Gerald mengangkat kepalanya dari dokumen yang sedang dia pelajari dan memandang asistennya dengan alis bertaut dalam. "Ulangi lagi perkataanmu?" perintahnya dingin tajam. Pria muda yang usianya terpaut dua tahun lebih muda darinya itu balik menatapnya dan berkata dengan nada datarnya.
"Tunangan Anda, Nona Karenina menghilang Tuan." Jawabnya lagi. "Menghilang?" Kata itu kembali Gerald ulang. Bukan karena pendengaran Gerald terganggu namun untuk memastikan diri kalau apa yang didengarnya itu salah. "Menghilang katamu?" Asistennya itu lagi-lagi menganggukkan. "Menghilang tepat sehari sebelum pernikahan?" Lagi-lagi pria itu mengangguk. "Bagaimana bisa?" Tanyanya dengan nada dingin yang biasanya membuat para lawannya goyah. "Informan kita mengatakan kalau tunangan Anda menghilang diam-diam tepat sebelum makan malam." Ucap pria itu tanpa merasa tertekan sedikitpun oleh sikap arogan dan dingin majikannya. Dia jelas sudah terbiasa melihat perubahan sikap sang billionaire berdarah Yunani pemilik perusahaan ventura yang dikenal dengan kejeliannya dalam berbisnis dan berinvetasi itu. Ya, dia adalah Gerald Zeroun. Pemilik perusahaan ventura multinasional dengan jumlah kekayaan yang jelas tidak terbayangkan. Satu-satunya pewaris klan Zeroun yang juga merupakan billionaire muda yang digadang-gadang sebagai pebisnis sukses abad ini. Pria tampan penuh pesona yang masih melajang di usianya yang menginjak tiga puluh dua. Atau mungkin akan mengakhiri masa lajangnya dalam hitungan jam jika saja calon mempelainya tidak hilang seperti kabar yang mereka terima saat ini. "Berani-beraninya dia." Ucap Gerald seraya kembali duduk di kursi kebesarannya. Tangan kanannya terkepal erat di atas meja. Matanya menatap tajam penuh ancaman. "Siapkan mobil! Kita pergi kesana sekarang juga. Aku harus mengkonfirmasi kabar ini secara langsung." Perintahnya kasar yang dijawab sang asisten dengan anggukkan kepala. "Hanenda. Berani sekali kau mempermalukanku." Desisnya tajam. Mobil sudah sampai di kediaman keluarga Wiryawan. Pengumuman akan kedatangannya membuat si nyonya rumah membuka pintu dengan kedua tangannya sendiri. Wajah cantik terawatnya memandang Gerald dengan sorot panik dan pucat. "Tu-Tuan Zeroun." Cicitnya, tampak sekali berusaha tersenyum dan menghilangkan kegugupannya. Kesombongan dan keanggunan yang biasa ditunjukannya kini luntur sudah karena wanita itu sadar akan masalah yang dilakukan putrinya ia yakini sudah sampai kepada sang taipan si calon mempelai pria. "Selamat malam, Nyonya Wiryawan." Sapa Gerald dengan keramahan yang teramat luar biasa. Gerald bisa melihat wanita itu meremas kedua tangannya dan menelan ludah karena gugup. "Ma-malam." Ia masih tergagap. Wanita tua itu kembali menelan salivanya sebelum kembali berkata. "Tuan Zeroun, apa yang Anda lakukan disini?" "Kenapa? Apa aku tidak boleh mampir ke rumah calon mempelai wanitaku? Meskipun itu hanya untuk mengecek seberapa persen persiapan pernikahan kami sudah diselesaikan?" Tanya Gerald basa-basi yang membuat wanita itu menggeleng karena gugup. "Bu-bukan seperti itu. Hanya saja, konon katanya mempelai wanita dan mempelai laki-laki harusnya tidak saling bertemu sebelum pernikahan berlangsung." Jawab Nyonya Juliarty berkilah. Wanita itu menggiring Gerald untuk terus masuk ke dalam