Ariana mau tak mau datang ke rumah ayahnya karena sang ayah yang meminta. Tanpa perlu ayahnya beritahukan, Ariana sudah menduga apa yang akan mereka bicarakan kali ini. Tentu berkaitan dengan Karenina dan permintaannya.
"Apa ayah marah?" Tanyanya pada sang Bunda saat wanita berhijab itu membuka pintu rumah untuknya. Ibu sambungnya itu menjawab dengan senyuman khasnya dan menggelengkan kepala. "Udah makan?" Tanya wanita yang selama tiga belas tahun terakhir ini berperan sebagai ibu untuknya. "Udah. Tadi sebelum kesini makan dulu." Jawab Ariana yang lagi-lagi ditanggapi dengan anggukkan ibunya. "Ayah ada di halaman belakang." Ucapnya memberitahu dan Ariana melangkah menuju halaman belakang dimana ayahnya tampak tengah duduk menikmati secangkir kopi hitam dan buku bacaan. "Bacaan apalagi sekarang?" Tanya Ariana seraya memeluk bahu sang ayah dan mengecup puncak kepalanya lembut. Pria berusia akhir empat puluhan itu menutup buku dan menunjukkan bagian depan buku yang tengah dibacanya pada Ariana. Ariana tersenyum dan menganggukkan kepala. "Apa gak bosan? Kalo aku baca yang begituan yang ada malah ngantuk." Ucapnya seraya mengambil satu potong mendoan yang sudah agak dingin dan mencelupkannya ke dalam sambal kecap seraya duduk di sisi kosong bale-bale yang diduduki sang ayah. "Ayah perlu yang begini buat motivasi." Jawab ayahnya dan meletakkan buku ke atas meja, tepat di samping piring berisi mendoan dan mengambil gelas kopinya dan menyeruputnya pelan. "Ayah gak ganggu kesibukan kakak kan?" Tanya pria awal paruh baya itu setelah meletakkan gelas kopinya. "Ngapain ada anak buah kalau semua harus bos yang urusin." Kilah Ariana dengan senyum di wajahnya. Ayahnya turut tersenyum dan menganggukkan kepala. "Ada apa Ayah panggil kakak kesini?" Tanya Ariana ingin tahu. Meskipun dalam hati ia sudah bisa menebaknya. "Karenina datang ke tempat kerja ayah." Ucap ayahnya, membenarkan apa yang ada dalam pikiran Ariana. "Dia minta ayah membuat surat pernyataan kalau ayah tidak bisa menjadi walinya saat pernikahannya nanti." "Ayah menyanggupinya?" Tanya Ariana dengan nada datarnya. "Ayah bisa apa?" Ayahnya balik bertanya. "Baik Karenina ataupun mama kamu tidak mau ayah ada di pernikahannya. Yang bisa ayah lakukan untuk membahagiakan mereka hanya ini." Ucap ayahnya dengan nada sedih yang meskipun samar masih bisa Ariana dengar. "Tapi ayah gak kecewa, masih ada kakak yang nanti akan ayah walikan saat nikah. Dan masih ada Dira." "Hanya ada Dira." Ucap Ariana lirih. "Aku gak ada niatan buat nikah. Gak setelah semua drama pernikahan yang sudah aku lihat." "Kak.." Ayahnya memandang Ariana dengan tatapan sedih. "Ini udah jadi pilihan aku, Yah." Ucap Ariana tak mau diganggu gugat. Menikah? Jelas kata itu tidak pernah terselip dalam benak Ariana. Bukan semata-mata karena tidak mau mengulang kisah yang sama atau mengalami sesuatu yang dramatis dan mengalami sakit hati akibat berharap pada seseorang yang disebut pasangan. Namun Ariana tidak yakin kalau dirinya masih memiliki waktu untuk bisa menikmati hidup dalam waktu yang lama. Ia tidak yakin bisa hidup berbahagia bersama seseorang dan menyatakan padanya kalau ia akan menemani pria itu dalam susah dan senangnya karena yang ada justru pria itulah yang akan selalu menemaninya dalam keadaan terpuruknya. Dan Ariana tidak mau menumbalkan seseorang hanya demi masa singkat hidupnya yang akan berakhir entah kapan. Mobil yang Ariana kemudikan berhenti tepat di seberang sebuah istana megah berlantai dua bercat putih. Pintu gerbang setinggi empat meter yang biasanya terkunci rapat kini terbuka