“Maaf, bisa Anda jelaskan maksud Anda barusan?”
Menghela napas sejenak, sang produser kembali mengutarakan maksud serta tujuannya secara rinci.
“Begini, saya tertarik untuk mengangkat kisah Anda beserta sang istri ke dalam sebuah film. Berdasarkan kisah yang tadi Anda ceritakan saat sesi wawancara bersama Global Enterpreneur, tampaknya akan sangat bagus bila kisah Anda diangkat ke dalam bentuk audio visual.
Saya ingin merangkai karakter serta alur ceritanya dengan baik berdasarkan kejadian yang sebenarnya. Oleh karena itu, saya ingin melakukan wawancara lebih mendetail dengan Anda terkait hal tersebut.”
Usai produser itu menjelaskan maksud dan tujuannya, Jonathan hanya diam. Dari raut wajahnya, tampak seperti sedang mempertimbangkan tawarannya.
Usai memikirkannya sejenak, Jonathan dengan tegas menjawab, “Maaf, saya tidak tertarik.”
Saat dia hendak melangkahkan kakinya ke arah mobil, sang produser itu menghentikannya.
“Apa Anda tidak ingin membicarakannya terlebih dahulu dengan keluarga Anda terkait tawaran saya?” Produser itu mencoba meyakinkannya sekali lagi.
“Tidak,” tegas Jonathan.
Belum sempat dia berbalik badan, produser muda tersebut mengeluarkan sebuah kartu nama dari dalam saku bajunya.
“Saya rasa Anda perlu waktu untuk mempertimbangkannya. Bila Anda berubah pikiran, Anda bisa menghubungi saya ke nomor yang tertera,” ucapnya kemudian.
Setelahnya, sang produser itu mohon ijin untuk pergi karena keperluannya sudah selesai.
Sementara itu, Jonathan masih berdiri di sana sembari menatap kartu nama yang ada di genggamannya.
‘Alfred Wales dari JE Production?’ batinnya saat membaca nama dari perusahaan yang tertera di kartu tersebut.
Entah kenapa, ia merasa tak asing dengan nama tersebut.
Namun, teringat akan janjinya untuk menjenguk sang istri, Jonathan buru-buru masuk ke dalam mobil dan melaju dengan kecepatan tinggi.
‘Sial! Tunggu aku Emily!’ batinnya resah sembari sesekali mengecek jam tangannya.
Jonathan mengucap syukur berkali-kali dalam hatinya karena kondisi jalanan tampak ramai lancar. Sehingga masih memungkinkan untuk dirinya sampai lebih cepat.
.
.
.
Setibanya di tempat tujuan, Jonathan berlari secepat mungkin untuk sampai ke ruang di mana Emily terbaring lemah. Pria paruh baya itu saat ini berada di rumah sakit untuk melihat keadaan sang istri tercinta.
“Hai, bagaimana keadaanmu?” ujar Jonathan sembari duduk di kursi yang berada di sisi kiri tempat tidur istrinya.
Alhasil, Emily, Nathan dan Natalie yang sedari tadi sibuk bertukar cerita langsung menoleh ke arah Jonathan dengan senyum tersungging di wajahnya.
“Hai, aku sudah jauh lebih baik sekarang. Bagaimana wawancara tadi?” balas wanita paruh baya tersebut dengan suara pelan. Bahkan, kedua matanya tampak sayu, seolah tak memiliki tenaga lagi.
Sembari mengelus pelan pipinya yang mulai tirus, Jonathan menceritakan semua pertanyaan serta jawaban yang ia lakukan saat wawancara tadi. Bukan hanya itu saja, pria paruh baya itu juga menceritakan tentang tawaran sang produser bernama Alfred Wales pada mereka.
“Produser itu mau mengangkat kisah Ayah dan Ibu ke dalam sebuah film layar lebar?” tanya Nathan, mengulangi perkataan sang Ayah dengan nada tak percaya.
Berbeda dengan Natalie yang langsung merespon dengan tegas, “Tidak, aku tidak setuju akan hal itu.”
“Ayah juga tidak menyetujuinya,” balas Jonathan sama tegasnya.
“Hmm, aku juga tidak menyetujuinya. Karena bagaimanapun juga kondisi Ibu sangat tidak memungkinkan untuk melakukan wawancara,” ujar Nathan lagi usai berpikir sejenak.
Jonathan mengangguk setuju, sementara Emily hanya diam, tak berkomentar apa pun.