rumah alih-alih membiarkan Gerald untuk duduk di ruang tamu. Gerald mengangkat sudut mulutnya dan menggelengkan kepala. "Mungkin itu terjadi dalam budaya Anda, tapi jelas budaya kita berbeda. Bukan begitu? "Lagipula jelas pernikahan saya dan putri Anda bukan pernikahan biasa dan kami juga bukan pasangan pengantin pada umumnya. Bukan begitu?" Gerald mengingatkan. "Atau sebenarnya, ada sesuatu yang coba Anda sembunyikan dari saya. Karena beberapa saat yang lalu saya mendengar kalau calon mempelai saya menghilang." Ucapnya dengan suara yang pelan namun terdengar seeperti petir yang menyambar di telinga Nyonya Juliarty . "I-itu tidak benar." Jawabnya gagap dengan mata terbelalak lebar. "Da-darimana Anda mendengar kabar palsu seperti itu?" Ucapnya mengelak. Nyonya Juliarty membuka pintu sebuah ruangan yang Gerald duga merupakan ruang kerja dan di ujung rungan, tepat di belakang jendela ia bisa melihat sosok Tuan Hanenda Wiryawan tengah berbicara dengan seseorang lewat ponselnya yang langsung menutupnya saat melihat siapa yang sudah berani masuk ke teritorinya. "Dari seseorang yang kuyakini keakuratan informasinya." Jawabnya seraya menunjukkan senyum ramahnya pada si Tuan rumah yang dibalas tuan rumah dengan senyum kikuknya. "Itu rumor yang mengerikan." Ucap Nyonya Juliarty seraya memerintahkan seseorang untuk membawakan tamu mereka minuman. "Baguslah kalau memang kabar itu tidak benar." Ucap Gerald dengan senyum manisnya yang membuat wanita itu balas tersenyum lega. "Tapi kalaupun benar, saya harap kabar ini belum sampai pada Nenek saya, Nyonya. Karena saya tidak tahu apa yang akan beliau katakan nanti jika tahu calon cucu menantunya pergi begitu saja sehari sebelum pernikahan." Ucapnya dengan nada penuh peringatan yang membuat laki-laki paruh baya itu tak kalah shocknya. Dengan santai Gerald berjalan menuju sofa single yang kosong. Duduk di atasnya dengan keangkuhan layaknya ialah si pemilik rumah. Tangannya terulur meraih gelas kosong yang ada di atas meja dan menuangkan es batu ke dalamnya sebelum menuang cairan berwarna keemasan di atasnya. Gerald memperhatikan es batu yang bergoyang di dalam gelasnya seolah benda itu sangat menarik menggoyangkan gelasnya. Suara dentingan es batu yang menyentuh kaca menjadi pengisi kesunyian disela samar perintah yang terdengar di balik pintu kaca yang mengarah pada taman dimana upacara dan juga resepsi pernikahannya dan putri sang tuan rumah akan dilaksanakan. Menoleh ke jendela yang lebar, Gerald menyesap wiski mahal milik 'calon mertua'nya dengan perlahan seraya merasakan sensasi panas menjalar di tenggorokannya. Dibandingkan pasangan yang kini tengah menatapnya dengan penuh antisipasi, Gerald justru terkesan sangat santai. Sejujurnya, dia tidak menginginkan pernikahan ini, jadi baginya tidak masalah sekalipun pernikahan ini tidak terjadi karena pernikahan ini hanyalah sebuah kontrak kerjasama yang dibuat oleh ibunya, Hestia Zeroun dan Nyonya Juliarty Wiryawan. Neneknya, Nyonya Rosaline Zeroun sama seperti Gerald, tidak pernah menyetujui ide pernikahan ini. Namun karena satu dua alasan, pernikahan ini adalah solusi yang mereka anggap terbaik saat ini. Nyonya Juliarty melangkah dengan tergesa menuju sofa lain yang ada di dekat Gerald. Sorot matanya tampak semakin panik, jelas wanita