Rasa sakit karena ditinggalkan, amarah karena ketidakadilan, atau kesedihan yang hadir kala kesepian, Helenina Baron telah merasakan semua emosi itu bahkan merasa familiar dengannya. Dia juga tahu apa itu kebahagiaan dan rasa kasih sayang, kedua emosi itu telah diberikan dan diajarkan padanya oleh pengasuhnya semenjak kecil. Dia pikir, dia paham semua emosi yang ada di dunia ini.
Namun ternyata Helenina salah.
Setiap kali dia berbaring di ranjang ini, dengan seorang pria di atasnya yang wajahnya saja tidak bisa Helenina lihat dengan jelas, Helenina bertanya-tanya; apa nama emosi yang satu ini?
Tubuh Helenina panas. Setiap jengkal kulitnya tergelitik sensitif seolah arus listrik mengalir dengan lembut di setiap saraf-saraf kecilnya. Dan semua ini diakibatkan oleh sentuhan yang pria itu berikan padanya.
Helenina tidak bisa melawan, tidak juga menolak. Dia menerima semuanya dengan pasrah, bahkan terkadang menginginkan lebih walau terlalu malu untuk mengungkapkan.
“Beri tahu aku jika rasanya masih sakit.” Deru napas pria itu berembus ke kulit sensitif Helenina sementara suaranya yang begitu maskulin dan lembut itu mengalun di telinga Helenina dengan cara yang sensual.
Helenina memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam, aroma tubuh pria itu dan cairan percintaan mereka memenuhi paru-parunya. Dia menggigit bibir, tidak sanggup menjawab saat pria itu menyentuhnya di tempat-tempat yang Helenina bahkan malu menyentuhnya sendiri.
Helenina tidak tahu apa yang pria itu maksud dari rasa sakit. Sebelumnya Helenina telah familiar dengan emosi tersebut, namun ini ... tidak ada rasa sakit dari apa pun yang tengah Helenina rasakan sekarang ini.
Bahkan rasanya seperti melampaui batas yang dia sebut kebahagiaan.
Beberapa hari yang lalu Helenina bertanya-tanya, apa sebutan untuk emosi yang sekarang tengah dia rasakan ini?
Gairah.
Helenina menemukan jawabannya langsung dalam bisikan-bisikan kotor yang sang pria hembuskan ke telinganya.
“Tubuhmu benar-benar merespon dengan baik sentuhanku. Seolah kau hanya diciptakan untukku seorang.”
“Nghh!” Helenina memejamkan mata saat merasakan desakan yang hangat di antara pahanya.
“Lihat? Kau sebergairah ini, Nina.” Pria itu mengangkat tangannya, menunjukkan pada Helenina jemari yang mengilap oleh cairan kental miliknya.
Ya, inilah ternyata yang dinamakan gairah. Helenina masih merasa asing padanya sekalipun sudah sering merasakan.
Dan selama beberapa hari ini, seperti seorang pelajar rajin yang dikuasai rasa penasaran, Helenina tidak henti-hentinya mencari tahu lebih.
Dan pria ini, tidak segan-segan mengajarkan segala hal yang ingin Helenina ketahui tentang emosi tersebut.
Saat pikiran sedikit teralihkan, Helenina merasakan dorongan di titik tubuhnya yang paling sensitif dan basah di bawah sana. Helenina sontak menggeliat seolah ingin melarikan diri, tapi sekaligus juga tidak.
“A-Arthur ...!” pekiknya saat suara hentakan terdengar dan milik pria itu terbenam sepenuhnya di dalam milik Helenina.
“Kau memiliki tubuh yang indah, Istriku. Kulitmu seputih salju dan sehalus beludru.”
Helenina menangis.
“Sshhh! Cobalah untuk tenang,” ucap pria itu lagi dalam bisikan lembutnya yang menenangkan.
Helenina menatapnya dengan air mata yang menggenang di ujung pelupuk mata. “Ta-tapi—”
“Tidak apa. Ini bukan pertama kalinya untukmu. Kau hanya perlu lebih beradaptasi lagi. Ngh!”
