Gerald melirik asistennya dengan sebelah alis terangkat. Pria yang mengenakan setelan resmi dengan wajah datar itu balik memandang Gerald dengan gelengan kepala samar sebelum keduanya melirik ke arah pintu bersamaan dengan desisan yang terdengar kasar di telinga mereka saat gadis yang baru masuk itu berkata, "Apa kau masih belum bisa membedakan mana majikanmu dan mana yang bukan?” yang membuat Gerald semakin bertanya-tanya.
“A-Ariana ?” Cicit Nyonya Juliarty seraya bangkit berdiri dari duduknya. Wanita menjelang pertengahan abad itu memandang gadis yang baru saja masuk dengan tatapan tak percaya sebelum melirik ke arah Gerald dengan tatapan takutnya.
‘Ariana ?’ Ulang Gerald dalam hati. Ia melirik si gadis yang melangkah masuk dengan gerak angkuhnya dengan tatapan tertarik. Kemiripan wajah gadis itu dengan calon istri Gerald bernilai sembilan puluh lima persen karena lima persennya habis untuk gaya make-up dan juga tata rambut yang jelas berbeda dengan Karenina yang ia lihat terakhir kali.
Dan kapan terakhir kali itu? Seminggu atau dua minggu yang lalu? Tanya Gerald pada dirinya sendiri karena jujur ia sendiri lupa kapan ia bertemu dengan calon istrinya itu. Dan bisa saja dalam kurun waktu yang singkat itu calon istrinya merubah penampilannya yang biasanya terlihat anggun dan feminim menjadi kasual seperti gadis yang berdiri di hadapannya.
Tapi jika itu gadis yang sama, tidak mungkin Nyonya Juliarty menyebutnya dengan nama yang berbeda bukan?
Gerald memperhatikan Nyonya Juliarty mendekati si gadis dengan kedua tangan terentang di kedua sisi tubuhnya seolah hendak memeluk. Namun saat jarak mereka berkisar dua langkah, si gadis yang mengenakan kemeja pas badan dengan lengan kemeja yang dilipat sampai ke bawah siku dan celana skinny jeans itu bergerak mundur dengan terang-terangan menghindar. Bahkan wajahnya sama sekali tidak segan menunjukkan sorot tak suka.
“Aku datang kemari bukan untuk beramah-tamah.” Ucapnya datar yang membuat Gerald mengambil kesimpulan kalau hubungan kedua orang itu sama sekali tidak baik-baik saja.
Tidak ada senyum manis di wajahnya, tidak seperti ekspresi yang biasa Karenina tunjukkan. Bahkan tidak ada kesan ramah sama sekali.
Wajah yang mirip, bentuk tubuh yang mirip, namun begitu berbeda. Sangat berbeda. Batin Gerald. Bahkan cara berpakaiannya pun jelas sangat berbeda.
Karenina yang Gerald kenal seringkali mengenakan dress dan hanya sesekali mengenakan celana. Tapi Karenina di depannya kini tampak nyaman mengenakan jeans panjang ketat yang membungkus kaki dan pinggul rampingnya. Dan kemeja pas badan berbahan transparan berwarna putih yang membungkus tangtop dengan warna senada itu justru membuat orang ingin menerawangi isi dibalik pakaiannya. Dan hal mencolok lainnya yang membedakan Karenina dengan gadis di hadapannya adalah rambut.
Ya, rambut. Gerald mengernyitkan dahi. Terakhir kali melihat rambut Karenina, rambut gadis itu sebatas pinggang dan di cat warna coklat. Sementara gadis di hadapannya memiliki rambut hitam legam yang sedikit lebih pendek dari Karenina. Jadi, siapa sebenarnya Ariana ini?
“Aku datang kemari untuk menyerahkan ini.” Gadis itu meletakkan sebuah amplop berwarna coklat di atas meja kaca yang berada di depan sofa dengan tak acuh. “Dan ini.” Gadis itu mengeluarkan satu buah amplop berwarna putih yang ukurannya sedikit panjang dan juga meletakkannya di atas meja. “Ayah memintaku untuk menyerahkan ini pada Karenina. Hadiah pernikahan.” Ujarnya seraya kembali menegakkan badan.
“A-apa ini?” Tanya Nyonya Juliarty dengan terbata yang dihadiahi si gadis dengan sorot mencemooh.