itu sudah tidak bisa lagi menyembunyikan fakta yang kini tengah terjadi di kediamannya. Kedua tangannya saling menggenggam dengan erat sehingga Gerald bisa melihat buku jarinya yang berkutek merah itu memutih saking kuatnya cengkeramannya. "Ti-tidak. Saya mohon jangan katakan apapun pada Nyonya Rosaline." Pinta wanita menjelang paruh baya itu dengan terbata. "Karenina tidak hilang. Dia hanya pergi selama beberapa saat untuk melepas penat karena sudah satu minggu ini dikurung di rumah. Besok dia akan kembali. Saya janji." Lagi-lagi Nyonya Juliarty memandang Gerald dengan tatapan mengiba. Gerald menyandarkan punggungnya dengan sikap santai, meletakkan sebelah tangan kanannya yang memegang gelas ke tangan sofa sebelum memposisikan kaki kanan ke atas kaki kirinya. Ia menggoyang-goyang gelas wiskinya dengan dramatis sebelum menyesapnya lagi. "Benarkah demikian, Tuan Wiryawan?" Gerald memandang suami si Nyonya dengan tatapan datar namun terkesan mengintimidasi. Pria tua yang masih berdiri di samping meja kerjanya itu kaku dan tak bisa memberikan jawaban. Tampaknya otak tuanya sedang kesulitan mencari solusi dari kepelikan yang mereka hadapi. "Nah nah nah, bagaimana ini Nyonya Wiryawan? Kenapa saya tidak mendapatkan jawaban yang pasti?" Tanya Gerald yang membuat wanita itu balik memandang suaminya dengan marah sebelum kembali menatap Gerald dengan sorot memelas. "Tidak. Sunguh. Karenina tidak hilang dan saya pastikan acara besok akan tetap berlangsung seperti seharusnya. Karenina akan kembali. Besok dia akan menjadi mempelai Anda di pelaminan." Jawabnya yakin. Gerald menaikkan sebelah alisnya. "Jika tidak?" Tantangnya. "Tidak ada kata tidak. Saya pastikan kalau dia akan ada disana." Jawab Nyonya Juliarty Wiryawan dengan tegas. Gerald mengangkat sudut bibirnya. "Baiklah, saya akan memegang kata-kata Anda. Tapi jika dia tidak kembali, maka Anda tahu konsekuensinya, kan?" Pertanyaan Gerald kali ini benar-benar membuat wanita itu ketakutan. Nyonya rumah itu melirik suaminya, meminta pertolongan. Namun sama sekali tak mendapat dukungan apa-apa. "Jika pernikahan ini sampai batal, maka saya akan mencari pengantin yang lain dan itu berarti suntikan dana dari keluarga kami akan batal." Ujar Gerald dengan ketenangan yang luar biasa. "Saya tidak hanya memberikan ancaman kosong, Tuan Wiryawan. Anda tahu bagaimana cara kerja saya. Dan ide 'bisnis' ini adalah saran dari istri Anda. Jadi jika pernikahan ini gagal, jelas saya sama sekali tidak akan dirugikan. Tapi mungkin Anda dan keluarga Anda lah yang nantinya akan menjadi pengemis di jalanan." Gerald menunjukkan senyum dimatanya sementara bibirnya meneguk sisa wiski dalam gelas. Ia bangkit dan bersamaan dengan itu sebuah ketukan pintu terdengar dan seorang pelayan masuk seraya berkata, "Nyonya, Nona sudah kembali." Yang membuat sang tuan rumah menghela napas lega.Gerald melirik asistennya dengan sebelah alis terangkat. Pria yang mengenakan setelan resmi dengan wajah datar itu balik memandang Gerald dengan gelengan kepala samar sebelum keduanya melirik ke arah pintu bersamaan dengan desisan yang terdengar kasar di telinga mereka saat gadis yang baru masuk itu berkata, "Apa kau masih belum bisa membedakan mana majikanmu dan mana yang bukan?” yang membuat Gerald semakin bertanya-tanya.