Jangan pernah mengemis pada mereka yang meninggalkanmu. Bahkan jika suatu saat mereka menangis darah memintamu kembali. Jangan pernah mau!
*** "Aku akan menikah." Ucapan bernada tak acuh itu membuat Ariana mendongakkan kepala, sejenak melupakan bumbu apa yang seharusnya dia masukan kedalam mangkuk racikannya. "Selamat kalau begitu." Ucap Ariana juga dengan nada tak acuh yang sama dan kembali melanjutkan pekerjaannya. "Kamu tidak mau tahu siapa yang akan kunikahi?" Tanya Karenina seraya menyandarkan pinggulnya ke meja kitchen dan melipat kedua tangannya di depan dada, memandang langsung ke arah Ariana. "Apa aku perlu tahu?" Ariana balik bertanya. "Toh kamu juga tidak akan mengundangku ke pernikahanmu." Lanjutnya dan mulai mengaduk semua bumbu dengan menggunakan pengocok manual. "Syukurlah kalau kamu sadar diri." Ucap Karenina dengan nada mengejek. "Tapi meskipun kamu tidak akan datang ke pernikahanku, aku tetap butuh bantuanmu." Lanjutnya seraya memandang area dapur restoran Ariana dengan tatapan mengejek. Ariana tidak menanggapi ucapan adiknya sehingga Karenina menegakkan tubuhnya dan menghadapkannya langsung pada Ariana. "Aku perlu surat pernyataan dari ayah yang menyatakan kalau dia tidak akan menjadi wali nikahku." Ucap Karenina dengan nada mendesak. "Beginikah caramu meminta bantuan?" Ariana memandang adik kembarnya dengan dingin. "Dan beginikah caramu memperlakukan ayahmu?" Lanjutnya dengan amarah yang coba ia tahan. Karenina mengedikkan bahunya dengan ekspresi tak acuh. "Aku tidak bisa membuat Papi merasa malu. Aku tidak mungkin membuat para tamu bertanya-tanya tentang statusku, Papi dan Ayah." Ariana memutar bola matanya. "Seolah orang-orang tidak tahu saja siapa kau dan Nyonya Juliarty." Dengusnya mencelupkan ujung jari kelingkingnya ke dalam racikan bumbu. Menambahkan sesuatu supaya rasanya pas sebelum mengaduknya kembali. "Kau belum menjawab permintaanku." "Aku tidak merasa perlu melakukan apa yang kau minta. Apalagi dengan cara seperti ini. Kalau kau memang memerlukan bantuan Ayah, pergi pada Ayah langsung. Minta dia untuk mundur dan membuatkan surat perwakilan wali untukmu. Setidaknya itu cara yang lebih sopan meskipun tetap akan membuatnya sakit hati." Ucap Ariana ketus dan mulai memindahkan racikan bumbunya pada mangkuk lain yang nantinya akan dia simpan dalam lemari es. "Kau tahu aku tidak bisa melakukannya." Ucap Karenina, menarik lengan Ariana dengan kuat supaya perhatian kakak kembarnya terfokus padanya. "Dan kau tahu aku juga tidak bisa melakukannya." Ariana balas memandang adik perempuannya dengan jijik. "Satu-satunya orang yang tidak ingin kusakiti di dunia ini adalah Ayah. Jadi jangan harap aku membantumu." Ucap Ariana seraya menarik tangannya dengan kasar. Ariana tidak memedulikan apa yang Karenina lakukan. Dia tidak peduli saat adik kembarnya menyapukan tangannya yang terbungkus pakaian mahal ke atas meja kitchennya dan menumpahkan barang-barang serta bahan makanan yang ada disana. Lani yang mendengar suara keributan seketika muncul dari bagian depan restoran dan memandang Ariana serta Karenina bingung. "Ada apa ini? Siapa yang melakukannya?" Tanya sepupu sekaligus sahabat Ariana itu terkejut. Tatapannya beralih pada Karenina dan seketika amarah menyeliputi wajahnya. "Kau!" Bentaknya. Namun sebelum Lani mengemukakan kemarahannya, Karenina sudah melangkah menjauh dan bahkan sempat menyenggol bahu Lani dengan sengaja yang membuat Lani semakin marah. Beruntung Lani masih bisa menahan diri dan tidak menjambak rambut panjang nan terawat milik Karenina. Karena jika tidak, Ariana pastikan bukan hanya rambutnya saja yang berantakan, namun wajah