Jelas, selama ini yang mereka tahu nenek mereka hanyalah nenek Asmita, wanita sederhana berparas sendu dengan tatapan yang meneduhkan. Bukan wanita berpenampilan mahal dengan make-up yang bisa dikatakan cukup tebal di hadapan mereka.
"Aku ibu dari ibu kalian." Ucap wanita itu lagi menjelaskan. "Apa ayah kalian tidak pernah membicarakan tentang ibu kalian?" Tanya wanita itu lagi dan jelas baik Ariana ataupun Karenina menjawab dengan gelengan kepala. "Apa selama ini dia mengatakan kalau ibu kalian sudah meninggal?" Tanyanya lagi dan keduanya menganggukkan kepala. Lalu dengan dramatis wanita itu menekan dadanya sendiri dan menunjukkan wajah sedih seraya berkata, "Tega sekali dia. Bahkan putriku masih sehat dan dia mengatakan kalau ibu kalian sudah meninggal?" "Apa ibu kami masih hidup?" Tanya Karenina dengan polosnya. Wanita itu menganggukkan kepala dengan antusias. "Dia hidup dan masih sangat sehat. Dia bahkan ingin bertemu dengan kalian." Berbeda dengan Karenina yang tampak antusias dengan kabar itu, Ariana justru melihat wanita itu dengan tatapan yang berbeda. "Kalau dia ingin bertemu dengan kami, kenapa Anda yang datang kesini. Kenapa bukan dia?" Tanyanya kritis. Nyonya Mahiswara memandang salah satu cucunya dan mengangkat sudut mulutnya. Jelas dia menyadari kalau si kakak jauh lebih kritis daripada si adik. Dan hal itu akan mempersulitnya di masa depan. Dan dengan pertanyaan sederhana itu, Nyonya Mahiswara sudah membuat keputusannya tersendiri. "Aku ingin memberikan kejutan pada ibu kalian dengan membawa kalian menemuinya." Ucap wanita itu memberikan alasan. "Iyakah?" Tanya Karenina kembali dengan nada antusiasnya sementara Ariana lagi-lagi memandang wanita itu curiga. "Aku tidak mau." Jawabnya seraya bangkit berdiri. Namun saat itu juga Karenina memegang lengannya. "Kak?" Bujuknya dengan mata memohon. "Kalau kamu memang mau bertemu dengannya, temui saja. Tapi jangan ajak aku." Jawab Ariana dengan kemarahannya. Dan ya, Karenina melakukannya. Tanpa sepengetahuan ayah mereka, beralasan hendak menginap di rumah teman dan meminta Ariana untuk merahasiakan kepergiannya, Karenina masuk ke dalam mobil mewah itu bersama dengan wanita yang mengaku sebagai neneknya menuju kediaman wanita itu dan pulang dengan antusiasme yang baru. "Rumahnya besar. Makanannya enak-enak. Kamarnya juga luas. Bahkan ada kolam renangnya juga." Karenina menuturkan apa yang dilihatnya di kediaman Mahiswara sepulangnya dia dari sana. "Bodoh kamu gak ikut. Padahal disana enak loh. Daripada disini, panas gak ada AC juga." Ariana yang tengah duduk di kursi meja belajarnya mengabaikan ucapan Karenina. Ia sama sekali tidak peduli ataupun tergoda dengan apa yang dikatakan adiknya. Dia baru berbalik ketika adiknya berkata, "Mami bilang, aku bisa tinggal sama mereka kalau aku mau." "Dan kamu mau?" Tanya Ariana memandang adiknya dingin. Dengan polosnya Karenina menganggukkan kepala. Ariana tidak bisa berkata-kata. Dia tahu bagaimana karakter Kareniana dan ia tidak akan memaksa adiknya untuk tinggal jika adiknya tidak ingin. Namun pertemuan mereka dengan Mahiswara tetap Ariana sembunyikan hingga kemudian kabar itu sampai ke telinga ayahnya entah darimana. "Sejak kapan?" Tanya pria itu kepada Ariana dan Karenina yang sengaja dikumpulkannya di ruang tengah