Helenina membuka tutup mulutnya, hendak membantah tapi tidak berani. Jadi pada akhirnya, dia mengambil benda yang pria itu minta. Wajah Helenina merona seperti tomat merah yang matang, dan dia memejamkan matanya erat-erat saat mengambil benda itu dan memberikannya pada Arthur. Dalam perjalanannya, kaki Helenina tersandung ujung sofa sehingga dia menggigit bibirnya kuat-kuat untuk menahan sebuah ringisan. “I-ini!” kata Helenina, mengulurkan tangannya jauh-jauh. Arthur mengambilnya dan langsung memakainya di hadapan Helenina yang masih memejamkan mata, dia melakukannya tanpa rasa malu sedikit pun. Dan tatapannya tidak lepas dari wajah wanita itu, memperhatikan istrinya tersebut dengan sebuah senyum tipis yang muncul di bibirnya. Setelah mengenakan celana dan tengah mengancingkan kemejanya, Arthur menghela napas berat. “Kau benar-benar tidak tertolong, Helenina,” ucap pria itu. Helenina membuka matanya perlahan, mengintip dari balik bulu matanya yang lebat ke sosok pria di hadapanny
“K-Kau ... bohong!” cerca Helenina setelah terdiam selama beberapa saat. Dia menatap Arthur dengan tatapan menuduh. “Aku ... apa?” Pria itu tampak bingung dan seolah kehilangan kata-kata, yang membuat Helenina semakin yakin bahwa dugaannya benar. Helenina menggerak-gerakkan tangannya ke udara, hendak menjelaskan; mencari-cari kata yang tepat untuk diucapkan tapi tidak dia temukan juga. “Ciuman.” Helenina menelan salivanya susah payah setelah kata itu berhasil dia ucapkan. Wajahnya memerah karena dia tahu bahwa momen ini terasa begitu intim—dia bahkan duduk di pangkuan seorang pria saat mengatakannya. “....” “Kau berbohong tentang ciuman itu. Bu-bukan begitu caranya!” cerca Helenina saat Arthur justru hanya terdiam. Ekspresi di wajah Arthur kembali datar, tetap terkendali seolah dia sudah tidak lagi terpengaruh oleh tuduhan yang Helenina berikan. “Benarkah begitu?” sahutnya. Bibirnya lalu menyunggingkan senyum tipis yang terlalu singkat untuk ditangkap mata. “Ya, benar.” Heleni
Arthur menarik tubuh Helenina mendekat, mengubah posisi wanita itu sehingga mengangkangi pahanya, lalu menarik pinggul Helenina merapat diikuti suara geramannya yang tertahan jauh di tenggorokan. Helenina berontak lagi karena desakan tersebut dan membuka mata lebar-lebar pada sesuatu yang terasa mengganjal di pahanya. “Kau merasakannya?” kata Arthur dengan kekehan serak. Dia membuka mata dan menatap Helenina dengan mata hitam kelamnya yang tampak semakin gelap nyaris tidak bercahaya. “...?” Helenina menatapnya bertanya. Apa yang pria ini maksud? “Hm, itu tanda untuk berhenti,” kata Arthur, mengangguk kepada dirinya sendiri. “Untuk sekarang, pelajaran kita sampai di sini saja.” Pelajaran? Helenina berkedip, kemudian detik selanjutnya dia tersadar dan wajahnya jadi semakin memerah. Tentu saja, ini hanya sekadar pelajaran, seperti yang Arthur tadi katakan. Dan justru itulah yang terburuk. “Kau telah menjadi murid yang baik, Nina,” kata Arthur lagi, memberinya pujian dengan ekspr
