Sebuah upacara pernikahan seharusnya dilaksanakan hari ini, tepatnya seharusnya tujuh menit yang lalu. Ruang pesta telah dihias menjadi sedemikian megah dan elegan, bernuansa putih yang disentuh oleh warna hijau dari tumbuh-tumbuhan dan bunga-bunga yang jumlahnya sangat banyak sehingga setiap kali Helenina Baron menarik napas, indera penciumannya akan dipenuhi dengan aroma yang manis dan menggoda dari bunga-bunga itu.
Para tamu yang jumlahnya lebih dari seribu orang telah hadir mengisi setiap kursi yang ada, menunggu sang mempelai wanita muncul dari pintu mahoni itu, berjalan menyusuri altar bersama sang wali, sebelum diserahkan ke hadapan suaminya yang berdiri di atas tiga undakan tangga di hadapan pastor.
Namun, kini sebelas menit telah berlalu. Dengan gelisah, Helenina melirik ke arah arlojinya. Saat itulah tiba-tiba saja dia merasakan sebuah cengkeraman kencang di pergelangan tangannya.
“Nona Helene, Anda dipanggil oleh Tuan Baron.”
Tanpa menunggu respon Helenina, pelayan wanita itu langsung menariknya pergi, mengundang tatapan beberapa tamu undangan yang hadir di sana.
“Apa terjadi sesuatu?” tanya Helenina, merasakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres.
Tapi pelayan wanita itu tidak menjawab pertanyaannya, sampai langkah mereka terhenti di ruang pengantin, di mana ternyata di sana telah ada ayah dan ibunya dan beberapa orang yang tampaknya adalah para bodyguard. Mereka berbicara serius dan berhenti saat menyadari kehadiran Helenina.
Pandangan Helenina tertuju ke seisi ruangan, seolah mencari seseorang.
“Helene, kemarilah!” itu suara tegas milik ayahnya, yang berhasil membuat Helenina berjengit dan langsung patuh mendekati pria itu.
Ada aura kemarahan yang sangat pekat. Atmosfer di sekitar mereka memberat dan Helenina merasakan dirinya menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, “Y-ya, Ayah?”
“Kau akan menggantikan Rosaline menuju altar. Sekarang, ganti pakaianmu dan bersiaplah secepat mungkin!”
“...!” Barulah saat itu juga Helenina mengangkat pandangannya dan menatap Thomas Baron dengan mata membelalak.
Apa maksudnya ini?
“Kau tuli?! Cepat pergi dan bersiap-siap!” bentak pria itu yang sontak membuat Helenina berjengit dan dengan refleks menundukkan tubuhnya sebelum melangkah pergi mengikuti pelayan.
Helenina tidak tahu apa yang terjadi. Ke mana perginya sang pengantin wanita?
“Nona Rosaline tiba-tiba menghilang di kamarnya pagi ini. Tuan Baron telah mencarinya dan sengaja tidak memberi tahu siapa pun untuk meminimalisir berembusnya rumor yang memalukan.”
“A-apa? Rosaline ... menghilang?” Helenina membeo dengan ekspresi terhenyak, dia bahkan tidak sadar saat baju pengantin dibawa ke arahnya, sementara pakaiannya sendiri mulai dilucutkan.
Kenyataannya, Helenina terlalu terkejut untuk mencerna apa yang terjadi.
Hal selanjutnya yang dia tahu adalah suara lonceng pernikahan yang berbunyi, sementara dirinya berdiri di samping sang pengantin pria.
Arthur Rutherford namanya, Presiden Direktur Rutherford Corp.. Selain itu, Helenina tidak tahu apa pun mengenai pria ini. Ah, Helenina bahkan tidak tahu bagaimana rupanya. Helenina terlalu terbiasa menundukkan kepala, merasa rendah dan kecil setiap saat, sehingga dia jarang memperhatikan wajah orang-orang di sekitarnya. Bahkan untuk menatap pria yang kini akan menikah dengannya saja, Helenina tidak punya cukup nyali.