lebar, menunjukkan lalu-lalang orang-orang yang tengah sibuk menyiapkan dekorasi untuk pernikahan saudara kembarnya esok hari. Ariana melirik amplop yang ada di atas kursi penumpang dan melirik istana megah itu bergantian. Amplop itu adalah saksi bisu kalau jarak antara dirinya, adik kembarnya dan juga ibu kandungnya sangatlah nyata. Menarik napas panjang, Ariana meraih amplop berwarna cokelat itu. Sebisa mungkin tidak meremasnya karena jujur saja, saat ini jantungnya berdebar cukup kencang karena marah. Marah karena sikap lancang dan tak berperasaan ibu dan juga adik kembarnya. Jalanan yang lengang membuatnya sangat mudah menyebrang jalan. Ia masuk begitu saja tanpa peduli pada penjaga keamanan yang kini tengah asyik menonton sesuatu di pos jaganya. Ariana tersenyum kecut. Kalau saja ayahnya tidak memaksanya untuk datang ke tempat itu untuk menyerahkan kado pernikahan dan surat ijin perwalian yang diminta Karenina, Ariana jelas enggan untuk menginjakkan kakinya di kediaman para monster itu. Berapa lama ia tidak pernah bertemu dengan wanita yang sudah melahirkannya itu? Setahun? Dua tahun? Tidak, itu waktu yang terlalu singkat. Nyatanya ia sudah tidak bertemu dengan wanita itu selama tiga belas tahun. Terasa singkat jika kita menghitungnya mundur. Jika kalian bertanya apakah orangtuanya bercerai. Jawabannya iya. Dan jika kalian bertanya apa alasan mereka berpisah. Sederhananya, uang adalah jawabannya. Sedikit cerita tentang orangtua Ariana dan Karenina. Dulu, dua puluh enam tahun yang lalu diceritakan ada seorang gadis cantik bernama Juliarty. Dia adalah putri satu-satunya dari pasangan Mahiswara Prameswari dan Bambang Dananjaya, pemilik sebuah pabrik tekstil besar di kotanya. Juliarty yang masih muda kala itu jatuh cinta pada sosok pada sosok Toni Sadhana, seorang pemuda berusia dua puluh tiga tahun yang bekerja di pabrik milik keluarganya sebagai seorang teknisi. Kisah cinta keduanya laksana kisah cinta anak muda pada umumnya. Dipenuhi dengan kekaguman dan gairah. Namun saat kedua orangtua Juliarty mengetahui hal itu, jelas keduanya murka karena menurut mereka, sosok Toni Sadhana yang bukanlah siapa-siapa tidak layak bersanding dengan putri mereka yang memiliki kasta lebih tinggi daripada seorang teknisi yatim dengan seorang ibu yang bekerja sebagai penjual kue basah. Juliarty jelas memberontak. Jiwa mudanya tidak mau dipisahkan dengan Toni begitu saja. Bahkan saat Toni dipecat oleh keluarganya dan menjadi pengangguran, gadis itu tetap mengejarnya dengan alasan cinta. Mahiswara dan Bambang pada akhirnya menyerah dan membiarkan putrinya untuk bersama dengan Toni. Memilih untuk menutup mata akan kehidupan putri Tunggal mereka hanya untuk membuat putrinya tahu bagaimana rasanya sengsara. Saat Toni melamar Juliarty, keduanya tidak banyak berkata dan membiarkan mereka menikah sekalipun tanpa resepsi yang seharusnya—jika Juliarty menikah dengan orang pilihan mereka—akan diselenggarakan secara mewah dan mungkin berlangsung berhari-hari lamanya. Setelah menikah dengan Toni, Juliarty menapaki kehidupan yang sebenarnya. Keluarganya benar-benar lepas tangan dan tak lagi membiayainya. Ibunya sama sekali tidak mau tahu tentang apapun yang terjadi padanya. Bahkan saat sang putri yang baru berusia sembilan belas tahun itu hamil dengan kondisi yang memprihatinkan, kedua orangtuanya mengabaikannya. "Itu adalah pilihanmu. Jadi nikmatilah kesusahanmu sendirian." Itulah yang dikataka Mahiswara saat Juliarty datang berkunjung di suatu waktu saat kehamilannya masih muda. Juliarty berusaha untuk bertahan ditengah keterpurukan ekonomi