Ruangan tempat Arthur berada saat ini memiliki pencahayaan yang sangat baik, jendelanya menghadap ke arah barat sehingga dia bisa melihat matahari terbenam di ujung sana—begitu pun juga dengan gedung-gedung tinggi di sekitarnya. Pandangan Arthur pada banyak hal selalu terkesan monoton. Dia melihat tempat-tempat indah di dunia, wanita-wanita cantik, berbagai jenis permata yang berkilauan, lukisan-lukisan yang kata orang lain sangat penuh makna dari seniman-seniman terkenal, tapi tidak pernah merasakan apa pun saat melihat atau memiliki semua itu. Kecuali matahari terbenam. Fenomena yang satu ini selalu berhasil menyita perhatiannya lebih dari yang dia inginkan, selalu membuatnya merasakan sesuatu yang tidak pernah bisa dia definisikan. Sehingga Arthur pun berdiri di hadapan jendelanya yang luas sampai yang tersisa di langit hanya seberkas cahaya oranye redup yang perlahan-lahan menghilang sepenuhnya. Setelah kematian Alastair Rutherford, jabatan Presiden Direktur diturunkan pada Arth
Baru kemarin Helenina dipenuhi kebahagiaan karena berpikir bahwa kondisi tubuhnya telah membaik. Sudah beberapa hari ini dia tidak jatuh sakit dan rasa pusing disertai dentuhan halus di kepalanya mulai berkurang, tidak sekeras sebelumnya. Namun, pagi ini Helenina terbangun dengan perasaan terburuk setelah berhari-hari. Tubuhnya terasa lelah tanpa sebab, dentuman di kepalanya semakin keras dan membuatnya pening. Temperatur tubuhnya juga terasa sedikit meningkat. Helenina tidak terkejut dengan kondisi yang tiba-tiba ini, tapi dia hanya merasa kecewa. Dan dia yang biasanya bangun lebih awal sebelum para gadis pelayannya datang, hanya mampu berbaring tidak berdaya di ranjang sampai suara Aria memanggilnya di pintu kamar. Helenina pun mempersilakan mereka masuk dan membiarkan Aria, serta Sarah dan Molly membantunya bersiap-siap. Ketiga gadis pelayannya itu sepertinya menyadari kondisi Helenina, sehingga beberapa kali mereka bertanya apakah Helenina baik-baik saja. Namun, tentu saja, He
Setelah situasi yang terasa amat membingungkan itu, Arthur tidak lagi mengatakan apa pun pada Helenina. Pria itu langsung pergi ke kamar mandi dan membersihkan dirinya. Sementara itu, Helenina memilih menunggu di balkon kamar. Sekalipun salju masih turun dan udaranya terasa dingin menusuk, tapi bagi Helenina di sini lebih baik daripada harus menunggu suaminya tersebut di kamar dan lebih tersiksa dalam penantian yang membuat jantungnya berdebar tidak nyaman. Helenina tidak menyangka kalau Arthur akan pulang lebih awal. Pria itu seharusnya pulang besok seperti janjinya. Beruntung saja tubuh Helenina telah terasa lebih baik setelah dia meminum teh jahe dan madu dari Duncan, juga istirahat yang sangat banyak hari ini di kamarnya yang nyaman dan hangat. Tapi sekarang, udara dingin yang terasa menusuk tubuh rasanya begitu menyakitkan, Helenina yakin kalau dia berdiam di sini lebih lama maka besoknya dia akan jatuh sakit lagi. Sehingga Helenina pun memutuskan untuk masuk ke dalam. Namun
Helenina memang mengatakan persetujuannya, tapi dia tidak tahu sama sekali apa yang tengah menunggunya di depan. Pengetahuannya sangat minim mengenai hal ini. Dan Helenina merasa gugup, tapi lebih daripada itu ... dia juga merasa takut. Arthur menggendongnya menuju kamar, dan mendudukkannya di atas meja. Dia tidak terburu-buru membawa Helenina ke ranjang, sehingga Helenina memiliki waktu lebih untuk meyakinkan dirinya akan hal ini. Padahal beberapa hari lalu Helenina telah membulatkan tekadnya, karena semakin lama mereka menunda maka semakin buruk Helenina akan merasa. Jadi, seharusnya tidak ada alasan baginya untuk menolak lagi. Ada satu hal, yang juga ingin Helenina buktikan; apakah Arthur menunda menyentuhnya karena pria itu belum menginginkan tubuhnya ataukah ada alasan lain yang tidak bisa Helenina duga? “Kau yakin?” bisik Arthur. Deru napas pria itu menerpa wajah Helenina dan suaranya yang terdengar lebih rendah mengalihkan perhatian Helenina dari pikirannya sendiri. Dia tid
