"Kamu anggap aku apa?" geram Alfa. Wajahnya sudah memerah meski mimik wajahnya terlihat tenang. Sedikitpun matanya tidak melotot. Itilah Alfa, semarah apapun ekspresinya tetap tenang dan datar. "Ini tadi..." Tari terlihat bingung. Mau menjelaskan tapi putrinya menangis meminta digendong. Jadilah dia lebih dulu menggendong putrinya itu. "Maaf Kak bisa bantu ambilkan empeng Sabia," pinta Tari pada Satya. Sepertinya Sabia lapar dan haus jadi mau dikasih empeng dulu sembari dibikinkan susu formula. Untuk memberi Asi tempatnya tidak tepat. "Tari, bisa jelasin sedang apa kamu sama Satya?" Karena kesal dan merasa diabaikan Alfa pun meninggikan suaranya. Rasa emosi telah menutup rasa empatinya. Satya yang hendak mengambil tas bayi langsung tersulut emosi. "Kecilkan suaramu, kau menakuti putriku." Bestari tak tahu harus bagaimana, putrinya menangis sedangkan tubuhnya terjebak di tengah-tengah dua pria yang sedang adu mulut. "Putrimu?" Alfa terkekeh..."Putri yang lahir kare
"Boleh Tante masuk?" Aisyah berdiri di tengah pintu kamar saat Bestari menidurkan bayinya. "Iya, silakan Tante." Bestari tersenyum lalu bangkit dari tidurannya. "Sudah tidur?" tanya Aisyah setengah berbisik. "Sudah," "Apa Tante ganggu?" Pelan, Aisyah duduk di sisi ranjang yang kosong. "Sama sekali tidak. Tante ada perlu?" Aisyah menggelengkan kepalanya. "Tante cuma mau bicara sebentar, boleh?" Bestari mengangguk tak lupa seuntas senyum tipis ia berikan pada mantan mertuanya itu. Aisyah menghela nafas sebelum berbicara. Wajahnya tiba-tiba berubah sendu. Dan hal itu membuat Bestari penasaran. "Tadi siang mamamu telpon, katanya Sabia sudah mulai belajar jalan. Mamamu juga mengirimkan videonya. Ya Alloh... seneng banget liatnya... jadi pengen bisa ikut ngajarin jalan." Bestari tersenyum, " Iya, tadi baru belajar jalan lagi. Sebenarnya sebelumnya Sabia sudah bisa jalan selangkah dua langkah Te, waktu awal umur sepuluh bulan. Tapi karena belum bisa jaga keseimbangan sab
"Kenapa? Apa kamu ingin kembali pada Satya?" tanya Alfa masih dengan wajah tenangnya. Pria itu memang sangat pandai menyembunyikan ekspresinya kemarahannya. Sedang di tempatnya Satya sedang menahan diri untuk tidak bersorak karena jawaban Bestari. "Jawablah, apa dia alasannya?" Alfa kembali bertanya. Kali ini nada suaranya mulai meninggi menunjukkan emosi sudah mulai mengikis ketenangannya. Alfa tipe orang yang suka memendam perasaannya. Menahan diri dan menumpuk kekesalannya. Namun ketika sudah tak sanggup mehanan emosi bisa meledak tanpa memikirkan tempat kondisi. "Alfa, tenanglah. Jangan memberondong Tari dengan pertanyaanmu." Nura meremas lengan putranya. "Tari, bolehkah kami tahu alasannya? Sebelumnya kamu sudah menerima lamaran Alfa, kenapa sekarang tiba-tiba berubah?" tanya Nura dengan suara lembut. Tak ada sedikitpun nada marah dari suaranya. Reaksi Nura membuat Tari tambah merasa bersalah. Meski merasa kecewa tapi tantenya itu masih bersikap lembut dan sabar.