Di bawah pengawasan tatapan tajam ayahnya di kursi tamu paling depan, Helenina dipaksa untuk menjadi si sempurna Rosaline Baron. Tidak ada yang Helenina bisa lakukan tentang hal itu. Adiknya melarikan diri di hari pernikahannya sendiri, reputasi keluarga mereka terancam kalau sampai orang-orang tahu mengenai hal itu, dan bagaimana respon Arthur Rutherford nantinya?
Maka di sinilah Helenina berada, menggantikan posisi adiknya, diharapkan menyelamatkan wajah keluarganya.
Helenina mengenakan veil putih, rambut kemerahannya ditutup dengan wig berwarna hitam untuk membuat penampilannya semakin mirip seperti Rosaline. Dan ketika sang pastor menuntun mereka untuk membaca sumpah pernikahan, Helenina tidak tahu nama siapa yang disebut. Namanya ataukah Rosaline? Karena pikiran Helenina terlalu berkecamuk dan dia terlalu gugup untuk mendengar apa pun. Tapi pastinya nama Rosaline, bukan? Kalau tidak, saat ini sang mempelai pria tentu saja sudah mengamuk.
Tidak pernah sekali pun Helenina berpikir bahwa akan datang saatnya di mana dia akan menikah. Dia tidak pernah membayangkan sebuah pernikahan akan terjadi di hidupnya.
Lagi pula, pria mana yang menginginkan wanita sakit-sakitan sepertinya sebagai istri?
Ayahnya, bahkan seluruh keluarganya, sudah cukup memperjelas hal itu pada Helenina.
Jadi, apa yang harus Helenina lakukan nanti ketika Arthur Rutherford tahu bahwa mempelainya yang sempurna telah ditukar dengan itik buruk rupa seperti dirinya?
Helenina memejamkan mata, telapak tangannya gemetar dan berkeringat dingin. Dia gugup dan merasa sangat takut sekarang. Apa pun yang terjadi nanti, seharusnya biar menjadi urusan nanti. Yang terpenting sekarang adalah bagaimana dia harus menyelamatkan reputasi keluarganya dari rasa malu dan olok-olokan.
Tapi ... Tuhan, bagaimana Helenina bisa tenang?
Terutama saat sang pengantin pria memasangkan cincin ke jemarinya yang gemetar, Helenina pasrah saja.
Lalu bagaimana dengan ciuman pernikahan?
Helenina sedikit menghela napas lega saat hal itu tidak terjadi. Sepertinya, pria yang seharusnya menikahi adiknya ini meminta kepada sang pastor untuk melewatkan prosesi tersebut.
Sehingga hal terakhir yang Helenina tahu adalah acara pernikahan itu berakhir dengan mulus tanpa adanya kendala.
Tidak ada satu pun orang yang merasa curiga. Dan sepanjang acara, veil yang menutupi kepala Helenina tidak dibuka. Pelayan wanitanya bilang bahwa veil itu akan dibuka nanti oleh suaminya, di kamar pengantin mereka.
Ketika mendengar itu, Helenina merasa jantungnya seolah berhenti berdetak untuk sesaat.
***
“Tenanglah, Nina.”
Di sebuah kamar yang beraroma mawar itu, Helenina duduk di pinggir ranjang dan tidak henti-hentinya berbicara dengan dirinya sendiri, terus-terusan menyebut kata ‘tenang’ seolah itu adalah mantra.
Dan tidak, nampaknya mantra tersebut tidak berhasil untuk membuatnya merasa tenang. Jantungnya masih berdentum dengan keras seolah menggedor rongga dadanya.
“Semuanya akan baik-baik saja. Saat dia tahu nanti, yang harus kau lakukan adalah menjelaskannya dengan baik-baik. Tidak perlu takut, semua ini pasti akan berlalu. Tidak lebih dari tiga hari, semuanya akan kembali seperti semula.”
Helenina memejamkan mata, kegelapan mampu membuatnya berpikir lebih baik, juga mampu membuatnya merasa jauh lebih aman. Kenapa? Karena mungkin di dalam kegelapan, tidak akan ada orang yang menyadari semua kekurangannya. Sehingga dengan itu, Helenina sengaja tidak menyalakan lampu, satu-satunya cahaya datang dari jendela kamar yang kerainya tersingkap sedikit.
“Tidak apa, Nina, semuanya akan baik-baik saja.” Sekali lagi, Nina mengatakan itu padanya dirinya sendiri.
