Home / Romansa / Menaklukkan Suami Jahat / 04. Perjanjian (2)

Share

04. Perjanjian (2)

TAMING THE DEVILISH HUSBAND chapter 04 – Agreement (2)

“Helenina.”

Pandangan Helenina saat itu tertuju pada bibir Arthur, melihat bagaimana bibir itu bergerak menyebut namanya. Helenina merasa malu yang entah karena apa sehingga dia dengan cepat mengalihkan pandangnya ke arah lain

“Ya,” jawab Helenina kemudian.

“Ikuti aku!” kata Arthur, yang melangkah pergi menuju sofa panjang. Duduk di sana dengan tangan yang bersandar pada punggung sofa.

Helenina mengikutinya dan duduk di hadapannya. Dari tempatnya, dia bisa melihat bagaimana tubuh Arthur yang baginya sangat besar, mengambil banyak tempat di sofa panjang itu, dan kakinya yang panjang juga mustahil bisa diluruskan.

Kemudian Arthur mulai berbicara, dan Helenina langsung mengalihkan pandangannya.

“Seperti yang kau tahu, Helenina, bahwa rencana pernikahan ini telah dirusak sepenuhnya oleh ulah adikmu yang tidak bertanggung jawab itu. Sehingga kedua belah pihak harus menanggung semuanya, dan salah satunya adalah dirimu yang terpaksa menggantikan posisi mempelai wanita.”

“....”

Helenina tidak berkata-kata. Namun satu hal yang dia ketahui pasti dari ucapan tersebut, bahwa memang Arthur dan Rosaline menikah karena perjodohan resmi, bukan karena mereka saling mencintai.

Dengan tatapan yang tertuju pada vas bunga kosong di hadapannya, Helenina menduga-duga mungkin karena pernikahan tanpa cinta itulah yang membuat Rosaline sampai melarikan diri, walau Helenina sendiri belum sepenuhnya yakin akan hal itu.

Ya, bagaimanapun, mereka memang adik kakak yang tidak akur sama sekali. Rosaline dan dirinya seolah hidup di dunia yang berbeda, sehingga Helenina nyaris tidak mengenal adiknya tersebut.

“Aku akan memberikanmu pilihan, Helenina,” kata Arthur.

Helenina bergeming. Namun sebuah harapan mendadak muncul dan membuatnya mendongak menatap pria di hadapannya. “Pilihan apa?” tanya Helenina, matanya berbinar penuh harap seperti seorang anak kecil yang melihat permen kesukaan.

“Jangan senang dulu,” kata Arthur. Sebuah senyum tanpa emosi tampak di bibirnya. Dengan mata yang menyipit tajam dan dingin, dia menatap Helenina seolah mencemooh.

Dan karena ucapannya tersebut Helenina mulai kembali meragu dan waspada.

“Seperti yang sudah pasti kau ketahui, bahwa aku menikah karena perjodohan yang ayahmu tawarkan, yang tentu saja akan sangat menguntungkan kedua belah pihak; antara Rutherford Corp. dan Baron Inc..”

“Ya, aku ... mengerti hal itu,” kata Helenina.

“Namun selain hal tersebut,” Arthur berkata lagi, menjeda selama beberapa saat, memperhatikan Helenina dengan seksama seolah mencoba untuk mendeteksi apa yang dipikirkannya, lalu pria itu melanjutkan, “aku juga mengharapkan seorang keturunan, yang suatu saat nanti akan mewariskan semua yang kumiliki ini. Dan aku ingin anakku lahir dari seorang istri sah.”

“A-anak ...?”

“Hm. Maukah kau membantuku dalam hal ini, Helenina?”

Helenina tertegun. Dia mendengar Arthur juga mengatakan hal yang sama beberapa saat lalu di hadapan jendela, tapi Helenina tidak terlalu memikirkannya. Namun sekarang ... kesadaran itu menghantam Helenina dengan keras. Dia meremas tangannya di pangkuan dan tatapannya langsung tertuju ke arah lain, ke mana pun kecuali pria di hadapannya ini.

“Pi-pilihannya?” tanya Helenina dengan terbata. Dia sedikit kesal karena tidak bisa menyembunyikan emosinya dengan baik.

“Kau hanya harus menjawab ya atau tidak dari pertanyaanku sebelumnya,” jawab Arthur dengan ketenangan yang membuat Helenina iri.

Dan ya Tuhan, Helenina tidak tahu harus menjawab apa!

Tentu saja dia ingin menjawab tidak. Itu terdengar seperti jawaban yang sudah sepantasnya dia katakan.

“Tapi pikirkanlah tentang konsekuensinya,” kata Arthur tepat sebelum Helenina membuka mulut untuk menjawab.

Konsekuensi? Helenina terdiam lagi, merenung.

“Ayahmu pasti tidak akan senang. Dan dengan semua kerugian dan rasa malu, kupikir seluruh keluargamu pastinya akan menyalahkanmu.”

“Ke-kenapa ... kenapa ini semua jadi salahku?” lirih Helenina.

“Memang bukan salahmu, tapi sayangnya tidak semua orang akan berpikir demikian. Karena kau memiliki kesempatan untuk memperbaiki semuanya, namun jika kau menolak maka sama saja kau mengabaikan keluargamu dan juga akan menghancurkan reputasi adikmu. Apa kau tahu ke mana sebenarnya dia pergi?”