setelah makan malam. Ariana terdiam, begitu juga Karenina. "Kak, jawab ayah. Sejak kapan?" "Beberapa minggu yang lalu." Jawab Ariana apa adanya. Dia paling tidak bisa berbohong pada ayahnya karena di dunia ini tidak ada orang yang dia cintai selain ayah dan juga neneknya. "Apa yang dia katakan?" Tanya Ayahnya lagi. Ariana tahu kalau ayahnya saat ini sedang menahan emosi, dan dia berusaha untuk tidak semakin menyulutnya. "Nyonya itu mengatakan kalau ibu kami ingin bertemu dengan kami." Dan Ariana serta Karenina mendengar suara decihan. "Kenapa ayah tega?" Pertanyaan dengan nada tercekat itu keluar dari mulut Karenina. "Ayah tega apa?" Tanya Toni Sadhana pada putri keduanya. "Kenapa ayah mengatakan kalau Mami sudah meninggal padahal Mami masih sehat?" Tanya gadis itu dengan nada menuntut yang membuat alis Toni Sadhana bertaut. "Kenapa ayah tega memisahkan kami sama Mami. Padahal Mami bilang kalau dia mencintai kami." "Wanita itu mengatakan itu?" Tanyanya yang dijawab anggukkan Karenina sementara Ariana memilih untuk diam karena memang dia tidak pernah bicara langsung dengan wanita yang mengaku sebagai ibu kandungnya itu. "Dan adek percaya?" Tanya ayah mereka lagi dan lagi-lagi Karenina mengangguk. Di sisi lain ruangan, nenek mereka hanya bisa terdiam memandang sedih pada kedua cucunya. "Ya Tuhan, Bu. Apa yang harus aku lakukan?" Tanya Toni Sadhana pada ibunya. "Kenyataan yang terjadi tidak seperti itu Kak, Dek." Ucap Toni berusaha untuk mengendalikan emosinya dan memandang kedua putrinya dengan sorot lembut. "Kalau begitu seperti apa?" Tanya Karenina ingin tahu. "Kenyataannya adalah..." "Adek mau tinggal sama mama Adek?" Nyonya Asmita menahan ucapan putranya. Dia memandang Toni dan menggelengkan kepala. Ada rahasia yang ditahan oleh kedua orang itu dan Ariana bisa menangkapnya. "Mami bilang kalau aku mau, aku bisa tinggal sama Mami. Bahkan Papi sudah menyiapkan kamar untuk aku dan Kak Ana kalau kami mau." "Papi?" Toni Sadhana kembali mendengus. "Pria itu memanggil dirinya Papi?" Tanyanya lagi dan Karenina hanya bisa menganggukkan kepala dengan kepala tertunduk karena takut. "Apa yang membuat Adek mau tinggal dengan mereka?" Pertanyaan neneknya jauh lebih lembut daripada pertanyaan bertubi yang diberikan sang ayah. "Semuanya." Ucap Karenina, entah sejak kapan adik kembar Ariana itu menangis karena tiba-tiba saja ia mengangkat tangan kecilnya dan mengusap wajahnya. "Papi bilang dia bisa memberikanku semuanya tanpa harus membaginya dengan Kak Ana." Lanjutnya yang membuat Ariana memandang adiknya dengan kernyitan dahi dalam, begitu juga dengan ekspresi wajah ayah dan neneknya. "Dek?" "Selama ini Ayah sama Nenek cuma suka dan sayang sama kak Ana karena kak Ana pintar dan gak banyak mau. Sementara sama aku, kalian itu pilih kasih. Kalian gak sayang sama aku seperti kalian sayang pada kak Ana." Ucap gadis kecil itu secara tiba-tiba yang membuat Ariana, ayah dan neneknya memandang gadis kecil itu terkejut. Jelas Ariana tidak menerima tuduhan Karenina begitu saja karena selama ini dia sudah banyak mengalah untuk adiknya. Dan ayah mereka, selama ini juga sudah bersikap adil dengan memberikan apapun kepada mereka secara rata. Bahkan tidak hanya sekali dua kali ayahnya meminta pengertian Ariana dan memintanya untuk mengalah