TAMING THE DEVILISH HUSBAND chapter 03 – Agreement (1)
Helenina bisa merasakan wajahnya memanas. Bagaimana bisa seseorang mengatakan hal seperti itu dengan ekspresi yang begitu serius dan suara sedingin es? Dan bagaimana pria ini bisa tahu bahwa Helenina memiliki rambut sewarna merah, padahal ini adalah pertemuan pertama mereka?
Tidak hanya itu, Arthur juga berkata bahwa dia langsung bisa mengenali Helenina saat menuju altar padahal wajah Helenina telah ditutup veil putih dan sepanjang acara dia tidak sekali pun mengangkat wajah atau pandangannya. Helenina bertanya-tanya bagaimana pria ini bisa tahu?
“Haruskah aku mengulangi ucapanku?” desis pria itu dengan tajam.
Helenina seharusnya merasa takut, tapi pertanyaan di benaknya berhasil mengalihkan perasaan tersebut. Helenina justru menatap Arthur dengan bingung. Dekatnya jarak di antara mereka membuat Helenina bisa mencium aroma parfum itu lagi, sehingga tanpa sadar Helenina menahan napasnya.
Kemudian dengan kehati-hatian, Helenina melepas rambut palsunya. Helenina tidak tahu bagaimana benda ini dipasang sebelumnya, perekatnya terlalu erat dan dia kesulitan untuk melepasnya.
“Ck!”
Suara decakan terdengar, kemudian hal selanjutnya yang Helenina rasakan adalah tarikan di rambut palsunya yang membuatnya memekik sangat kencang. Dia bahkan bisa merasakan beberapa helai rambutnya ikut tercabut.
Mata Helenina memanas oleh kejut rasa sakit itu. Kemudian selanjutnya, keheningan yang panjang terjadi, sementara Helenina menahan air mata.
“Ah, maaf. Aku tidak tahu kalau perekatnya sekuat itu,” kata Arthur.
Tapi dengan jelas Helenina bisa mendengar bahwa tidak ada nada penyesalan sedikit pun dari permintaan maaf tersebut yang diucapkan dengan nada terlalu datar dan ringan.
Pria ini ... kasar sekali!
Helenina tidak tahan untuk tidak berpikir demikian. Namun selama hidupnya, memangnya dia pernah bertemu dengan pria yang benar-benar lembut? Sebuah ironi yang membuat Helenina menarik napasnya yang tercekat dan susah payah untuk menahan air matanya. Rasanya benar-benar perih seolah kulit kepalanya juga ikut tercabut, tapi yang lebih membuatnya ingin menangis adalah karena tindakan tersebut begitu mengejutkannya dan tidak terduga akan dia terima dari pria yang telah mengaku jadi suaminya ini.
Namun Helenina menelan protesannya dengan menggigit bibirnya kuat-kuat, dia bahkan tidak meringis sakit lagi. Kepala Helenina tertunduk dalam, matanya terpejam, sementara tangannya yang di atas ubun-ubun mulai meraba ke arah simpul ikatan yang menahan rambut aslinya, dan berupaya untuk melepas simpul tersebut untuk membebaskan rambutnya.
Kemudian sebuah cahaya yang menyilaukan terasa menusuk mata dengan tiba-tiba, bahkan dalam keadaan terpejam. Karena penasaran, Helenina membuka matanya perlahan, kemudian dengan refleks menundukkan kepalanya lagi, semakin dalam, saat melihat sepasang kaki dengan langkah yang lebar dan tanpa suara mendekat padanya.
Helenina masih berupaya untuk melepas sampul erat di rambutnya saat sebuah tangan tiba-tiba saja terulur ke belakang dan mengambil alih apa yang tengah dia lakukan. Tubuh Helenina langsung membeku dengan kedua tangannya yang perlahan melemas dan jatuh kembali ke pangkuan.
Sementara itu, dengan wajah tanpa ekspresinya, Arthur melonggarkan ikatan di rambut Helenina, membebaskan helaiannya dengan mudah sampai simpul itu terlepas sepenuhnya dan rambut Helenina yang berwarna kemerahan dan lebat bergelombang tergerai di punggung.