saudara kembarnya itu pasti akan lebam mengingat emosi Lani yang tidak terkendali. "Apalagi yang diinginkannya sekarang?" Tanya Lani seraya mengambil barang-barang yang berserakan di lantai satu persatu. Ariana menatap sepupu sekaligus sahabatnya itu dan mengedikkan bahu. Enggan menjawab pertanyaannya dan memilih untuk kembali fokus pada pekerjaannya. Lani pun tak lagi berkata-kata. Dalam diamnya dia membersihkan semua barang yang berserakan sebelum rekan-rekan mereka yang lain datang dan bertanya-tanya tentang apa yang terjadi. *** Ariana mau tak mau datang ke rumah ayahnya karena sang ayah yang meminta. Tanpa perlu ayahnya beritahukan, Ariana sudah menduga apa yang akan mereka bicarakan kali ini. Tentu berkaitan dengan Karenina dan permintaannya. "Apa ayah marah?" Tanyanya pada sang Bunda saat wanita berhijab itu membuka pintu rumah untuknya. Ibu sambungnya itu menjawab dengan senyuman khasnya dan menggelengkan kepala. "Udah makan?" Tanya wanita yang selama tiga belas tahun terakhir ini berperan sebagai ibu untuknya. "Udah. Tadi sebelum kesini makan dulu." Jawab Ariana yang lagi-lagi ditanggapi dengan anggukkan ibunya. "Ayah ada di halaman belakang." Ucapnya memberitahu dan Ariana melangkah menuju halaman belakang dimana ayahnya tampak tengah duduk menikmati secangkir kopi hitam dan buku bacaan. "Bacaan apalagi sekarang?" Tanya Ariana seraya memeluk bahu sang ayah dan mengecup puncak kepalanya lembut. Ayahnya menutup buku dan menunjukkan bagian depan buku yang tengah dibacanya pada Ariana. Ariana tersenyum dan menganggukkan kepala. "Apa gak bosan? Kalo aku baca yang begituan yang ada malah ngantuk." Ucapnya seraya mengambil satu potong mendoan yang sudah agak dingin dan mencelupkannya ke dalam sambal kecap seraya duduk di kursi kosong yang diduduki sang ayah. "Ayah perlu yang begini buat motivasi." Jawab ayahnya dan meletakkan buku ke atas meja, tepat di samping piring berisi mendoan dan mengambil gelas kopinya dan menyeruputnya pelan. "Ayah gak ganggu kesibukan kakak kan?" Tanya pria awal paruh baya itu setelah meletakkan gelas kopinya. "Ngapain ada anak buah kalau semua harus bos yang urusin." Kilah Ariana dengan senyum di wajahnya. Ayahnya turut tersenyum dan menganggukkan kepala. "Ada apa Ayah panggil kakak kesini?" Tanya Ariana ingin tahu. Meskipun dalam hati ia sudah bisa menebaknya. "Karenina datang ke tempat kerja ayah." Ucap ayahnya, membenarkan apa yang ada dalam pikiran Ariana. "Dia minta ayah membuat surat pernyataan kalau ayah tidak bisa menjadi walinya saat pernikahannya nanti." "Ayah menyanggupinya?" Tanya Ariana dengan nada datarnya. "Ayah bisa apa?" Ayahnya balik bertanya. "Baik Karenina ataupun mama kamu tidak mau ayah ada di pernikahannya. Yang bisa ayah lakukan untuk membahagiakan mereka hanya ini." Ucap ayahnya dengan nada sedih yang meskipun samar masih bisa Ariana dengar. "Tapi ayah gak kecewa, masih ada kakak yang nanti akan ayah walikan saat nikah. Dan masih ada Dira." "Hanya ada Dira." Ucap Ariana lirih. "Kakak gak ada niatan buat nikah. Gak setelah semua drama pernikahan yang sudah Ariana lihat." "Kak.." Ayahnya memandang Ariana dengan tatapan sedih. "Ini udah jadi pilihan Kakak, Yah." Ucap Ariana tak mau diganggu gugat. Menikah? Jelas kata itu tidak pernah terselip dalam benaknya. Bukan semata-mata karena tidak mau mengulang kisah yang sama atau mengalami sesuatu yang dramatis dan mengalami sakit hati akibat berharap pada seseorang yang disebut pasangan. Namun Ariana tidak yakin kalau dirinya masih memiliki waktu untuk bisa menikmati hidup dalam waktu yang lama. Ia tidak yakin bisa hidup berbahagia bersama seseorang dan menyatakan