“Arthur ....”
“Satu hal yang harus kau tahu, bahwa aku tidak akan menyakitimu. Apa kau percaya padaku?”
“ Y-ya. Aku ... percaya.”
Semenjak pertemuan pertama mereka, kesan pertama yang Helenina dapatkan dari suaminya ini adalah sosok pria kasar. Tubuh yang dia miliki saja sudah cukup memberi tahu Helenina akan rasa sakit apa yang bisa pria ini ciptakan kalau Helenina melakukan sesuatu yang membuatnya marah.
Tapi tidak pernah sekali pun Helenina disakiti secara fisik. Namun tidak juga pernah diperlakukan dengan kasih sayang dan cinta.
Kelembutan pria ini hanya muncul pada saat mereka berhubungan badan saja. Hanya dengan itu, dia akan berkata;
“Kau milikku, Nina. Tubuhku ini juga adalah milikmu.”
Dan hanya pada saat mereka bercinta, Helenina bisa mempercayainya dengan sepenuh hati.
Ucapannya manis sekali, seperti madu. Namun ketika pagi datang nanti, dia akan kembali menjadi dirinya yang selalu memuntahkan racun untuk menyakiti Helenina.
Namun malam ini, saat mereka dilingkupi oleh emosi yang bernama gairah ini, Helenina tidak peduli dengan rasa sakitnya. Dia hanya menginginkan pria ini, tidak lebih. Di mana saat mereka bercinta, Nina bisa memilikinya seutuhnya dan menyerahkan tubuhnya untuk dimiliki juga.
Ah, Helenina tidak pernah menyangka bahwa dia akan menjadi wanita serakah seperti ini. Dari mana semuanya dimulai? Ke mana perginya si Helenina Baron yang lugu dan pasrah pada takdirnya yang menyedihkan?
Tampaknya, Arthur Rutherford telah mengubah wanita itu sepenuhnya, menjadikannya seperti wanita ideal yang dia inginkan di atas ranjang.
Dan tidak ada alasan bagi Helenina untuk bisa menolak.
***
Sebuah upacara pernikahan seharusnya dilaksanakan hari ini, tepatnya seharusnya tujuh menit yang lalu. Ruang pesta telah dihias menjadi sedemikian megah dan elegan, bernuansa putih yang disentuh oleh warna hijau dari tumbuh-tumbuhan dan bunga-bunga yang jumlahnya sangat banyak sehingga setiap kali Helenina Baron menarik napas, indera penciumannya akan dipenuhi dengan aroma yang manis dan menggoda dari bunga-bunga itu. Para tamu yang jumlahnya lebih dari seribu orang telah hadir mengisi setiap kursi yang ada, menunggu sang mempelai wanita muncul dari pintu mahoni itu, berjalan menyusuri altar bersama sang wali, sebelum diserahkan ke hadapan suaminya yang berdiri di atas tiga undakan tangga di hadapan pastor. Namun, kini sebelas menit telah berlalu. Dengan gelisah, Helenina melirik ke arah arlojinya. Saat itulah tiba-tiba saja dia merasakan sebuah cengkeraman kencang di pergelangan tangannya. “Nona Helene, Anda dipanggil oleh Tuan Baron.” Tanpa menunggu respon Helenina, pelayan wani
Untuk sejenak, Helenina merasa seolah semua kecamuk pikiran dan emosi di dalam dirinya ditarik keluar, lenyap membawa kekosongan. Histeria itu dia rasakan singkat dalam sepersekian detik setelah namanya disebut. Dan tidak sampai di sana, saking terhenyaknya, Helenina dengan tatapan kosong mengulang nama itu di lidahnya sendiri. “Helenina ... Rutherford?” bisiknya, dengan nada yang terdengar seperti sebuah pertanyaan alih-alih pernyataan, seolah itu bukan namanya sendiri. Bagaimana pria ini bisa tahu ...? Kemudian Helenina menggeleng, melepaskan cengkeraman tangan pria itu di dagunya. Veil yang Helenina kenakan belum dilepas, jadi pastinya pria ini belum mengenali siapa dirinya bukan? “Kenapa? Apakah itu bukan namamu?” Terdengar nada sarkas di suara pria itu. Helenina menarik napas dalam-dalam, memberanikan diri mendongakkan pandangannya dan menatap kembali wajah suaminya—yang sebenarnya tidak terlalu tampak jelas dalam pandangannya. Helenina berkata dengan segenap keberanianny
