Share

Part 3

Jelas, selama ini yang mereka tahu nenek mereka hanyalah nenek Asmita, wanita sederhana berparas sendu dengan tatapan yang meneduhkan. Bukan wanita berpenampilan mahal dengan make-up yang bisa dikatakan cukup tebal di hadapan mereka.

"Aku ibu dari ibu kalian." Ucap wanita itu lagi menjelaskan. "Apa ayah kalian tidak pernah membicarakan tentang ibu kalian?" Tanya wanita itu lagi dan jelas baik Ariana ataupun Karenina menjawab dengan gelengan kepala. "Apa selama ini dia mengatakan kalau ibu kalian sudah meninggal?" Tanyanya lagi dan keduanya menganggukkan kepala. Lalu dengan dramatis wanita itu menekan dadanya sendiri dan menunjukkan wajah sedih seraya berkata, "Tega sekali dia. Bahkan putriku masih sehat dan dia mengatakan kalau ibu kalian sudah meninggal?"

"Apa ibu kami masih hidup?" Tanya Karenina dengan polosnya. Wanita itu menganggukkan kepala dengan antusias.

"Dia hidup dan masih sangat sehat. Dia bahkan ingin bertemu dengan kalian."

Berbeda dengan Karenina yang tampak antusias dengan kabar itu, Ariana justru melihat wanita itu dengan tatapan yang berbeda.

"Kalau dia ingin bertemu dengan kami, kenapa Anda yang datang kesini. Kenapa bukan dia?" Tanyanya kritis.

Nyonya Mahiswara memandang salah satu cucunya dan mengangkat sudut mulutnya. Jelas dia menyadari kalau si kakak jauh lebih kritis daripada si adik. Dan hal itu akan mempersulitnya di masa depan. Dan dengan pertanyaan sederhana itu, Nyonya Mahiswara sudah membuat keputusannya tersendiri.

"Aku ingin memberikan kejutan pada ibu kalian dengan membawa kalian menemuinya." Ucap wanita itu memberikan alasan.

"Iyakah?" Tanya Karenina kembali dengan nada antusiasnya sementara Ariana lagi-lagi memandang wanita itu curiga.

"Aku tidak mau." Jawabnya seraya bangkit berdiri. Namun saat itu juga Karenina memegang lengannya.

"Kak?" Bujuknya dengan mata memohon.

"Kalau kamu memang mau bertemu dengannya, temui saja. Tapi jangan ajak aku." Jawab Ariana dengan kemarahannya.

Dan ya, Karenina melakukannya. Tanpa sepengetahuan ayah mereka, beralasan hendak menginap di rumah teman dan meminta Ariana untuk merahasiakan kepergiannya, Karenina masuk ke dalam mobil mewah itu bersama dengan wanita yang mengaku sebagai neneknya menuju kediaman wanita itu dan pulang dengan antusiasme yang baru.

"Rumahnya besar. Makanannya enak-enak. Kamarnya juga luas. Bahkan ada kolam renangnya juga." Karenina menuturkan apa yang dilihatnya di kediaman Mahiswara sepulangnya dia dari sana. "Bodoh kamu gak ikut. Padahal disana enak loh. Daripada disini, panas gak ada AC juga."

Ariana yang tengah duduk di kursi meja belajarnya mengabaikan ucapan Karenina. Ia sama sekali tidak peduli ataupun tergoda dengan apa yang dikatakan adiknya. Dia baru berbalik ketika adiknya berkata, "Mami bilang, aku bisa tinggal sama mereka kalau aku mau."

"Dan kamu mau?" Tanya Ariana memandang adiknya dingin. Dengan polosnya Karenina menganggukkan kepala.

Ariana tidak bisa berkata-kata. Dia tahu bagaimana karakter Kareniana dan ia tidak akan memaksa adiknya untuk tinggal jika adiknya tidak ingin. Namun pertemuan mereka dengan Mahiswara tetap Ariana sembunyikan hingga kemudian kabar itu sampai ke telinga ayahnya entah darimana.