“Dia memberikan kartu namanya pada Ayah, bila sewaktu-waktu Ayah berubah pikiran.” Pria paruh baya itu mengeluarkan kartu nama produser tersebut dari dalam saku jasnya.
“Kamu tidak mau menerima tawarannya, Jonathan?” Kini pertanyaan terlontar dari mulut Emily.
Jonathan langsung menggelengkan kepalanya. “Tidak. Seperti yang Nathan bilang barusan, untuk saat ini aku ingin memprioritaskan kesembuhanmu dulu, Emily.”
Menghela napas pelan, wanita paruh baya itu mengalihkan pandangannya ke selimut putih polos yang membalut tubuhnya saat ini sembari menautkan jemarinya erat-erat.
“Begitu ya … maafkan aku Jonathan.” Tersirat rasa sedih di suaranya ketika mengucapkan kata-kata itu.
“Kenapa minta maaf? Kamu ‘kan tidak salah apa-apa,” balas Jonathan sembari balas menggenggam jemarinya erat.
Lagi seperti tadi, Emily kembali berucap, “Maaf … karena aku, kamu jadi kesusahan seperti ini ….”
“Kamu bicara apa sih? Sudah kubilang, ini bukan salahmu ‘kan? Berhenti menyalahkan dirimu sendiri, Emily,” tegas Jonathan dengan memberi penekanan di tiap katanya.
Melihat kedua orang tuanya beradu argumen seperti itu, Nathan dan Natalie memilih untuk pergi. Mereka enggan mencampuri urusan kedua orang tua mereka.
“Ayah, Ibu … jam istirahat sudah hampir selesai, jadi aku harus segera kembali ke kantor. Sampai jumpa lagi nanti sore,” ujar Nathan. Begitupun dengan Natalie yang juga mohon pamit karena harus mengajar tari di studio tarinya.
Keheningan melanda usai kedua anak mereka pergi. Sepasang suami istri itu sibuk berkutat dengan pikirannya masing-masing. Setelah beberapa waktu berselang, suara Emily kembali memecah keheningan, “Jonathan … maaf, harusnya aku tidak menyembunyikan apa pun darimu.
Jonathan pun langsung menatapnya lekat-lekat, menunggu Emily untuk melanjutkan perkataannya. Entah kenapa, jauh di dalam lubuk hatinya, dia memiliki firasat kalau sebentar lagi akan terjadi sesuatu yang buruk.
Menghembuskan napasnya secara perlahan, Emily kembali bersuara, “Maaf Jonathan … untuk semuanya. Aku tahu … semua ini pasti sangat berat untukmu. Tapi … waktuku sudah tidak banyak lagi ….” Suaranya terdengar parau, tak lagi merdu seperti kicauan burung gereja di pagi hari.
Jonathan bisa melihat dengan jelas kesedihan serta penyesalan mendalam terpancar dari kedua iris mata istrinya. Tampak begitu gelap, tak tersisa cahaya setitik pun.
Hatinya seolah teriris ketika melihat sosok istrinya yang tampak begitu rapuh. Tanpa ia sadari, air mata sudah menggenang di pelupuk matanya. “Kenapa …? Ini bukan salahmu dan juga bukan salah siapa-siapa.”
Sembari mengeratkan genggaman jemarinya. Jonathan kini mengecup sisi kepala Emily dengan lembut, seolah mengatakan padanya kalau semuanya akan baik-baik saja.
“Aku yakin kamu bisa pulih, Emily. Jadi, jangan menyerah.” Iris biru langitnya bergetar, diiringi perasaan berkecamuk dalam dada.
Namun, pria itu berusaha menekan perasaannya sekeras mungkin. Untuk saat ini dia harus tetap tegar, karena dia tahu istrinya akan semakin rapuh bila melihat dirinya menangis.
“Aku ada di sini untukmu, Sayang.”
.
.
.
Sepulangnya dari rumah sakit, Jonathan langsung menghubungi sang produser terkait tawaran wawancaranya.
"Selamat sore, Tuan. Saya Jonathan yang tadi siang Anda tawari untuk wawancara. Begini, saya sudah membicarakannya dengan keluarga saya dan kami sepakat untuk menolak tawaran wawancara Anda. Terima kasih." Tanpa menunggu jawaban dari produser muda tersebut, ia langsung memutuskan sambungan teleponnya.
Menghembuskan napasnya kasar, pria paruh baya itu terduduk di tepi tempat tidurnya.
'Ya, ini yang terbaik untuk semuanya.'
.
.
.