Pov Abisatya. "Satya, sini." Mama melambaikan tangannya begutu aku masuk kedalam rumah. "Lihat ini, Farah kirim video Sabia belajar jalan. Ya Allah... lucunya..." Tawa Mama dan Anindya membuatku penasaran. Kupercepat langkah kaki menuju ruang tengah. "Sini, cepat!!" Mama menepuk sofa sebelahnya. "Mana lihat, Ma." Aku ambil alih ponsel dari tangan Mama. Di layar benda pintar itu terlihat bidadari kecilku sedang berjalan selangkah demi selangkah berusaha menggapai sebuah tangan yang aku yakin milik Tari. Wajahnya yang begitu cantik semakin membuatku terpesona dengan tawanya yang membuat mata indahnya sedikit menyipit. Suara tawa malaikat kecilku itu seperti alunan musik yang terdengar merdu menenuhi gendang telingaku. Dan entah lewat mana tiba-tiba suara itu sudah merasuk kedala dada dan menggetarkan hatiku. Tanpa terasa lelehan bening itu merembes membasahi pipiku. Ya Allah..... seindah inikah rasa cinta seorang ayah terhadap putrinya. Andai saja aku bisa melihatny
Sudah satu setengah jam aku duduk termenung di depan teras rumah kediaman keluarga Rahardian. Tadi saat kami akan pulang, Tante Farah melarang. Dia meminta agar kami menginap saja sekali besok. mengantar Tari dan Sabia ke bandara. "Kalian menginap saja, nanti gak sempat ketemu Sabia lo,..... besok kan Tari balik ke Surabaya." Tante Farah memaksa kami untuk menginap. Awalnya Mama sempat bimbang karena teringat Anindya di rumah sendiri tapi saat mendengar anak bontotnya itu sudah dalam perjalanan menyusul, Mama langsung mengiyakan dan langsung sibuk membuat makanan kesukaan Tari untuk dibawa ke Surabaya. Dan akhirnya dua ibu-ibu itu asyik sibuk di dapur. Papa jangan ditanya, sudah stanby di depan televisi jadi suporter timnas sepak bola tentu bersama Om Ibra, Sama-sama penggemar bola. "Lo lagi nyariin uang receh?" Suara Ganendra yang membuatku kaget. Aku mendongak, menatap pria yang berdiri sombong di sebelahku dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celananya. "Nggak usah Nya
Sengaja aku tidak datang ke rumah Tari pagi ini seperti perintah Mama. Aku juga meminta Papa untuk merahasiakan rencanaku pindah ke Surabaya. Takut Tari berubah pikiran dan batal pulang ke Surabaya. Aku menyerahkan kembali posisi CEO perusahaan pada Papa. Di sini Papa akan dibantu Derry karena di Jakarta juga ada beberapa anak cabang yang sedang mulai berkembang jadi aku tak bisa membawa asisten pribadiku itu. Untuk sekarang ini aku akan fokus untuk meluluhkan hati Tari sembari mengurus proyek pembangunan anak cabang di Surabaya. Hal utama adalah untuk mendapatkan kepercayaan Tari dan hal kedua membesarkan anak canang di Surabaya, tentu untuk membahagiakan Tari dan Sabia. Tidak munafik, untuk bisa membahagiakan orang-orang yang kita cintai kita butuh materi. Dan itu harus dipenuhi dengan bekerja. Aku membawa Andra, salah satu orang kepercayaanku untuk ikut ke Surabaya. Dia cukup tanggap dan cekatan meski tak secerdik Derry. "Bos, orang-orang kita akan menyusul minggu de