“A-Ariana ?” Cicit Nyonya Juliarty seraya bangkit berdiri dari duduknya. Wanita menjelang pertengahan abad itu memandang gadis yang baru saja masuk dengan tatapan tak percaya sebelum melirik ke arah Gerald dengan tatapan takutnya.‘Ariana ?’ Ulang Gerald dalam hati. Ia melirik si gadis yang melangkah masuk dengan gerak angkuhnya dengan tatapan tertarik. Kemiripan wajah gadis itu dengan calon istri Gerald bernilai sembilan puluh lima persen karena lima persennya habis untuk gaya make-up dan juga tata rambut yang jelas berbeda dengan Karenina yang ia lihat terakhir k
“Jadi, tanpa aku tahu ternyata calon istriku memiliki seorang kembaran?” Tanya Gerald setelah Ariana hilang dari pandangannya.Senyum di wajahnya ditanggapi dengan ekspresi pucat di wajah tiga orang yang berusia jauh lebih tua daripadanya. Meskipun demikian, Nyonya Mahiswara tampaknya memiliki pengendalian diri yang lebih baik jika dibandingkan dengan putri dan menantunya.“Pertanyaannya, jika aku tidak melihatnya dengan mata kepalaku sendiri, apakah kalian akan menjebakku dengan menggantikan pengantinku tanpa sepengetahuanku?” Tanyanya dengan nada santai dan tatapannya terarah pada Nyonya Juliarty yang seketika itu juga tampak membeku karena gugup.“Ti-tidak seperti itu.” Jawab Nyonya Juliarty lirih.“Putriku hanya mencari rencana cadangan.” Kalimat pembelaan itu keluar dari mulut Nyonya Mahiswara. Dan dengan demikian Gerald menjadi tahu siapa sebenarnya yang memiliki kekuasaan di rumah ini dan harus berhati-hati pada wanita tua ini.“Rencana cadangan. Menggantikan calon istriku deng
Mobil pick-up nya sudah mendarat mulus di bagian belakang resto. Wendi yang menjadi pengemudi sekaligus asistennya di dapur sudah bersiap meminta bantuan karyawan lainnya untuk menurunkan bahan baku dan memasukkannya ke dapur.Resto yang dikelola Ariana memang bukan sebuah resto mewah. Tapi sistem yang digunakannya memang seperti sistem resto Lunch and Dinner seperti kebanyakan resto western lainnya. Untuk menu, bervariasi. Setiap harinya sebelum resto buka mereka selalu mengumumkan menu apa saja yang akan mereka buat hari itu. Sistem reservasi berlaku. Mereka juga menerima request menu selama ada pemberitahuan sebelumnya.Delapan orang anak buahnya sudah sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Sambil berlalu menuju tangga, Ariana menyapa mereka satu persatu. Di lantai atas, dimana kantor sekaligus ruang pribadinya berada sudah ada Lani yang sibuk dengan catatannya."Full book untuk dinner. Dan sisa empat set table untuk lunch." Ucapnya bahkan sebelum Ariana mendudukkan bokongnya di sof
Jangan pernah mengemis pada mereka yang meninggalkanmu. Bahkan jika suatu saat mereka menangis darah memintamu kembali. Jangan pernah mau!***"Aku akan menikah." Ucapan bernada tak acuh itu membuat Ariana mendongakkan kepala, sejenak melupakan bumbu apa yang seharusnya dia masukan kedalam mangkuk racikannya. "Selamat kalau begitu." Ucap Ariana juga dengan nada tak acuh yang sama dan kembali melanjutkan pekerjaannya. "Kamu tidak mau tahu siapa yang akan kunikahi?" Tanya Karenina seraya menyandarkan pinggulnya ke meja kitchen dan melipat kedua tangannya di depan dada, memandang langsung ke arah Ariana. "Apa aku perlu tahu?" Ariana balik bertanya. "Toh kamu juga tidak akan mengundangku ke pernikahanmu." Lanjutnya dan mulai mengaduk semua bumbu dengan menggunakan pengocok manual. "Syukurlah kalau kamu sadar diri." Ucap Karenina dengan nada mengejek. "Tapi meskipun kamu tidak akan datang ke pernikahanku, aku tetap butuh bantuanmu." Lanjutnya seraya memandang area dapur restoran Ariana