padanya kalau ia akan menemani pria itu dalam susah dan senangnya karena yang ada justru pria itulah yang akan selalu menemaninya dalam keadaan terpuruknya. Dan Ariana tidak mau menumbalkan seseorang hanya demi masa singkat hidupnya yang akan berakhir entah kapan.Ariana mau tak mau datang ke rumah ayahnya karena sang ayah yang meminta. Tanpa perlu ayahnya beritahukan, Ariana sudah menduga apa yang akan mereka bicarakan kali ini. Tentu berkaitan dengan Karenina dan permintaannya."Apa ayah marah?" Tanyanya pada sang Bunda saat wanita berhijab itu membuka pintu rumah untuknya. Ibu sambungnya itu menjawab dengan senyuman khasnya dan menggelengkan kepala."Udah makan?" Tanya wanita yang selama tiga belas tahun terakhir ini berperan sebagai ibu untuknya."Udah. Tadi sebelum kesini makan dulu." Jawab Ariana yang lagi-lagi ditanggapi dengan anggukkan ibunya."Ayah ada di halaman belakang." Ucapnya memberitahu dan Ariana melangkah menuju halaman belakang dimana ayahnya tampak tengah duduk menikmati secangkir kopi hitam dan buku bacaan."Bacaan apalagi sekarang?" Tanya Ariana seraya memeluk bahu sang ayah dan mengecup puncak kepalanya lembut. Pria berusia akhir empat puluhan itu menutup buku dan menunjukkan bagian depan buku yang tengah dibacanya pada
Jelas, selama ini yang mereka tahu nenek mereka hanyalah nenek Asmita, wanita sederhana berparas sendu dengan tatapan yang meneduhkan. Bukan wanita berpenampilan mahal dengan make-up yang bisa dikatakan cukup tebal di hadapan mereka. "Aku ibu dari ibu kalian." Ucap wanita itu lagi menjelaskan. "Apa ayah kalian tidak pernah membicarakan tentang ibu kalian?" Tanya wanita itu lagi dan jelas baik Ariana ataupun Karenina menjawab dengan gelengan kepala. "Apa selama ini dia mengatakan kalau ibu kalian sudah meninggal?" Tanyanya lagi dan keduanya menganggukkan kepala. Lalu dengan dramatis wanita itu menekan dadanya sendiri dan menunjukkan wajah sedih seraya berkata, "Tega sekali dia. Bahkan putriku masih sehat dan dia mengatakan kalau ibu kalian sudah meninggal?" "Apa ibu kami masih hidup?" Tanya Karenina dengan polosnya. Wanita itu menganggukkan kepala dengan antusias. "Dia hidup dan masih sangat sehat. Dia bahkan ingin bertemu dengan kalian." Berbeda dengan Karenina yang tampak antusia
Ariana memasuki gerbang bersamaan dengan sebuah mobil box berlogo sebuah perusahaan wedding organizer masuk dan terus melaju melewati bangunan megah di hadapannya menuju area belakang yang Ariana duga acara pernikahan akan diselenggarakan. Ariana tersenyum tipis dalam setiap langkahnya menuju teras istana yang berupa undakan lima anak tangga itu. Bayangan ketika Karenina datang berkunjung ke restorannya secara tiba-tiba hanya untuk mengumumkan kabar kembalinya ke kota kembali memenuhi kepalanya. Ya, satu tahun yang lalu Karenina tiba-tiba saja datang dan menyombongkan dirinya dan membandingkan kehidupannya dengan kehidupan Ariana. Bagaimana ia melewati masa-masa saat ia tinggal dengan ibu kandungnya yang menurutnya tak Ariana dapatkan. Sekolah di sekolah level internasional, jalan-jalan ke luar negeri, pertemuan dengan orang-orang penting dan kaya raya dan banyak hal lainnya yang Karenina yakini tidak akan pernah Ariana miliki. Ariana hanya menanggapi semuanya dengan senyuman tipis