Helenina tidak tahu apa yang telah terjadi. Setelah sensasi dahsyat itu berakhir, dia menunduk dan menatap Arthur dengan mata sayunya yang dipenuhi oleh gairah. “Kau mendapatkan pelepasan pertamamu. Selamat, Nina!” kata Arthur, menyengir lebar di antara paha Helenina. Mata pria itu berbinar, seolah dia benar-benar merasa bangga. “Pelepasan ... pertama?” Helenina membeo dengan napas memburu tajam. Arthur mengangguk, lalu menggunakan ibu jarinya lagi untuk mengusap milik Helenina yang masih berdenyut hebat. Kelembutan wanita itu membuat Arthur terkejut, tapi dia tahu bahwa Helenina belum cukup siap baginya, belum cukup basah, dan belum cukup gila dia buat. “Benar. Kau menyukainya?” kata Arthur, sembari membayangkan hal-hal yang mungkin bisa dia lakukan untuk membuat Helenina semakin menyukai hal ini tanpa Arthur harus bertanya lagi. “...!” Sementara itu, Helenina lebih memilih mengubur dirinya sendiri saat ini juga daripada harus menahan malu yang begitu besar dengan menjawab perta
TAMING THE DEVILISH HUSBAND chapter 81 – Familiar AromaYang semalam terasa seperti mimpi.Mimpi yang bahkan saat terbangun pun tidak berani Helenina andai-andaikan. Setiap detik dari momennya, mungkin akan selalu melekat dalam benak Helenina. Dia tidak akan pernah melupakan apa yang terjadi. Dia tidak akan lupa bagaimana dansa mereka yang kacau dan dipenuhi kecerobohan, ditambah hujan dan petir di luar, yang kemudian diakhiri oleh pengakuan cinta. Dan saat semua itu digabung, Helenina merasa bahwa itu sempurna.Hari ini, Helenina bangun lebih pagi. Namun dia tidak menemukan Arthur di sampingnya. Tidak peduli sepagi apa pun Helenina bangun, Arthur selalu saja bangun lebih dulu. Menepis rasa kecewanya, Helenina segera bersiap dan turun ke lantai bawah untuk sarapan.Seperti dugaannya, Arthur ada di ruang makan, tengah menyesap kopi sembari menatap ke arah layar tabletnya. Dia mendongak ketika Helenina masuk.“Kau seharusnya menunggu di kamar. Aku baru saja hendak mengantar makananmu ke
TAMING THE DEVILISH HUSBAND chapter 80 – His LoveDulu, cinta terdengar seperti sebuah kutukan di telinga Arthur.Cintalah yang membawanya ke jalanan. Karena cinta, ibunya menjadi pelacur. Karena cinta, Arthur dipukuli sampai hampir mati oleh ayahnya sendiri. Karena cinta, Arthur dijual kepada pria-pria bangsat yang menyukai anak lelaki. Karena cinta, Arthur menjadi sebatang kara.Namun setelah semua itu, dia tetap mengatakannya juga, kepada satu wanita ini—yang terselip melewati kewaspadaannya dan meruntuhkan dinding-dinding kokoh yang dia bangun di dalam dirinya.“Aku mencintaimu, Helenina.”Binar yang langsung tampak di mata sejernih langit milik wanita itu langsung membuat rasa penyesalan menyergap Arthur seperti rantai.Pantaskah dia mengatakannya?“Oh, Arthur.”Air mata Helenina menetes, tapi Arthur tahu itu bukanlah tangisan sedih. Arthur tersenyum tipis, ekspresinya menjadi tertutup. Dan sebelum Helenina menyadarinya, Arthur segera menariknya ke pelukan. Helenina menangis ters