saat ayahnya membelikan sesuatu untuk Karenina yang tidak bisa ayahnya berikan secara ganda. "Buah memang tak jatuh jauh dari pohonnya." Gumam Toni Sahdana entah pada siapa. Pria berusia awal tiga puluhan itu balik memandang ibunya dan wanita paruh baya itu hanya bisa menggelengkan kepala dengan wajah sedih. "Kakak?" Nyonya Asmita memandang si sulung. "Apa kakak juga mau ikut bersama Mami?" tanyanya ingin tahu. Ariana memandang adik kembarnya dan kemudian menggelengkan kepala. "Aku gak suka mereka." Jawabnya datar dan tiba-tiba saja berdiri dan meninggalkan ruangan, mengakhiri diskusi tak menyenangkan itu secara sepihak. Setelahnya ia tidak tahu apa yang nenek dan ayahnya katakan pada adik kembarnya namun gadis itu kembali ke kamar mereka dengan senyum merekah di wajahnya. "Aku akan punya kamarku sendiri nanti." Ucap Karenina bangga. "Kakak yakin gak mau ikut sama aku? Rumah Mami itu besar. Jauh lebih besar dari ini. Kamar ini sih kecil. Kamar yang Mami siapin buat aku jauh lebih besar dari kamar ini." Lanjutnya seraya memandang berkeliling. Tapi Ariana tidak memberikan jawaban apapun. Gadis itu hanya diam dan menikmati kesedihannya sendirian. Dia menyayangi Karenina, tapi Karenina tak menyayanginya sebesar itu hingga mau meninggalkannya sendirian disini. Hingga akhirnya waktu itu datang. Ariana pada akhirnya bertemu dengan wanita yang sudah melahirkannya saat wanita itu datang menjemput Karenina. Wanita cantik bergaya elegan itu bahkan berusaja membujuk supaya Ariana pun turut ikut bersamanya. Namun tidak, Ariana tidak akan goyah semudah Karenina. Wanita itu akhirnya membawa Karenina pergi dan bahkan mengumumkan kalau mereka akan meninggalkan kota itu dalam waktu dekat dan Ariana baru bisa meneteskan airmata saat mobil yang ditumpangi adiknya menghilang dari belokan di ujung jalan. "Kakak masih bisa nyusul Adek kalau mau." Ucap neneknya saat melihat Ariana tertunduk memandangi sandalnya. Ariana mendongakkan kepala dan menggelengkan kepala lalu memeluk neneknya dan membenamkan wajahnya di perut wanita paruh baya itu. "Kakak disini aja. Nemenin Ayah dan nenek." Jawabnya dengan suara teredam bersama tangis yang kian menderas. Dan itu terjadi hampir empat belas tahun yang lalu. Waktu yang cukup lama untuk membuat perasaan sayang Ariana kepada adiknya memudar. Kali pertama dan juga terakhir ia melihat wajah wanita yang sudah melahirkannya. Dan perasaan yang tersisa saat ini kepada adik kembarnya hanyalah perasaan kesal karena nyatanya, belasan waktu berlalu malah membuat sifat adiknya semakin menjadi. Selama bertahun-tahun Ariana berusaha untuk tidak membenci. Bukan dia tidak bisa membenci, tapi dia tidak diperbolehkan untuk membenci. Karena apa? Karena ayahnya dan juga neneknya yang memintanya. Karena neneknya mengatakan kalau kebencian hanya akan merusak diri kita dari dalam.Ariana memasuki gerbang bersamaan dengan sebuah mobil box berlogo sebuah perusahaan wedding organizer masuk dan terus melaju melewati bangunan megah di hadapannya menuju area belakang yang Ariana duga acara pernikahan akan diselenggarakan. Ariana tersenyum tipis dalam setiap langkahnya menuju teras istana yang berupa undakan lima anak tangga itu. Bayangan ketika Karenina datang berkunjung ke restorannya secara tiba-tiba hanya untuk mengumumkan