TAMING THE DEVILISH HUSBAND chapter 03 – Agreement (1) Helenina bisa merasakan wajahnya memanas. Bagaimana bisa seseorang mengatakan hal seperti itu dengan ekspresi yang begitu serius dan suara sedingin es? Dan bagaimana pria ini bisa tahu bahwa Helenina memiliki rambut sewarna merah, padahal ini adalah pertemuan pertama mereka? Tidak hanya itu, Arthur juga berkata bahwa dia langsung bisa mengenali Helenina saat menuju altar padahal wajah Helenina telah ditutup veil putih dan sepanjang acara dia tidak sekali pun mengangkat wajah atau pandangannya. Helenina bertanya-tanya bagaimana pria ini bisa tahu? “Haruskah aku mengulangi ucapanku?” desis pria itu dengan tajam. Helenina seharusnya merasa takut, tapi pertanyaan di benaknya berhasil mengalihkan perasaan tersebut. Helenina justru menatap Arthur dengan bingung. Dekatnya jarak di antara mereka membuat Helenina bisa mencium aroma parfum itu lagi, sehingga tanpa sadar Helenina menahan napasnya. Kemudian dengan kehati-hatian, Helenina
TAMING THE DEVILISH HUSBAND chapter 04 – Agreement (2) “Helenina.” Pandangan Helenina saat itu tertuju pada bibir Arthur, melihat bagaimana bibir itu bergerak menyebut namanya. Helenina merasa malu yang entah karena apa sehingga dia dengan cepat mengalihkan pandangnya ke arah lain “Ya,” jawab Helenina kemudian. “Ikuti aku!” kata Arthur, yang melangkah pergi menuju sofa panjang. Duduk di sana dengan tangan yang bersandar pada punggung sofa. Helenina mengikutinya dan duduk di hadapannya. Dari tempatnya, dia bisa melihat bagaimana tubuh Arthur yang baginya sangat besar, mengambil banyak tempat di sofa panjang itu, dan kakinya yang panjang juga mustahil bisa diluruskan. Kemudian Arthur mulai berbicara, dan Helenina langsung mengalihkan pandangannya. “Seperti yang kau tahu, Helenina, bahwa rencana pernikahan ini telah dirusak sepenuhnya oleh ulah adikmu yang tidak bertanggung jawab itu. Sehingga kedua belah pihak harus menanggung semuanya, dan salah satunya adalah dirimu yang terpak
Arthur melangkah cepat menuju ruang kerjanya. Ekspresi yang dia miliki di wajah menunjukkan dengan jelas bagaimana amarahnya sebentar lagi akan meledak. Dasi kupu-kupu yang dia kenakan sudah tidak lagi di tempatnya, dan rambutnya yang semula tertata rapi kini telah acak-acakkan menunjukkan seberapa kali dia menyugarnya ke belakang dengan jari.Seorang pria berambut pirang menyusulnya dari belakang. Berkata dengan napas yang memburu karena mengejar tuannya dari lantai bawah. “Tuan, belum ada kabar terbaru lagi tentang Nona Rosaline.”Sang tuan sama sekali tidak menghiraukannya.Tapi pria itu berkata lagi, “Dan saya sudah memerintahkan pelayan untuk membersihkan kamar tamu dan sekarang Nona Helenina Baron sudah diantar ke sana.”Mendengar nama itu, langkah Arthur sontak terhenti. Dia kemudian berbalik menatap asistennya tersebut.“Kenapa kamar tamu?” tanyanya.“Haruskah saya menyiapkan kamar—”“Tidak. Tidak perlu!” potong Arthur dengan cepat. Dia menunduk dan memejamkan matanya seolah u