yang dia alami. Ibu Toni sering sakit-sakitan sementara gaji Toni sebagai montir di sebuah bengkel kecil hanya bisa memenuhi biaya mereka makan. Untuk susu hamil ataupun memeriksakan kandungan setiap bulan pun, Juliarty harus berjuang keras untuk menabung dan kesusahan itu membuat matanya terbuka dan akhirnya menyesal karena sudah membangkang. Awalnya ia menduga karena ia anak satu-satunya, pada akhirnya orangtuanya akan luluh dan tetap mengurusnya. Namun ia salah. Dan Juliarty menyesal karenanya karena untuk menikmati sesuatu yang dulu 'biasa' di keluarganya, nyatanya di keluarga Toni itu adalah sebuah kemewahan yang sukar dia dapatkan. Lelah dengan keadaan, Juliarty akhirnya mengadu pada ibunya dan memohon untuk bisa kembali ke kediaman Dananjaya. Tentu saja Mahiswara tidak bisa menerima putrinya kembali begitu saja. Ia berjanji akan menerima Juliarty kembali asalkan Juliarty mau menggugurkan kandungannya yang memang masih muda. Dan ya, Juliarty berusaha melakukannya. Namun semua upaya yang dia coba nyatanya tidak membuahkan hasil. Hingga akhirnya Toni mengetahui fakta itu dan balik murka pada sang istri. Pertengkaran hebat terjadi antara Toni dan Juliarty. Juliarty yang ingin kembali dan membunuh jabang bayi dalam kandungannya supaya bisa kembali diterima dalam keluarganya dan Toni yang ingin Juliarty mempertahankannya karena dia mencintai janin yang kini dikandung oleh istrinya. Toni mengakui ketidakmampuannya dalam membahagiakan istrinya, namun ia tidak mau istrinya berbuat dosa dengan membunuh anak mereka. Hinggalah terjadi sebuah kesepakatan bersama yang dibuat Nyonya Mahiswara yang berisi kalau anak dalam kandungan Juliarty akan dilahirkan namun sebagai gantinya, anak itu tidak boleh dipertemukan dengan Juliarty dan tidak boleh tahu keberadaan ibunya sampai kapanpun karena baik Mahiswara ataupun Bambang tidak akan mengakui bayi dalam kandungan Juliarty sebagai cucu mereka. Toni menyetujui. Dia bersumpah setelah anak itu lahir dia akan membawanya pergi dan tidak akan pernah mempertemukannya dengan Mahiswara ataupun keluarga Dananjaya yang lainnya asalkan akan itu dipertahankan. Dan ya, meskipun masa kehamilannya sulit, sedikit sisa keibuan yang Juliarty miliki akhirnya membuatnya memutuskan untuk mempertahankan bayi dalam kandungannya meskipun sebagai gantinya dia harus disembunyikan di sebuah area terpencil sampai melahirkan. Berbulan-bulan kemudian, kembar berjenis kelamin perempuan dilahirkan di sebuah gubuk kecil dengan bantuan paraji setempat. Bahkan untuk membawa sang putri ke puskesmas atau rumah sakit pun Mahiswara tampaknya enggan karena takut ketahuan. Dan tanpa mengijinkan sang bayi bersentuhan dengan sang ibu, Mahiswara langsung memberikan kedua cucunya pada Toni dan ibu Toni dan menyuruh mereka menyingkir dan tak pernah kembali. Dan itulah yang dilakukan oleh Toni dan ibunya, Asmita. Menghilang dengan membawa dua bayi perempuan dalam pelukan mereka. Namun waktu berlalu. Saat usia Ariana dan Karenina menginjak sebelas tahun, tiba-tiba seorang wanita dengan pakaian mahal dan sebuah mobil mengkilat berhenti di depan sekolah mereka dan menanyakan siapa nama mereka. "Ayah kalian, Toni Sadhana?" Tanya wanita paruh baya yang tak lain adalah Mahiswara. Ketiga gadis kecil yang berdiri berjejeran yang tak lain Ariana, Karenina dan Lani memilih untuk saling berpandangan. Mereka diberitahu kalau mereka tidak boleh bicara dengan orang asing karena bisa jadi itu adalah penculik. Dan alih-alih menjawab pertanyaan si wanita, ketiganya memilih untuk lari tunggang langgang. Namun keesokan harinya, Ariana dan