Helenina membuka mata, terbangun karena suara gedoran yang membabi-buta pada pintu kamarnya. Gedoran itu jadi semakin kencang dan berisik sementara pelupuk mata Helenina jadi semakin berat dan kepalanya berdenyut dengan semakin menyakitkan. Dia bisa mendengar suara seseorang memanggil namanya berulang kali, tapi Helenina terlalu lemas untuk peduli.Kemudian tiba-tiba saja, suara berisik itu berhenti, diikuti suara-suara lainnya seperti meja yang didorong dan suara decitan di lantai. Helenina menutup mata dan mengernyit, membenci keributan itu. Dia lalu mendengar suara seseorang mengumpat. “Hal persetan apa yang telah terjadi di sini?!”Apakah itu Arthur? Benar-benar Arthur? Bahkan kalau bukan Arthur, Helenina tidak akan punya tenaga untuk melawan apa yang akan Asher lakukan padanya.“Nina!” Sentuhan yang terasa sangat hangat mendarat di dahi Helenina. Dia membuka mata, melihat wajah suaminya berputar di hadapannya bersama dinding dan seisi kamar. Kepala Helenina sakit sekali.“A-Ar
Arthur menggedor pintu kamar Asher, tapi tidak ada jawaban yang menyahutnya. Tanpa merasa perlu berbasa-basi lagi, dia pun membuka pintu tersebut hanya untuk menemukannya kosong tanpa penghuni. Kemudian tiba-tiba saja sebuah suara memanggilnya dari belakang.“Arthur, apa yang sedang kau lakukan?”Arthur berbalik, tatapan tajamnya langsung terhunus pada sosok Madeline Stanley yang berdiri di ambang pintu dengan sikapnya yang menunjukkan kearoganan.“Di mana putramu, Mrs. Stanley?!” tanya Arthur dengan suara rendah yang terdengar tajam.Madeline terdiam. Bibirnya yang merah itu menipis, dan raut wajahnya jelas tampak tersinggung dengan panggilan Arthur itu. Namun setelah beberapa saat, dia dengan tenang menyahut. “Asher? Dia baru saja pergi. Ada apa kau mencarinya, Arthur?”Arthur mengumpat dalam dengusan pelan. Asher tentunya telah menyadari perbuatannya dan takut untuk tinggal lebih lama sehingga dia melarikan diri dari kemarahan Arthur.Pria pengecut itu ...!***Di kamar dengan caha
Helenina terbangun ketika mendengar suara berat Arthur mempersilakan seseorang untuk masuk. Entah siapa, namun ketika orang itu berbicara, Helenina mengenali suaranya.Dia adalah Celia.Jadi Helenina mengurungkan niatnya untuk membuka mata dan pura-pura masih tertidur. Walau kenyataannya dia merasa sangat malu dengan posisinya, tapi dia berhasil menahan diri.Semua perkataan yang Arthur dan Celia katakan tidak terlewat sedikit pun dari indra pendengaran Helenina. Dia mendengarkan semuanya tanpa terkecuali.“Jangan lupa bahwa selain bekerja untukmu, aku juga adalah simpananmu, Arthur, teman bermainmu di atas ranjang. Datanglah padaku kalau istrimu ini tidak cukup memuaskanmu. Hm?”Itu adalah ucapan terakhir Celia sebelum Arthur mengusirnya keluar dari ruangan. Helenina menyerah dengan kepura-puraannya dan dia pun menggeliat pelan, lalu membuka mata. Helenina melirik ke arah Celia yang tengah diseret keluar oleh dua orang penjaga. Setelah pintu kembali tertutup, Helenina mengalihkan pa
Helenina sangat ingin mengatakan tidak pada ucapan Asher tersebut. Bicara dengannya? Bertemu dirinya saja Helenina tidak mau. Ada rasa jijik memualkan yang dia rasakan saat berdekatan dengan pria ini, Helenina tidak tahu apakah itu perasaan yang normal atau tidak.“Kau sudah makan?” tanya Helenina, alih-alih menjawab permintaan Asher. Dia mencoba untuk tetap tampil tenang, walau mungkin Asher menyadari kegugupannya.“....” Asher terdiam, menatapnya dengan sedikit geli.Helenina tahu bahwa tidak ada yang lucu dari ucapannya, tapi tampaknya Asher memiliki pikirannya sendiri.“Mari kita bicara sembari menuju ruang makan,” kata Helenina. Jantungnya berdetak sangat cepat sementara dia berusaha untuk tetap tegar.Asher menunduk, sebuah senyum bertengger di bibirnya. “Helene, yang semalam itu bukanlah apa-apa,” ucapnya tiba-tiba.Helenina tertegun. Jadi Asher sepenuhnya menyadari apa yang kemarin dia lakukan? Itu terdengar menjadi lebih mengerikan. Kedua tangan Helenina mengepal erat, tatapa
