” potong Arthur dengan cepat. Dia menunduk dan memejamkan matanya seolah u
Selama hampir seharian ini, Helenina lebih banyak menghabiskan waktunya dengan bersantai. Bahkan berpikir bahwa dia sangat dimanjakan oleh pelayan pribadinya. Tidak sedikit pun kekurangan kudapan, dan tehnya dipastikan selalu dalam keadaan hangat. Helenina bertanya-tanya apakah tidak ada pekerjaan apa pun untuknya sebagai seorang Nyonya? Dia melihat ibunya di rumah tampak sangat sibuk setiap saat, sesekali juga melakukan pekerjaan bisnis ke luar kota atau negara untuk membantu ayahnya. Apakah nanti Helenina juga akan melakukan hal-hal semacam itu? Bukannya Helenina tidak mau, tapi dia ragu tubuhnya akan bisa mengemban tugas bepergian jauh. Bahkan saat dia tidak melakukan apa pun, tubuhnya sering jatuh sakit. Selama tinggal di rumah keluarganya, tidak sekali pun Helenina diberikan tugas-tugas atau pekerjaan oleh ayahnya. Sementara jadwal Rosaline padat, seperti menghadiri pesta-pesta bergengsi atau melakukan perwakilan ke luar negeri. Orang-orang mungkin akan berpikir bahwa Helenin
Mata Helenina berkedip menatap wanita itu, yang tampaknya juga sama terkejutnya seperti Helenina. Mereka berdiri di sana tanpa mengatakan apa pun. Kemudian seolah tersadar, ekspresi terkejut di wajah wanita itu lenyap, dia menegakkan bahunya dan melangkah melewati Helenina— pergi dengan langkah tergesa. Helenina tanpa sadar memandang wanita itu sampai dia menghilang di belokan lorong yang akan membawanya ke tangga. Sebelum Helenina sempat mencerna kejadian tersebut, sebuah suara kembali mengejutkannya. “Helenina.” Helenina langsung berjengit dan kembali menoleh ke depan. Saat ini, tubuh yang lebar dan kokoh memenuhi ambang pintu dan menutupinya dalam bayangan gelap. Helenina mendongak, menatap sepasang mata kelam yang menatapnya dingin. “Apa yang kau lakukan di sini?” kata Arthur. Barulah saat itu Helenina teringat akan tujuan awalnya untuk datang. Dia mengalihkan pikirannya dari wanita tadi dan mengabaikan rasa segannya, kemudian menjawab, “Aku ingin bicara sebentar. Bolehkah?”
Tidur adalah hal terakhir yang bisa Helenina lakukan malam ini. Kantuk terasa begitu jauh dari matanya. Dan pikirannya terus tertuju pada kejadian beberapa saat lalu. “Lantas kalau kita masih sepasang suami istri, kenapa kau tidak tidur sekamar denganku?!” Argh! Rasanya Helenina ingin mengubur dirinya sendiri saat ini juga karena saking malunya dia pada kata-katanya tersebut. Bagaimana bisa dia mengatakan kalimat semacam itu? Arthur pasti akan berpikir bahwa dia adalah wanita yang aneh dan tidak bermartabat. Dan setelah ini, pria itu pasti akan tahu bahwa selama ini Helenina tidak pernah menerima pendidikan yang benar, bahwa dirinya hanyalah gadis bodoh yang terlalu tidak tahu malu. Berbaring dengan mata terbuka nyalang menatap langit-langit, Helenina meremas tangannya saat kecemasannya bertambah. “Ta-tapi ... Ibu dan Ayah tidur di kamar yang sama, setiap malam,” gumamnya tidak pada siapa pun selain mencoba untuk membela diri sendiri—yang tampaknya tidak berhasil. Helenina mengin
Pintu kamar tersebut terbuka. Suara langkah kaki berderap masuk—langkah kaki berat yang mulai Helenina kenal, seolah pria itu memang berniat untuk mengumumkan kehadirannya pada penghuni kamar yang lain, yaitu Helenina sendiri. Dengan jantung berdebar Helenina menunggu saat-saat yang tepat untuk membuka matanya dan menghadapi suaminya yang sinis itu. Arthur terdengar sedang mandi, lalu keluar untuk berpakaian di ruang ganti, dan naik ke atas ranjang seperti biasa—berbaring di samping Helenina. Keheningan kemudian terjadi, keheningan yang sepi dan kosong. Yang bahkan setelah semua itu, Helenina tidak bisa menemukan ‘saat-saat yang tepat’ baginya untuk berbalik dan menghadap suaminya, apalagi untuk memulai pembicaraan dengan pria itu tentang topik yang telah mengganggu benaknya sejak tadi. Helenina kehilangan keberaniannya. *** Terbangun dengan perasaan damai yang aneh, yang sebelumnya belum pernah Helenina rasakan. Dia membuka mata dan merasakan beban yang cukup berat menimpa pingg
Helenina mengurungkan niatnya untuk berjalan-jalan dan sebagai gantinya dia pergi ke dapur dengan niat untuk membantu. Dia bertemu dengan Kepala Pelayan Emma dan Sarah di sana—salah satu gadis pelayannya. “Nyonya, Anda sudah bangun? Haruskah saya menyiapkan air mandinya sekarang?” Helenina segera menggeleng. Semburat merah samar muncul di pipinya. Entah sampai kapan, Helenina tidak pernah bisa terbiasa dengan semua pelayanan di rumah ini yang begitu memanjakannya, bahkan mandi saja harus disiapkan. Dan kalau Helenina tidak bersikeras, gadis-gadis pelayan itu mungkin juga akan membantunya mandi untuk menggosok punggungnya. Kenapa mereka memperlakukan Helenina sampai sedemikian rupa? Bahkan Arthur saja tidak diberi pelayanan sampai seperti itu. “Aku akan mandi nanti setelah sarapan,” kata Helenina, yang diberi anggukan singkat oleh Sarah. Helenina pergi mendekati sang juru masak yang menyambutnya hangat. Aroma roti dan selai memenuhi indera penciuman Nina. “Nyonya, Anda tidak harus