Karenina dipanggil ke ruang kepala sekolah dan mereka terpaksa bertemu dengan wanita itu lagi. "Aku bukan penculik." Ucap wanita itu dengan senyum lebar di wajahnya. "Aku nenek kalian." Lanjutnya yang membuat Ariana dan Karenina saling pandang.Jelas, selama ini yang mereka tahu nenek mereka hanyalah nenek Asmita, wanita sederhana berparas sendu dengan tatapan yang meneduhkan. Bukan wanita berpenampilan mahal dengan make-up yang bisa dikatakan cukup tebal di hadapan mereka. "Aku ibu dari ibu kalian." Ucap wanita itu lagi menjelaskan. "Apa ayah kalian tidak pernah membicarakan tentang ibu kalian?" Tanya wanita itu lagi dan jelas baik Ariana ataupun Karenina menjawab dengan gelengan kepala. "Apa selama ini dia mengatakan kalau ibu kalian sudah meninggal?" Tanyanya lagi dan keduanya menganggukkan kepala. Lalu dengan dramatis wanita itu menekan dadanya sendiri dan menunjukkan wajah sedih seraya berkata, "Tega sekali dia. Bahkan putriku masih sehat dan dia mengatakan kalau ibu kalian sudah meninggal?" "Apa ibu kami masih hidup?" Tanya Karenina dengan polosnya. Wanita itu menganggukkan kepala dengan antusias. "Dia hidup dan masih sangat sehat. Dia bahkan ingin bertemu dengan kalian." Berbeda dengan Karenina yang tampak antusia
Ariana memasuki gerbang bersamaan dengan sebuah mobil box berlogo sebuah perusahaan wedding organizer masuk dan terus melaju melewati bangunan megah di hadapannya menuju area belakang yang Ariana duga acara pernikahan akan diselenggarakan. Ariana tersenyum tipis dalam setiap langkahnya menuju teras istana yang berupa undakan lima anak tangga itu. Bayangan ketika Karenina datang berkunjung ke restorannya secara tiba-tiba hanya untuk mengumumkan kabar kembalinya ke kota kembali memenuhi kepalanya. Ya, satu tahun yang lalu Karenina tiba-tiba saja datang dan menyombongkan dirinya dan membandingkan kehidupannya dengan kehidupan Ariana. Bagaimana ia melewati masa-masa saat ia tinggal dengan ibu kandungnya yang menurutnya tak Ariana dapatkan. Sekolah di sekolah level internasional, jalan-jalan ke luar negeri, pertemuan dengan orang-orang penting dan kaya raya dan banyak hal lainnya yang Karenina yakini tidak akan pernah Ariana miliki. Ariana hanya menanggapi semuanya dengan senyuman tipis
Gerald mengangkat kepalanya dari dokumen yang sedang dia pelajari dan memandang asistennya dengan alis bertaut dalam. "Ulangi lagi perkataanmu?" perintahnya dingin tajam. Pria muda yang usianya terpaut dua tahun lebih muda darinya itu balik menatapnya dan berkata dengan nada datarnya."Tunangan Anda, Nona Karenina menghilang Tuan." Jawabnya lagi."Menghilang?" Kata itu kembali Gerald ulang. Bukan karena pendengaran Gerald terganggu namun untuk memastikan diri kalau apa yang didengarnya itu salah. "Menghilang katamu?" Asistennya itu lagi-lagi menganggukkan. "Menghilang tepat sehari sebelum pernikahan?" Lagi-lagi pria itu mengangguk. "Bagaimana bisa?" Tanyanya dengan nada dingin yang biasanya membuat para lawannya goyah. "Informan kita mengatakan kalau tunangan Anda menghilang diam-diam tepat sebelum makan malam." Ucap pria itu tanpa merasa tertekan sedikitpun oleh sikap arogan dan dingin majikannya. Dia jelas sudah terbiasa melihat perubahan sikap sang billionaire berdarah Yunani pemi
