Seluruh tubuh Helenina terasa sakit. Astaga, dia tidak pernah merasa seburuk ini bangun di pagi hari. Bukan hanya rasa pening di kepala, tapi setiap inci tubuhnya terasa tidak nyaman. Kesadaran tentang semua penyebab rasa sakit ini belum berhasil Helenina cerna. Pelupuk matanya masih digantungi oleh rasa kantuk, sehingga dia berniat untuk melanjutkan tidurnya yang pastinya akan jauh dari rasa nyenyak. Ketika Helenina bergerak sedikit untuk mengganti posisi berbaring sehingga merasa lebih nyaman, serangan rasa sakit menyengat terasa di bagian antara pahanya, tepatnya di selangkangannya. Helenina langsung mengernyit dan memejamkan mata semakin erat. “Apa seburuk itu?” Sebuah suara yang berat dan maskulin terdengar menggumam pelan di sampingnya, cukup dekat sampai menembus kabut kantuk di mata Helenina. Helenina berusaha untuk membuka kelopak matanya, dan sejenak dia merasa panik akan seberapa berat hal tersebut untuk dilakukan. Ketika cahaya akhirnya menembus masuk ke retina, dia m
Setelah malam penuh gairah bersama Arthur dan pagi memalukan yang terjadi setelahnya bagi Helenina, semuanya tampak tidak lagi sama.Para gadis pelayannya menatapnya khawatir seolah mereka yakin bahwa sang nyonya tengah terserang demam. Tapi Helenina baik-baik saja. Kulitnya hanya terlalu pucat, terlebih dalam cuaca dingin ini, sehingga pembuluh darahnya tampak lebih gelap di kulitnya.Namun, tentu saja itu tidak sepenuhnya benar. Helenina hanya tidak bisa menyingkirkan Arthur dari benaknya, tidak bisa menghentikan bayangan saat pria itu menyentuhnya. Helenina bahkan tidak bisa menatap terlalu lama ke arah cermin atau berbaring dengan nyaman di atas ranjangnya tanpa mengingat hal-hal yang Arthur lakukan padanya. Pipi Helenina bersemu merah, dan tampaknya rona tersebut mengancam akan jadi permanen, tidak peduli apakah suhunya terlalu dingin atau terlalu panas.Helenina mungkin tumbang selama dua hari karena malam itu, tapi setelahnya ... Helenina merasa begitu hidup, seolah dia terlahi
Malamnya, Arthur benar-benar tidak pulang. Helenina tidak bisa tidur sehingga dia pun memutuskan untuk menunggu suaminya itu. Namun bahkan sampai tengah malam tiba, saat jam antik di dinding kamarnya sudah menunjuk ke angka satu dini hari, pintu kamar itu tidak kunjung terbuka dan orang yang Helenina tunggu tidak kunjung datang.Keesokan harinya Helenina bangun dan menemukan sisi ranjang di sampingnya kosong, masih rapi, dan terasa dingin. Yang artinya, Arthur tidak pulang semalam. Helenina merasa pusing di kepala, sementara udara pagi ini lebih mencekam dari kemarin. Salju turun dengan lebat di luar. Mungkin itu alasan kenapa Arthur tidak pulang, karena pastinya berbahaya untuk berkendara dalam keadaan bersalju seperti ini. Itulah yang Helenina pikirkan. Setidaknya dugaan tersebut membuatnya merasa lebih baik, alih-alih beranggapan bahwa semalam Arthur memilih untuk menginap di rumah salah satu simpanannya.Bisa saja, bukan? Mengingat seberapa banyak simpanan yang ayah Helenina milik
“Arthur!” Helenina berseru tertahan memanggil nama suaminya itu. Sarapan sudah selesai, tamu mereka sedang menunggu di perpustakaan dihidangi kudapan manis dan teh hangat yang menggiurkan. Helenina merasa bahwa dia membutuhkan teh hangat pagi ini sekalipun dia baru saja selesai meminum susu panas yang dibuatkan oleh Duncan. Namun, di sinilah Helenina sekarang, ditarik dengan kasar oleh suaminya sendiri menuju entah ke mana. Arthur berjalan dengan langkah lebar, sementara Helenina berlari di belakangnya.“A-Arthur!” panggil Helenina lagi, kali ini terkesan lebih gugup saat dia menyadari ke mana Arthur akan membawanya; ke kamar mereka. Pintu dibuka, Helenina ditarik masuk kemudian tubuhnya didorong ke tembok sementara Arthur tiba-tiba saja menghimpitnya dan di sana ... tanpa peringatan pria itu mencium bibirnya.Helenina terkesiap dan tubuhnya sontak membeku. Keterkejutannya itu diredam oleh bibir yang tegas dan lembut, melumat dengan cara yang membuat darah Helenina berdesir kencang s