"Sejak kapan?" Tanya pria itu kepada Ariana dan Karenina yang sengaja dikumpulkannya di ruang tengah setelah makan malam. Ariana terdiam, begitu juga Karenina. "Kak, jawab ayah. Sejak kapan?"

"Beberapa minggu yang lalu." Jawab Ariana apa adanya.

Dia paling tidak bisa berbohong pada ayahnya karena di dunia ini tidak ada orang yang dia cintai selain ayah dan juga neneknya.

"Apa yang dia katakan?" Tanya Ayahnya lagi. Ariana tahu kalau ayahnya saat ini sedang menahan emosi, dan dia berusaha untuk tidak semakin menyulutnya.

"Nyonya itu mengatakan kalau ibu kami ingin bertemu dengan kami." Dan Ariana serta Karenina mendengar suara decihan.

"Kenapa ayah tega?" Pertanyaan dengan nada tercekat itu keluar dari mulut Karenina.

"Ayah tega apa?" Tanya Toni Sadhana pada putri keduanya.

"Kenapa ayah mengatakan kalau Mami sudah meninggal padahal Mami masih sehat?" Tanya gadis itu dengan nada menuntut yang membuat alis Toni Sadhana bertaut. "Kenapa ayah tega memisahkan kami sama Mami. Padahal Mami bilang kalau dia mencintai kami."

"Wanita itu mengatakan itu?" Tanyanya yang dijawab anggukkan Karenina sementara Ariana memilih untuk diam karena memang dia tidak pernah bicara langsung dengan wanita yang mengaku sebagai ibu kandungnya itu. "Dan adek percaya?" Tanya ayah mereka lagi dan lagi-lagi Karenina mengangguk. Di sisi lain ruangan, nenek mereka hanya bisa terdiam memandang sedih pada kedua cucunya. "Ya Tuhan, Bu. Apa yang harus aku lakukan?" Tanya Toni Sadhana pada ibunya. "Kenyataan yang terjadi tidak seperti itu Kak, Dek." Ucap Toni berusaha untuk mengendalikan emosinya dan memandang kedua putrinya dengan sorot lembut.

"Kalau begitu seperti apa?" Tanya Karenina ingin tahu.

"Kenyataannya adalah..."

"Adek mau tinggal sama mama Adek?" Nyonya Asmita menahan ucapan putranya. Dia memandang Toni dan menggelengkan kepala. Ada rahasia yang ditahan oleh kedua orang itu dan Ariana bisa menangkapnya.

"Mami bilang kalau aku mau, aku bisa tinggal sama Mami. Bahkan Papi sudah menyiapkan kamar untuk aku dan Kak Ana kalau kami mau."

"Papi?" Toni Sadhana kembali mendengus. "Pria itu memanggil dirinya Papi?" Tanyanya lagi dan Karenina hanya bisa menganggukkan kepala dengan kepala tertunduk karena takut.

"Apa yang membuat Adek mau tinggal dengan mereka?" Pertanyaan neneknya jauh lebih lembut daripada pertanyaan bertubi yang diberikan sang ayah.

"Semuanya." Ucap Karenina, entah sejak kapan adik kembar Ariana itu menangis karena tiba-tiba saja ia mengangkat tangan kecilnya dan mengusap wajahnya. "Papi bilang dia bisa memberikanku semuanya tanpa harus membaginya dengan Kak Ana." Lanjutnya yang membuat Ariana memandang adiknya dengan kernyitan dahi dalam, begitu juga dengan ekspresi wajah ayah dan neneknya.

"Dek?"

"Selama ini Ayah sama Nenek cuma suka dan sayang sama kak Ana karena kak Ana pintar dan gak banyak mau. Sementara sama aku, kalian itu pilih kasih. Kalian gak sayang sama aku seperti kalian sayang pada kak Ana." Ucap gadis kecil itu secara tiba-tiba yang membuat Ariana, ayah dan neneknya memandang gadis kecil itu terkejut.

