“Arthur!” Helenina berseru tertahan memanggil nama suaminya itu. Sarapan sudah selesai, tamu mereka sedang menunggu di perpustakaan dihidangi kudapan manis dan teh hangat yang menggiurkan. Helenina merasa bahwa dia membutuhkan teh hangat pagi ini sekalipun dia baru saja selesai meminum susu panas yang dibuatkan oleh Duncan. Namun, di sinilah Helenina sekarang, ditarik dengan kasar oleh suaminya sendiri menuju entah ke mana. Arthur berjalan dengan langkah lebar, sementara Helenina berlari di belakangnya.“A-Arthur!” panggil Helenina lagi, kali ini terkesan lebih gugup saat dia menyadari ke mana Arthur akan membawanya; ke kamar mereka. Pintu dibuka, Helenina ditarik masuk kemudian tubuhnya didorong ke tembok sementara Arthur tiba-tiba saja menghimpitnya dan di sana ... tanpa peringatan pria itu mencium bibirnya.Helenina terkesiap dan tubuhnya sontak membeku. Keterkejutannya itu diredam oleh bibir yang tegas dan lembut, melumat dengan cara yang membuat darah Helenina berdesir kencang s
Helenina menatap pantulan dirinya di dalam cermin. Raut kekecewaan tampak jelas di wajahnya, dan tatapannya menunjukkan kesedihan. Dia tadinya hendak bersiap-siap untuk pergi ke Dokter seperti yang Arthur perintahkan padanya, namun sebuah rasa yang tidak nyaman kemudian terjadi; Helenina mendapatkan periode bulanannya. Darah yang keluar terlalu banyak membuat Helenina sulit untuk membantah.Dia benar-benar tidak sedang hamil.“Mungkin sekarang memang bukan waktunya,” kata Helenina, mencoba untuk menghibur diri karena ternyata dugaan Asher itu tidak benar, Helenina tidak sedang mengandung.Dia dapat menerimanya dengan mudah, walau diwarnai perasaan kecewa dan sedih. Dan hal tersebut lebih dapat dinamai sebagai kepasrahan.Namun sekarang masalahnya adalah, bagaimana Helenina akan memberi tahu Arthur? Suaminya itu tadi juga tampak sangat yakin dan berharap mengenai informasi kehamilan ini.Helenina jadi takut untuk memberitahunya.Arthur tidak mungkin bisa menerima berita ini dengan baik
Saat pandangan mereka bertemu, keterkejutan tampak di mata pria itu, tapi hanya sebentar karena setelahnya tatapan datarnya yang khas kembali. Dia melirik ke arah jam di dinding dan berkata, “Masih ada waktu dua puluh menit lagi dari waktu yang kujanjikan. Apa ada alasan lain kenapa kau menemuiku secepat ini?” Sebelum Helenina bisa menjawab, tatapan Arthur berlabuh ke nampan di tangan Helenina.“Aku datang untuk membawakanmu teh,” kata Helenina kemudian. Dia sengaja menghindari tatapan Arthur karena itu hanya akan membuatnya semakin gugup.Suara buku yang ditutup terdengar keras di ruangan yang mendadak jadi sunyi itu. Helenina berjengit sedikit. Saat ini, dia baru sadar bahwa dia tengah mengganggu waktu kerja suaminya, dan dia takut membuat pria itu marah.“Kau tidak harus melakukannya, letakkan saja teh itu di meja dan pergilah bersiap-siap!” Arthur melangkah ke arah meja kerjanya, meletakkan buku tebal yang tadi dia baca, kemudian menatap ke arah laptopnya seolah Helenina sudah ti
“Arthur, ada apa kau memanggilku?” Arthur memandang ke arah pintu sampai sosok Helenina tidak lagi dalam pandangannya. Setelah itu, barulah fokusnya tertuju pada wanita yang berdiri di hadapannya. “Celia, ada pekerjaan baru untukmu,” sahut Arthur singkat.Wanita cantik di hadapannya itu berdecak tidak senang. “Hanya itu?”“....” Karena Arthur tidak menjawab, ekspresi di wajah Celia jadi semakin memberengut. “Kupikir kau sudah bosan dengan istrimu,” ucapnya.Arthur menyodorkan sebuah map berwarna cokelat, berisi berkas penting mengenai pekerjaan yang hendak dia berikan pada Celia. Wanita ini adalah seorang mata-mata yang dia pekerjakan untuk beberapa orang kliennya. Namun kali ini, Arthur ingin Celia menyelidiki tentang rencana sepupunya—Asher. Pria itu tidak pernah datang menemuinya semenjak 5 tahun Arthur menyandang gelar yang sebelumnya dimiliki oleh kakek mereka. Arthur tahu bahwa Asher dan ibunya datang bukan untuk berbasa-basi, jadi dia ingin tahu apa yang mereka rencanakan.“