“Jelas ini sesuatu yang Anda dan putri Anda inginkan.” Jawab Ariana dengan nada datarnya. “Jangan berpura-pura tidak tahu karena dia sudah meminta ini jauh-jauh hari.” Lanjutnya dengan dingin. “Dan ya, ayah mendoakan semoga Karenina bahagia.” Lanjutnya dengan senyum manis yang dibuat-buat. Ariana memandang sekeliling ruangan dan memperhatikan orang-orang yang berada di ruang kerja itu.
Ia tidak pernah melihat pria paruh baya yang kini duduk di sofa single yang kini menatapnya dengan sorot dingin. Namun Ariana bisa menyimpulkan kalau pria itu adalah ‘Papi’nya Ariana. Tuan Hanenda Wiryawan.
Sementara pria lain yang duduk di sofa single yang berseberangan dengan Tuan Hanenda, Ariana pernah melihat wajahnya dari foto yang diberikan oleh saudara kembarnya. Dia adalah Gerald Zeroun, calon suami adik tirinya. Si pebisnis muda nan kaya raya yang selalu menjadi pujaan Karenina. Sementara pria yang berdiri tegap dibelakangnya, Ariana duga itu adalah asistennya.
“Dimana Karenina?” Mau tak mau pertanyaan itu meluncur dari mulutnya. Ia kembali mengalihkan perhatiannya pada Nyonya Juliarty. “Meskipun tidak berharap, setidaknya aku ingin mendengar ucapan terimakasihnya untuk ayahku.” Lanjutnya dengan nada mengejek yang membuat wajah Nyonya Juliarty kembali memucat.
Karena tidak ada yang meresponnya, Ariana memilih untuk mengedikkan bahu dengan ekspresi tak acuh. Memangnya apa yang dia harapkan dari orang-orang ini? Decihnya dalam hati.
“Baiklah, urusanku disini sudah selesai. Jadi, aku pamit.” Ariana memberikan senyum manisnya dan berniat untuk pergi, namun secara mengejutkan tangan Nyonya Juliarty menahannya dan mencengkeramnya erat.
“Tunggu.” Ucap wanita itu dengan lirih.
Ariana memandang wanita paruh baya di hadapannya dan juga jemari halusnya yang mencengkeramnya erat.
“Jangan sentuh aku.” Geram Ariana kasar seraya menepis tangan Nyonya Juliarty.
"Ma-maaf, itu.." Wanita itu tidak melanjutkan ucapannya. Sejenak wanita itu melirik orang-orang yang ada di ruangan sebelum kembali mengalihkan perhatiannya pada Ariana. "Tolong, Ariana. Mama perlu bantuanmu." Ucap wanita itu dengan sorot memohon.
“Lagi?” Decih Ariana kesal. Jelas ia tidak mau lagi direpotkan oleh keluarga yang tidak tahu terima kasih itu.
"Ka-Karenina menghilang." Ucap Nyonya Juliarty yang membuat Ariana balik memandangnya dengan sebelah alis terangkat.
“Menghilang? Di hari pernikahannya?” Tanya Ariana terdengar mengejek. “Kurasa dia sudah gila.” Lanjutnya sambil terkekeh yang membuat perhatian Gerald semakin tak teralihkan. Suara gadis itu sama dengan Karenina, namun terdengar lebih merdu di telinganya.
Nyonya Juliarty memandang Gerald dengan sorot panik dan hal itu juga membuat Ariana turut memandang si calon pengantin pria yang sejak tadi hanya menjadi penonton saja.
“Tolong, bantu aku.” Nyonya Juliarty kembali memohon, mengabaikan ejekan yang tadi dikeluarkan oleh putri sulungnya.
“Membantu apa? Menghilangkan dekorasi yang belum jadi itu?” Tanyanya mengedikkan kepala ke arah jendela dimana orang-orang tengah sibuk dengan pekerjaannya. Gerald berusaha menahan senyumnya akan sikap ketus si gadis. Dalam hati dia benar-benar tertarik pada gadis itu. Bahkan sikap nyinyirnya membuat Gerald ingin membungkam bibir tipis itu dengan ciuman yang kuat dan…
“Tidak. Bukan itu.” Jawab Nyonya Juliarty yang jelas tampak kebingungan. “Aku..” Wanita itu sepertinya sedang mempertimbangkan kalimat yang tepat untuk diucapkan. “Bisakah kau menggantikan Karenina di pelaminan besok?” Tanyanya dengan nada yang semakin melirih di akhir kalimat.