Menit demi menit berlalu sementara dirinya menunggu badai yang sebentar lagi akan menerpanya.
Dan badai itu datang ditandai dengan suara pintu yang didorong terbuka.
Napas Helenina tertahan.
“Ah, tidak. Ini tidak akan baik-baik saja,” ucapnya dengan mata yang terpejam erat dan tangan yang mencengkeram kuat gaun pengantinnya.
Suara langkah kaki terdengar mendekat. Kemudian berhenti tepat di hadapannya. Alarm kewaspadaan berdering di telinga Helenina. Seluruh indra di tubuhnya menajam. Dia bahkan bisa mencium aroma parfum pria itu dengan sangat jelas; kelembutan kesturi dan cendana yang elegan, disertai citrus yang kuat dan menantang.
Namun ini bukanlah saatnya memikirkan hal-hal sekecil itu. Karena ada hal yang lebih penting yang harus dia khawatirkan.
Helenina harus mengatakan semuanya sekarang. Dia harus berbicara lebih dulu dan menjelaskan kebenarannya. Namun keheningan yang memekakkan telinga ini mengintimidasi Helenina, membuat lidahnya menjadi kelu.
Sampai suara bariton yang berat itu mengalun di udara dan memecah keheningan tersebut.
“Kalau kau terus menunduk begitu, apakah kau pikir orang lain tidak akan tahu?”
Napas Helenina kembali tertahan, matanya sontak terbuka lebar, tapi kepalanya semakin menunduk menatap lantai sehingga hanya ujung sepatu hitam yang dia lihat. Jantungnya seolah melompat-lompat sekarang. Bertanya-tanya dengan waspada apa maksud dari ucapan tesebut.
Dan sebelum dia sempat memikirkan jawabannya, suara bariton yang berat itu kembali berucap, “Kalau kau cukup berani mempermainkan janji yang kau ucapkan di hadapan Tuhan, artinya kau tidak memiliki rasa takut sedikit pun akan konsekuensinya saat berhadapan denganku, bukan?”
‘Haaa ... ba-bagaimana ini?’ batin Helenina dengan panik. Benaknya mendadak menjadi kosong.
Kemudian tiba-tiba saja jemari yang kuat menyentuh dagunya, memaksanya mendongak. Sepasang mata yang kelam menatapnya tajam seperti belati yang menusuk sampai sanubarinya.
Helenina ingin langsung memejamkan mata, membiarkan kegelapan menyertainya lagi. Tapi tidak bisa! Tatapan tajam milik pria itu seolah menguncinya, menyandra jiwanya tanpa harga.
“A-apa yang—” Suara yang keluar dari tenggorokan Helenina lebih terdengar seperti cicitan tikus yang ketakutan, sangat kontras dengan amarah gelap yang terdengar di suara pria itu saat dia memotong ucapannya.
“Tatap mata suamimu saat dia berbicara, Helenina ... Rutherford!”