Gerald mengangkat kepalanya dari dokumen yang sedang dia pelajari dan memandang asistennya dengan alis bertaut dalam. "Ulangi lagi perkataanmu?" perintahnya dingin tajam. Pria muda yang usianya terpaut dua tahun lebih muda darinya itu balik menatapnya dan berkata dengan nada datarnya."Tunangan Anda, Nona Karenina menghilang Tuan." Jawabnya lagi."Menghilang?" Kata itu kembali Gerald ulang. Bukan karena pendengaran Gerald terganggu namun untuk memastikan diri kalau apa yang didengarnya itu salah. "Menghilang katamu?" Asistennya itu lagi-lagi menganggukkan. "Menghilang tepat sehari sebelum pernikahan?" Lagi-lagi pria itu mengangguk. "Bagaimana bisa?" Tanyanya dengan nada dingin yang biasanya membuat para lawannya goyah. "Informan kita mengatakan kalau tunangan Anda menghilang diam-diam tepat sebelum makan malam." Ucap pria itu tanpa merasa tertekan sedikitpun oleh sikap arogan dan dingin majikannya. Dia jelas sudah terbiasa melihat perubahan sikap sang billionaire berdarah Yunani pemi
Gerald melirik asistennya dengan sebelah alis terangkat. Pria yang mengenakan setelan resmi dengan wajah datar itu balik memandang Gerald dengan gelengan kepala samar sebelum keduanya melirik ke arah pintu bersamaan dengan desisan yang terdengar kasar di telinga mereka saat gadis yang baru masuk itu berkata, "Apa kau masih belum bisa membedakan mana majikanmu dan mana yang bukan?” yang membuat Gerald semakin bertanya-tanya.“A-Ariana ?” Cicit Nyonya Juliarty seraya bangkit berdiri dari duduknya. Wanita menjelang pertengahan abad itu memandang gadis yang baru saja masuk dengan tatapan tak percaya sebelum melirik ke arah Gerald dengan tatapan takutnya.‘Ariana ?’ Ulang Gerald dalam hati. Ia melirik si gadis yang melangkah masuk dengan gerak angkuhnya dengan tatapan tertarik. Kemiripan wajah gadis itu dengan calon istri Gerald bernilai sembilan puluh lima persen karena lima persennya habis untuk gaya make-up dan juga tata rambut yang jelas berbeda dengan Karenina yang ia lihat terakhir k
“Jadi, tanpa aku tahu ternyata calon istriku memiliki seorang kembaran?” Tanya Gerald setelah Ariana hilang dari pandangannya.Senyum di wajahnya ditanggapi dengan ekspresi pucat di wajah tiga orang yang berusia jauh lebih tua daripadanya. Meskipun demikian, Nyonya Mahiswara tampaknya memiliki pengendalian diri yang lebih baik jika dibandingkan dengan putri dan menantunya.“Pertanyaannya, jika aku tidak melihatnya dengan mata kepalaku sendiri, apakah kalian akan menjebakku dengan menggantikan pengantinku tanpa sepengetahuanku?” Tanyanya dengan nada santai dan tatapannya terarah pada Nyonya Juliarty yang seketika itu juga tampak membeku karena gugup.“Ti-tidak seperti itu.” Jawab Nyonya Juliarty lirih.“Putriku hanya mencari rencana cadangan.” Kalimat pembelaan itu keluar dari mulut Nyonya Mahiswara. Dan dengan demikian Gerald menjadi tahu siapa sebenarnya yang memiliki kekuasaan di rumah ini dan harus berhati-hati pada wanita tua ini.“Rencana cadangan. Menggantikan calon istriku deng
Mobil pick-up nya sudah mendarat mulus di bagian belakang resto. Wendi yang menjadi pengemudi sekaligus asistennya di dapur sudah bersiap meminta bantuan karyawan lainnya untuk menurunkan bahan baku dan memasukkannya ke dapur.Resto yang dikelola Ariana memang bukan sebuah resto mewah. Tapi sistem yang digunakannya memang seperti sistem resto Lunch and Dinner seperti kebanyakan resto western lainnya. Untuk menu, bervariasi. Setiap harinya sebelum resto buka mereka selalu mengumumkan menu apa saja yang akan mereka buat hari itu. Sistem reservasi berlaku. Mereka juga menerima request menu selama ada pemberitahuan sebelumnya.Delapan orang anak buahnya sudah sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Sambil berlalu menuju tangga, Ariana menyapa mereka satu persatu. Di lantai atas, dimana kantor sekaligus ruang pribadinya berada sudah ada Lani yang sibuk dengan catatannya."Full book untuk dinner. Dan sisa empat set table untuk lunch." Ucapnya bahkan sebelum Ariana mendudukkan bokongnya di sof