Arthur duduk di sofa, di tempat Helenina sebelumnya. Dia memberikan wanita itu gestur untuk mendekat. “Kemarilah!”Dari sudut matanya, Arthur melihat Helenina tampak ragu-ragu, sebelum mendekat dan duduk di sampingnya—memberikan jarak sejauh satu meter. Arthur menahan sebuah senyum geli yang hampir terbentuk di bibirnya. Dia menuang teh ke dalam cangkir lalu berkata, “Apa yang kau lakukan sejauh itu, Nina? Mendekatlah!”Helenina beringsut mendekat, tapi tidak cukup dekat bagi Arthur sehingga dia pun menarik wanita itu ke arahnya dan meletakkan tangannya ke pinggang yang ramping dan lembut itu.Suara kesiap Helenina terdengar, tapi Arthur tidak menghiraukannya.“Mau teh lagi?” tawar Arthur.Helenina menggeleng. “Ngh, A-Arthur? Aku mau ....”“Mau apa?”“I-ini sudah malam. Aku mau ... mau tidur!” seru Helenina.Arthur menyesap teh yang sudah hampir dingin itu dalam sekali tegukan. Dia mengusap pinggang Helenina dan merasakannya menegang, sebuah pemikiran yang sangat nakal langsung terlin
Helenina kembali ke kamarnya malam itu, dan dia tidak mengharapkan kehadiran suaminya lagi di sana. Dia berbaring sendiri di tengah ranjang, mata terbuka menatap ke arah setitik cahaya yang tembus melalui gordennya yang sedikit tersingkap. Telinganya hanya mendengar suara detik jam di dinding yang bergema, dan hangat dari selimut yang dia rasakan di kulit. Suasana yang begitu sunyi, gelap, dan seorang diri merupakan tempat favorit bagi Helenina. Itu membantunya untuk berpikir lebih baik.Dan saat ini, benaknya dipenuhi oleh ucapan Arthur sebelumnya. Apakah benar bahwa pria itu tidak bersama dengan wanita mana pun setelah mereka menikah? Helenina seharusnya merasa senang, bukan? Tapi yang dia rasakan justru perasaan sedih, karena betapa mustahilnya ucapan Arthur itu untuk menjadi kenyataan bagi Helenina. Dan sekalipun memang benar bahwa Arthur tidak pernah bersama wanita lain selama pernikahan mereka, hal tersebut tidak menghapus fakta bahwa Arthur benar-benar memiliki wanita simpanan.
Helenina membuka mata, terbangun karena suara gedoran yang membabi-buta pada pintu kamarnya. Gedoran itu jadi semakin kencang dan berisik sementara pelupuk mata Helenina jadi semakin berat dan kepalanya berdenyut dengan semakin menyakitkan. Dia bisa mendengar suara seseorang memanggil namanya berulang kali, tapi Helenina terlalu lemas untuk peduli.Kemudian tiba-tiba saja, suara berisik itu berhenti, diikuti suara-suara lainnya seperti meja yang didorong dan suara decitan di lantai. Helenina menutup mata dan mengernyit, membenci keributan itu. Dia lalu mendengar suara seseorang mengumpat. “Hal persetan apa yang telah terjadi di sini?!”Apakah itu Arthur? Benar-benar Arthur? Bahkan kalau bukan Arthur, Helenina tidak akan punya tenaga untuk melawan apa yang akan Asher lakukan padanya.“Nina!” Sentuhan yang terasa sangat hangat mendarat di dahi Helenina. Dia membuka mata, melihat wajah suaminya berputar di hadapannya bersama dinding dan seisi kamar. Kepala Helenina sakit sekali.“A-Ar
Arthur menggedor pintu kamar Asher, tapi tidak ada jawaban yang menyahutnya. Tanpa merasa perlu berbasa-basi lagi, dia pun membuka pintu tersebut hanya untuk menemukannya kosong tanpa penghuni. Kemudian tiba-tiba saja sebuah suara memanggilnya dari belakang.“Arthur, apa yang sedang kau lakukan?”Arthur berbalik, tatapan tajamnya langsung terhunus pada sosok Madeline Stanley yang berdiri di ambang pintu dengan sikapnya yang menunjukkan kearoganan.“Di mana putramu, Mrs. Stanley?!” tanya Arthur dengan suara rendah yang terdengar tajam.Madeline terdiam. Bibirnya yang merah itu menipis, dan raut wajahnya jelas tampak tersinggung dengan panggilan Arthur itu. Namun setelah beberapa saat, dia dengan tenang menyahut. “Asher? Dia baru saja pergi. Ada apa kau mencarinya, Arthur?”Arthur mengumpat dalam dengusan pelan. Asher tentunya telah menyadari perbuatannya dan takut untuk tinggal lebih lama sehingga dia melarikan diri dari kemarahan Arthur.Pria pengecut itu ...!***Di kamar dengan caha