Mobil memasuki pekarangan rumah Baron yang sangat luas. Jalan menuju ke teras diapit oleh pepohonan rindang dan beberapa ekor rusa tampak berkeliaran di rerumputan yang hijau. Helenina merasa begitu familiar dengan semuanya, bahkan para penjaganya juga dan setiap tetumbuhan yang tumbuh di sana. Namun, satu hal yang begitu asing di mata Helenina saat ini, yaitu pemandangan ayah dan ibunya yang tengah menunggu di teras. Dan tidak hanya mereka, Henry juga tampak hadir di sana. Beberapa penjaga telah bersiap, seorang pria dengan kamera yang dikalungi di lehernya juga sudah siap untuk mengambil gambar.Helenina merasakan telapak tangannya jadi semakin basah, jadi dia mengelapnya lagi ke gaunnya. Ya ampun, Arthur tidak mengatakan pada Helenina bahwa makan malamnya akan semegah ini. Helenina pikir ini hanyalah acara makan malam intim keluarga, seperti makan malam biasa yang Helenina lakukan di rumah ini dulu, yang pastinya tidak melibatkan dokumentasi apa pun berupa pria dengan kamera.Mobil
Berdua di ruangan tersebut membuat Helenina menyadari akan seberapa jauh dirinya dengan Rosaline. Mereka adalah kakak beradik, tapi nyaris tidak saling mengenal terhadap satu sama lain. Dia duduk dengan kaku di hadapan Rosaline, sementara Rosaline menjadi dirinya yang selalu tampak tenang dan elegan. Kudapan manis juga teh tersaji di atas meja. Rosaline kemudian bergerak untuk menuangkan teh ke cangkirnya juga cangkir Helenina.“Terima kasih,” kata Helenina saat menerima teh tersebut.“Sama-sama,” sahut Rosaline. Dia menyesap tehnya, kemudian meletakkannya lagi bersama tatakannya di meja dan menatap ke arah Helenina.Sementara Helenina masih menunduk menatap ke arah permukaan tehnya sendiri yang belum dia minum.“Nina,” panggil Rosaline.Helenina langsung mendongak. “Y-ya?” jawabnya.“Bagaimana kabarmu?”“Baik. Aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu?”Rosaline sama sekali tidak tersenyum padanya, namun Helenina tahu bahwa adiknya itu tengah merasa santai, tidak setegang sebelumnya saa
Benar kata Henry, bahwa Helenina tidak bisa membiarkan Arthur melihatnya dalam keadaan kacau seperti ini. Dia belum berhasil menenangkan dirinya sendiri atau bahkan sekadar mencuci muka agar Arthur tidak menyadari air matanya. Namun sekarang pria itu sudah ada di depan kamarnya? Helenina langsung bangkit dari ranjang dan melangkah bolak-balik dengan panik saat suara ketukan itu kembali terdengar. “Nina, aku tahu kau di dalam. Aku akan masuk sekarang,” suara bariton Arthur yang dalam itu teredam oleh tembok, kemudian pintu perlahan didorong terbuka dari luar. Dan tepat sebelum Arthur melangkahkan kakinya masuk, Helenina berbalik dengan tubuh membeku kaku. Keheningan langsung terjadi. Helenina tidak tahu apa yang Arthur lakukan di belakangnya, jadi dengan penasaran dia mengintip ke balik bahunya. Arthur sedang menatap ke sekitar, lalu matanya bertemu dengan Helenina, sebentar sebelum Helenina kembali mengalihkan pandang. “A-Ada apa?” kata Helenina terbata, dia berusaha agar suaranya
TAMING THE DEVILISH HUSBAND chapter 36 – Finger Helenina mengangkat pandangannya, memberikan Arthur tatapan memohon. “Apa yang kau inginkan?” tanya Arthur, tersenyum tipis penuh arti. “....” Helenina terhenyak, karena tidak mungkin dia bisa menjawab. “Aku tidak akan tahu kalau kau tidak memberitahuku, Nina.” Dengan wajah memerah padam, Nina pun memberanikan diri mengucapkannya. “Ci-cium.” “Hm? Apa?” “Cium.” Helenina menghindari tatapan Arthur dan mengucapkannya dengan suara yang lebih pelan. Senyum di bibir Arthur melebar menjadi sebuah seringaian. “Kau bilang cium? Bagian mana yang kau ingin aku cium, Nina?” Ya ampun, Helenina mulai merasa kepalanya berkunang-kunang. Bagaimana dia bisa menjawab? Tidak bisakah Arthur melakukannya langsung tanpa harus bertanya-tanya terlebih dahulu seperti pada malam itu? Arthur menangkup wajah Helenina, menghapus air matanya. “Ekspresi ini ...,” dia menggumam, “kau paham bahwa dengan menatapku dengan air mata memelas seperti ini hanya akan m