Bisa Helenina rasakan dengan jelas detak jantungnya yang bertalu-talu, dua kali lebih cepat dari sebelumnya. Wajahnya memerah karena rasa malu dan sesuatu perasaan lain yang menelusup masuk dan tidak pernah Helenina rasakan sebelumnya.
Karena Arthur terdiam cukup lama dan tanpa pergerakan sedikit pun di samping Helenina, Helenina tergoda untuk mengangkat pandangannya dan mengintip wajah pria itu. Namun sebelum dia melakukan hal tersebut, kelima jari Arthur menyentuh rambutnya, menenggelamkannya di antara helaian kemudian menyusurinya dengan perlahan seolah sengaja menggunakan tangannya untuk mengurai kekusutan di sana.
Tapi sepertinya, pria ini memang tidak terbiasa bersikap lembut. Atau dia pada dasarnya sengaja melakukan ini untuk menyakiti Helenina? Karena gerakan yang pria itu lakukan malah menyakiti pangkal kepala Helenina lagi, Arthur menyusuri tangannya terlalu kencang sehingga menarik rambut kusut Helenina.
Satu tarikan dengan rasa sakit menyengat membuat Helenina berjengit terkejut dan dengan impulsif langsung menjauhkan tubuhnya. “Ah, a-aku ... aku bisa menyisir rambutku sendiri!” ucapnya dengan terbata.
Ucapannya tersebut berhasil menghentikan pergerakan Arthur. Pria itu terdiam lagi, menatap tangan mungil Helenina mengurai rambut kusut itu dengan mudah. Kemudian dia mengalihkan pandang dan melangkah menuju meja rias. Arthur mengambil sebuah sisir dan melemparnya ke samping Helenina.
“Lakukan dengan cepat! Setelah ini kita akan bicara,” ucapnya.
Dan Helenina menurut tanpa mengatakan apa pun. Wanita tersebut mulai menyisir rambutnya, sementara Arthur melangkah menuju sofa lalu duduk di sana, sembari memperhatikan setiap gerak-gerik wanita itu.
Helenina merasa seolah kepalanya sebentar lagi akan bolong karena tatapan yang begitu intens tertuju padanya. Dan karena perintah pria itu tadi, Helenina bergerak lebih cepat untuk menyisir rambutnya. Dia memiliki rambut yang panjang dan berombak, helaiannya kering sehingga lebih susah untuk diatur. Bahkan para pelayan yang mengurusnya di rumah sering kali mengeluh akan hal ini sehingga Helenina lebih sering menata rambutnya sendiri ketimbang membiarkan orang lain melakukannya untuknya.
Selama ini, yang paling bisa menaklukkan helaian rambutnya yang berantakan ini adalah pengasuhnya, yang sayangnya kini telah tiada. Wanita yang sudah Helenina anggap sebagai ibu kandungnya sendiri itu meninggal tiga tahun lalu.
“Ck! Apa setiap wanita selalu menyisir rambutnya dengan selama ini?”
Datang sebuah protesan dengan nada kasar yang membuat Helenina tersentak dari lamunannya. Lalu dari ujung matanya dia melihat Arthur berdiri dan melangkah mendekatinya lagi. Buru-buru Helenina menyisir rambutnya dan hampir selesai ketika sisir di tangannya diambil alih.
“A-aku bisa sendiri!” kata Helenina, mencoba merebut benda itu lagi.
Tapi Arthur menjauhkannya dengan mengangkatnya tinggi-tinggi. “Biar kulakukan untukmu supaya lebih cepat.”
“Tidak! Jangan, kumohon.”
Nada memohon yang Helenina gunakan membuat pergerakan Arthur terhenti. Juga tangan wanita itu yang mendadak memegang rambutnya sendiri seolah melindunginya dari Arthur.
Sebuah senyum miring yang jahat terbit di bibir Arthur. “Kenapa? Kau takut aku akan menyakitimu?”
Kau sudah menyakitiku sejak tadi! Helenina ingin berteriak. Dan seperti dugaannya, pria ini benar-benar tidak sadar dengan tenaganya sendiri.
