Setelah situasi yang terasa amat membingungkan itu, Arthur tidak lagi mengatakan apa pun pada Helenina. Pria itu langsung pergi ke kamar mandi dan membersihkan dirinya. Sementara itu, Helenina memilih menunggu di balkon kamar. Sekalipun salju masih turun dan udaranya terasa dingin menusuk, tapi bagi Helenina di sini lebih baik daripada harus menunggu suaminya tersebut di kamar dan lebih tersiksa dalam penantian yang membuat jantungnya berdebar tidak nyaman. Helenina tidak menyangka kalau Arthur akan pulang lebih awal. Pria itu seharusnya pulang besok seperti janjinya. Beruntung saja tubuh Helenina telah terasa lebih baik setelah dia meminum teh jahe dan madu dari Duncan, juga istirahat yang sangat banyak hari ini di kamarnya yang nyaman dan hangat. Tapi sekarang, udara dingin yang terasa menusuk tubuh rasanya begitu menyakitkan, Helenina yakin kalau dia berdiam di sini lebih lama maka besoknya dia akan jatuh sakit lagi. Sehingga Helenina pun memutuskan untuk masuk ke dalam. Namun
Helenina memang mengatakan persetujuannya, tapi dia tidak tahu sama sekali apa yang tengah menunggunya di depan. Pengetahuannya sangat minim mengenai hal ini. Dan Helenina merasa gugup, tapi lebih daripada itu ... dia juga merasa takut. Arthur menggendongnya menuju kamar, dan mendudukkannya di atas meja. Dia tidak terburu-buru membawa Helenina ke ranjang, sehingga Helenina memiliki waktu lebih untuk meyakinkan dirinya akan hal ini. Padahal beberapa hari lalu Helenina telah membulatkan tekadnya, karena semakin lama mereka menunda maka semakin buruk Helenina akan merasa. Jadi, seharusnya tidak ada alasan baginya untuk menolak lagi. Ada satu hal, yang juga ingin Helenina buktikan; apakah Arthur menunda menyentuhnya karena pria itu belum menginginkan tubuhnya ataukah ada alasan lain yang tidak bisa Helenina duga? “Kau yakin?” bisik Arthur. Deru napas pria itu menerpa wajah Helenina dan suaranya yang terdengar lebih rendah mengalihkan perhatian Helenina dari pikirannya sendiri. Dia tid
Helenina tidak tahu apa yang telah terjadi. Setelah sensasi dahsyat itu berakhir, dia menunduk dan menatap Arthur dengan mata sayunya yang dipenuhi oleh gairah. “Kau mendapatkan pelepasan pertamamu. Selamat, Nina!” kata Arthur, menyengir lebar di antara paha Helenina. Mata pria itu berbinar, seolah dia benar-benar merasa bangga. “Pelepasan ... pertama?” Helenina membeo dengan napas memburu tajam. Arthur mengangguk, lalu menggunakan ibu jarinya lagi untuk mengusap milik Helenina yang masih berdenyut hebat. Kelembutan wanita itu membuat Arthur terkejut, tapi dia tahu bahwa Helenina belum cukup siap baginya, belum cukup basah, dan belum cukup gila dia buat. “Benar. Kau menyukainya?” kata Arthur, sembari membayangkan hal-hal yang mungkin bisa dia lakukan untuk membuat Helenina semakin menyukai hal ini tanpa Arthur harus bertanya lagi. “...!” Sementara itu, Helenina lebih memilih mengubur dirinya sendiri saat ini juga daripada harus menahan malu yang begitu besar dengan menjawab perta
Arthur melepaskan kulumannya dari payudara Helenina untuk bangkit bertumpu pada kedua tangannya, menunduk ke bawah untuk melihat kejantanannya yang mendorong masuk ke kewanitaan istrinya. Wanita itu merintih. “Sa-sakit!” katanya. Arthur dengan susah payah menarik napas dan mengembuskannya kasar. Kenikmatan menyebar dengan cepat ke tubuhnya, mengirim getaran sampai ke tulang punggungnya. Dia terancam akan mendapatkan pelepasannya saat itu juga. Namun sebuah penghalang di dalam milik wanita itu—yang dia tahu apa—menghentikan pergerakannya. “Ssshhh! Tenanglah, Nina. Buka matamu dan tatap aku!” perintah Arthur dengan nada lembut dan penuh rayu. Helenina pun membuka matanya. Manik biru safir itu basah oleh genangan air mata. “Ini sakit, Arthur! Ku-kumohon ...!” lirih Helenina. Arthur memejamkan matanya sesaat, untuk menenangkan dirinya sendiri. “Sial! Ini begitu sempit,” gumamnya sangat pelan. “A-Arthur! Kumohon ... hentikan! Ini—” “Tidak!” sela Arthur, memberikan Helenina gelengan