Gerald melirik asistennya dengan sebelah alis terangkat. Pria yang mengenakan setelan resmi dengan wajah datar itu balik memandang Gerald dengan gelengan kepala samar sebelum keduanya melirik ke arah pintu bersamaan dengan desisan yang terdengar kasar di telinga mereka saat gadis yang baru masuk itu berkata, "Apa kau masih belum bisa membedakan mana majikanmu dan mana yang bukan?” yang membuat Gerald semakin bertanya-tanya.“A-Ariana ?” Cicit Nyonya Juliarty seraya bangkit berdiri dari duduknya. Wanita menjelang pertengahan abad itu memandang gadis yang baru saja masuk dengan tatapan tak percaya sebelum melirik ke arah Gerald dengan tatapan takutnya.‘Ariana ?’ Ulang Gerald dalam hati. Ia melirik si gadis yang melangkah masuk dengan gerak angkuhnya dengan tatapan tertarik. Kemiripan wajah gadis itu dengan calon istri Gerald bernilai sembilan puluh lima persen karena lima persennya habis untuk gaya make-up dan juga tata rambut yang jelas berbeda dengan Karenina yang ia lihat terakhir k
“Jadi, tanpa aku tahu ternyata calon istriku memiliki seorang kembaran?” Tanya Gerald setelah Ariana hilang dari pandangannya.Senyum di wajahnya ditanggapi dengan ekspresi pucat di wajah tiga orang yang berusia jauh lebih tua daripadanya. Meskipun demikian, Nyonya Mahiswara tampaknya memiliki pengendalian diri yang lebih baik jika dibandingkan dengan putri dan menantunya.“Pertanyaannya, jika aku tidak melihatnya dengan mata kepalaku sendiri, apakah kalian akan menjebakku dengan menggantikan pengantinku tanpa sepengetahuanku?” Tanyanya dengan nada santai dan tatapannya terarah pada Nyonya Juliarty yang seketika itu juga tampak membeku karena gugup.“Ti-tidak seperti itu.” Jawab Nyonya Juliarty lirih.“Putriku hanya mencari rencana cadangan.” Kalimat pembelaan itu keluar dari mulut Nyonya Mahiswara. Dan dengan demikian Gerald menjadi tahu siapa sebenarnya yang memiliki kekuasaan di rumah ini dan harus berhati-hati pada wanita tua ini.“Rencana cadangan. Menggantikan calon istriku deng
Mobil pick-up nya sudah mendarat mulus di bagian belakang resto. Wendi yang menjadi pengemudi sekaligus asistennya di dapur sudah bersiap meminta bantuan karyawan lainnya untuk menurunkan bahan baku dan memasukkannya ke dapur.Resto yang dikelola Ariana memang bukan sebuah resto mewah. Tapi sistem yang digunakannya memang seperti sistem resto Lunch and Dinner seperti kebanyakan resto western lainnya. Untuk menu, bervariasi. Setiap harinya sebelum resto buka mereka selalu mengumumkan menu apa saja yang akan mereka buat hari itu. Sistem reservasi berlaku. Mereka juga menerima request menu selama ada pemberitahuan sebelumnya.Delapan orang anak buahnya sudah sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Sambil berlalu menuju tangga, Ariana menyapa mereka satu persatu. Di lantai atas, dimana kantor sekaligus ruang pribadinya berada sudah ada Lani yang sibuk dengan catatannya."Full book untuk dinner. Dan sisa empat set table untuk lunch." Ucapnya bahkan sebelum Ariana mendudukkan bokongnya di sof
Ariana terbangun. Kepalanya pening dan tengkuknya terasa berat. Ia mencoba mengerjap namun tidak mengenali dimana ia berada.Matanya terasa sulit untuk terbuka.Ayah!Mengingat ayahnya membuat kesadaran Ariana kembali sepenuhnya. Ia tersentak dan bangun dalam sekali gerakan sehingga membuat kepalanya kembali berdenyut sakit. Suara pekikan, larangan dan suara-suara asing lainnya menggema di kepalanya.Apa dia sedang bermimpi? Tanyanya dalam hati."Anda seharusnya tidak bangun secara tiba-tiba." Ucap seseorang dengan nada panik yang membuat Ariana kembali membuka mata dan melihat seorang wanita berusia sekitar empat puluhan menatapnya dengan mimik cemas. Wajah itu jelas tidak Ara kenali."Anda siapa?" Ariana balik bertanya. Ia ingin menggosok matanya yang terasa berat. Namun tangan wanita itu menahannya."Anda tidak boleh merusak riasannya. Kalau tidak Tuan Wiryawan akan marah." Pinta wanita itu panik.