kabar kembalinya ke kota kembali memenuhi kepalanya. Ya, satu tahun yang lalu Karenina tiba-tiba saja datang dan menyombongkan dirinya dan membandingkan kehidupannya dengan kehidupan Ariana. Bagaimana ia melewati masa-masa saat ia tinggal dengan ibu kandungnya yang menurutnya tak Ariana dapatkan. Sekolah di sekolah level internasional, jalan-jalan ke luar negeri, pertemuan dengan orang-orang penting dan kaya raya dan banyak hal lainnya yang Karenina yakini tidak akan pernah Ariana miliki. Ariana hanya menanggapi semuanya dengan senyuman tipis
Gerald mengangkat kepalanya dari dokumen yang sedang dia pelajari dan memandang asistennya dengan alis bertaut dalam. "Ulangi lagi perkataanmu?" perintahnya dingin tajam. Pria muda yang usianya terpaut dua tahun lebih muda darinya itu balik menatapnya dan berkata dengan nada datarnya."Tunangan Anda, Nona Karenina menghilang Tuan." Jawabnya lagi."Menghilang?" Kata itu kembali Gerald ulang. Bukan karena pendengaran Gerald terganggu namun untuk memastikan diri kalau apa yang didengarnya itu salah. "Menghilang katamu?" Asistennya itu lagi-lagi menganggukkan. "Menghilang tepat sehari sebelum pernikahan?" Lagi-lagi pria itu mengangguk. "Bagaimana bisa?" Tanyanya dengan nada dingin yang biasanya membuat para lawannya goyah. "Informan kita mengatakan kalau tunangan Anda menghilang diam-diam tepat sebelum makan malam." Ucap pria itu tanpa merasa tertekan sedikitpun oleh sikap arogan dan dingin majikannya. Dia jelas sudah terbiasa melihat perubahan sikap sang billionaire berdarah Yunani pemi
Gerald melirik asistennya dengan sebelah alis terangkat. Pria yang mengenakan setelan resmi dengan wajah datar itu balik memandang Gerald dengan gelengan kepala samar sebelum keduanya melirik ke arah pintu bersamaan dengan desisan yang terdengar kasar di telinga mereka saat gadis yang baru masuk itu berkata, "Apa kau masih belum bisa membedakan mana majikanmu dan mana yang bukan?” yang membuat Gerald semakin bertanya-tanya.“A-Ariana ?” Cicit Nyonya Juliarty seraya bangkit berdiri dari duduknya. Wanita menjelang pertengahan abad itu memandang gadis yang baru saja masuk dengan tatapan tak percaya sebelum melirik ke arah Gerald dengan tatapan takutnya.‘Ariana ?’ Ulang Gerald dalam hati. Ia melirik si gadis yang melangkah masuk dengan gerak angkuhnya dengan tatapan tertarik. Kemiripan wajah gadis itu dengan calon istri Gerald bernilai sembilan puluh lima persen karena lima persennya habis untuk gaya make-up dan juga tata rambut yang jelas berbeda dengan Karenina yang ia lihat terakhir k
“Jadi, tanpa aku tahu ternyata calon istriku memiliki seorang kembaran?” Tanya Gerald setelah Ariana hilang dari pandangannya.Senyum di wajahnya ditanggapi dengan ekspresi pucat di wajah tiga orang yang berusia jauh lebih tua daripadanya. Meskipun demikian, Nyonya Mahiswara tampaknya memiliki pengendalian diri yang lebih baik jika dibandingkan dengan putri dan menantunya.“Pertanyaannya, jika aku tidak melihatnya dengan mata kepalaku sendiri, apakah kalian akan menjebakku dengan menggantikan pengantinku tanpa sepengetahuanku?” Tanyanya dengan nada santai dan tatapannya terarah pada Nyonya Juliarty yang seketika itu juga tampak membeku karena gugup.“Ti-tidak seperti itu.” Jawab Nyonya Juliarty lirih.“Putriku hanya mencari rencana cadangan.” Kalimat pembelaan itu keluar dari mulut Nyonya Mahiswara. Dan dengan demikian Gerald menjadi tahu siapa sebenarnya yang memiliki kekuasaan di rumah ini dan harus berhati-hati pada wanita tua ini.“Rencana cadangan. Menggantikan calon istriku deng