***
Untuk sejenak, Helenina merasa seolah semua kecamuk pikiran dan emosi di dalam dirinya ditarik keluar, lenyap membawa kekosongan. Histeria itu dia rasakan singkat dalam sepersekian detik setelah namanya disebut. Dan tidak sampai di sana, saking terhenyaknya, Helenina dengan tatapan kosong mengulang nama itu di lidahnya sendiri. “Helenina ... Rutherford?” bisiknya, dengan nada yang terdengar seperti sebuah pertanyaan alih-alih pernyataan, seolah itu bukan namanya sendiri. Bagaimana pria ini bisa tahu ...? Kemudian Helenina menggeleng, melepaskan cengkeraman tangan pria itu di dagunya. Veil yang Helenina kenakan belum dilepas, jadi pastinya pria ini belum mengenali siapa dirinya bukan? “Kenapa? Apakah itu bukan namamu?” Terdengar nada sarkas di suara pria itu. Helenina menarik napas dalam-dalam, memberanikan diri mendongakkan pandangannya dan menatap kembali wajah suaminya—yang sebenarnya tidak terlalu tampak jelas dalam pandangannya. Helenina berkata dengan segenap keberanianny
TAMING THE DEVILISH HUSBAND chapter 03 – Agreement (1) Helenina bisa merasakan wajahnya memanas. Bagaimana bisa seseorang mengatakan hal seperti itu dengan ekspresi yang begitu serius dan suara sedingin es? Dan bagaimana pria ini bisa tahu bahwa Helenina memiliki rambut sewarna merah, padahal ini adalah pertemuan pertama mereka? Tidak hanya itu, Arthur juga berkata bahwa dia langsung bisa mengenali Helenina saat menuju altar padahal wajah Helenina telah ditutup veil putih dan sepanjang acara dia tidak sekali pun mengangkat wajah atau pandangannya. Helenina bertanya-tanya bagaimana pria ini bisa tahu? “Haruskah aku mengulangi ucapanku?” desis pria itu dengan tajam. Helenina seharusnya merasa takut, tapi pertanyaan di benaknya berhasil mengalihkan perasaan tersebut. Helenina justru menatap Arthur dengan bingung. Dekatnya jarak di antara mereka membuat Helenina bisa mencium aroma parfum itu lagi, sehingga tanpa sadar Helenina menahan napasnya. Kemudian dengan kehati-hatian, Helenina
TAMING THE DEVILISH HUSBAND chapter 04 – Agreement (2) “Helenina.” Pandangan Helenina saat itu tertuju pada bibir Arthur, melihat bagaimana bibir itu bergerak menyebut namanya. Helenina merasa malu yang entah karena apa sehingga dia dengan cepat mengalihkan pandangnya ke arah lain “Ya,” jawab Helenina kemudian. “Ikuti aku!” kata Arthur, yang melangkah pergi menuju sofa panjang. Duduk di sana dengan tangan yang bersandar pada punggung sofa. Helenina mengikutinya dan duduk di hadapannya. Dari tempatnya, dia bisa melihat bagaimana tubuh Arthur yang baginya sangat besar, mengambil banyak tempat di sofa panjang itu, dan kakinya yang panjang juga mustahil bisa diluruskan. Kemudian Arthur mulai berbicara, dan Helenina langsung mengalihkan pandangannya. “Seperti yang kau tahu, Helenina, bahwa rencana pernikahan ini telah dirusak sepenuhnya oleh ulah adikmu yang tidak bertanggung jawab itu. Sehingga kedua belah pihak harus menanggung semuanya, dan salah satunya adalah dirimu yang terpak
Arthur melangkah cepat menuju ruang kerjanya. Ekspresi yang dia miliki di wajah menunjukkan dengan jelas bagaimana amarahnya sebentar lagi akan meledak. Dasi kupu-kupu yang dia kenakan sudah tidak lagi di tempatnya, dan rambutnya yang semula tertata rapi kini telah acak-acakkan menunjukkan seberapa kali dia menyugarnya ke belakang dengan jari.Seorang pria berambut pirang menyusulnya dari belakang. Berkata dengan napas yang memburu karena mengejar tuannya dari lantai bawah. “Tuan, belum ada kabar terbaru lagi tentang Nona Rosaline.”Sang tuan sama sekali tidak menghiraukannya.Tapi pria itu berkata lagi, “Dan saya sudah memerintahkan pelayan untuk membersihkan kamar tamu dan sekarang Nona Helenina Baron sudah diantar ke sana.”Mendengar nama itu, langkah Arthur sontak terhenti. Dia kemudian berbalik menatap asistennya tersebut.“Kenapa kamar tamu?” tanyanya.“Haruskah saya menyiapkan kamar—”“Tidak. Tidak perlu!” potong Arthur dengan cepat. Dia menunduk dan memejamkan matanya seolah u