Gerald telah mengenakan setelan jas putih dengan benang-benang perak yang menghiasi kelepak jas nya. Tampak semakin gagah dengan wajah tampannya yang sudah bersih dari bulu-bulu wajah yang ia pangkas khusus untuk acara ini."Apa aku terlihat seperti pengantin pria pada umumnya?" Tanyanya pada pria berusia akhir lima puluhan yang membalas pertanyaannya dengan senyum geli."Anda tahu kalau Anda tidak sama dengan pria manapun pada umumnya." Jawab pria itu yang Gerald anggap sebagai sebuah pujian. "Mobil sudah siap, Tuan. Anda mau berangkat sekarang?" Tanya pria itu lagi yang dijawab anggukkan oleh Gerald.Gerald keluar dari kamarnya. Di ruang tengah kediamannya, sudah berdiri neneknya dan juga ibunya. Kedua wanita itu tampak berdandan dengan rapi, mengenakan pakaian mahal sekalipun tahu kalau mereka hanya akan datang ke sebuah acara yang sederhana.Ya, sederhana. Karena Gerald akan menikah secara sederhana di kediaman Wiryawan. Satu dari hal mengejutkan lain
"Karen, Sayang. Kamu sudah sadar?" Pertanyaan Nyonya Juliarty membuat semua orang yang ada di ruangan itu mendongakkan kepala. Tuan Toni Sadhana dan sang ibu mendekati tempat tidur Karenina sementara Gerald masih terduduk di kursinya dan tersenyum menatap sang istri yang masih menutup mata."Sayang, Karenina sudah kembali." Ucapnya berbisik pelan."Mami..." Lirih Karenina dan gadis itu menangis terisak begitu saja dalam pelukan sang ibu yang berdiri dan membungkuk susah payah menahan rasa sakitnya hanya untuk memberikan putrinya ketenangan. "Maafin Karen. Maaf." Lirihnya masih terisak."Mami maafkan kamu, Sayang. Selalu." Ucap Nyonya Juliarty menenangkan."Ana?" Karenina teringat saudara kembarnya. Ia menoleh dan melihat Ariana yang masih menutup mata. Tangan kanannya yang terpasang selang transfusi memegang tangan kiri Ariana yang terpasang infus. "Ana, kenapa kau tidak bangun?" Tanyanya lirih seraya mengguncang lengan Ariana. "Ana, bukankah Ayah menyuru
Tempat yang luas dengan cahaya matahari yang yang sangat terang membuat Ariana mengangkat tangannya untuk menghalau cahaya yang membuatnya tak bisa melihat jelas.Dimana ini? Tanya Ariana pada dirinya sendiri. Ia berusaha untuk duduk dan melihat sabana luas tanpa ujung. Tidak ada binatang, tidak ada pohon tinggi yang membuatnya bisa berteduh."Kamu sudah bangun?" Ariana mendengar suara wanita yang sangat ia kenal dan menoleh pada Karenina yang berdiri menjulang di sampingnya mengenakan gaun putih sebatas betis. Kembarannya itu menggeraikan rambut hitam panjangnya.Ariana berdiri. Mengibaskan roknya yang ia yakini ditempeli rumput karena tadi ia sudah berbaring dan Karenina membantunya membersikan potongan-potongan yang nakal dan enggan pergi. Kini setelah sama-sama berdiri Ariana memperhatikan kalau jenis pakaian mereka sama. Gaun putih berbahan lembut dengan rok menyentuh betis dan bentuk lengan yang panjang dengan potongan dada berbentuk persegi. Ia juga melih