“Aku apa?” Ariana bertanya dengan nada lebih tinggi dan kedua alis yang bertaut antara marah dan tak percaya. “Jangan gila, Nyonya. Sudah cukup Anda mempermainkan pernikahan Anda sendiri. Bagaimana bisa Anda juga mempermainkan pernikahan putri Anda.” Ucapnya dengan nada mengejek. Ia kembali berbalik dan hendak pergi namun lagi-lagi Nyonya Juliarty menahan tangannya yang kembali ditepis gadis itu kasar sehingga kini, tubuh Nyonya Juliarty jatuh menyentuh lantai dengan suara yang cukup keras.
Ariana berbalik. Selama beberapa saat Gerald melihat kecemasan dan kepedulian di tatapan gadis itu. Namun detik selanjutnya gadis itu kembali mengeraskan wajahnya dan memilih untuk tak ambil peduli.
“Jangan gila.” Ucap Ariana kesal. “Jangankan menggantikannya di pelaminan, dia sakit dan membutuhkan donor ginjalpun takkan pernah akan kukabulkan.” Ucap Ariana yang kembali berbalik menuju pintu. Namun kali ini langkah gadis itu terhenti karena seorang wanita lanjut usia menghalangi jalannya. Ariana memutar bola matanya karena kesal. “Apalagi sekarang?” Tanyanya tanpa sedikitpun berusaha menyembunyikan rasa tak sukanya.
“Bukankah selama ini kau dan Karenina berkomunikasi?” Tanya Nyonya Mahiswara, ibu dari Nyonya Juliarty dan juga nenek Ariana. “Kau pasti tahu dimana keberadaannya sekarang.”
“Tuduhan apalagi ini?” Tanya Ariana dengan nada bosannya. “Berkomunikasi seperti apa yang Anda maksud, Nyonya? Semacam saling mengirimkan pesan atau saling bicara lewat telepon, begitu?" Tanya Ariana dengan senyum mengejek yang dijawab tatapan datar sang nenek. "Jangan bodoh. Memangnya Anda pikir dia mau melakukan hal itu dengan orang rendahan sepertiku?”
“Jangan berbohong, Ariana. Kau saudara kembarnya. Kau kakaknya. Walau bagaimanapun dia pasti menghubungimu. Bahkan saat dia baru kembali kesini, orang yang dia cari adalah kamu.” Jawab wanita lanjut usia itu yang membuat Ariana kembali mendengus tak anggun.
“Apakah Anda bertanya apa alasannya menemuiku?” tanyanya dengan nada menantang. “Sepertinya tidak.” Gadis itu menjawab pertanyaannya sendiri. “Dan saya tahu kalau otak Anda belum terlalu tumpul untuk menyadari kalau cucu Anda tidak serendah hati itu untuk mendatangi saudara kembarnya dengan alasan rindu.” Lanjutnya dengan senyum di wajahnya. “Jadi berhentilah bicara hal-hal konyol dan memanipulasi keadaan karena aku bukan gadis berusia sebelas tahun yang bisa kau bodohi.” Ucapnya dan ia mencoba memiringkan tubuhnya untuk bisa keluar dari ruangan itu tanpa menyentuh tubuh Nyonya Mahiswara.
“Kalau kau tidak tahu dimana dia sekarang, bukankah seharusnya kau merasa khawatir padanya?” Wanita tua itu masih mencoba untuk menghentikan langkah Ariana.
“Haruskah?" Tanya Ariana dengan ekspresi menantang. “Saya rasa tidak perlu. Sudah cukup banyak orang yang mengkhawatirkan dia.” Ucap Ariana seraya kembali memandang berkeliling. “Ada Anda, putri Anda, menantu Anda dan juga calon cucu menantu Anda. Jadi tidak perlu menambahkanku dalam daftar orang yang mencemaskan Karenina. Aku tidak sebaik itu untuk peduli pada orang asing.” Lanjutnya yang membuat Nyonya Mahiswara memandangnya tajam.
“Berapa yang kau minta supaya kau mau menggantikan posisi adikmu besok?” Pertanyaan itu keluar dari pria paling tua di ruangan itu.
Gerald melirik sang tuan rumah yang kini menatap Ariana dengan penuh perhatian sebelum kembali menatap Ariana yang kini tampak menarik napas panjang dan berusaha untuk menekan amarahnya dan terus bersikap sabar. Sudut mulut Gerald terangkat. Jelas dia sangat suka cara Ariana menanggapi semua tekanan yang memuakkan ini.
"Berhenti menguji kesabaranku.” Desis Ariana dengan tatapan tajam mengarah pada Tuan Hanenda Wiryawan. “Kalian pikir aku ini apa? Pemain cadangan?” Tanyanya dan sekilas ia menatap Gerald yang sejak tadi hanya diam saja.