Helenina menatap pantulan dirinya di dalam cermin. Raut kekecewaan tampak jelas di wajahnya, dan tatapannya menunjukkan kesedihan. Dia tadinya hendak bersiap-siap untuk pergi ke Dokter seperti yang Arthur perintahkan padanya, namun sebuah rasa yang tidak nyaman kemudian terjadi; Helenina mendapatkan periode bulanannya. Darah yang keluar terlalu banyak membuat Helenina sulit untuk membantah.Dia benar-benar tidak sedang hamil.“Mungkin sekarang memang bukan waktunya,” kata Helenina, mencoba untuk menghibur diri karena ternyata dugaan Asher itu tidak benar, Helenina tidak sedang mengandung.Dia dapat menerimanya dengan mudah, walau diwarnai perasaan kecewa dan sedih. Dan hal tersebut lebih dapat dinamai sebagai kepasrahan.Namun sekarang masalahnya adalah, bagaimana Helenina akan memberi tahu Arthur? Suaminya itu tadi juga tampak sangat yakin dan berharap mengenai informasi kehamilan ini.Helenina jadi takut untuk memberitahunya.Arthur tidak mungkin bisa menerima berita ini dengan baik
Saat pandangan mereka bertemu, keterkejutan tampak di mata pria itu, tapi hanya sebentar karena setelahnya tatapan datarnya yang khas kembali. Dia melirik ke arah jam di dinding dan berkata, “Masih ada waktu dua puluh menit lagi dari waktu yang kujanjikan. Apa ada alasan lain kenapa kau menemuiku secepat ini?” Sebelum Helenina bisa menjawab, tatapan Arthur berlabuh ke nampan di tangan Helenina.“Aku datang untuk membawakanmu teh,” kata Helenina kemudian. Dia sengaja menghindari tatapan Arthur karena itu hanya akan membuatnya semakin gugup.Suara buku yang ditutup terdengar keras di ruangan yang mendadak jadi sunyi itu. Helenina berjengit sedikit. Saat ini, dia baru sadar bahwa dia tengah mengganggu waktu kerja suaminya, dan dia takut membuat pria itu marah.“Kau tidak harus melakukannya, letakkan saja teh itu di meja dan pergilah bersiap-siap!” Arthur melangkah ke arah meja kerjanya, meletakkan buku tebal yang tadi dia baca, kemudian menatap ke arah laptopnya seolah Helenina sudah ti
“Arthur, ada apa kau memanggilku?” Arthur memandang ke arah pintu sampai sosok Helenina tidak lagi dalam pandangannya. Setelah itu, barulah fokusnya tertuju pada wanita yang berdiri di hadapannya. “Celia, ada pekerjaan baru untukmu,” sahut Arthur singkat.Wanita cantik di hadapannya itu berdecak tidak senang. “Hanya itu?”“....” Karena Arthur tidak menjawab, ekspresi di wajah Celia jadi semakin memberengut. “Kupikir kau sudah bosan dengan istrimu,” ucapnya.Arthur menyodorkan sebuah map berwarna cokelat, berisi berkas penting mengenai pekerjaan yang hendak dia berikan pada Celia. Wanita ini adalah seorang mata-mata yang dia pekerjakan untuk beberapa orang kliennya. Namun kali ini, Arthur ingin Celia menyelidiki tentang rencana sepupunya—Asher. Pria itu tidak pernah datang menemuinya semenjak 5 tahun Arthur menyandang gelar yang sebelumnya dimiliki oleh kakek mereka. Arthur tahu bahwa Asher dan ibunya datang bukan untuk berbasa-basi, jadi dia ingin tahu apa yang mereka rencanakan.“
Arthur duduk di sofa, di tempat Helenina sebelumnya. Dia memberikan wanita itu gestur untuk mendekat. “Kemarilah!”Dari sudut matanya, Arthur melihat Helenina tampak ragu-ragu, sebelum mendekat dan duduk di sampingnya—memberikan jarak sejauh satu meter. Arthur menahan sebuah senyum geli yang hampir terbentuk di bibirnya. Dia menuang teh ke dalam cangkir lalu berkata, “Apa yang kau lakukan sejauh itu, Nina? Mendekatlah!”Helenina beringsut mendekat, tapi tidak cukup dekat bagi Arthur sehingga dia pun menarik wanita itu ke arahnya dan meletakkan tangannya ke pinggang yang ramping dan lembut itu.Suara kesiap Helenina terdengar, tapi Arthur tidak menghiraukannya.“Mau teh lagi?” tawar Arthur.Helenina menggeleng. “Ngh, A-Arthur? Aku mau ....”“Mau apa?”“I-ini sudah malam. Aku mau ... mau tidur!” seru Helenina.Arthur menyesap teh yang sudah hampir dingin itu dalam sekali tegukan. Dia mengusap pinggang Helenina dan merasakannya menegang, sebuah pemikiran yang sangat nakal langsung terlin