Gerald mengangkat kepalanya dari dokumen yang sedang dia pelajari dan memandang asistennya dengan alis bertaut dalam. "Ulangi lagi perkataanmu?" perintahnya dingin tajam. Pria muda yang usianya terpaut dua tahun lebih muda darinya itu balik menatapnya dan berkata dengan nada datarnya.
"Tunangan Anda, Nona Karenina menghilang Tuan." Jawabnya lagi. "Menghilang?" Kata itu kembali Gerald ulang. Bukan karena pendengaran Gerald terganggu namun untuk memastikan diri kalau apa yang didengarnya itu salah. "Menghilang katamu?" Asistennya itu lagi-lagi menganggukkan. "Menghilang tepat sehari sebelum pernikahan?" Lagi-lagi pria itu mengangguk. "Bagaimana bisa?" Tanyanya dengan nada dingin yang biasanya membuat para lawannya goyah. "Informan kita mengatakan kalau tunangan Anda menghilang diam-diam tepat sebelum makan malam." Ucap pria itu tanpa merasa tertekan sedikitpun oleh sikap arogan dan dingin majikannya. Dia jelas sudah terbiasa melihat perubahan sikap sang billionaire berdarah Yunani pemilik perusahaan ventura yang dikenal dengan kejeliannya dalam berbisnis dan berinvetasi itu. Ya, dia adalah Gerald Zeroun. Pemilik perusahaan ventura multinasional dengan jumlah kekayaan yang jelas tidak terbayangkan. Satu-satunya pewaris klan Zeroun yang juga merupakan billionaire muda yang digadang-gadang sebagai pebisnis sukses abad ini. Pria tampan penuh pesona yang masih melajang di usianya yang menginjak tiga puluh dua. Atau mungkin akan mengakhiri masa lajangnya dalam hitungan jam jika saja calon mempelainya tidak hilang seperti kabar yang mereka terima saat ini. "Berani-beraninya dia." Ucap Gerald seraya kembali duduk di kursi kebesarannya. Tangan kanannya terkepal erat di atas meja. Matanya menatap tajam penuh ancaman. "Siapkan mobil! Kita pergi kesana sekarang juga. Aku harus mengkonfirmasi kabar ini secara langsung." Perintahnya kasar yang dijawab sang asisten dengan anggukkan kepala. "Hanenda. Berani sekali kau mempermalukanku." Desisnya tajam. Mobil sudah sampai di kediaman keluarga Wiryawan. Pengumuman akan kedatangannya membuat si nyonya rumah membuka pintu dengan kedua tangannya sendiri. Wajah cantik terawatnya memandang Gerald dengan sorot panik dan pucat. "Tu-Tuan Zeroun." Cicitnya, tampak sekali berusaha tersenyum dan menghilangkan kegugupannya. Kesombongan dan keanggunan yang biasa ditunjukannya kini luntur sudah karena wanita itu sadar akan masalah yang dilakukan putrinya ia yakini sudah sampai kepada sang taipan si calon mempelai pria. "Selamat malam, Nyonya Wiryawan." Sapa Gerald dengan keramahan yang teramat luar biasa. Gerald bisa melihat wanita itu meremas kedua tangannya dan menelan ludah karena gugup. "Ma-malam." Ia masih tergagap. Wanita tua itu kembali menelan salivanya sebelum kembali berkata. "Tuan Zeroun, apa yang Anda lakukan disini?" "Kenapa? Apa aku tidak boleh mampir ke rumah calon mempelai wanitaku? Meskipun itu hanya untuk mengecek seberapa persen persiapan pernikahan kami sudah diselesaikan?" Tanya Gerald basa-basi yang membuat wanita itu menggeleng karena gugup. "Bu-bukan seperti itu. Hanya saja, konon katanya mempelai wanita dan mempelai laki-laki harusnya tidak saling bertemu sebelum pernikahan berlangsung." Jawab Nyonya Juliarty berkilah. Wanita itu menggiring Gerald untuk terus masuk ke dalam rumah alih-alih membiarkan Gerald untuk duduk di ruang