Keesokan paginya, sang produser muda itu tiba di kantornya dengan langkah gontai. Ia pun duduk bersandar di sofa panjang berwarna hitam. Dari wajahnya terlihat jelas kalau dia tampak begitu lelah.
Selang beberapa saat kemudian, produser tersebut dihampiri oleh dua sosok staf wanita yang baru saja tiba, yang di masing-masing name tagnya tertera nama Klara dan Olivia.
“Ohh, Anda sudah tiba? Umm, apa ada masalah, Mr. Wales?” tanya Klara, seorang staf wanita bersurai biru navy dengan raut wajah bingung sekaligus khawatir.
Sementara Olivia, staf wanita bersurai hitam itu hanya diam berdiri di sebelahnya sembari memperhatikan dengan seksama.
Menggeleng lemah, sang produser tersebut hanya menghela napas panjang seolah habis melakukan pekerjaan berat.
“Umm … Anda yakin?” Wanita bersurai biru navy itu kembali bertanya untuk memastikannya.
Sama seperti tadi, si produser itu hanya menganggukan kepalanya.
Tidak mengerti apa yang terjadi dengan bos mereka, akhirnya kedua staf wanita tersebut ijin pamit untuk masuk ke ruang kerja mereka.
Saat masih di pertengahan jalan, staf wanita yang diketahui bernama Olivia tersebut berbisik, “Kurasa aku tahu apa yang terjadi dengan Bos.”
Klara langsung menoleh sembari menaikan alisnya. “Kamu tahu?”
Staf wanita bersurai hitam itu langsung mengangguk dengan penuh keyakinan. Ia pun kembali berbisik, “Kudengar, kemarin Bos berencana menemui Mr. Jonathan Hamilton untuk menawarinya wawancara.”
Kedua iris mata Klara langsung membulat dengan sempurna.
“Hah?”
To be Continued …
“Hah?” “Iyaa. Beliau pendiri J&E Group.” Olivia kini berbisik dengan penuh antusias. Namun, Klara hanya diam, tidak berkomentar apapun. Melihatnya diam seperti itu, rekan kerjanya kembali melanjutkan topik pembicaraan. “Yaah, kurasa Bos gagal menemuinya.” Meletakan jari telunjuk di dagunya, staf wanita bersurai hitam itu melanjutkan, “Atau tawaran wawancaranya ditolak mentah-mentah oleh Mr. Hamilton.” Raut wajahnya terlihat begitu yakin dengan dugaannya. “Oooh … begitu ….” Klara hanya menjawab seadanya. “Lagipula, beliau memang terkenal sebagai sosok yang sangat menjaga privasinya. Jadi, sampai saat ini tidak ada yang tahu seperti apa keluarganya. Selama ini yang kulihat beliau hanya muncul bersama istrinya saja,” lanjut Olivia sedikit acuh. Setibanya di dalam ruang kerja, mereka berdua langsung duduk di kursi masing-masing untuk mengedit tumpukan naskah yang sudah memasuki deadline. Namun, tanpa sepengetahuan siapapun, sebenarnya sedari tadi timbul rasa gelisah di dalam bena
“Apa kamu bisa mempertemukan saya dengan putranya?” “Eh? Anda masih mau mencoba membujuknya?” Kini Klara menatapnya dengan tatapan tak percaya. Produser itu mengangguk dengan antusias. Terlihat dari binar matanya yang memancarkan semangat pantang menyerah. Berbanding terbalik dengan Klara yang kini terlihat ragu, entah apa yang membuatnya bisa seperti itu. Wanita bersurai biru navy itu berdeham pelan lalu menggeleng. “Maaf, Mr Wales ... saya tidak bisa melakukannya,” tolaknya kemudian. “Kenapa?” “Karena … saya sudah lama tidak menghubunginya,” lanjut wanita itu dengan nada senetral mungkin. “Hmm … baiklah. Maaf mengganggu waktumu kalau begitu. Selamat malam.” Usai berkata demikian, produser muda itu langsung beranjak dari kursi dan keluar dari ruangan tersebut. Tak lama setelah kepergiannya, wanita bersurai biru navy tersebut langsung menghela napas berat sembari menundukan kepalanya sejenak. Sembari memejamkan matanya, wanita itu bergumam, “Maaf Pak, saya terpaksa berbohong.