TAMING THE DEVILISH HUSBAND chapter 79 – The PaintingsHelenina tercenung, tubuhnya membeku dalam dekapan yang hangat. Ciuman Arthur yang tiba-tiba terasa panas dan kemudian melelehkannya. Helenina memejamkan mata, mengalungkan tangannya ke leher Arthur, merintih pelan sebelum membalas ciuman tersebut. Arthur mendekapnya semakin erat, telapak tangannya yang lebar terbuka di punggung Helenina, menariknya mendekat, sementara tangannya yang lain ada di leher Helenina—membelainya dan sekaligus memberikan tekanan yang membuat Helenina gemetar.Ciuman Arthur terasa memabukkan, seperti wine yang Helenina minum pada pesta-pesta besar. Sekujur tubuhnya dialiri sengatan gairah yang menyenangkan, rasanya menggelitik dan penuh damba.Arthur menciumnya, Helenina mencium Arthur.Hujan di luar semakin lebat, petir menyambar setelah kilat yang menyilaukan mata. Saat Arthur menjauh, napas Helenina tercekat dan berubah memburu dengan cepat. Dia membuka matanya yang terpejam dengan perlahan, menatap sep
TAMING THE DEVILISH HUSBAND chapter 78 – Something Change“Kau sudah menemukan siapa orangnya?”Francis menggeleng. “Emma tengah menginterogasi semua pelayan dan pekerja di rumah, menggeledah kamar-kamar mereka, tapi sejauh ini hanya tiga orang yang dicurigai.”“Siapa?” tanya Arthur.“Para gadis pelayan Nyonya,” Francis menjawab tanpa ragu.Arthur mengernyitkan dahi, mengingat setiap momen Helenina dan para gadis pelayannya bersama. Mereka memiliki banyak kesempatan, mereka orang-orang terdekat yang berinteraksi dengan Helenina setiap hari dan tahu segala hal yang Helenina lakukan. Sangat mungkin kalau salah satu dari para gadis itu adalah mata-mata yang Asher kirim ke rumahnya.“Aku yang akan melakukan interogasi kepada mereka,” kata Arthur kemudian.“Tidakkah lebih baik kalau Tuan bertanya langsung kepada Nyonya? Dia mungkin tahu sesuatu.”Arthur menolak usulan tersebut sesaat setelah Francis melontarkannya. “Ini pekerjaan mudah, Francis, kau tidak harus melibatkan istriku ke dalamn
TAMING THE DEVILISH HUSBAND chapter 77 – Beyond BeliefDi mobil yang melaju kencang di jalan raya, Francis memberi tahu Arthur bahwa dia sudah mendapatkan kabar dari Emma mengenai kondisi Helenina di rumah.Helenina ditemukan tidak sadarkan diri di lantai kamar mandinya. Francis sengaja tidak memberi tahu secara detail bahwa sang nyonya juga mengalami pendarahan, dia tidak ingin membuat Arthur kehilangan kendalinya lebih buruk dari ini.Mereka tengah menuju rumah sakit tempat Helenina dibawa. Letaknya cukup jauh, mengikis setiap kesabaran yang Arthur punya. Mobil yang dikendarainya melesat semakin kencang dan bergerak lincah di jalan raya yang cukup ramai oleh kendaraan lain. Francis bahkan sampai harus berpegangan di kursinya untuk menahan guncangan.Sesampainya di rumah sakit, Arthur tidak membuang banyak waktu, dia langsung pergi ke ruangan tempat Helenina berada dengan langkah tergesa. Francis tidak sempat menyusul karena dia harus memarkir mobil yang Arthur tinggalkan begitu saja
TAMING THE DEVILISH HUSBAND chapter 76 – Poison“Jadi, selama ini dia ada di sana.”“Ya, saya menduga sepupu Anda ikut andil dalam hal ini.”Arthur terkekeh, duduk di sofa berwarna merah mencolok di dalam sebuah ruangan dengan pencahayaan yang temaram. “Tentu saja Asher terlibat. Dan rumah tempat John Delmon saat ini berada adalah rumah warisan milik Madeline Pansley.”Sebuah cerutu yang Arthur apit di kedua jari tangan kanannya dia tekan ke asbak sehingga ujungnya yang menyala pun mati dan menjadi abu, meninggalkan noda menghitam di permukaan asbak yang putih. Arthur bukanlah seorang pecandu rokok, namun terkadang dia merasa membutuhkan nikotin itu dalam dirinya. Dia lalu bersandar di sofa seraya menghela napas panjang. Tatapannya yang dingin sesaat tampak kosong.“Sudah saatnya aku menemui sepupuku kalau begitu. Dia selalu menjadi duri, tapi kali ini lebih tajam.”Francis Bronwen, yang berdiri di hadapannya dengan gestur tegak pun tidak mengatakan apa pun.Arthur bangkit, seraya ber