tamu. Gerald mengangkat sudut mulutnya dan menggelengkan kepala. "Mungkin itu terjadi dalam budaya Anda, tapi jelas budaya kita berbeda. Bukan begitu? "Lagipula jelas pernikahan saya dan putri Anda bukan pernikahan biasa dan kami juga bukan pasangan pengantin pada umumnya. Bukan begitu?" Gerald mengingatkan. "Atau sebenarnya, ada sesuatu yang coba Anda sembunyikan dari saya. Karena beberapa saat yang lalu saya mendengar kalau calon mempelai saya menghilang." Ucapnya dengan suara yang pelan namun terdengar seeperti petir yang menyambar di telinga Nyonya Juliarty . "I-itu tidak benar." Jawabnya gagap dengan mata terbelalak lebar. "Da-darimana Anda mendengar kabar palsu seperti itu?" Ucapnya mengelak. Nyonya Juliarty membuka pintu sebuah ruangan yang Gerald duga merupakan ruang kerja dan di ujung rungan, tepat di belakang jendela ia bisa melihat sosok Tuan Hanenda Wiryawan tengah berbicara dengan seseorang lewat ponselnya yang langsung menutupnya saat melihat siapa yang sudah berani masuk ke teritorinya. "Dari seseorang yang kuyakini keakuratan informasinya." Jawabnya seraya menunjukkan senyum ramahnya pada si Tuan rumah yang dibalas tuan rumah dengan senyum kikuknya. "Itu rumor yang mengerikan." Ucap Nyonya Juliarty seraya memerintahkan seseorang untuk membawakan tamu mereka minuman. "Baguslah kalau memang kabar itu tidak benar." Ucap Gerald dengan senyum manisnya yang membuat wanita itu balas tersenyum lega. "Tapi kalaupun benar, saya harap kabar ini belum sampai pada Nenek saya, Nyonya. Karena saya tidak tahu apa yang akan beliau katakan nanti jika tahu calon cucu menantunya pergi begitu saja sehari sebelum pernikahan." Ucapnya dengan nada penuh peringatan yang membuat laki-laki paruh baya itu tak kalah shocknya. Dengan santai Gerald berjalan menuju sofa single yang kosong. Duduk di atasnya dengan keangkuhan layaknya ialah si pemilik rumah. Tangannya terulur meraih gelas kosong yang ada di atas meja dan menuangkan es batu ke dalamnya sebelum menuang cairan berwarna keemasan di atasnya. Gerald memperhatikan es batu yang bergoyang di dalam gelasnya seolah benda itu sangat menarik menggoyangkan gelasnya. Suara dentingan es batu yang menyentuh kaca menjadi pengisi kesunyian disela samar perintah yang terdengar di balik pintu kaca yang mengarah pada taman dimana upacara dan juga resepsi pernikahannya dan putri sang tuan rumah akan dilaksanakan. Menoleh ke jendela yang lebar, Gerald menyesap wiski mahal milik 'calon mertua'nya dengan perlahan seraya merasakan sensasi panas menjalar di tenggorokannya. Dibandingkan pasangan yang kini tengah menatapnya dengan penuh antisipasi, Gerald justru terkesan sangat santai. Sejujurnya, dia tidak menginginkan pernikahan ini, jadi baginya tidak masalah sekalipun pernikahan ini tidak terjadi karena pernikahan ini hanyalah sebuah kontrak kerjasama yang dibuat oleh ibunya, Hestia Zeroun dan Nyonya Juliarty Wiryawan. Neneknya, Nyonya Rosaline Zeroun sama seperti Gerald, tidak pernah menyetujui ide pernikahan ini. Namun karena satu dua alasan, pernikahan ini adalah solusi yang mereka anggap terbaik saat ini. Nyonya Juliarty melangkah dengan tergesa menuju sofa lain yang ada di dekat Gerald. Sorot matanya tampak semakin panik, jelas wanita itu sudah tidak bisa lagi menyembunyikan fakta yang kini tengah terjadi di kediamannya. Kedua tangannya