Helenina pun menunduk, lalu menggeleng. “Bu-bukan. Aku hanya ... kalau orang lain yang melakukannya akan semakin lama. Dan aku sudah selesai,” jawab Helenina, berdoa semoga jawabannya cukup memuaskan untuk tidak membuat Arthur tersinggung dan marah lagi padanya.
“Hm, begitu.”
Helenina nyaris menghela napas lega karena berpikir bahwa jawabannya cukup baik, tapi kemudian napasnya tertahan lagi saat Arthur tiba-tiba saja duduk di sampingnya di pinggir ranjang ini.
Demi semua malam yang pernah Helenina lalui, tidak pernah sekali pun dia duduk dengan seorang pria sedekat ini di ranjang kamar tidur. Itu membuat detak jantung Helenina semakin meliar. Dan ketegangan mencengkeram setiap urat nadinya.
“Aku tidak tahu kalau sikap putri sulung Thomas Baron ternyata seangkuh ini.”
Sebuah kernyitan terbentuk tipis di atas alis Helenina, bertanya-tanya siapa yang pria ini maksud.
“Selain angkuh, dia juga tampaknya suka membuang-buang waktu.”
“Apa maksudmu?” Helenina langsung mengangkat pandangannya, masih dengan kedua tangan yang memegang erat rambutnya. “Siapa ... yang kau maksud?” tanyanya lagi.
Arthur menelengkan kepalanya ke samping. Dan saat itulah Helenina pertama kali melihat wajahnya dengan lebih jelas.
Dan itu membuat Helenina tertegun. Dia sudah sering mendengar tentang ketampanan calon suami adiknya ini, tapi tidak pernah sekali pun dia melihatnya secara langsung dan menyadari bahwa pria ini ... memang setampan yang dibicarakan orang-orang. Rambutnya berwarna hitam, sekelam manik matanya yang juga berwarna senada. Alisnya tebal dan menukik tajam saat dia mengernyit, hidung mancung, bibir yang tampak keras—karena pasti lebih sering digunakan untuk mengatakan hal-hal yang buruk dan menusuk. Kemudian semua itu, dibingkai oleh rahang yang tampak tegas dan pipi yang tampak sedikit tirus.
Helenina tahu satu lagi pria tampan yang pernah dia lihat, yang dia pikir adalah pria tertampan yang pernah dia temui. Pria itu adalah kakak laki-lakinya sendiri, Henry Baron. Tapi Henry memiliki fitur wajah yang lebih lembut, dan senyum yang selalu tampak di matanya—yang terkadang membuatnya terlihat seperti seorang malaikat.
Namun ... namun pria di hadapannya saat ini adalah kebalikannya. Tidak ada satu pun hal yang bisa Helenina deskripsikan sebagai kelembutan pada sosok Arthur Rutherford. Dan hal tersebut, membuat Helenina takut.
***
TAMING THE DEVILISH HUSBAND chapter 04 – Agreement (2) “Helenina.” Pandangan Helenina saat itu tertuju pada bibir Arthur, melihat bagaimana bibir itu bergerak menyebut namanya. Helenina merasa malu yang entah karena apa sehingga dia dengan cepat mengalihkan pandangnya ke arah lain “Ya,” jawab Helenina kemudian. “Ikuti aku!” kata Arthur, yang melangkah pergi menuju sofa panjang. Duduk di sana dengan tangan yang bersandar pada punggung sofa. Helenina mengikutinya dan duduk di hadapannya. Dari tempatnya, dia bisa melihat bagaimana tubuh Arthur yang baginya sangat besar, mengambil banyak tempat di sofa panjang itu, dan kakinya yang panjang juga mustahil bisa diluruskan. Kemudian Arthur mulai berbicara, dan Helenina langsung mengalihkan pandangannya. “Seperti yang kau tahu, Helenina, bahwa rencana pernikahan ini telah dirusak sepenuhnya oleh ulah adikmu yang tidak bertanggung jawab itu. Sehingga kedua belah pihak harus menanggung semuanya, dan salah satunya adalah dirimu yang terpak