Tari memutar matanya jengah. Terlihat sangat kesal mendengar jawabanku. "Mana kuncinya biar aku bantu buka," kataku lagi sambil menengadahkan tangan di depannya berpura-pura tidak mengerti arti tatapan tak sukanya. "Ada di tas. Bantu bawa Sabia aja," katanya menyerahkan Sabia. Tak menunggu lama kau langsung mengulurkan tanganku mengambil alih baumhi cantik itu dan mendekapnya dipelukan. Sabia menggeliat, merasa tidurnya terganggu. Cepat aku menganyun dan menepuk pelan punggungnya, Sabia pun tenang kembali. Setelah menutup kembali pintu pagar, pelan aku berjalan masuk menyusul Tari yang sudah berdiri di depan pintu. "Sini, kamu tunggu aja di teras." Tari mengulurkan tangannya hendak mengambil alih Sabia. Tapi aku menghindar. "Biar aku saja, kasihan tadi hampir aja kebangun. Nanti malah rewel," kataku memberi alasan. "Ck.... sok tahu. Kayak pernah ngurusin bayi." Tari mencibir. "Belum, tapi aku dapat banyak pelajaran tentang mengasuh bayi dari karyawanku yang ba
"Kalau iya. Aku akan mengajukan gugatan untuk merebut Sabia?" Tak kuberi dia kesempatan untuk bicara. Aku memberondong dengan pernyataan berkelanjutan. Sontak saja wajah Tari memerah, dia pasti marah dengan ucapanku. Maaf, tapi aku tak punya cara lain selain menggertaknya. Dia harus tahu aku serius. "Mulai sekarang aku akan tinggal di Surabaya. Aku aka memastikan keamanan Sabia juga dirimu." Matanya menyipit namun bibir masih bungkam. Terlihat jika dia tak percaya. Kutarik nafas panjang. "Aku serius dengan ucapanku dan kamu bisa membuktikannya nanti," kataku masih dengan menatapnya lekat. "Dan satu lagi, aku tidak bisa kehilangan Sabia. Jadi, jangan buat aku memilih." Aku memberinya peringatan agar tidak memaksaku melakukan hal yang pasti tidak diinginkannya. "Sudah selesai bicaranya?" tanya Tari dan aku mengangguk mengiyakan. "Kalau begitu pergilah! Kami butuh istirahat." Dia mengusirku. Aku mendesah pelan, "Hah....masih sama," gumamku sedikit kecewa Tari tak b
"Assalamu'alaikum," ucap Anindya saat memasuki rumah. "Wa'alaikum salam...." Tari yang duduk di sofa ruang tengah langsung beranjak bangun, menyambut afik iparnya itu dengan pelukan. Wanita yang sedang hamil lima bulan itu nampak begitu bahagia. Senyumnya mengembang membuat Anindya bertanya-tanya dalam hati. Apa yang terjadi saat dirinya tak ada di rumah? Kenapa tiba-tiba kakak iparnya terlihat sangat bahagia? Apa kedatangan orang tuanya membuat sang kakak ipar sebahagia itu? Bukankan dua bulan sekali mama papanya rutin datang berkunjung? "Mbak Tari kayaknya bahagia banget?" "Ya iyalah, Mbak ikut bahagia. Bahagia banget malah," jawab Tari masih dengan senyum mengembang. Bahkan tangan lembutnya merapikan beberapa anak rambut Anindya yang menutupi wajah. Anindya mengerutkan dahinya. "Di suruh pulang jam 4, nyampek rumah jam 5," omel Satya dari arah tangga. Sontak dua wanita itu menoleh, nampak Satya yang sudah rapi menuruni tangga. "Jadi orang kok susah banget disuru
Sudah dua minggu sejak pertemuan di kedai eskrim, Guntur tak menampakkan diri. Dari Satya baru diketahui jika pria itu sudah kembali ke Jakarta. Anindya sempat menghubungi mantan kakak iparnya itu untuk menanyakan perihal kelanjutan pembuatan iklan. [Tentu saja jadi. Untuk konsepnya pakai yang pertama jamu presentasikan.] Balasan pesan dari Guntur yang membuat Anindya mengumpat untuk pertama kalinya sejak pindah ke Surabaya. "Gil*!! Dasar pria gil* sialan," umpatnya setelah membaca balasan pesan dari Guntur. "Itu kulkas pasti sengaja ngerjain aku. Kalau dari awal suka dengan konsep yang pertama kenapa bilangnya jelek, udah gitu minta dibuatkan konsep lain. Aduhh... dasar..." Anindya menggerutu dengan kedua tangan mengepal gemas. "Pengen aku pites kepalanya yang kayak batu itu," ujarnya kesal. "Sabar Bu Bos..... itu orang bawa fulus," seru Cindy, salah satu anak buah Anindya. Saat ini Anindya sedang berada di kantor yang lebih tepatnya basecamp tempat berkumpul dengan an