saling menggenggam dengan erat sehingga Gerald bisa melihat buku jarinya yang berkutek merah itu memutih saking kuatnya cengkeramannya. "Ti-tidak. Saya mohon jangan katakan apapun pada Nyonya Rosaline." Pinta wanita menjelang paruh baya itu dengan terbata. "Karenina tidak hilang. Dia hanya pergi selama beberapa saat untuk melepas penat karena sudah satu minggu ini dikurung di rumah. Besok dia akan kembali. Saya janji." Lagi-lagi Nyonya Juliarty memandang Gerald dengan tatapan mengiba. Gerald menyandarkan punggungnya dengan sikap santai, meletakkan sebelah tangan kanannya yang memegang gelas ke tangan sofa sebelum memposisikan kaki kanan ke atas kaki kirinya. Ia menggoyang-goyang gelas wiskinya dengan dramatis sebelum menyesapnya lagi. "Benarkah demikian, Tuan Wiryawan?" Gerald memandang suami si Nyonya dengan tatapan datar namun terkesan mengintimidasi. Pria tua yang masih berdiri di samping meja kerjanya itu kaku dan tak bisa memberikan jawaban. Tampaknya otak tuanya sedang kesulitan mencari solusi dari kepelikan yang mereka hadapi. "Nah nah nah, bagaimana ini Nyonya Wiryawan? Kenapa saya tidak mendapatkan jawaban yang pasti?" Tanya Gerald yang membuat wanita itu balik memandang suaminya dengan marah sebelum kembali menatap Gerald dengan sorot memelas. "Tidak. Sunguh. Karenina tidak hilang dan saya pastikan acara besok akan tetap berlangsung seperti seharusnya. Karenina akan kembali. Besok dia akan menjadi mempelai Anda di pelaminan." Jawabnya yakin. Gerald menaikkan sebelah alisnya. "Jika tidak?" Tantangnya. "Tidak ada kata tidak. Saya pastikan kalau dia akan ada disana." Jawab Nyonya Juliarty Wiryawan dengan tegas. Gerald mengangkat sudut bibirnya. "Baiklah, saya akan memegang kata-kata Anda. Tapi jika dia tidak kembali, maka Anda tahu konsekuensinya, kan?" Pertanyaan Gerald kali ini benar-benar membuat wanita itu ketakutan. Nyonya rumah itu melirik suaminya, meminta pertolongan. Namun sama sekali tak mendapat dukungan apa-apa. "Jika pernikahan ini sampai batal, maka saya akan mencari pengantin yang lain dan itu berarti suntikan dana dari keluarga kami akan batal." Ujar Gerald dengan ketenangan yang luar biasa. "Saya tidak hanya memberikan ancaman kosong, Tuan Wiryawan. Anda tahu bagaimana cara kerja saya. Dan ide 'bisnis' ini adalah saran dari istri Anda. Jadi jika pernikahan ini gagal, jelas saya sama sekali tidak akan dirugikan. Tapi mungkin Anda dan keluarga Anda lah yang nantinya akan menjadi pengemis di jalanan." Gerald menunjukkan senyum dimatanya sementara bibirnya meneguk sisa wiski dalam gelas. Ia bangkit dan bersamaan dengan itu sebuah ketukan pintu terdengar dan seorang pelayan masuk seraya berkata, "Nyonya, Nona sudah kembali." Yang membuat sang tuan rumah menghela napas lega.Gerald melirik asistennya dengan sebelah alis terangkat. Pria yang mengenakan setelan resmi dengan wajah datar itu balik memandang Gerald dengan gelengan kepala samar sebelum keduanya melirik ke arah pintu bersamaan dengan desisan yang terdengar kasar di telinga mereka saat gadis yang baru masuk itu berkata, "Apa kau masih belum bisa membedakan mana majikanmu dan mana yang bukan?” yang membuat Gerald semakin bertanya-tanya.“A-Ariana ?” Cicit Nyonya Juliarty seraya bangkit berdiri dari duduknya. Wanita menjelang pertengahan abad itu memandang gadis yang baru saja masuk dengan tatapan tak percaya sebelum melirik ke arah Gerald dengan tatapan takutnya.‘Ariana ?’ Ulang Gerald dalam hati. Ia melirik si gadis yang melangkah masuk dengan gerak angkuhnya dengan tatapan tertarik. Kemiripan wajah gadis itu dengan calon istri Gerald bernilai sembilan puluh lima persen karena lima persennya habis untuk gaya make-up dan juga tata rambut yang jelas berbeda dengan Karenina yang ia lihat terakhir k