Bukankah mereka sedang membahas pernikahan pria itu, tapi kenapa pria itu tampak biasa saja saat mendengar calon istrinya menghilang, begitu juga saat keluarga si mempelai wanita dengan mudahnya meminta orang lain untuk menggantikkan calon istrinya di pelaminan? Namun semua pertanyaan itu Ariana simpan di kepalanya.
“Aku bukan boneka kalian. Jadi jangan libatkan aku pada apapun permainan yang sedang kalian mainkan."
"Ini bukan kegilaan. Dan ini bukan permainan. Ini sebuah solusi." Jawab Nyonya Mahiswara lagi dengan ekspresi dinginnya.
Ariana mendengus seraya menggelengkan kepala, namun gadis itu sama sekali tidak memberikan komentar apapun atas ucapan sang nenek.
"Aku tahu kamu menyayangi Karenina meskipun kamu enggan mengakuinya." Nyonya Mahiswara masih berusaha memanipulasi pikiran Ariana dan berusaha membuat Ariana berubah pikiran. Tapi Ariana justru malah menunjukan ekspresi seperti orang yang menahan tawa.
"Apa Anda sedang berusaha menjadi seorang pembaca pikiran, Nyonya?" Tantang Ariana dingin.
"Kalau kamu tidak menyayanginya, kamu pasti sudah mengusirnya sejak hari pertama dia datang menemuimu."
"Berhentilah bicara omong kosong seolah Anda mengenal saya, Nyonya Mahiswara.” Ucap Ariana dingin yang jelas membuat wanita lanjut usia itu tertegun. “Ingatlah bahwa aku bukan Karenina yang bisa dengan mudah Anda kendalikan atau Anda pengaruhi.
“Meskipun tidak sekelas dengan Anda, tapi saya juga seorang pebisnis. Di mata saya, Karenina tak ada bedanya dengan pelanggan lain yang saya perbolehkan untuk singgah dan pergi jika mereka ingin.” Ucapnya dengan nada dingin yang membuat Gerald menatapnya semakin lekat. “Kalau Anda lupa, cucu Anda itu adalah orang kesepian yang tidak memiliki teman. Jadi saya berbaik hati membuka pintu tempat saya untuknya. Lagipula, dia datang sebagai konsumen dan konsumen adalah raja. Bukan begitu?" Jawab Ariana datar.
"Kalau begitu, tetaplah jadi pelayannya. Gantikan dia di pelaminan sebagaimana seorang pelayan yang setia melayani rajanya." Ucap Nyonya Mahiswara lagi.
Ariana memandang Nyonya Mahiswara dengan mata membola, lalu tawa histerisnya membahana. "Pelajarilah lagi bagaimana caranya meminta bantuan, Nyonya. Setidaknya, tunjukkan sedikit kerendahan hatimu jika kau memang butuh.”
"Tidak. Kami tidak meminta bantuan. Kita sedang bernegosiasi.” Ucap wanita lanjut usia itu, tetap tak ingin kalah oleh Ariana.
Ariana mencibir. “Negosiasi.” Ulangnya seraya menatap Nyonya Juliarty, Gerald , Tuan Hanenda dan berakhir pada Nyonya Mahiswara. “Jadi, keuntungan apa yang kudapat?” Tanyanya menantang.
“Kamu tidak akan mendapatkan apa-apa.” Jawab Nyonya Mahiswara datar. “Anggap saja bantuanmu ini sebagai tanda bakti untuk ibumu yang sudah melahirkanmu.”
“Bakti?” Tanya Ariana dengan senyum mengejek. “Ini sungguh tidak adil. Kenapa aku harus berbakti pada wanita yang ingin menggugurkanku?” Tanyanya pada Nyonya Mahiswara yang seketika memucat di tempatnya. “Kalian juga tidak mengurus dan membesarkanku, jadi kenapa aku harus berbakti?” Tanyanya dengan gelengan kepala dan ekspresi wajah mengejek.
“Aku tidak tahu kerjasama apa yang kalian para orang kaya lakukan. Yang jelas aku tidak mau terlibat. Terjadi atau gagalnya pernikahan Karenina, yang dipermalukan itu kalian. Bukan aku.
“Aku sudah cukup direpotkan dengan permintaan kalian pada ayahku, jangan repotkan aku dengan urusan yang lain.