Selama hampir seharian ini, Helenina lebih banyak menghabiskan waktunya dengan bersantai. Bahkan berpikir bahwa dia sangat dimanjakan oleh pelayan pribadinya. Tidak sedikit pun kekurangan kudapan, dan tehnya dipastikan selalu dalam keadaan hangat. Helenina bertanya-tanya apakah tidak ada pekerjaan apa pun untuknya sebagai seorang Nyonya? Dia melihat ibunya di rumah tampak sangat sibuk setiap saat, sesekali juga melakukan pekerjaan bisnis ke luar kota atau negara untuk membantu ayahnya. Apakah nanti Helenina juga akan melakukan hal-hal semacam itu? Bukannya Helenina tidak mau, tapi dia ragu tubuhnya akan bisa mengemban tugas bepergian jauh. Bahkan saat dia tidak melakukan apa pun, tubuhnya sering jatuh sakit. Selama tinggal di rumah keluarganya, tidak sekali pun Helenina diberikan tugas-tugas atau pekerjaan oleh ayahnya. Sementara jadwal Rosaline padat, seperti menghadiri pesta-pesta bergengsi atau melakukan perwakilan ke luar negeri. Orang-orang mungkin akan berpikir bahwa Helenin
Mata Helenina berkedip menatap wanita itu, yang tampaknya juga sama terkejutnya seperti Helenina. Mereka berdiri di sana tanpa mengatakan apa pun. Kemudian seolah tersadar, ekspresi terkejut di wajah wanita itu lenyap, dia menegakkan bahunya dan melangkah melewati Helenina— pergi dengan langkah tergesa. Helenina tanpa sadar memandang wanita itu sampai dia menghilang di belokan lorong yang akan membawanya ke tangga. Sebelum Helenina sempat mencerna kejadian tersebut, sebuah suara kembali mengejutkannya. “Helenina.” Helenina langsung berjengit dan kembali menoleh ke depan. Saat ini, tubuh yang lebar dan kokoh memenuhi ambang pintu dan menutupinya dalam bayangan gelap. Helenina mendongak, menatap sepasang mata kelam yang menatapnya dingin. “Apa yang kau lakukan di sini?” kata Arthur. Barulah saat itu Helenina teringat akan tujuan awalnya untuk datang. Dia mengalihkan pikirannya dari wanita tadi dan mengabaikan rasa segannya, kemudian menjawab, “Aku ingin bicara sebentar. Bolehkah?”
Tidur adalah hal terakhir yang bisa Helenina lakukan malam ini. Kantuk terasa begitu jauh dari matanya. Dan pikirannya terus tertuju pada kejadian beberapa saat lalu. “Lantas kalau kita masih sepasang suami istri, kenapa kau tidak tidur sekamar denganku?!” Argh! Rasanya Helenina ingin mengubur dirinya sendiri saat ini juga karena saking malunya dia pada kata-katanya tersebut. Bagaimana bisa dia mengatakan kalimat semacam itu? Arthur pasti akan berpikir bahwa dia adalah wanita yang aneh dan tidak bermartabat. Dan setelah ini, pria itu pasti akan tahu bahwa selama ini Helenina tidak pernah menerima pendidikan yang benar, bahwa dirinya hanyalah gadis bodoh yang terlalu tidak tahu malu. Berbaring dengan mata terbuka nyalang menatap langit-langit, Helenina meremas tangannya saat kecemasannya bertambah. “Ta-tapi ... Ibu dan Ayah tidur di kamar yang sama, setiap malam,” gumamnya tidak pada siapa pun selain mencoba untuk membela diri sendiri—yang tampaknya tidak berhasil. Helenina mengin