TAMING THE DEVILISH HUSBAND chapter 75 – Pumpkin or TeaSaat siang menjelang sore tiba, Arthur kembali ke rumah, menemukan istrinya masih tertidur nyenyak di atas ranjang setelah kegiatan panas yang mereka lakukan beberapa jam lalu. Helenina pastinya sangat kelelahan, dan Arthur memiliki dorongan yang begitu kuat untuk bergabung dengannya di sana dan merasakan tubuhnya yang lembut di dalam pelukan. Tapi Arthur tahu lebih baik bahwa dia tidak hanya akan berhenti di sana, dan dia juga memiliki urusan mendadak yang harus dia selesaikan sesegera mungkin.Namun Arthur sengaja pulang lebih dulu, hanya untuk sekadar melihat wajah istrinya.Dia duduk di pinggir ranjang, mengusap rambut Helenina yang tersebar di atas bantal dan seprai berwarna putih, bagai jilatan api yang tampak begitu cantik. Tangan Arthur kemudian teralih pada wajah yang terlihat pulas dan damai itu.Dahi Arthur mengernyit saat kembali memikirkan ucapan Helenina di mobil tadi. Bibirnya lalu menyunggingkan senyum.“Kamu meng
TAMING THE DEVILISH HUSBAND chapter 74 – CrimsonSesaat setelah mobil berhenti di depan teras mansion Rutherford yang sudah tua tapi masih tampak megah dan kokoh itu, Arthur keluar dari mobil dan menarik Helenina bersamanya. Dia mengabaikan Emma dan juga beberapa pelayan yang tidak sengaja berpapasan dan menunduk pada mereka.“A-Arthur, pelan-pelan!” lirih Helenina dengan wajah memerah padam. Tapi Arthur seolah tidak mendengarkan. Saat sampai di dekat tangga, tubuh Helenina tiba-tiba saja diangkat dan sudah berada di dalam gendongan pria itu.Helenina memekik, menoleh dengan panik ke arah seorang pelayan—Aria—yang baru saja berpapasan dengannya. Namun gadis pelayan Helenina itu tengah menunduk dan begitu pun juga dengan yang lain.Tapi bukan berarti mereka tidak tahu!“Arthur! Aku bisa jalan sendiri,” pinta Helenina lagi dengan suara panik sekaligus menahan malu.Arthur menaiki dua gundakan anak tangga sekaligus. Tidak memberikan respon apa pun pada rontaan yang Helenina berikan. Dan
TAMING THE DEVILISH HUSBAND chapter 73 – What If“Arthur, terima kasih sudah membicarakan hal ini dengan Henry,” kata Helenina. Dia dan Arthur sekarang tengah berada di dalam mobil yang melaju menuju rumah. Helenina duduk di samping Arthur. Lengan pria itu melingkari pinggangnya sementara tatapan Arthur tertuju ke arah ponsel.“Hm,” jawab Arthur singkat.Helenina mendongak menatap wajah serius suaminya itu. Apa pun yang sedang Arthur lihat di ponselnya, pasti tidak jauh-jauh dari hal-hal yang menyangkut pekerjaannya. Alis Arthur tampak sedikit mengerut, tulang pipinya lebih menonjol karena rahangnya yang tegang. Helenina menduga bahwa Arthur pasti habis bercukur, kulit wajahnya tampak mulus. Dan hal tersebut membuat Helenina ingin menyapukan tangannya ke sana dan mengecupnya.Tapi tentu saja Helenina tidak melakukannya karena perasaan malu lebih dulu membuatnya mengalihkan pandang. Dia menatap ke luar, melihat berbagai objek seperti bangunan tinggi, toko-toko, kendaraan lain, lampu ja