“Lagipula, Nyonya Mahiswara. Coba Anda ingat baik-baik karena sepengetahuan saya dan dari saksi hidup yang sudah bercerita, Anda dan juga putri Anda tidak pernah menginginkan kelahiran saya dan juga Karenina." Ariana memandang neneknya yang kini menatapnya dengan wajah memucat. "Dan jika saja kalian tidak butuh pancingan untuk menghadirkan keturunan baru," Ariana memandang ibunya dan juga suami baru ibunya dengan ekspresi datar. "sampai matipun tampaknya kami tidak akan pernah mengetahui kalau kami masih memiliki seorang ibu." Tidak ada jawaban dari ketiganya. Ketiga orangtua yang ada di ruangan itu hanya memandang Ariana dengan wajah yang memucat secara tiba-tiba.
"Dan berterima kasih padanya atas apa?" Ariana kembali memandang Nyonya mahiswara. "Berbakti untuk apa? Kenapa aku harus berbakti pada wanita yang meskipun sudah melahirkanku tapi dia tidak pernah sekalipun menyusui, mengurus dan bahkan tidak mencintaiku?
"Kenapa aku harus merasa berutang budi sementara dia tidak pernah kesusahan karenaku?
"Bukan urusanku kalau saat ini kalian dalam keadaan terdesak. Kenapa aku harus membantu kalian sementara selama ini aku tidak pernah mendapatkan bantuan apapun dari kalian?
"Aku bahkan tidak pernah menikmati apapun yang kalian dapatkan, jadi kenapa sekarang aku harus menjadi orang yang menanggung kerugian?" Tanyanya dengan gigi terkatup, berusaha untuk tidak berkata dengan suara yang lantang akibat amarahnya yang hampir meledak.
Pada akhirnya Ariana harus mengalah dan memandang pada pria yang sejak tadi tak ingin dilihatnya.
Sejak tadi Ariana menolak melihat pria itu bukan karena pria itu jelek. Jelas semua wanita muda yang melihatnya akan mengatakan pria itu tampan dan berkarisma. Sejujurnya, jauh dalam hatinya Ariana ingin mengatakan kalau Karenina beruntung bisa mendapatkannya. Tapi bukan itu yang mengganggunya.
Yang membuat Ariana enggan memandang pria itu karena tatapan tajam pria itu entah mengapa membuat Ariana merasakan sensasi yang aneh di tubuhnya.
Tatapannya memancarkan hawa panas yang membuat sekujur tubuh Ariana meremang. Ariana bahkan merasakan payudaranya tiba-tiba mengencang dan panas. Ia juga merasakan desiran aneh di seluruh tubuhnya yang berakhir pada satu titik yaitu daerah sensitifnya yang herannya tiba-tiba terasa bengkak, panas, berdenyut dan basah.
Cara pria itu menatapnya. Cara telunjuk pria itu mengusap bibirnya membuat Ariana tidak bisa mengendalikan pikirannya.
"Anda calon suami Karenina, kan?" Ariana berusaha untuk bicara dengan nada senormal dan sewajar mungkin.
Ia mengabaikan tatapan pria itu yang kini tampak menilainya dari atas ke bawah dan berhenti di payudaranya. Tatapan yang membuat Ariana merasa sekujur tubuhnya tengah diraba oleh tangan besarnya. Ariana merasa napasnya mulai terengah padahal dia sedang tidak melakukan aktifitas apa-apa. 'ini karena kau sedang emosi, Ariana.' Gumamnya pada diri sendiri.
"Anda sudah tahu kalau dia menghilang tepat sebelum pernikahan terjadi. Bukankah itu sama saja dengan dia sedang menghina Anda? Jadi kenapa Anda masih ada disini? Apa Anda tidak bisa mendapatkan wanita lain sehingga Anda harus memohon dan menunggu sampai Karenina kembali?" Tanyanya yang membuat Gerald tercengang.
"Ariana !" Pekik Nyonya Juliarty panik.
"Aku akan membayarmu, berapapun kau mau asal kau mau menggantikan posisi Karenina di pelaminan besok." Suara itu lagi-lagi keluar dari mulut Tuan Rumah yang sejak tadi memilih untuk diam saja.
Ariana menghembuskan napas panjang dengan kasar. Berusaha mengalihkan pikirannya dan juga debar jantungnya yang mengencang efek tatapan pria itu padanya. Bersyukur dalam hati karena ayah tiri adiknya itu berhasil mengalihkan perhatiannya. Tampaknya keluarga baru adiknya itu tidak pantang menyerah.
"Berapa yang Anda bisa bayar?" Tanyanya dengan senyum manis menantang.
"Berapapun yang kamu mau. Atau apapun yang kamu minta." Jawabnya dengan percaya diri. Sebuah senyuman terukir di wajahnya.
"Apapun?" Tantang Ariana masih dengan senyum manisnya.