"Kamu gak ke kantor, Nin?" tanya Tari saat mendapati adik iparnya pulang lebih awal dari biasanya. "Sudah tadi, pulang kuliah mampir sebentar. Kerjaannya gak banyak, cuma ngecek hasil kerjaan anak-anak aja," jawab Anindya menjatuhkan bobot tubuhnya diatas sofa ruang tengah. Wajahnya terlihat lelah, kusut dan tidak bersemangat. Seperti orang banyak pikiran. "Gimana dengan iklan buat kedai eskrim milik Guntur?" tanya Tari lagi. "Terakhir kamu cerita belum ada kesepakatan tentang temanya," Tari ikut duduk di sebelah Anindya setelah sebelum meminta art-nya membuatkan minuman segar untuk adik iparnya yang baru pulang. "Tahu tuh, perjaka tua ribet banget," celetuk Anindya tiba-tiba merasa kesal. "Astagfirullah... Gak boleh lo Nin, ngomong kayak gitu," tegur Tari memukul pelan lengan Anindya. "Ck... emang iya," gerutu Anindya. Wajah cantik bertambah suram saat ingatannya tertarik mundur pada kejadian dua hari yang lalu. Ketika dirinya dan Guntur berdebat tentang tema iklan p
"Ck... seneng banget yang habis ngerjain anak orang," sindir Anindya melirik pria yang duduk di balik kemudi. Guntur menoleh, menatap sejenak Anindya lalu kembali fokus pada jalanan di depannya. Pri itu berdecak, "Harusnya kalian berterima kasih padaku," katanya. Sepanjang jalan Guntur tersenyum lebar. Entah apa alasan pastinya namun pria dengan wajah tampan nanu terkesan tegas itu sangat puas melihat ekspresi Andre yang langsung shock dan pamit pulang lebih dulu setelah mendengar pernyataan yang diucapkannya. "Hah, berterima kasih untuk apa?" Anindya menoleh, dahinya berkerut dan tatapannya menyipit. "Mulai sekarang kamu nggak perlu cari alasan untuk menolak,.... siapa tadi namanya?" Guntur berlagak lupa. "Andre," sahut Anindya ketus. "Iya, itu. Dan laki-laki itu bisa mulai berhenti membuang waktu untuk mengejar sesuatu yang tidak yang tidak mungkin dia dapatkan." "Ck.... sok tahu," gumam Anindya membuang muka keluar jendela. "Kenapa, jangan-jangan kamu menyukai A
Andre menatap wanita yang duduk di hadapannya dengan tatapan kesal bercampur gemas. Matanya memicing sambil menggigit bibir bawahnya menahan diri agar tidak lepas kendali. "Apa?" kata Anindya melebarkan matanya. "Nggak papa," ketus Andre seperti abak kecil, ngambek. "Kalau kamu kayak gitu aku jadi pengen pulang," celetuk Anindya sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Andre mendesah berat, ditatapnya wanita yang audah membuatnya jatuh hati sejak pertama kali bertemu itu sendu. "Kamu kok tega, ngancurin semua rencana dan harapan aku?" Anindya mengangkat pundaknya cuek. "Terserah ya, menurutmu apa? Tapi yang pasti aku sudah menepati janjiku untuk menerima ajakan makan malam darimu, jika job iklan pariwisata selesai sebelum akhir bulan," terangnya lalu mencomot kentang goreng pesanannya. "Ck.." Andre berdecak kesal. Bagaimana tidak kesal, makan malam romantis yang direncanakan jadi berantakan. Sudah dari jauh-jauh hari Andre sudah merencanakan dinner romantis