Ariana mau tak mau datang ke rumah ayahnya karena sang ayah yang meminta. Tanpa perlu ayahnya beritahukan, Ariana sudah menduga apa yang akan mereka bicarakan kali ini. Tentu berkaitan dengan Karenina dan permintaannya."Apa ayah marah?" Tanyanya pada sang Bunda saat wanita berhijab itu membuka pintu rumah untuknya. Ibu sambungnya itu menjawab dengan senyuman khasnya dan menggelengkan kepala."Udah makan?" Tanya wanita yang selama tiga belas tahun terakhir ini berperan sebagai ibu untuknya."Udah. Tadi sebelum kesini makan dulu." Jawab Ariana yang lagi-lagi ditanggapi dengan anggukkan ibunya."Ayah ada di halaman belakang." Ucapnya memberitahu dan Ariana melangkah menuju halaman belakang dimana ayahnya tampak tengah duduk menikmati secangkir kopi hitam dan buku bacaan."Bacaan apalagi sekarang?" Tanya Ariana seraya memeluk bahu sang ayah dan mengecup puncak kepalanya lembut. Pria berusia akhir empat puluhan itu menutup buku dan menunjukkan bagian depan buku yang tengah dibacanya pada
Jelas, selama ini yang mereka tahu nenek mereka hanyalah nenek Asmita, wanita sederhana berparas sendu dengan tatapan yang meneduhkan. Bukan wanita berpenampilan mahal dengan make-up yang bisa dikatakan cukup tebal di hadapan mereka. "Aku ibu dari ibu kalian." Ucap wanita itu lagi menjelaskan. "Apa ayah kalian tidak pernah membicarakan tentang ibu kalian?" Tanya wanita itu lagi dan jelas baik Ariana ataupun Karenina menjawab dengan gelengan kepala. "Apa selama ini dia mengatakan kalau ibu kalian sudah meninggal?" Tanyanya lagi dan keduanya menganggukkan kepala. Lalu dengan dramatis wanita itu menekan dadanya sendiri dan menunjukkan wajah sedih seraya berkata, "Tega sekali dia. Bahkan putriku masih sehat dan dia mengatakan kalau ibu kalian sudah meninggal?" "Apa ibu kami masih hidup?" Tanya Karenina dengan polosnya. Wanita itu menganggukkan kepala dengan antusias. "Dia hidup dan masih sangat sehat. Dia bahkan ingin bertemu dengan kalian." Berbeda dengan Karenina yang tampak antusia
Ariana memasuki gerbang bersamaan dengan sebuah mobil box berlogo sebuah perusahaan wedding organizer masuk dan terus melaju melewati bangunan megah di hadapannya menuju area belakang yang Ariana duga acara pernikahan akan diselenggarakan. Ariana tersenyum tipis dalam setiap langkahnya menuju teras istana yang berupa undakan lima anak tangga itu. Bayangan ketika Karenina datang berkunjung ke restorannya secara tiba-tiba hanya untuk mengumumkan kabar kembalinya ke kota kembali memenuhi kepalanya. Ya, satu tahun yang lalu Karenina tiba-tiba saja datang dan menyombongkan dirinya dan membandingkan kehidupannya dengan kehidupan Ariana. Bagaimana ia melewati masa-masa saat ia tinggal dengan ibu kandungnya yang menurutnya tak Ariana dapatkan. Sekolah di sekolah level internasional, jalan-jalan ke luar negeri, pertemuan dengan orang-orang penting dan kaya raya dan banyak hal lainnya yang Karenina yakini tidak akan pernah Ariana miliki. Ariana hanya menanggapi semuanya dengan senyuman tipis