Pria tua itu mengangguk dengan mata berbinar. Merasa yakin kalau Ariana akan menerima tawarannya. Tentu saja, mana ada manusia di dunia ini yang menolak uang. Bukan begitu?
"Apapun." Jawabnya yakin.
Ariana tersenyum, memandang ibunya dengan tatapan mengejek. "Bagaimana jika aku meminta jantung anak Anda sebagai bayaran untuk menggantikan Karenina di pelaminan?" Tanya Ariana yang membuat dahi pria itu berkerut dalam. "Kenapa? Anda tidak bisa memberikannya? Bukankah Anda mengatakan kalau Anda bersedia memberikan 'apapun'?"
"Ariana..." Lirih Nyonya Juliarty mentapnya tak percaya.
"Untuk berperan sebagai Karenina, itu jelas tidak mudah. Wajah kami memang sama, tapi aku dan dia jelas berbeda. Bukan begitu, Nyonya?" Ariana memandang Nyonya Mahiswara dengan senyum mengejek. "Menjadi dirinya, itu sama saja aku harus bersiap terkena serangan jantung kapan saja. Karena siapa yang tahu, seseorang mengenali kami dan kemudian aku shock dan..." Ariana meremas jantungnya tanpa melanjutkan ucapannya.
Ariana menatap ibunya dengan tatapan penuh arti. Dan dari respon ibunya, tampaknya wanita itu tahu maksud ucapan Ariana yang orang lain pasti anggap ucapan biasa saja.
"Saya tidak butuh uang Anda, Tuan Hanenda Wiryawan." Ariana kembali menatap suami ibunya. "Saya bukan lagi gadis miskin yang istri Anda telantarkan dulu. Ayah saya juga bukan pengangguran tak berguna. Jadi, jika Anda menawarkan uang untuk saya, itu sudah tidak ada artinya.
"Dan bahkan jika saat ini saya masih miskin pun. Saya tidak akan menerima sepeserpun uang yang Anda berikan." Ariana menatap Nyonya Mahiswara, Nyonya Juliarty dan juga Tuan Hanenda bergiliran sebelum mengakhiri tatapanna pada Gerald. Dan entah kenapa, jantungnya yang tadi sudah mulai tenang kini berdebar dengan kencang lagi hanya karena diberi tatapan tajam pria itu.
Bukan tatapan marah, bukan juga tatapan mengejek, melainkan tatapan penuh gairah yang tersampaikan secara langsung ke tubuh Ariana.
Sial! Bagaimana bisa area intimnya berdenyut begitu kencang hanya karena melihat jari tangan Gerald ? Ariana tidak mengerti dan jelas ini baru pertama kali terjadi dan dia sangat tidak menyukai itu.
'Ingatlah, dia calon suami adikmu. Tidak pantas kau membayangkan hal tidak senonoh dengannya.' Perintah Ariana dalam hati.
"Kalau saya jadi Anda, saya akan mencari wanita lain untuk dinikahi. Toh diluar sana masih banyak wanita lajang yang jauh lebih baik dan lebih menarik daripada Karenina." Ucapnya dan setelah mengatakan kalimat itu, gadis itu berlalu pergi begitu saja. Membiarkan Gerald terduduk di tempatnya dan menikmati punggung gadis itu dan goyangan pinggulnya yang membuatnya bergairah seketika.
Ya, bukan hanya Ariana yang terpengaruh oleh Gerald. Hal itu pun terjadi sebaliknya. Sejak saat gadis itu masuk ke dalam ruangan. Sejak saat Gerald menyadari kalau gadis yang memiliki wajah yang sama dengan tunangannya itu bukanlah tunangannya yang sebenarnya. Gerald sudah benar-benar terangsang.
Dari segi fisik, tidak ada yang berbeda antara Karenina dan Ariana. Keduanya sama-sama berkulit putih, berparas cantik dan memiliki bentuk tubuh yang berlekuk di tempat yang tepat.
Jenis pakaian, gaya make-up dan gaya rambut tentu bisa berubah mengikuti mood. Namun perbedaan yang jelas dari Ariana dan Karenina adalah sikap dan auranya.
Sikap dan pembawaan Ariana jelas lebih tegas dibandingkan Karenina.
Ariana tipe gadis yang tahu apa yang diinginkannya dan tahu apa yang harus dilakukannya. Dia tipe gadis yang berani mengambil sikap tidak peduli pada siapapun lawannya. Berbeda dengan Karenina yang selalunya mengalah dan menurut. Meskipun Gerald sendiri tidak menyangka kalau gadis itu berani melarikan diri menjelang hari pernikahan mereka yang Gerald anggap merupakan pembangkangan terbesar gadis itu selama hidupnya.