Selama hampir seharian ini, Helenina lebih banyak menghabiskan waktunya dengan bersantai. Bahkan berpikir bahwa dia sangat dimanjakan oleh pelayan pribadinya. Tidak sedikit pun kekurangan kudapan, dan tehnya dipastikan selalu dalam keadaan hangat. Helenina bertanya-tanya apakah tidak ada pekerjaan apa pun untuknya sebagai seorang Nyonya? Dia melihat ibunya di rumah tampak sangat sibuk setiap saat, sesekali juga melakukan pekerjaan bisnis ke luar kota atau negara untuk membantu ayahnya. Apakah nanti Helenina juga akan melakukan hal-hal semacam itu? Bukannya Helenina tidak mau, tapi dia ragu tubuhnya akan bisa mengemban tugas bepergian jauh. Bahkan saat dia tidak melakukan apa pun, tubuhnya sering jatuh sakit. Selama tinggal di rumah keluarganya, tidak sekali pun Helenina diberikan tugas-tugas atau pekerjaan oleh ayahnya. Sementara jadwal Rosaline padat, seperti menghadiri pesta-pesta bergengsi atau melakukan perwakilan ke luar negeri. Orang-orang mungkin akan berpikir bahwa Helenin
Mata Helenina berkedip menatap wanita itu, yang tampaknya juga sama terkejutnya seperti Helenina. Mereka berdiri di sana tanpa mengatakan apa pun. Kemudian seolah tersadar, ekspresi terkejut di wajah wanita itu lenyap, dia menegakkan bahunya dan melangkah melewati Helenina— pergi dengan langkah tergesa. Helenina tanpa sadar memandang wanita itu sampai dia menghilang di belokan lorong yang akan membawanya ke tangga. Sebelum Helenina sempat mencerna kejadian tersebut, sebuah suara kembali mengejutkannya. “Helenina.” Helenina langsung berjengit dan kembali menoleh ke depan. Saat ini, tubuh yang lebar dan kokoh memenuhi ambang pintu dan menutupinya dalam bayangan gelap. Helenina mendongak, menatap sepasang mata kelam yang menatapnya dingin. “Apa yang kau lakukan di sini?” kata Arthur. Barulah saat itu Helenina teringat akan tujuan awalnya untuk datang. Dia mengalihkan pikirannya dari wanita tadi dan mengabaikan rasa segannya, kemudian menjawab, “Aku ingin bicara sebentar. Bolehkah?”
Tidur adalah hal terakhir yang bisa Helenina lakukan malam ini. Kantuk terasa begitu jauh dari matanya. Dan pikirannya terus tertuju pada kejadian beberapa saat lalu. “Lantas kalau kita masih sepasang suami istri, kenapa kau tidak tidur sekamar denganku?!” Argh! Rasanya Helenina ingin mengubur dirinya sendiri saat ini juga karena saking malunya dia pada kata-katanya tersebut. Bagaimana bisa dia mengatakan kalimat semacam itu? Arthur pasti akan berpikir bahwa dia adalah wanita yang aneh dan tidak bermartabat. Dan setelah ini, pria itu pasti akan tahu bahwa selama ini Helenina tidak pernah menerima pendidikan yang benar, bahwa dirinya hanyalah gadis bodoh yang terlalu tidak tahu malu. Berbaring dengan mata terbuka nyalang menatap langit-langit, Helenina meremas tangannya saat kecemasannya bertambah. “Ta-tapi ... Ibu dan Ayah tidur di kamar yang sama, setiap malam,” gumamnya tidak pada siapa pun selain mencoba untuk membela diri sendiri—yang tampaknya tidak berhasil. Helenina mengin
Pintu kamar tersebut terbuka. Suara langkah kaki berderap masuk—langkah kaki berat yang mulai Helenina kenal, seolah pria itu memang berniat untuk mengumumkan kehadirannya pada penghuni kamar yang lain, yaitu Helenina sendiri. Dengan jantung berdebar Helenina menunggu saat-saat yang tepat untuk membuka matanya dan menghadapi suaminya yang sinis itu. Arthur terdengar sedang mandi, lalu keluar untuk berpakaian di ruang ganti, dan naik ke atas ranjang seperti biasa—berbaring di samping Helenina. Keheningan kemudian terjadi, keheningan yang sepi dan kosong. Yang bahkan setelah semua itu, Helenina tidak bisa menemukan ‘saat-saat yang tepat’ baginya untuk berbalik dan menghadap suaminya, apalagi untuk memulai pembicaraan dengan pria itu tentang topik yang telah mengganggu benaknya sejak tadi. Helenina kehilangan keberaniannya. *** Terbangun dengan perasaan damai yang aneh, yang sebelumnya belum pernah Helenina rasakan. Dia membuka mata dan merasakan beban yang cukup berat menimpa pingg