Seminggu setelah Ariana dipulangkan, ia mendengar kabar baik dari Gerald kalau mereka berhasil mendapatkan pendonor yang cocok untuk ibunya. Meskipun tahu kalau keberadaannya akan membuat Karenina marah, Ariana tetap ingin menemani ibunya sebelum ibunya masuk ke ruang operasi."Apa kau tidak malu?" Tanya Karenina saat mereka sedang menunggu hasil lab akhir keputusan dokter untuk proses tranplantasi yang akan dilakukan Nyonya Juliarty."Malu kenapa?" Ariana balik bertanya. "Kau sudah merebut calon suamiku dan sekarang kau dengan terang-terangan menunjukkan kemesraanmu didepanku. Bukankah tindakanmu ini sangat jahat? Kalau kau memiliki perasaan, seharusnya kau tidak berbuat seperti ini terhadapku.""Maafkan aku, Karen. Tapi aku tidak bisa mengelak kalau suamiku ingin menyentuhku dan menunjukkan betapa dia mencintaiku. Dan kusarankan lebih baik kau berhenti mencintainya karena sampai kapanpun, bahkan jika aku matipun dia tidak akan pernah menjadi milikmu apalagi me
"Apa yang kau lakukan disini?" Tanya Karenina saat melihat Ariana muncul dengan menaiki kursi roda didorong oleh Gerald di belakangnya. Tatapan gadis itu tampak marah. Wajahnya terlihat lebih lelah dibandingkan beberapa hari yang lalu saat gadis itu menemui Ariana di penthouse. Saudara kembar Ariana itu jelas tidak baik-baik saja."Dia ingin menemui ibunya, apa itu salah?" Gerald mewakili Ariana menjawab pertanyaan Karenina dengan nada yang tak kalah ketusnya. Karenina berdecih, namun tatapannya tak mengarah pada Gerald. Jelas gadis itu tak sanggup memandang Gerald secara langsung."Untuk apa? Untuk mengejek kami?" Tanya Karenina lagi pada Ariana."Aku hanya ingin melihatnya." Jawab Ariana pada saudara kembarnya namun tatapannya mengarah pada Nyonya Juliarty. "Biarkan kami bicara berdua." Itu bukan permintaan, itu perintah supaya Karenina dan Gerald meninggalkan ruangan Nyonya Juliarty."Kenapa? Mencari celah untuk membunuh ibumu sendiri?" Tuduh Karenina
"Pergilah bekerja." Dorong Ariana pada suaminya yang kini sudah mengenakan atribut kantor lengkap."Aku masih mau liburan." Ucap Gerald manja seraya kembali memeluk Ariana yang langsung Ariana tolak."Jangan berlebihan. Ingat, anak kita dua. Kau harus bekerja ekstra keras untuk membuat mereka bisa mendapatkan pendidikan terbaik." Ucap Ariana kembali mendorong Gerald menjauh darinya."Hanya dua? Gak mau anak ketiga, keempat, kelima?" Tanya Gerald menggoda."Kamu pikir aku ini kucing?" Pekik Ariana kesal karena pertanyaan suaminya."Kucing liar yang terlalu mempesona." Ucap Gerald kembali mencoba memeluk Ariana yang membuat Ariana memekik menghindarinya. "Apa aku sudah mengatakan padamu kalau kau terlihat semakin cantik saat hamil?" Goda Gerald lagi yang membuat Ariana berdecih."Berhenti Gerald. Apa kamu gak malu dilihat Arshaq seperti ini?" Gumam Ariana seraya mengedikkan kepala ke arah dimana Arshaq tengah sarapan."Kenapa harus malu
Ariana merasakan usapan lembut di dahinya. Ia membuka mata dan melihat Gerald yang tengah menatapnya. Ariana tidak perlu heran ataupun mempertanyakan bagaimana caranya Gerald bisa masuk ke kamar padahal semalam ia sudah yakin menguncinya. Gerald selalu memiliki banyak cara untuk melakukan hal yang tidak Ariana duga."Sudah lebih baik?" Tanya Gerald masih mengusap wajah Ariana dengan ujung jemarinya. Ariana hanya memandang wajah pria itu tanpa memberikan jawaban apapun. "Sudah pagi, waktunya sarapan." Gerald menyelipkan tangannya ke bawah leher dan lutut Ariana dan mengangkat tubuhnya dan membawanya menuju kamar mandi.Gerald tidak menurunkan Ariana, dia mendudukan Ariana di meja wastafel dan membuka keran air lalu mengusap wajah Ariana lembut dengan tangannya yang basah. Setelah selesai pria itu mengecup dahinya dan kembali menggendong tubuh Ariana membawanya keluar kamar.Ariana terkejut saat melihat Lani yang sudah duduk di meja bersama dengan Izzan."B