Dan aura Ariana ? Gadis itu memiliki aura yang membuat Gerald terpesona.
Gerald tidak lagi peduli akan pernikahannya dan Karenina. Ia tidak peduli dengan apapun perjanjian yang ia miliki dengan keluarga Wiryawan. Setidak peduli ia pada drama yang dilakukan oleh keluarga calon mempelai wanitanya. Yang ada dalam kepalanya saat ini adalah, dia harus melakukan apapun untuk membuat Ariana menjadi miliknya dan membuat apa yang ada di dalam kepalanya menjadi kenyataan.
“Jadi, tanpa aku tahu ternyata calon istriku memiliki seorang kembaran?” Tanya Gerald setelah Ariana hilang dari pandangannya.Senyum di wajahnya ditanggapi dengan ekspresi pucat di wajah tiga orang yang berusia jauh lebih tua daripadanya. Meskipun demikian, Nyonya Mahiswara tampaknya memiliki pengendalian diri yang lebih baik jika dibandingkan dengan putri dan menantunya.“Pertanyaannya, jika aku tidak melihatnya dengan mata kepalaku sendiri, apakah kalian akan menjebakku dengan menggantikan pengantinku tanpa sepengetahuanku?” Tanyanya dengan nada santai dan tatapannya terarah pada Nyonya Juliarty yang seketika itu juga tampak membeku karena gugup.“Ti-tidak seperti itu.” Jawab Nyonya Juliarty lirih.“Putriku hanya mencari rencana cadangan.” Kalimat pembelaan itu keluar dari mulut Nyonya Mahiswara. Dan dengan demikian Gerald menjadi tahu siapa sebenarnya yang memiliki kekuasaan di rumah ini dan harus berhati-hati pada wanita tua ini.“Rencana cadangan. Menggantikan calon istriku deng
Mobil pick-up nya sudah mendarat mulus di bagian belakang resto. Wendi yang menjadi pengemudi sekaligus asistennya di dapur sudah bersiap meminta bantuan karyawan lainnya untuk menurunkan bahan baku dan memasukkannya ke dapur.Resto yang dikelola Ariana memang bukan sebuah resto mewah. Tapi sistem yang digunakannya memang seperti sistem resto Lunch and Dinner seperti kebanyakan resto western lainnya. Untuk menu, bervariasi. Setiap harinya sebelum resto buka mereka selalu mengumumkan menu apa saja yang akan mereka buat hari itu. Sistem reservasi berlaku. Mereka juga menerima request menu selama ada pemberitahuan sebelumnya.Delapan orang anak buahnya sudah sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Sambil berlalu menuju tangga, Ariana menyapa mereka satu persatu. Di lantai atas, dimana kantor sekaligus ruang pribadinya berada sudah ada Lani yang sibuk dengan catatannya."Full book untuk dinner. Dan sisa empat set table untuk lunch." Ucapnya bahkan sebelum Ariana mendudukkan bokongnya di sof
Jangan pernah mengemis pada mereka yang meninggalkanmu. Bahkan jika suatu saat mereka menangis darah memintamu kembali. Jangan pernah mau!***"Aku akan menikah." Ucapan bernada tak acuh itu membuat Ariana mendongakkan kepala, sejenak melupakan bumbu apa yang seharusnya dia masukan kedalam mangkuk racikannya. "Selamat kalau begitu." Ucap Ariana juga dengan nada tak acuh yang sama dan kembali melanjutkan pekerjaannya. "Kamu tidak mau tahu siapa yang akan kunikahi?" Tanya Karenina seraya menyandarkan pinggulnya ke meja kitchen dan melipat kedua tangannya di depan dada, memandang langsung ke arah Ariana. "Apa aku perlu tahu?" Ariana balik bertanya. "Toh kamu juga tidak akan mengundangku ke pernikahanmu." Lanjutnya dan mulai mengaduk semua bumbu dengan menggunakan pengocok manual. "Syukurlah kalau kamu sadar diri." Ucap Karenina dengan nada mengejek. "Tapi meskipun kamu tidak akan datang ke pernikahanku, aku tetap butuh bantuanmu." Lanjutnya seraya memandang area dapur restoran Ariana