“Jadi, tanpa aku tahu ternyata calon istriku memiliki seorang kembaran?” Tanya Gerald setelah Ariana hilang dari pandangannya.Senyum di wajahnya ditanggapi dengan ekspresi pucat di wajah tiga orang yang berusia jauh lebih tua daripadanya. Meskipun demikian, Nyonya Mahiswara tampaknya memiliki pengendalian diri yang lebih baik jika dibandingkan dengan putri dan menantunya.“Pertanyaannya, jika aku tidak melihatnya dengan mata kepalaku sendiri, apakah kalian akan menjebakku dengan menggantikan pengantinku tanpa sepengetahuanku?” Tanyanya dengan nada santai dan tatapannya terarah pada Nyonya Juliarty yang seketika itu juga tampak membeku karena gugup.“Ti-tidak seperti itu.” Jawab Nyonya Juliarty lirih.“Putriku hanya mencari rencana cadangan.” Kalimat pembelaan itu keluar dari mulut Nyonya Mahiswara. Dan dengan demikian Gerald menjadi tahu siapa sebenarnya yang memiliki kekuasaan di rumah ini dan harus berhati-hati pada wanita tua ini.“Rencana cadangan. Menggantikan calon istriku deng
Mobil pick-up nya sudah mendarat mulus di bagian belakang resto. Wendi yang menjadi pengemudi sekaligus asistennya di dapur sudah bersiap meminta bantuan karyawan lainnya untuk menurunkan bahan baku dan memasukkannya ke dapur.Resto yang dikelola Ariana memang bukan sebuah resto mewah. Tapi sistem yang digunakannya memang seperti sistem resto Lunch and Dinner seperti kebanyakan resto western lainnya. Untuk menu, bervariasi. Setiap harinya sebelum resto buka mereka selalu mengumumkan menu apa saja yang akan mereka buat hari itu. Sistem reservasi berlaku. Mereka juga menerima request menu selama ada pemberitahuan sebelumnya.Delapan orang anak buahnya sudah sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Sambil berlalu menuju tangga, Ariana menyapa mereka satu persatu. Di lantai atas, dimana kantor sekaligus ruang pribadinya berada sudah ada Lani yang sibuk dengan catatannya."Full book untuk dinner. Dan sisa empat set table untuk lunch." Ucapnya bahkan sebelum Ariana mendudukkan bokongnya di sof
Ariana terbangun. Kepalanya pening dan tengkuknya terasa berat. Ia mencoba mengerjap namun tidak mengenali dimana ia berada.Matanya terasa sulit untuk terbuka.Ayah!Mengingat ayahnya membuat kesadaran Ariana kembali sepenuhnya. Ia tersentak dan bangun dalam sekali gerakan sehingga membuat kepalanya kembali berdenyut sakit. Suara pekikan, larangan dan suara-suara asing lainnya menggema di kepalanya.Apa dia sedang bermimpi? Tanyanya dalam hati."Anda seharusnya tidak bangun secara tiba-tiba." Ucap seseorang dengan nada panik yang membuat Ariana kembali membuka mata dan melihat seorang wanita berusia sekitar empat puluhan menatapnya dengan mimik cemas. Wajah itu jelas tidak Ara kenali."Anda siapa?" Ariana balik bertanya. Ia ingin menggosok matanya yang terasa berat. Namun tangan wanita itu menahannya."Anda tidak boleh merusak riasannya. Kalau tidak Tuan Wiryawan akan marah." Pinta wanita itu panik.
