Arthur menarik tubuh Helenina mendekat, mengubah posisi wanita itu sehingga mengangkangi pahanya, lalu menarik pinggul Helenina merapat diikuti suara geramannya yang tertahan jauh di tenggorokan. Helenina berontak lagi karena desakan tersebut dan membuka mata lebar-lebar pada sesuatu yang terasa mengganjal di pahanya. “Kau merasakannya?” kata Arthur dengan kekehan serak. Dia membuka mata dan menatap Helenina dengan mata hitam kelamnya yang tampak semakin gelap nyaris tidak bercahaya. “...?” Helenina menatapnya bertanya. Apa yang pria ini maksud? “Hm, itu tanda untuk berhenti,” kata Arthur, mengangguk kepada dirinya sendiri. “Untuk sekarang, pelajaran kita sampai di sini saja.” Pelajaran? Helenina berkedip, kemudian detik selanjutnya dia tersadar dan wajahnya jadi semakin memerah. Tentu saja, ini hanya sekadar pelajaran, seperti yang Arthur tadi katakan. Dan justru itulah yang terburuk. “Kau telah menjadi murid yang baik, Nina,” kata Arthur lagi, memberinya pujian dengan ekspr
Ruangan tempat Arthur berada saat ini memiliki pencahayaan yang sangat baik, jendelanya menghadap ke arah barat sehingga dia bisa melihat matahari terbenam di ujung sana—begitu pun juga dengan gedung-gedung tinggi di sekitarnya. Pandangan Arthur pada banyak hal selalu terkesan monoton. Dia melihat tempat-tempat indah di dunia, wanita-wanita cantik, berbagai jenis permata yang berkilauan, lukisan-lukisan yang kata orang lain sangat penuh makna dari seniman-seniman terkenal, tapi tidak pernah merasakan apa pun saat melihat atau memiliki semua itu. Kecuali matahari terbenam. Fenomena yang satu ini selalu berhasil menyita perhatiannya lebih dari yang dia inginkan, selalu membuatnya merasakan sesuatu yang tidak pernah bisa dia definisikan. Sehingga Arthur pun berdiri di hadapan jendelanya yang luas sampai yang tersisa di langit hanya seberkas cahaya oranye redup yang perlahan-lahan menghilang sepenuhnya. Setelah kematian Alastair Rutherford, jabatan Presiden Direktur diturunkan pada Arth
Baru kemarin Helenina dipenuhi kebahagiaan karena berpikir bahwa kondisi tubuhnya telah membaik. Sudah beberapa hari ini dia tidak jatuh sakit dan rasa pusing disertai dentuhan halus di kepalanya mulai berkurang, tidak sekeras sebelumnya. Namun, pagi ini Helenina terbangun dengan perasaan terburuk setelah berhari-hari. Tubuhnya terasa lelah tanpa sebab, dentuman di kepalanya semakin keras dan membuatnya pening. Temperatur tubuhnya juga terasa sedikit meningkat. Helenina tidak terkejut dengan kondisi yang tiba-tiba ini, tapi dia hanya merasa kecewa. Dan dia yang biasanya bangun lebih awal sebelum para gadis pelayannya datang, hanya mampu berbaring tidak berdaya di ranjang sampai suara Aria memanggilnya di pintu kamar. Helenina pun mempersilakan mereka masuk dan membiarkan Aria, serta Sarah dan Molly membantunya bersiap-siap. Ketiga gadis pelayannya itu sepertinya menyadari kondisi Helenina, sehingga beberapa kali mereka bertanya apakah Helenina baik-baik saja. Namun, tentu saja, He
Setelah situasi yang terasa amat membingungkan itu, Arthur tidak lagi mengatakan apa pun pada Helenina. Pria itu langsung pergi ke kamar mandi dan membersihkan dirinya. Sementara itu, Helenina memilih menunggu di balkon kamar. Sekalipun salju masih turun dan udaranya terasa dingin menusuk, tapi bagi Helenina di sini lebih baik daripada harus menunggu suaminya tersebut di kamar dan lebih tersiksa dalam penantian yang membuat jantungnya berdebar tidak nyaman. Helenina tidak menyangka kalau Arthur akan pulang lebih awal. Pria itu seharusnya pulang besok seperti janjinya. Beruntung saja tubuh Helenina telah terasa lebih baik setelah dia meminum teh jahe dan madu dari Duncan, juga istirahat yang sangat banyak hari ini di kamarnya yang nyaman dan hangat. Tapi sekarang, udara dingin yang terasa menusuk tubuh rasanya begitu menyakitkan, Helenina yakin kalau dia berdiam di sini lebih lama maka besoknya dia akan jatuh sakit lagi. Sehingga Helenina pun memutuskan untuk masuk ke dalam. Namun