Helenina menggeleng dengan linglung.

“Dia mungkin pergi ke pelukan pria lain, mengandung seorang anak haram. Dan kalau berita tersebut tersebar, maka ... yah, kau bisa bayangkan bagaimana jadinya.”

Mata Helenina terbelalak. Seketika itu juga amarah timbul dalam dirinya dan dengan berani dia menatap Arthur tepat di mata. “Rosaline bukan wanita seperti itu!” serunya beremosi.

Arthur justru tersenyum miring. “Apa kau mengenalnya?”

“...!”

“Apa kau mengenal adikmu sendiri, Helenina?”

Dengan perlahan, tatapan Helenina kembali menunduk. Kemudian sebuah kesadaran lain menghantamnya.

Arthur tahu.

“Tapi ... bagaimana kau ...?”

“Bagaimana aku bisa tahu? Hm, kupikir semua orang pasti bisa menebaknya melihat dari interaksi antara kau dan adikmu.”

Jadi dia hanya menebak-nebak? Helenina menghela napas lega.

“Dan melihat dari responmu, aku yakin bahwa tebakanku benar. Jangan buang-buang tenaga untuk menyangkalnya, karena itu tidak perlu.”

Kelegaan yang baru saja Helenina rasakan langsung meluap. Namun sepertinya, Arthur hanya tahu bahwa Helenina tidak akrab dengan Rosaline. Selebihnya, Arthur tidak mungkin tahu. Ya, kan?

Suara dering singkat dari ponsel terdengar, mengalihkan perhatian mereka berdua. Arthur mengecek ponselnya dan membaca isi pesan yang ada di sana. Kemudian dia menaruh kembali benda itu ke saku jasnya dan melirik arloji di tangan. Dia menatap Helenina lagi, kali ini disertai ketergesaan.

“Jadi, jawabanmu?” ucapnya.

Helenina tidak tahu bahwa dering ponsel itu akan membuatnya terasa semakin tertekan, seolah tanpa kata Arthur menyuruhnya untuk menjawab lebih cepat, seolah di belakang Helenina saat ini ada pistol yang ditodongkan ke arahnya.

Helenina menggigit bibir dengan kuat.

“Ah, aku lupa memberitahumu imbalannya,” kata Arthur tiba-tiba.

“...?”

“Kalau kau setuju dan berhasil melakukan tugasmu, aku akan memberikanmu apa pun yang kau inginkan. Kekayaan, kemewahan, reputasi, bahkan kekuasaan kalau kau mau, akan aku berikan semuanya. Dan semua itu terjamin seumur hidupmu, kau tidak perlu bekerja dan bebas melakukan apa pun yang kau mau. Bahkan kalau kau memutuskan untuk pergi setelah anak itu lahir nanti, aku akan mengizinkanmu. Kita bahkan bisa bercerai kalau kau juga mau. Jadi, pikirkanlah baik-baik, Helenina.”

Helenina menunduk semakin dalam, menggigit bibirnya semakin kuat sampai rasanya mulai sakit.

“Ya atau tidak?” desak Arthur.

“A-aku ....”

“Hm?”

Dengan sisa keberaniannya, Helenina mengangkat pandangannya menatap tepat ke mata pria yang selama beberapa saat lalu ini adalah suaminya—Helenina pikir butuh waktu yang sangat lama untuk terbiasa pada status tersebut.

Helenina menarik napasnya dalam-dalam, dan bertanya, “Apakah kau akan mengatakan semua ini pada Rosaline andai dia tidak pergi?” Helenina tahu bahwa bukan itulah jawaban yang Arthur ingin dengar, namun Helenina harus memastikan.

“Tentu saja tidak,” jawab Arthur santai. “Karena Rosaline sejak awal setuju. Tidak ada alasan bagiku untuk buang-buang waktu mengatakan semua ini.”

Ah, seperti yang Helenina duga. Kalau ini Rosaline, tentu saja semuanya akan berbeda. Sekalipun hubungan mereka terbentuk dari sebuah perjodohan, tapi tampaknya Arthur sangat serius pada adiknya. Pria ini mungkin berpikir bahwa suatu saat dia bisa membangun perasaan dengan istrinya dan memiliki keluarga yang utuh.

Itukah yang Arthur harapkan kalau saja Rosaline tidak pergi?

Sayangnya, Rosaline pergi. Helenina ada di sini, namun Arthur tidak mengharapkan apa pun darinya selain seorang pewaris. Hanya itu.

Betapa kejamnya.

Tapi, pikiran tentang harus kembali ke rumah itu, di bawah kuasa ayahnya yang tidak mengenal belas kasih, kemudian dikucilkan oleh anggota keluarga yang lain sebagai seorang anak buangan dan tidak berguna; Helenina pikir bahwa ini bukanlah kesepakatan yang sepenuhnya buruk.

Tapi lagi, memangnya dia benar-benar memiliki pilihan?

Helenina tersenyum ironi, sebelum akhirnya mengutarakan jawabannya dengan yakin.

“Ya, aku bersedia.”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status