Gerald telah mengenakan setelan jas putih dengan benang-benang perak yang menghiasi kelepak jas nya. Tampak semakin gagah dengan wajah tampannya yang sudah bersih dari bulu-bulu wajah yang ia pangkas khusus untuk acara ini."Apa aku terlihat seperti pengantin pria pada umumnya?" Tanyanya pada pria berusia akhir lima puluhan yang membalas pertanyaannya dengan senyum geli."Anda tahu kalau Anda tidak sama dengan pria manapun pada umumnya." Jawab pria itu yang Gerald anggap sebagai sebuah pujian. "Mobil sudah siap, Tuan. Anda mau berangkat sekarang?" Tanya pria itu lagi yang dijawab anggukkan oleh Gerald.Gerald keluar dari kamarnya. Di ruang tengah kediamannya, sudah berdiri neneknya dan juga ibunya. Kedua wanita itu tampak berdandan dengan rapi, mengenakan pakaian mahal sekalipun tahu kalau mereka hanya akan datang ke sebuah acara yang sederhana.Ya, sederhana. Karena Gerald akan menikah secara sederhana di kediaman Wiryawan. Satu dari hal mengejutkan lain
Ariana dibawa ke sebuah hotel megah—yang ia tahu merupakan milik dari keluarga Turki-Indonesia bermarga Levent—secara terpaksa.Hotel yang ia tahu merupakan tempat dimana resepsi pernikahan Gerald dan Karenina akan dilaksanakan.Seandainya ia adalah tamu pesta, mungkin ia akan menikmati seluruh kemewahan yang tersedia. Semua yang tampak di depan matanya sangatlah fantastis, se-fantastis harga yang harus Karenina dan Gerald keluarkan untuk semua kemegahan itu.Dekorasi yang super mewah dengan bunga-bunga asli menjadi penghias ruangan. Catering dengan menu beragam yang ia yakini akan enak dilidah yang mungkin dalam keadaan normal akan jadikan sebagai bahan testimoni untuk cateringnya sendiri. Dan tentu saja, souvenir ekslusif yang Ariana yakin akan membuat jiwa kaum kekurangan meronta menginginkannya.Kemewahan resepsi yang selama ini Karenina banggakan, malam itu seolah menjadi kutukan tersendiri untuk Ariana.Terbiasa mengenakan celana jeans dan at
Ariana kembali bergelung dan memeluk gulingnya karena enggan meninggalkan rasa hangat yang menjalar di tubuhnya. Ia mengeryit tanpa membuka mata saat merasakan kakinya ditindih sesuatu.Lani? Pikirnya tanpa membuka mata.Sahabat sekaligus sepupunya itu memang selalu saja masuk ke kamarnya dan tidur bersamanya tanpa seijinnya. Namun Ariana selalu membiarkannya.Mereka selama ini memang hidup berdua dan katakanlah mereka bergantung satu sama lain karena semenjak duduk di bangku SMA mereka sudah tinggal satu rumah bersama.Anehnya, Lani tidak seperti biasa.Apa tubuh sahabatnya itu menggemuk dalam semalam? Kenapa bobotnya menjadi semakin berat? Dan apa Lani juga mengonsumsi obat penumbuh bulu? Kenapa kaki sahabatnya itu terasa kasar?Ah ya, mungkin Lani belum melakukanwaxing. Pikir Ariana lagi.Ariana mencoba menggerakkan tubuhnya. Namun bukannya bergerak menjauh, tubuh Lani malah beringsut semakin dekat. Bahkan tangan gad