Arthur melangkah cepat menuju ruang kerjanya. Ekspresi yang dia miliki di wajah menunjukkan dengan jelas bagaimana amarahnya sebentar lagi akan meledak. Dasi kupu-kupu yang dia kenakan sudah tidak lagi di tempatnya, dan rambutnya yang semula tertata rapi kini telah acak-acakkan menunjukkan seberapa kali dia menyugarnya ke belakang dengan jari.Seorang pria berambut pirang menyusulnya dari belakang. Berkata dengan napas yang memburu karena mengejar tuannya dari lantai bawah. “Tuan, belum ada kabar terbaru lagi tentang Nona Rosaline.”Sang tuan sama sekali tidak menghiraukannya.Tapi pria itu berkata lagi, “Dan saya sudah memerintahkan pelayan untuk membersihkan kamar tamu dan sekarang Nona Helenina Baron sudah diantar ke sana.”Mendengar nama itu, langkah Arthur sontak terhenti. Dia kemudian berbalik menatap asistennya tersebut.“Kenapa kamar tamu?” tanyanya.“Haruskah saya menyiapkan kamar—”“Tidak. Tidak perlu!” potong Arthur dengan cepat. Dia menunduk dan memejamkan matanya seolah u
Selama hampir seharian ini, Helenina lebih banyak menghabiskan waktunya dengan bersantai. Bahkan berpikir bahwa dia sangat dimanjakan oleh pelayan pribadinya. Tidak sedikit pun kekurangan kudapan, dan tehnya dipastikan selalu dalam keadaan hangat. Helenina bertanya-tanya apakah tidak ada pekerjaan apa pun untuknya sebagai seorang Nyonya? Dia melihat ibunya di rumah tampak sangat sibuk setiap saat, sesekali juga melakukan pekerjaan bisnis ke luar kota atau negara untuk membantu ayahnya. Apakah nanti Helenina juga akan melakukan hal-hal semacam itu? Bukannya Helenina tidak mau, tapi dia ragu tubuhnya akan bisa mengemban tugas bepergian jauh. Bahkan saat dia tidak melakukan apa pun, tubuhnya sering jatuh sakit. Selama tinggal di rumah keluarganya, tidak sekali pun Helenina diberikan tugas-tugas atau pekerjaan oleh ayahnya. Sementara jadwal Rosaline padat, seperti menghadiri pesta-pesta bergengsi atau melakukan perwakilan ke luar negeri. Orang-orang mungkin akan berpikir bahwa Helenin
Mata Helenina berkedip menatap wanita itu, yang tampaknya juga sama terkejutnya seperti Helenina. Mereka berdiri di sana tanpa mengatakan apa pun. Kemudian seolah tersadar, ekspresi terkejut di wajah wanita itu lenyap, dia menegakkan bahunya dan melangkah melewati Helenina— pergi dengan langkah tergesa. Helenina tanpa sadar memandang wanita itu sampai dia menghilang di belokan lorong yang akan membawanya ke tangga. Sebelum Helenina sempat mencerna kejadian tersebut, sebuah suara kembali mengejutkannya. “Helenina.” Helenina langsung berjengit dan kembali menoleh ke depan. Saat ini, tubuh yang lebar dan kokoh memenuhi ambang pintu dan menutupinya dalam bayangan gelap. Helenina mendongak, menatap sepasang mata kelam yang menatapnya dingin. “Apa yang kau lakukan di sini?” kata Arthur. Barulah saat itu Helenina teringat akan tujuan awalnya untuk datang. Dia mengalihkan pikirannya dari wanita tadi dan mengabaikan rasa segannya, kemudian menjawab, “Aku ingin bicara sebentar. Bolehkah?”