Ariana mau tak mau datang ke rumah ayahnya karena sang ayah yang meminta. Tanpa perlu ayahnya beritahukan, Ariana sudah menduga apa yang akan mereka bicarakan kali ini. Tentu berkaitan dengan Karenina dan permintaannya."Apa ayah marah?" Tanyanya pada sang Bunda saat wanita berhijab itu membuka pintu rumah untuknya. Ibu sambungnya itu menjawab dengan senyuman khasnya dan menggelengkan kepala."Udah makan?" Tanya wanita yang selama tiga belas tahun terakhir ini berperan sebagai ibu untuknya."Udah. Tadi sebelum kesini makan dulu." Jawab Ariana yang lagi-lagi ditanggapi dengan anggukkan ibunya."Ayah ada di halaman belakang." Ucapnya memberitahu dan Ariana melangkah menuju halaman belakang dimana ayahnya tampak tengah duduk menikmati secangkir kopi hitam dan buku bacaan."Bacaan apalagi sekarang?" Tanya Ariana seraya memeluk bahu sang ayah dan mengecup puncak kepalanya lembut. Pria berusia akhir empat puluhan itu menutup buku dan menunjukkan bagian depan buku yang tengah dibacanya pada
Jelas, selama ini yang mereka tahu nenek mereka hanyalah nenek Asmita, wanita sederhana berparas sendu dengan tatapan yang meneduhkan. Bukan wanita berpenampilan mahal dengan make-up yang bisa dikatakan cukup tebal di hadapan mereka. "Aku ibu dari ibu kalian." Ucap wanita itu lagi menjelaskan. "Apa ayah kalian tidak pernah membicarakan tentang ibu kalian?" Tanya wanita itu lagi dan jelas baik Ariana ataupun Karenina menjawab dengan gelengan kepala. "Apa selama ini dia mengatakan kalau ibu kalian sudah meninggal?" Tanyanya lagi dan keduanya menganggukkan kepala. Lalu dengan dramatis wanita itu menekan dadanya sendiri dan menunjukkan wajah sedih seraya berkata, "Tega sekali dia. Bahkan putriku masih sehat dan dia mengatakan kalau ibu kalian sudah meninggal?" "Apa ibu kami masih hidup?" Tanya Karenina dengan polosnya. Wanita itu menganggukkan kepala dengan antusias. "Dia hidup dan masih sangat sehat. Dia bahkan ingin bertemu dengan kalian." Berbeda dengan Karenina yang tampak antusia
Ariana memasuki gerbang bersamaan dengan sebuah mobil box berlogo sebuah perusahaan wedding organizer masuk dan terus melaju melewati bangunan megah di hadapannya menuju area belakang yang Ariana duga acara pernikahan akan diselenggarakan. Ariana tersenyum tipis dalam setiap langkahnya menuju teras istana yang berupa undakan lima anak tangga itu. Bayangan ketika Karenina datang berkunjung ke restorannya secara tiba-tiba hanya untuk mengumumkan kabar kembalinya ke kota kembali memenuhi kepalanya. Ya, satu tahun yang lalu Karenina tiba-tiba saja datang dan menyombongkan dirinya dan membandingkan kehidupannya dengan kehidupan Ariana. Bagaimana ia melewati masa-masa saat ia tinggal dengan ibu kandungnya yang menurutnya tak Ariana dapatkan. Sekolah di sekolah level internasional, jalan-jalan ke luar negeri, pertemuan dengan orang-orang penting dan kaya raya dan banyak hal lainnya yang Karenina yakini tidak akan pernah Ariana miliki. Ariana hanya menanggapi semuanya dengan senyuman tipis
Gerald mengangkat kepalanya dari dokumen yang sedang dia pelajari dan memandang asistennya dengan alis bertaut dalam. "Ulangi lagi perkataanmu?" perintahnya dingin tajam. Pria muda yang usianya terpaut dua tahun lebih muda darinya itu balik menatapnya dan berkata dengan nada datarnya."Tunangan Anda, Nona Karenina menghilang Tuan." Jawabnya lagi."Menghilang?" Kata itu kembali Gerald ulang. Bukan karena pendengaran Gerald terganggu namun untuk memastikan diri kalau apa yang didengarnya itu salah. "Menghilang katamu?" Asistennya itu lagi-lagi menganggukkan. "Menghilang tepat sehari sebelum pernikahan?" Lagi-lagi pria itu mengangguk. "Bagaimana bisa?" Tanyanya dengan nada dingin yang biasanya membuat para lawannya goyah. "Informan kita mengatakan kalau tunangan Anda menghilang diam-diam tepat sebelum makan malam." Ucap pria itu tanpa merasa tertekan sedikitpun oleh sikap arogan dan dingin majikannya. Dia jelas sudah terbiasa melihat perubahan sikap sang billionaire berdarah Yunani pemi