Ancaman Karenina membuat Ariana tidak bisa berpikir jernih. Dia menjadi waswas dan memandang semua orang dengan curiga.Mana orang suruhan Gerald?Mana orang suruhan Mahiswara?Dan mana orang suruhan Ava?Ava? Kenapa wanita itu tidak berhenti mengusiknya? Apa yang wanita itu inginkan darinya?Ariana takut. Ya, dia takut sesuatu terjadi bukan padanya tapi pada bayi yang dikandungnya. Dan ucapan Karenina tentang penyakitnya. Ariana jelas tidak menyangka kalau kembarannya itu tahu dan lebih tidak menyangka kalau kembarannya itu berbahagia atas penyakit yang dideritanya dan bahkan menantikan kematiannya.Dan semisal hal itu terjadi, mungkinkah Ariana akan rela jika anaknya nanti dirawat oleh Karenina?Tidak.Ariana jelas harus membuat wasiat yang memastikan kalau jika kelak dia mati meninggalkan anaknya, maka dia harus memastikan Karenina, Mahiswara, Hestia, Rosaline dan bahkan Juliarty tidak boleh menyentuh bayinya sama sekali. An
"Aku mencintai Gerald dengan segenap hatiku." Bisik gadis itu lirih."Kalau kau memang mencintainya, kenapa kau pergi sebelum hari pernikahanmu?" Tanya Ariana ingin tahu. Dan meskipun ia enggan mengakuinya, pertanyaan itu memang memenuhi benaknya selama ini."Aku tidak lari." Desis Karenina dengan kesal. "Sudah kukatakan padamu kalau aku pergi karena aku membutuhkan waktu untuk mempertimbangkan semuanya kembali."Dan kenapa aku melakukannya?"Karena ada satu hal yang tidak aku katakan padamu yaitu, bahwa aku dan Gerald sudah membuat perjanjian pra nikah, dan saat aku menyadari aku tidak bisa memenuhi isi perjanjian itu, itu membuatku gundah." Ucap gadis itu dengan dingin disertai seringai sinis di wajahnya."Rencana pernikahanku dengan Gerald memang bermula karena perjanjian yang dibuat antara dia dan Papi. Karena uang." Karenina menjelaskan dengan nada santai. Gadis itu kembali menyandarkan punggungnya ke sofa dan melipat kedua lengannya di depan
Waktu kembali berlalu. Ariana yang kini mulai dikenal sebagai istri sah Gerald jelas mendapatkan perlakuan yang berbeda dari karyawan pria itu. Sekalipun sebenarnya Ariana jarang sekali memunculkan wajahnya karena kesehariannya di dominasi ruang kerjanya dan juga kediaman mereka, namun sesekali ia terpaksa mengikuti Gerald ke Zeroun Tower saat Gerald harus mengikuti rapat umum yang tak bisa dia tinggalkan. Dan saat itu terjadi mereka bersikap amat sangat sopan pada Ariana, tak seperti sikap mereka pada awalnya yang tak acuh.Ariana juga tak bisa memungkiri kalau berkat campur tangan Gerald dan Izzan, restoran mereka kini mendapatkan banyak konsumen. Bukan hanya dari kalangan menengah ke bawah seperti konsumen-konsumen sebelumnya, namun juga klien kalangan menengah keatas yang seringnya menyewa privat room saat melakukan transaksi bisnis di restorannya.Ariana juga tahu kalau sebagian dari konsumen yang datang ke restorannya bukan hanya ingin mencoba masakan yang dibuat