"Loh... kamu mau kemana, Nin?" tanya Tari saat melihat Anin Anindya keluar dari kamarnya dengan pakaian rapi. Tari yang sedang menata makanan diatas meja makan menghentikan kegiatannya. Dipandanginya adik iparnya itu dengan kening berkerut. Selama dua tahun tinggal bersama, Anindya jarang sekali keluar malam. Apalagi dengan pakaian rapi seperti saat ini. Dress selutut yang dilapisi dengan cardinal jeans tak ketinggalan sepatu kets putih senada dengan warna tas selempang yang dipakainya. Membuat wanita 24 tahun itu terlihat cantik dan modis. "Aku izin keluar sebentar ya Mbak, jam sembilan sudah sampai rumah kok." "Mau kemana? Sama siapa?" tanya Tari. Istri Satya itu sangat protective kepada adik iparnya itu. Tidak hanya mengenal teman-teman Anindya, dia bahkan tahu dan hafal dengan kegiatan Anindya di luar rumah. Anindya berjalan mendekat, "Mau makan malam sama Andre," jawabnya jujur. "Apa? Tunggu!-tunggu!!" Tari menarik salah satu kursi lalu mendudukkan dirinya. "D
Anindya dan Guntur berjalan beriringan menuju tempat parkiran dimana mobilnya berada. Dua insan itu berbincang ringan. Saling bertanya kabar satu sama lain. "Kudengar kamu melanjutkan S2-mu di Surabaya," Guntur menoleh pada wanita cantik yang berjalan di sampingnya. "Iya," jawab Anindya, menoleh sambil tersenyum tipis. Wajah cantik itu terlihat lebih dewasa dan anggun. Apalagi sikapnya yang lebih kalem. Sangat berbeda dengan Anindya yang dikenal Guntur dua tahun lalu. Masih segar di ingatan Guntur saat pertama kali melihat mantan adik iparnya itu. Saat itu kepulangan pertamanya setelah hampir sepuluh tahun di luar negeri untuk menjaga Ayra. Anindya yang masih muda terlihat penuh semangat dan ambisi. Sedikit ceroboh dan ceria. Berbeda sekali dengan yang dilihatnya sekarang. Dewasa anggun dan lebih se*si. "Bagaimana kabar, Gia? Dia pasti sudah kuliah sekarang?" Anindya mulai mencari topik lain. Jujur bertemu dengan Guntur cukup membuatnya kaget dan bingung harus bersika
"Aku ingin waduk dan jembatan gantungnya jadi background utamanya. Tetap fokus pada modelnya tapi perlihatkan keindahan waduk dan langitnya." Seorang wanita cantik sedang memberi arahan pada dua orang pria yang memegang kamera. "Ok," jawab sang fotografer mengacungkan jempolnya. Di sisi yang lain kameramen juga mengacungkan jempolnya. "Siap, Nin!" Wanita dengan kemeja putih dan celana jeans itu pun mengangguk lalu melangkah mundur, membiarkan rekan-rekannya mulai bekerja. Bola mata berwarna coklat itu mengamati setiap pergerakan orang-orang di depan sana. Sesekali matanya indah itu menyipit dengan bibir mengerucut, saat adegan didepannya menurutnya kurang pas. Wanita berambut panjang itu berulang kali menyelipkan anak rambutnya yang tertiup angin tanpa sedikitpun mengalihkan fokusnya mencatat dalam otaknya mana adegan dan eagle mana yang perlu diedit. Wanita itu mendesah lega saat terdengar suara salah satu rekan kerjanya. "Cut," ucap pria bernama Andre, sambil memba
"Wah..... bagus banget rumahnya," seru Anindya begitu keluar dari mobil. Matanya langsung disambut oleh pemandangan rumah dengan desain modern farmhouse American yang membuatnya tan henti-hentinya berdecak kagum. Ini kali pertama dirinya datang ke rumah kakak iparnya itu. "Semoga kamu betah di sini ya," ucap Tari sambil menggendong Sabia yang terlelap. Sementara Satya mengeluarkan koper dan tas mereka yang ada di dalam bagasi mobil. "Pasti, aku pasti akan betah." Anindya mengurai senyum lebar. "Ingat jangan kecewakan Tari," ujar Satya setelah meletakkan koper dan tas di di teras rumah yang langsung di ambil alih bibi dan pak sopir. "InsyaAllah, aku tidak akan mengecewakan semua orang lagi." Entah sudah ke berapa kalinya kalimat itu Anindya. Sejak kemarin kakak laki-lakinya juga kedua orang tuanya terus mengingatkannya sehingga membuatnya harus mengulangi janjinya. "Sudah gak usah di dengerin," bisik Tari menggamit lengannya. "Ayo masuk," ajaknya mengajak adik ipar