"Kenapa? Apa kamu ingin kembali pada Satya?" tanya Alfa masih dengan wajah tenangnya. Pria itu memang sangat pandai menyembunyikan ekspresinya kemarahannya. Sedang di tempatnya Satya sedang menahan diri untuk tidak bersorak karena jawaban Bestari. "Jawablah, apa dia alasannya?" Alfa kembali bertanya. Kali ini nada suaranya mulai meninggi menunjukkan emosi sudah mulai mengikis ketenangannya. Alfa tipe orang yang suka memendam perasaannya. Menahan diri dan menumpuk kekesalannya. Namun ketika sudah tak sanggup mehanan emosi bisa meledak tanpa memikirkan tempat kondisi. "Alfa, tenanglah. Jangan memberondong Tari dengan pertanyaanmu." Nura meremas lengan putranya. "Tari, bolehkah kami tahu alasannya? Sebelumnya kamu sudah menerima lamaran Alfa, kenapa sekarang tiba-tiba berubah?" tanya Nura dengan suara lembut. Tak ada sedikitpun nada marah dari suaranya. Reaksi Nura membuat Tari tambah merasa bersalah. Meski merasa kecewa tapi tantenya itu masih bersikap lembut dan sabar.
Pov Abisatya. "Satya, sini." Mama melambaikan tangannya begutu aku masuk kedalam rumah. "Lihat ini, Farah kirim video Sabia belajar jalan. Ya Allah... lucunya..." Tawa Mama dan Anindya membuatku penasaran. Kupercepat langkah kaki menuju ruang tengah. "Sini, cepat!!" Mama menepuk sofa sebelahnya. "Mana lihat, Ma." Aku ambil alih ponsel dari tangan Mama. Di layar benda pintar itu terlihat bidadari kecilku sedang berjalan selangkah demi selangkah berusaha menggapai sebuah tangan yang aku yakin milik Tari. Wajahnya yang begitu cantik semakin membuatku terpesona dengan tawanya yang membuat mata indahnya sedikit menyipit. Suara tawa malaikat kecilku itu seperti alunan musik yang terdengar merdu menenuhi gendang telingaku. Dan entah lewat mana tiba-tiba suara itu sudah merasuk kedala dada dan menggetarkan hatiku. Tanpa terasa lelehan bening itu merembes membasahi pipiku. Ya Allah..... seindah inikah rasa cinta seorang ayah terhadap putrinya. Andai saja aku bisa melihatny
Sudah satu setengah jam aku duduk termenung di depan teras rumah kediaman keluarga Rahardian. Tadi saat kami akan pulang, Tante Farah melarang. Dia meminta agar kami menginap saja sekali besok. mengantar Tari dan Sabia ke bandara. "Kalian menginap saja, nanti gak sempat ketemu Sabia lo,..... besok kan Tari balik ke Surabaya." Tante Farah memaksa kami untuk menginap. Awalnya Mama sempat bimbang karena teringat Anindya di rumah sendiri tapi saat mendengar anak bontotnya itu sudah dalam perjalanan menyusul, Mama langsung mengiyakan dan langsung sibuk membuat makanan kesukaan Tari untuk dibawa ke Surabaya. Dan akhirnya dua ibu-ibu itu asyik sibuk di dapur. Papa jangan ditanya, sudah stanby di depan televisi jadi suporter timnas sepak bola tentu bersama Om Ibra, Sama-sama penggemar bola. "Lo lagi nyariin uang receh?" Suara Ganendra yang membuatku kaget. Aku mendongak, menatap pria yang berdiri sombong di sebelahku dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celananya. "Nggak usah Nya
Sengaja aku tidak datang ke rumah Tari pagi ini seperti perintah Mama. Aku juga meminta Papa untuk merahasiakan rencanaku pindah ke Surabaya. Takut Tari berubah pikiran dan batal pulang ke Surabaya. Aku menyerahkan kembali posisi CEO perusahaan pada Papa. Di sini Papa akan dibantu Derry karena di Jakarta juga ada beberapa anak cabang yang sedang mulai berkembang jadi akubtsk bisa membawa asisten pribadiku itu. Untuk sekarang ini aku akan fokus untuk meluluhkan hati Tari sembari mengurus proyek pembangunan anak cabang di Surabaya. Hal utama adalah untuk mendapatkan kepercayaan Tari dan hal kedua membesarkan anak canang di Surabaya, tentu untuk membahagiakan Tari dan Sabia. Tidak munafik, untuk bisa membahagiakan orang-orang yang kita cintai kita butuh materi. Dan itu harus dipenuhi dengan bekerja. Aku membawa Andra, salah satu orang kepercayaanku untuk ikut ke Surabaya. Dia cukup tanggap dan cekatan meski tak secerdik Derry. "Bos, orang-orang kita akan menyusul minggu d