Seluruh tubuh Helenina terasa sakit. Astaga, dia tidak pernah merasa seburuk ini bangun di pagi hari. Bukan hanya rasa pening di kepala, tapi setiap inci tubuhnya terasa tidak nyaman. Kesadaran tentang semua penyebab rasa sakit ini belum berhasil Helenina cerna. Pelupuk matanya masih digantungi oleh rasa kantuk, sehingga dia berniat untuk melanjutkan tidurnya yang pastinya akan jauh dari rasa nyenyak. Ketika Helenina bergerak sedikit untuk mengganti posisi berbaring sehingga merasa lebih nyaman, serangan rasa sakit menyengat terasa di bagian antara pahanya, tepatnya di selangkangannya. Helenina langsung mengernyit dan memejamkan mata semakin erat. “Apa seburuk itu?” Sebuah suara yang berat dan maskulin terdengar menggumam pelan di sampingnya, cukup dekat sampai menembus kabut kantuk di mata Helenina. Helenina berusaha untuk membuka kelopak matanya, dan sejenak dia merasa panik akan seberapa berat hal tersebut untuk dilakukan. Ketika cahaya akhirnya menembus masuk ke retina, dia m
Setelah malam penuh gairah bersama Arthur dan pagi memalukan yang terjadi setelahnya bagi Helenina, semuanya tampak tidak lagi sama.Para gadis pelayannya menatapnya khawatir seolah mereka yakin bahwa sang nyonya tengah terserang demam. Tapi Helenina baik-baik saja. Kulitnya hanya terlalu pucat, terlebih dalam cuaca dingin ini, sehingga pembuluh darahnya tampak lebih gelap di kulitnya.Namun, tentu saja itu tidak sepenuhnya benar. Helenina hanya tidak bisa menyingkirkan Arthur dari benaknya, tidak bisa menghentikan bayangan saat pria itu menyentuhnya. Helenina bahkan tidak bisa menatap terlalu lama ke arah cermin atau berbaring dengan nyaman di atas ranjangnya tanpa mengingat hal-hal yang Arthur lakukan padanya. Pipi Helenina bersemu merah, dan tampaknya rona tersebut mengancam akan jadi permanen, tidak peduli apakah suhunya terlalu dingin atau terlalu panas.Helenina mungkin tumbang selama dua hari karena malam itu, tapi setelahnya ... Helenina merasa begitu hidup, seolah dia terlahi
Malamnya, Arthur benar-benar tidak pulang. Helenina tidak bisa tidur sehingga dia pun memutuskan untuk menunggu suaminya itu. Namun bahkan sampai tengah malam tiba, saat jam antik di dinding kamarnya sudah menunjuk ke angka satu dini hari, pintu kamar itu tidak kunjung terbuka dan orang yang Helenina tunggu tidak kunjung datang.Keesokan harinya Helenina bangun dan menemukan sisi ranjang di sampingnya kosong, masih rapi, dan terasa dingin. Yang artinya, Arthur tidak pulang semalam. Helenina merasa pusing di kepala, sementara udara pagi ini lebih mencekam dari kemarin. Salju turun dengan lebat di luar. Mungkin itu alasan kenapa Arthur tidak pulang, karena pastinya berbahaya untuk berkendara dalam keadaan bersalju seperti ini. Itulah yang Helenina pikirkan. Setidaknya dugaan tersebut membuatnya merasa lebih baik, alih-alih beranggapan bahwa semalam Arthur memilih untuk menginap di rumah salah satu simpanannya.Bisa saja, bukan? Mengingat seberapa banyak simpanan yang ayah Helenina milik
“Arthur!” Helenina berseru tertahan memanggil nama suaminya itu. Sarapan sudah selesai, tamu mereka sedang menunggu di perpustakaan dihidangi kudapan manis dan teh hangat yang menggiurkan. Helenina merasa bahwa dia membutuhkan teh hangat pagi ini sekalipun dia baru saja selesai meminum susu panas yang dibuatkan oleh Duncan. Namun, di sinilah Helenina sekarang, ditarik dengan kasar oleh suaminya sendiri menuju entah ke mana. Arthur berjalan dengan langkah lebar, sementara Helenina berlari di belakangnya.“A-Arthur!” panggil Helenina lagi, kali ini terkesan lebih gugup saat dia menyadari ke mana Arthur akan membawanya; ke kamar mereka. Pintu dibuka, Helenina ditarik masuk kemudian tubuhnya didorong ke tembok sementara Arthur tiba-tiba saja menghimpitnya dan di sana ... tanpa peringatan pria itu mencium bibirnya.Helenina terkesiap dan tubuhnya sontak membeku. Keterkejutannya itu diredam oleh bibir yang tegas dan lembut, melumat dengan cara yang membuat darah Helenina berdesir kencang s