Tidur adalah hal terakhir yang bisa Helenina lakukan malam ini. Kantuk terasa begitu jauh dari matanya. Dan pikirannya terus tertuju pada kejadian beberapa saat lalu. “Lantas kalau kita masih sepasang suami istri, kenapa kau tidak tidur sekamar denganku?!” Argh! Rasanya Helenina ingin mengubur dirinya sendiri saat ini juga karena saking malunya dia pada kata-katanya tersebut. Bagaimana bisa dia mengatakan kalimat semacam itu? Arthur pasti akan berpikir bahwa dia adalah wanita yang aneh dan tidak bermartabat. Dan setelah ini, pria itu pasti akan tahu bahwa selama ini Helenina tidak pernah menerima pendidikan yang benar, bahwa dirinya hanyalah gadis bodoh yang terlalu tidak tahu malu. Berbaring dengan mata terbuka nyalang menatap langit-langit, Helenina meremas tangannya saat kecemasannya bertambah. “Ta-tapi ... Ibu dan Ayah tidur di kamar yang sama, setiap malam,” gumamnya tidak pada siapa pun selain mencoba untuk membela diri sendiri—yang tampaknya tidak berhasil. Helenina mengin
Pintu kamar tersebut terbuka. Suara langkah kaki berderap masuk—langkah kaki berat yang mulai Helenina kenal, seolah pria itu memang berniat untuk mengumumkan kehadirannya pada penghuni kamar yang lain, yaitu Helenina sendiri. Dengan jantung berdebar Helenina menunggu saat-saat yang tepat untuk membuka matanya dan menghadapi suaminya yang sinis itu. Arthur terdengar sedang mandi, lalu keluar untuk berpakaian di ruang ganti, dan naik ke atas ranjang seperti biasa—berbaring di samping Helenina. Keheningan kemudian terjadi, keheningan yang sepi dan kosong. Yang bahkan setelah semua itu, Helenina tidak bisa menemukan ‘saat-saat yang tepat’ baginya untuk berbalik dan menghadap suaminya, apalagi untuk memulai pembicaraan dengan pria itu tentang topik yang telah mengganggu benaknya sejak tadi. Helenina kehilangan keberaniannya. *** Terbangun dengan perasaan damai yang aneh, yang sebelumnya belum pernah Helenina rasakan. Dia membuka mata dan merasakan beban yang cukup berat menimpa pingg
Helenina mengurungkan niatnya untuk berjalan-jalan dan sebagai gantinya dia pergi ke dapur dengan niat untuk membantu. Dia bertemu dengan Kepala Pelayan Emma dan Sarah di sana—salah satu gadis pelayannya. “Nyonya, Anda sudah bangun? Haruskah saya menyiapkan air mandinya sekarang?” Helenina segera menggeleng. Semburat merah samar muncul di pipinya. Entah sampai kapan, Helenina tidak pernah bisa terbiasa dengan semua pelayanan di rumah ini yang begitu memanjakannya, bahkan mandi saja harus disiapkan. Dan kalau Helenina tidak bersikeras, gadis-gadis pelayan itu mungkin juga akan membantunya mandi untuk menggosok punggungnya. Kenapa mereka memperlakukan Helenina sampai sedemikian rupa? Bahkan Arthur saja tidak diberi pelayanan sampai seperti itu. “Aku akan mandi nanti setelah sarapan,” kata Helenina, yang diberi anggukan singkat oleh Sarah. Helenina pergi mendekati sang juru masak yang menyambutnya hangat. Aroma roti dan selai memenuhi indera penciuman Nina. “Nyonya, Anda tidak harus
Helenina membuka tutup mulutnya, hendak membantah tapi tidak berani. Jadi pada akhirnya, dia mengambil benda yang pria itu minta. Wajah Helenina merona seperti tomat merah yang matang, dan dia memejamkan matanya erat-erat saat mengambil benda itu dan memberikannya pada Arthur. Dalam perjalanannya, kaki Helenina tersandung ujung sofa sehingga dia menggigit bibirnya kuat-kuat untuk menahan sebuah ringisan. “I-ini!” kata Helenina, mengulurkan tangannya jauh-jauh. Arthur mengambilnya dan langsung memakainya di hadapan Helenina yang masih memejamkan mata, dia melakukannya tanpa rasa malu sedikit pun. Dan tatapannya tidak lepas dari wajah wanita itu, memperhatikan istrinya tersebut dengan sebuah senyum tipis yang muncul di bibirnya. Setelah mengenakan celana dan tengah mengancingkan kemejanya, Arthur menghela napas berat. “Kau benar-benar tidak tertolong, Helenina,” ucap pria itu. Helenina membuka matanya perlahan, mengintip dari balik bulu matanya yang lebat ke sosok pria di hadapanny