Tari memutar matanya jengah. Terlihat sangat kesal mendengar jawabanku. "Mana kuncinya biar aku bantu buka," kataku lagi sambil menengadahkan tangan di depannya berpura-pura tidak mengerti arti tatapan tak sukanya. "Ada di tas. Bantu bawa Sabia aja," katanya menyerahkan Sabia. Tak menunggu lama kau langsung mengulurkan tanganku mengambil alih baumhi cantik itu dan mendekapnya dipelukan. Sabia menggeliat, merasa tidurnya terganggu. Cepat aku menganyun dan menepuk pelan punggungnya, Sabia pun tenang kembali. Setelah menutup kembali pintu pagar, pelan aku berjalan masuk menyusul Tari yang sudah berdiri di depan pintu. "Sini, kamu tunggu aja di teras." Tari mengulurkan tangannya hendak mengambil alih Sabia. Tapi aku menghindar. "Biar aku saja, kasihan tadi hampir aja kebangun. Nanti malah rewel," kataku memberi alasan. "Ck.... sok tahu. Kayak pernah ngurusin bayi." Tari mencibir. "Belum, tapi aku dapat banyak pelajaran tentang mengasuh bayi dari karyawanku yang ba
"Kalau iya. Aku akan mengajukan gugatan untuk merebut Sabia?" Tak kuberi dia kesempatan untuk bicara. Aku memberondong dengan pernyataan berkelanjutan. Sontak saja wajah Tari memerah, dia pasti marah dengan ucapanku. Maaf, tapi aku tak punya cara lain selain menggertaknya. Dia harus tahu aku serius. "Mulai sekarang aku akan tinggal di Surabaya. Aku aka memastikan keamanan Sabia juga dirimu." Matanya menyipit namun bibir masih bungkam. Terlihat jika dia tak percaya. Kutarik nafas panjang. "Aku serius dengan ucapanku dan kamu bisa membuktikannya nanti," kataku masih dengan menatapnya lekat. "Dan satu lagi, aku tidak bisa kehilangan Sabia. Jadi, jangan buat aku memilih." Aku memberinya peringatan agar tidak memaksaku melakukan hal yang pasti tidak diinginkannya. "Sudah selesai bicaranya?" tanya Tari dan aku mengangguk mengiyakan. "Kalau begitu pergilah! Kami butuh istirahat." Dia mengusirku. Aku mendesah pelan, "Hah....masih sama," gumamku sedikit kecewa Tari tak b
Selera makanku mendadak hilang. Kuputuskan untuk mendatangi kafe milik Tari. Mobil kupacu dengan kecepatan tinggi. Rasa kesal bercampur cemburu memenuhi dadaku membuatku tak sabar untuk segera sampai. Beraninya Rendra datang ke sini? Beraninya dia tidak mengindahkan peringatan yang kuberikan. Tapi tunggu dulu, dari mana dia tahu kalau Tari ada di Surabaya? Siapa kira-kira orang yang memberitahunya. Dalam waktu lima belas menit aku sampai di kafe yang kemarin sempat Andra tunjukkan padaku. Kuparkir mobil dan segera masuk ke bangunan dua lantai itu. Kusapu keseluruh ruangan lantai satu. Tatapanku terpaku pada meja paling ujung. Tari duduk menghadap pria yang posisinya membelakangiku. Meski begitu, dari postur tubuhnya aku sudah bisa menebak siapa dia? "Tari, di mana Sabia?" Tari mengangkat wajahnya menatapku dengan mimik terkejut. "Hah....." "Aku tanya dimana Sabia?" Kuulangi pertanyaanku dengan nada yang kubuat setenang mungkin.Kutekan amarah yang sudah membentuk
Pov Bestari. "...... Sepertinya Sabia harus terbiasa tanpa Asi." Maksudnya apa? Segera aku berlari menyusul Kak Satya. Aku semakin panik saat pria itu bukannya kembali ke lantai atas tapi malah menuju pintu keluar. Aku berlari mengejarnya, tapi langkahnya terlalu lebar dan cepat sehingga membuatku tertinggal. "Kak Satya..... kembalikan Sabia..." teriakku sambil berlari. "Kak Satya.... jangan bawa anakku..." Sampai di parkiran pria itu berhenti. Masih dengan menggendong Sabia dia menatapku tajam. "Kak tolong kembalikan anakku," pintaku berusaha mengambil Sabia tapi pria itu mengelak. Berjinjit agar aku gak bisa meraih Sabia. "Kak, aku mohon kasihan Sabia menangis,... tolong kembalikan anakku..." Aku sudah tak bisa menahan tangisku. Air mata mengucur dengan sangat deras. "Sabia juga putriku dan kamu sudah mengabaikannya," balasnya dengan wajah memerah. "Tapi aku yang mengandung dan melahirkan Sabia. Aku berjuang seorang diri, dimana kamu saat itu?" Aku tak bisa m