Di hari Jonathan menemui dokter, tepatnya pada sore hari di mana jam kantor telah usai. Nathan mendapati sebuah pesan masuk dari Klara, isi pesannya membuat pria bersurai coklat itu menaikan kedua alisnya. [Nathan, apa sore ini kamu sibuk? Kalau tidak, ada hal penting yang ingin aku bicarakan denganmu. Temui aku di kafe dekat kantormu ya.] Usai membacanya, Nathan hanya menghela napas panjang. Entah kenapa, seketika jantungnya berdebar keras tak seperti biasanya. Sesaat sebelum keluar dari dalam ruang kerjanya, pria itu melihat jam yang ada di pergelangan tangannya dan mendapati kalau sudah hampir waktunya. Tidak mau membuat sang wanita menunggu, dia langsung bergegas ke kafe yang dimaksud dengan mengendarai mobilnya. . . . Sepuluh menit kemudian, pria itu sampai di kafe tersebut lalu memarkirkan mobilnya. Sesaat setelah keluar dari dalam mobilnya, Nathan tidak langsung berjalan ke dalam kafe. Ia terdiam sejenak lalu menarik napasnya dalam-dalam guna mengurangi rasa gugupnya. K
[Nathan, Ibu sudah pergi untuk selama-lamanya.] . . . Suara rintik hujan serta isak tangis dari para sahabat dan kerabat dekat yang berduka turut mengiringi kepergian Emily ke tempat peristirahatan terakhirnya. Kepergiannya yang mendadak telah menjadi pukulan berat serta kedukaan mendalam bagi orang-orang terdekatnya. Terutama Jonathan dan kedua anaknya. Nathan dan Natalie. Tak henti-hentinya Jonathan menangis, bahkan sejak mendiang istrinya meregang nyawa di atas tempat tidur rumah sakit. Entah sudah berapa banyak tetes air mata yang jatuh membasahi wajah pucat mendiang istrinya. Entah sudah berapa kali dia berteriak memanggil nama sang istri agar tidak pergi meninggalkannya. Memohon pada Sang Kuasa agar bersedia mengembalikan istri tercintanya ke dalam dekapannya lagi seperti sedia kala. Berharap kalau semua ini hanyalah bunga tidur. Yang mana bila ia membuka mata, sosok istrinya masih berada di sampingn
"Selamat siang Tuan Hamilton," sapa Alfred sambil tersenyum tipis. Jonathan sedikit menaikan alisnya ketika melihat sosok produser muda tersebut memasuki ruang kerjanya. Pria paruh baya itu pun berdeham, kemudian membalas sapaannya dengan lugas, "Selamat siang. Ada perlu apa Anda kemari? Kalau Anda ingin membahas perihal wawancara lagi, maaf saya tidak punya waktu banyak." Sambil berkata demikian, tangannya sibuk merapikan berkas yang telah dia tandatangani. "Umm, sebelumnya saya minta maaf karena datang tanpa pemberitahuan. Tapi, Anda tak perlu khawatir. Kedatangan saya kemari bukan untuk itu," balas Alfred sembari menautkan kedua tangannya, bermaksud menutupi kegugupan yang dia rasakan. "Lalu?" Menghela napas sejenak, produser muda tersebut kembali berujar, "Begini, saya datang untuk menyampaikan turut berduka cita pada Anda secara pribadi, Tuan Hamilton. Saya minta maaf, karena baru bisa menyampaikannya sekarang." Usai itu keheningan melanda, karena tak ada balasan apa pun dar
"Bagaimana keadaan ayah saya?" ujar Nathan setelah dokter selesai memeriksa keadaan Jonathan.Sang dokter pun menghela napas sejenak lalu memasang ekspresi senetral mungkin. "Hmm, begini, sepertinya ayah Anda mengalami stres berlebih. Selain itu, tekanan darahnya juga cukup rendah karena tubuhnya kurang menerima asupan nutrisi seimbang. Tapi, kalian tidak perlu khawatir. Selebihnya Ayah Anda baik-baik saja , karena yang beliau butuhkan hanya istirahat yang cukup dan pola makan yang teratur."Nathan langsung menghela napas lega dan berterima kasih pada sang dokter. Usai itu, ia meminta ijin pada dokter tersebut untuk menemui ayahnya di dalam ruang rawat.Sesaat setelah Nathan masuk ke ruang rawat, matanya langsung tertuju pada Jonathan yang terbaring lemah di kasur berbalut selimut putih tipis. Seketika itu juga, terlintas memori mendiang ibunya yang juga terbaring di atas tempat tidur hingga ajal menjemputnya. Kini memori itu berhasil menimbulkan prasangka buruk dalam benaknya tentang