Ariana merasakan sebuah tangan hangat dan sedikit kasar terasa menyentuh perutnya. Mengusapnya dengan pelan dan bergeser naik untuk menangkup salah satu payudaranya sementara tangan yang lain terasa menyentuh bagian luar pakaian dalamnya. Ariana juga merasakan gesekan halus di ceruk lehernya diiringi dengan usapan lembut yang hangat dan kecupan. Tak sadar ia menggigit bibirnya, merasakan sensasi aneh, hangat dan menyenangkan menjalar ke seluruh tubuhnya. Terlebih denyutan menyenangkan di area intimnya.Seseorang melepas kaitan branya dan mengecupi punggungnya, hal yang membuat Ariana geli namun tak mau menghindarinya.Apakah ia bermimpi? Kenapa mimpinya terasa senyata ini? Saat ia merasakan tangan yang mengelus bagian luar pakaian dalamnya itu bergerak dan hampir menyusup masuk, Ariana terbelalak.'Gerald !'Teriak otaknya lantang dan ia seketika merubah posisi tubuhnya menjadi terlentang yang kemudian ia sesali karena hal itu membuat Gerald mala
"Karen, Sayang. Kamu sudah sadar?" Pertanyaan Nyonya Juliarty membuat semua orang yang ada di ruangan itu mendongakkan kepala. Tuan Toni Sadhana dan sang ibu mendekati tempat tidur Karenina sementara Gerald masih terduduk di kursinya dan tersenyum menatap sang istri yang masih menutup mata."Sayang, Karenina sudah kembali." Ucapnya berbisik pelan."Mami..." Lirih Karenina dan gadis itu menangis terisak begitu saja dalam pelukan sang ibu yang berdiri dan membungkuk susah payah menahan rasa sakitnya hanya untuk memberikan putrinya ketenangan. "Maafin Karen. Maaf." Lirihnya masih terisak."Mami maafkan kamu, Sayang. Selalu." Ucap Nyonya Juliarty menenangkan."Ana?" Karenina teringat saudara kembarnya. Ia menoleh dan melihat Ariana yang masih menutup mata. Tangan kanannya yang terpasang selang transfusi memegang tangan kiri Ariana yang terpasang infus. "Ana, kenapa kau tidak bangun?" Tanyanya lirih seraya mengguncang lengan Ariana. "Ana, bukankah Ayah menyuru
Tempat yang luas dengan cahaya matahari yang yang sangat terang membuat Ariana mengangkat tangannya untuk menghalau cahaya yang membuatnya tak bisa melihat jelas.Dimana ini? Tanya Ariana pada dirinya sendiri. Ia berusaha untuk duduk dan melihat sabana luas tanpa ujung. Tidak ada binatang, tidak ada pohon tinggi yang membuatnya bisa berteduh."Kamu sudah bangun?" Ariana mendengar suara wanita yang sangat ia kenal dan menoleh pada Karenina yang berdiri menjulang di sampingnya mengenakan gaun putih sebatas betis. Kembarannya itu menggeraikan rambut hitam panjangnya.Ariana berdiri. Mengibaskan roknya yang ia yakini ditempeli rumput karena tadi ia sudah berbaring dan Karenina membantunya membersikan potongan-potongan yang nakal dan enggan pergi. Kini setelah sama-sama berdiri Ariana memperhatikan kalau jenis pakaian mereka sama. Gaun putih berbahan lembut dengan rok menyentuh betis dan bentuk lengan yang panjang dengan potongan dada berbentuk persegi. Ia juga melih
Seminggu setelah Ariana dipulangkan, ia mendengar kabar baik dari Gerald kalau mereka berhasil mendapatkan pendonor yang cocok untuk ibunya. Meskipun tahu kalau keberadaannya akan membuat Karenina marah, Ariana tetap ingin menemani ibunya sebelum ibunya masuk ke ruang operasi."Apa kau tidak malu?" Tanya Karenina saat mereka sedang menunggu hasil lab akhir keputusan dokter untuk proses tranplantasi yang akan dilakukan Nyonya Juliarty."Malu kenapa?" Ariana balik bertanya. "Kau sudah