Mobil pick-up nya sudah mendarat mulus di bagian belakang resto. Wendi yang menjadi pengemudi sekaligus asistennya di dapur sudah bersiap meminta bantuan karyawan lainnya untuk menurunkan bahan baku dan memasukkannya ke dapur.Resto yang dikelola Ariana memang bukan sebuah resto mewah. Tapi sistem yang digunakannya memang seperti sistem resto Lunch and Dinner seperti kebanyakan resto western lainnya. Untuk menu, bervariasi. Setiap harinya sebelum resto buka mereka selalu mengumumkan menu apa saja yang akan mereka buat hari itu. Sistem reservasi berlaku. Mereka juga menerima request menu selama ada pemberitahuan sebelumnya.Delapan orang anak buahnya sudah sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Sambil berlalu menuju tangga, Ariana menyapa mereka satu persatu. Di lantai atas, dimana kantor sekaligus ruang pribadinya berada sudah ada Lani yang sibuk dengan catatannya."Full book untuk dinner. Dan sisa empat set table untuk lunch." Ucapnya bahkan sebelum Ariana mendudukkan bokongnya di sof
Jangan pernah mengemis pada mereka yang meninggalkanmu. Bahkan jika suatu saat mereka menangis darah memintamu kembali. Jangan pernah mau!***"Aku akan menikah." Ucapan bernada tak acuh itu membuat Ariana mendongakkan kepala, sejenak melupakan bumbu apa yang seharusnya dia masukan kedalam mangkuk racikannya. "Selamat kalau begitu." Ucap Ariana juga dengan nada tak acuh yang sama dan kembali melanjutkan pekerjaannya. "Kamu tidak mau tahu siapa yang akan kunikahi?" Tanya Karenina seraya menyandarkan pinggulnya ke meja kitchen dan melipat kedua tangannya di depan dada, memandang langsung ke arah Ariana. "Apa aku perlu tahu?" Ariana balik bertanya. "Toh kamu juga tidak akan mengundangku ke pernikahanmu." Lanjutnya dan mulai mengaduk semua bumbu dengan menggunakan pengocok manual. "Syukurlah kalau kamu sadar diri." Ucap Karenina dengan nada mengejek. "Tapi meskipun kamu tidak akan datang ke pernikahanku, aku tetap butuh bantuanmu." Lanjutnya seraya memandang area dapur restoran Ariana
Ariana mau tak mau datang ke rumah ayahnya karena sang ayah yang meminta. Tanpa perlu ayahnya beritahukan, Ariana sudah menduga apa yang akan mereka bicarakan kali ini. Tentu berkaitan dengan Karenina dan permintaannya."Apa ayah marah?" Tanyanya pada sang Bunda saat wanita berhijab itu membuka pintu rumah untuknya. Ibu sambungnya itu menjawab dengan senyuman khasnya dan menggelengkan kepala."Udah makan?" Tanya wanita yang selama tiga belas tahun terakhir ini berperan sebagai ibu untuknya."Udah. Tadi sebelum kesini makan dulu." Jawab Ariana yang lagi-lagi ditanggapi dengan anggukkan ibunya."Ayah ada di halaman belakang." Ucapnya memberitahu dan Ariana melangkah menuju halaman belakang dimana ayahnya tampak tengah duduk menikmati secangkir kopi hitam dan buku bacaan."Bacaan apalagi sekarang?" Tanya Ariana seraya memeluk bahu sang ayah dan mengecup puncak kepalanya lembut. Pria berusia akhir empat puluhan itu menutup buku dan menunjukkan bagian depan buku yang tengah dibacanya pada