Jelas Ariana tidak menerima tuduhan Karenina begitu saja karena selama ini dia sudah banyak mengalah untuk adiknya. Dan ayah mereka, selama ini juga sudah bersikap adil dengan memberikan apapun kepada mereka secara rata. Bahkan tidak hanya sekali dua kali ayahnya meminta pengertian Ariana dan memintanya untuk mengalah saat ayahnya membelikan sesuatu untuk Karenina yang tidak bisa ayahnya berikan secara ganda.

"Buah memang tak jatuh jauh dari pohonnya." Gumam Toni Sahdana entah pada siapa. Pria berusia awal tiga puluhan itu balik memandang ibunya dan wanita paruh baya itu hanya bisa menggelengkan kepala dengan wajah sedih.

"Kakak?" Nyonya Asmita memandang si sulung. "Apa kakak juga mau ikut bersama Mami?" tanyanya ingin tahu. Ariana memandang adik kembarnya dan kemudian menggelengkan kepala.

"Aku gak suka mereka." Jawabnya datar dan tiba-tiba saja berdiri dan meninggalkan ruangan, mengakhiri diskusi tak menyenangkan itu secara sepihak. Setelahnya ia tidak tahu apa yang nenek dan ayahnya katakan pada adik kembarnya namun gadis itu kembali ke kamar mereka dengan senyum merekah di wajahnya.

"Aku akan punya kamarku sendiri nanti." Ucap Karenina bangga. "Kakak yakin gak mau ikut sama aku? Rumah Mami itu besar. Jauh lebih besar dari ini. Kamar ini sih kecil. Kamar yang Mami siapin buat aku jauh lebih besar dari kamar ini." Lanjutnya seraya memandang berkeliling.

Tapi Ariana tidak memberikan jawaban apapun. Gadis itu hanya diam dan menikmati kesedihannya sendirian. Dia menyayangi Karenina, tapi Karenina tak menyayanginya sebesar itu hingga mau meninggalkannya sendirian disini.

Hingga akhirnya waktu itu datang. Ariana pada akhirnya bertemu dengan wanita yang sudah melahirkannya saat wanita itu datang menjemput Karenina. Wanita cantik bergaya elegan itu bahkan berusaja membujuk supaya Ariana pun turut ikut bersamanya. Namun tidak, Ariana tidak akan goyah semudah Karenina.

Wanita itu akhirnya membawa Karenina pergi dan bahkan mengumumkan kalau mereka akan meninggalkan kota itu dalam waktu dekat dan Ariana baru bisa meneteskan airmata saat mobil yang ditumpangi adiknya menghilang dari belokan di ujung jalan.

"Kakak masih bisa nyusul Adek kalau mau." Ucap neneknya saat melihat Ariana tertunduk memandangi sandalnya. Ariana mendongakkan kepala dan menggelengkan kepala lalu memeluk neneknya dan membenamkan wajahnya di perut wanita paruh baya itu.

"Kakak disini aja. Nemenin Ayah dan nenek." Jawabnya dengan suara teredam bersama tangis yang kian menderas.

Dan itu terjadi hampir empat belas tahun yang lalu. Waktu yang cukup lama untuk membuat perasaan sayang Ariana kepada adiknya memudar. Kali pertama dan juga terakhir ia melihat wajah wanita yang sudah melahirkannya. Dan perasaan yang tersisa saat ini kepada adik kembarnya hanyalah perasaan kesal karena nyatanya, belasan waktu berlalu malah membuat sifat adiknya semakin menjadi.

Selama bertahun-tahun Ariana berusaha untuk tidak membenci. Bukan dia tidak bisa membenci, tapi dia tidak diperbolehkan untuk membenci. Karena apa? Karena ayahnya dan juga neneknya yang memintanya. Karena neneknya mengatakan kalau kebencian hanya akan merusak diri kita dari dalam. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status