merebut calon suamiku dan sekarang kau dengan terang-terangan menunjukkan kemesraanmu didepanku. Bukankah tindakanmu ini sangat jahat? Kalau kau memiliki perasaan, seharusnya kau tidak berbuat seperti ini terhadapku.""Maafkan aku, Karen. Tapi aku tidak bisa mengelak kalau suamiku ingin menyentuhku dan menunjukkan betapa dia mencintaiku. Dan kusarankan lebih baik kau berhenti mencintainya karena sampai kapanpun, bahkan jika aku matipun dia tidak akan pernah menjadi milikmu apalagi me
"Apa yang kau lakukan disini?" Tanya Karenina saat melihat Ariana muncul dengan menaiki kursi roda didorong oleh Gerald di belakangnya. Tatapan gadis itu tampak marah. Wajahnya terlihat lebih lelah dibandingkan beberapa hari yang lalu saat gadis itu menemui Ariana di penthouse. Saudara kembar Ariana itu jelas tidak baik-baik saja."Dia ingin menemui ibunya, apa itu salah?" Gerald mewakili Ariana menjawab pertanyaan Karenina dengan nada yang tak kalah ketusnya. Karenina berdecih, namun tatapannya tak mengarah pada Gerald. Jelas gadis itu tak sanggup memandang Gerald secara langsung."Untuk apa? Untuk mengejek kami?" Tanya Karenina lagi pada Ariana."Aku hanya ingin melihatnya." Jawab Ariana pada saudara kembarnya namun tatapannya mengarah pada Nyonya Juliarty. "Biarkan kami bicara berdua." Itu bukan permintaan, itu perintah supaya Karenina dan Gerald meninggalkan ruangan Nyonya Juliarty."Kenapa? Mencari celah untuk membunuh ibumu sendiri?" Tuduh Karenina
"Pergilah bekerja." Dorong Ariana pada suaminya yang kini sudah mengenakan atribut kantor lengkap."Aku masih mau liburan." Ucap Gerald manja seraya kembali memeluk Ariana yang langsung Ariana tolak."Jangan berlebihan. Ingat, anak kita dua. Kau harus bekerja ekstra keras untuk membuat mereka bisa mendapatkan pendidikan terbaik." Ucap Ariana kembali mendorong Gerald menjauh darinya."Hanya dua? Gak mau anak ketiga, keempat, kelima?" Tanya Gerald menggoda."Kamu pikir aku ini kucing?" Pekik Ariana kesal karena pertanyaan suaminya."Kucing liar yang terlalu mempesona." Ucap Gerald kembali mencoba memeluk Ariana yang membuat Ariana memekik menghindarinya. "Apa aku sudah mengatakan padamu kalau kau terlihat semakin cantik saat hamil?" Goda Gerald lagi yang membuat Ariana berdecih."Berhenti Gerald. Apa kamu gak malu dilihat Arshaq seperti ini?" Gumam Ariana seraya mengedikkan kepala ke arah dimana Arshaq tengah sarapan."Kenapa harus malu
Ariana merasakan usapan lembut di dahinya. Ia membuka mata dan melihat Gerald yang tengah menatapnya. Ariana tidak perlu heran ataupun mempertanyakan bagaimana caranya Gerald bisa masuk ke kamar padahal semalam ia sudah yakin menguncinya. Gerald selalu memiliki banyak cara untuk melakukan hal yang tidak Ariana duga."Sudah lebih baik?" Tanya Gerald masih mengusap wajah Ariana dengan ujung jemarinya. Ariana hanya memandang wajah pria itu tanpa memberikan jawaban apapun. "Sudah pagi, waktunya sarapan." Gerald menyelipkan tangannya ke bawah leher dan lutut Ariana dan mengangkat tubuhnya dan membawanya menuju kamar mandi.Gerald tidak menurunkan Ariana, dia mendudukan Ariana di meja wastafel dan membuka keran air lalu mengusap wajah Ariana lembut dengan tangannya yang basah. Setelah selesai pria itu mengecup dahinya dan kembali menggendong tubuh Ariana membawanya keluar kamar.Ariana terkejut saat melihat Lani yang sudah duduk di meja bersama dengan Izzan."B