Helenina memang mengatakan persetujuannya, tapi dia tidak tahu sama sekali apa yang tengah menunggunya di depan. Pengetahuannya sangat minim mengenai hal ini. Dan Helenina merasa gugup, tapi lebih daripada itu ... dia juga merasa takut. Arthur menggendongnya menuju kamar, dan mendudukkannya di atas meja. Dia tidak terburu-buru membawa Helenina ke ranjang, sehingga Helenina memiliki waktu lebih untuk meyakinkan dirinya akan hal ini. Padahal beberapa hari lalu Helenina telah membulatkan tekadnya, karena semakin lama mereka menunda maka semakin buruk Helenina akan merasa. Jadi, seharusnya tidak ada alasan baginya untuk menolak lagi. Ada satu hal, yang juga ingin Helenina buktikan; apakah Arthur menunda menyentuhnya karena pria itu belum menginginkan tubuhnya ataukah ada alasan lain yang tidak bisa Helenina duga? “Kau yakin?” bisik Arthur. Deru napas pria itu menerpa wajah Helenina dan suaranya yang terdengar lebih rendah mengalihkan perhatian Helenina dari pikirannya sendiri. Dia tid
Helenina tidak tahu apa yang telah terjadi. Setelah sensasi dahsyat itu berakhir, dia menunduk dan menatap Arthur dengan mata sayunya yang dipenuhi oleh gairah. “Kau mendapatkan pelepasan pertamamu. Selamat, Nina!” kata Arthur, menyengir lebar di antara paha Helenina. Mata pria itu berbinar, seolah dia benar-benar merasa bangga. “Pelepasan ... pertama?” Helenina membeo dengan napas memburu tajam. Arthur mengangguk, lalu menggunakan ibu jarinya lagi untuk mengusap milik Helenina yang masih berdenyut hebat. Kelembutan wanita itu membuat Arthur terkejut, tapi dia tahu bahwa Helenina belum cukup siap baginya, belum cukup basah, dan belum cukup gila dia buat. “Benar. Kau menyukainya?” kata Arthur, sembari membayangkan hal-hal yang mungkin bisa dia lakukan untuk membuat Helenina semakin menyukai hal ini tanpa Arthur harus bertanya lagi. “...!” Sementara itu, Helenina lebih memilih mengubur dirinya sendiri saat ini juga daripada harus menahan malu yang begitu besar dengan menjawab perta
Arthur melepaskan kulumannya dari payudara Helenina untuk bangkit bertumpu pada kedua tangannya, menunduk ke bawah untuk melihat kejantanannya yang mendorong masuk ke kewanitaan istrinya. Wanita itu merintih. “Sa-sakit!” katanya. Arthur dengan susah payah menarik napas dan mengembuskannya kasar. Kenikmatan menyebar dengan cepat ke tubuhnya, mengirim getaran sampai ke tulang punggungnya. Dia terancam akan mendapatkan pelepasannya saat itu juga. Namun sebuah penghalang di dalam milik wanita itu—yang dia tahu apa—menghentikan pergerakannya. “Ssshhh! Tenanglah, Nina. Buka matamu dan tatap aku!” perintah Arthur dengan nada lembut dan penuh rayu. Helenina pun membuka matanya. Manik biru safir itu basah oleh genangan air mata. “Ini sakit, Arthur! Ku-kumohon ...!” lirih Helenina. Arthur memejamkan matanya sesaat, untuk menenangkan dirinya sendiri. “Sial! Ini begitu sempit,” gumamnya sangat pelan. “A-Arthur! Kumohon ... hentikan! Ini—” “Tidak!” sela Arthur, memberikan Helenina gelengan
Seluruh tubuh Helenina terasa sakit. Astaga, dia tidak pernah merasa seburuk ini bangun di pagi hari. Bukan hanya rasa pening di kepala, tapi setiap inci tubuhnya terasa tidak nyaman. Kesadaran tentang semua penyebab rasa sakit ini belum berhasil Helenina cerna. Pelupuk matanya masih digantungi oleh rasa kantuk, sehingga dia berniat untuk melanjutkan tidurnya yang pastinya akan jauh dari rasa nyenyak. Ketika Helenina bergerak sedikit untuk mengganti posisi berbaring sehingga merasa lebih nyaman, serangan rasa sakit menyengat terasa di bagian antara pahanya, tepatnya di selangkangannya. Helenina langsung mengernyit dan memejamkan mata semakin erat. “Apa seburuk itu?” Sebuah suara yang berat dan maskulin terdengar menggumam pelan di sampingnya, cukup dekat sampai menembus kabut kantuk di mata Helenina. Helenina berusaha untuk membuka kelopak matanya, dan sejenak dia merasa panik akan seberapa berat hal tersebut untuk dilakukan. Ketika cahaya akhirnya menembus masuk ke retina, dia m