Ancaman Karenina membuat Ariana tidak bisa berpikir jernih. Dia menjadi waswas dan memandang semua orang dengan curiga.Mana orang suruhan Gerald?Mana orang suruhan Mahiswara?Dan mana orang suruhan Ava?Ava? Kenapa wanita itu tidak berhenti mengusiknya? Apa yang wanita itu inginkan darinya?Ariana takut. Ya, dia takut sesuatu terjadi bukan padanya tapi pada bayi yang dikandungnya. Dan ucapan Karenina tentang penyakitnya. Ariana jelas tidak menyangka kalau kembarannya itu tahu dan lebih tidak menyangka kalau kembarannya itu berbahagia atas penyakit yang dideritanya dan bahkan menantikan kematiannya.Dan semisal hal itu terjadi, mungkinkah Ariana akan rela jika anaknya nanti dirawat oleh Karenina?Tidak.Ariana jelas harus membuat wasiat yang memastikan kalau jika kelak dia mati meninggalkan anaknya, maka dia harus memastikan Karenina, Mahiswara, Hestia, Rosaline dan bahkan Juliarty tidak boleh menyentuh bayinya sama sekali. An
"Aku mencintai Gerald dengan segenap hatiku." Bisik gadis itu lirih."Kalau kau memang mencintainya, kenapa kau pergi sebelum hari pernikahanmu?" Tanya Ariana ingin tahu. Dan meskipun ia enggan mengakuinya, pertanyaan itu memang memenuhi benaknya selama ini."Aku tidak lari." Desis Karenina dengan kesal. "Sudah kukatakan padamu kalau aku pergi karena aku membutuhkan waktu untuk mempertimbangkan semuanya kembali."Dan kenapa aku melakukannya?"Karena ada satu hal yang tidak aku katakan padamu yaitu, bahwa aku dan Gerald sudah membuat perjanjian pra nikah, dan saat aku menyadari aku tidak bisa memenuhi isi perjanjian itu, itu membuatku gundah." Ucap gadis itu dengan dingin disertai seringai sinis di wajahnya."Rencana pernikahanku dengan Gerald memang bermula karena perjanjian yang dibuat antara dia dan Papi. Karena uang." Karenina menjelaskan dengan nada santai. Gadis itu kembali menyandarkan punggungnya ke sofa dan melipat kedua lengannya di depan
Waktu kembali berlalu. Ariana yang kini mulai dikenal sebagai istri sah Gerald jelas mendapatkan perlakuan yang berbeda dari karyawan pria itu. Sekalipun sebenarnya Ariana jarang sekali memunculkan wajahnya karena kesehariannya di dominasi ruang kerjanya dan juga kediaman mereka, namun sesekali ia terpaksa mengikuti Gerald ke Zeroun Tower saat Gerald harus mengikuti rapat umum yang tak bisa dia tinggalkan. Dan saat itu terjadi mereka bersikap amat sangat sopan pada Ariana, tak seperti sikap mereka pada awalnya yang tak acuh.Ariana juga tak bisa memungkiri kalau berkat campur tangan Gerald dan Izzan, restoran mereka kini mendapatkan banyak konsumen. Bukan hanya dari kalangan menengah ke bawah seperti konsumen-konsumen sebelumnya, namun juga klien kalangan menengah keatas yang seringnya menyewa privat room saat melakukan transaksi bisnis di restorannya.Ariana juga tahu kalau sebagian dari konsumen yang datang ke restorannya bukan hanya ingin mencoba masakan yang dibuat