"Kenapa kita harus menemuinya?" ujar Nathan sembari mengernyitkan alisnya. Hening. Usai mengusap lembut foto mendiang ibunya, Natalie pun kembali meletakannya di atas meja kerjanya. Wanita bersurai pirang itu kembali menghela napas untuk yang kesekian kalinya. "Karena itu yang bisa kita lakukan untuk Ayah. Kamu lihat sendiri 'kan bagaimana hancurnya Ayah usai kepergian Ibu?" Setelahnya, Natalie mengambil buku diari tersebut lalu membukanya ke halaman pertama. "Baca ini," sambungnya sambil menyodorkan halaman paling belakang buku diari tersebut pada Nathan. Nathan pun langsung membuang pandangannya ke arah lain. Pria itu menolak untuk membacanya, bukan karena tak ingin menangis, melainkan karena baginya tidak sopan membaca sesuatu yang bersifat privasi. Terlebih privasi ibunya. "Kenapa?" Kini giliran Natalie yang mengernyitkan alisnya. "Kamu tahu 'kan kalau aku tidak suka membaca hal yang bersifat privasi. Apalagi privasi Ibu!" tegas Nathan. Perkataannya membuat Natalie memutar
"Boleh aku menciummu?" Suara Nathan yang masuk ke indera pendengarannya, entah kenapa terdengar bagai candu bagi Klara. Tanpa ragu, wanita itu pun langsung memejamkan matanya, seolah memberi ijin. Seperti sedang dimabuk cinta, ia membiarkan pria bersurai coklat itu mengulum bibirnya selama beberapa saat, merasakan lembut dan hangatnya benda lunak yang melesat masuk ke dalam rongga mulutnya. Perasaan rindu yang teramat dalam juga gelora hasrat yang bergemuruh dalam dada, membuat mereka berdua hampir melakukannya ke sesi yang lebih intens. Namun, Nathan memilih untuk menyudahinya, karena sadar bila mereka hampir melewati batas. "Maaf." Hanya itu yang terlontar dari mulutnya. Tanpa berkata apa-apa lagi, Nathan langsung kembali pada posisi awalnya. Hingga keheningan kembali tercipta di antara mereka. Klara paham betul arti kata 'maaf' yang baru saja keluar dari mulut Nathan. Alhasil, tanpa basa-basi, wanita itu langsung beranjak keluar dari dalam mobil. Meski dalam hati kecilnya, ia s
"Baik, Bi. Aku sudah siap," ucap Emily seraya bangkit dari kursi riasnya. "Mari saya antar, Nona," tawar sang Pelayan sembari mengulurkan tangannya. . . . Ketika Emily keluar dari dalam ruang rias dengan kebaya modern berwarna beige dan kain batik berwarna coklat pekat. Beberapa tamu undangan langsung menoleh ke arahnya dan berdecak kagum. Gadis itu sesekali melirik ke arah para tamu undangan yang saat ini sedang menatapnya dengan tatapan penuh rasa takjub. Bukan hanya itu, kini dirinya juga melirik ke arah Jonathan—calon tunangannya yang saat ini juga sedang menatapnya dengan tatapan yang sulit ia terjemahkan. Kagumkah? Sukakah? Atau hanya sekedar terpana? Setibanya di hadapan calon ibu mertuanya. Ia disambut dengan sebuah pelukan hangat. "Hello, Dear. Nice to meet you. You're so beautiful," pujinya dengan senyum sumringah. "Aa ... thank you so much, Ma'am," ba
[Jakarta, 21 April 1991 'Diariku, Seminggu lagi hari pertunanganku akan tiba. Aku sudah tidak sabar menantikan hari pertunanganku dengan pria pujaan hatiku. Semoga saja berjalan dengan lancar ya. Aku tidak tahu, tapi entah kenapa aku begitu menantikannya. Apa dia menantikannya juga? Kuharap iya. Sampai di sini dulu ya, diariku.'] . . . "Ayuuuuuuuu!!!" seru Emily dari kejauhan. Sosok pemilik nama tersebut menoleh dengan ekspresi penuh tanda tanya. "Emily? Kok kamu ke kampus? Bukannya hari ini kamu tidak ada kelas, ya?" Bukannya menjawab, gadis surai coklat itu malah memasang senyuman termanis, manisnya mengalahkan madu. Senyuman yang menghiasi wajahnya semakin membuat Ayu bertanya-tanya. "Emily ... kamu baik-baik saja?" Ayu kini mulai bergidik ngeri karena sikap aneh dari teman baiknya itu. Emily mengangguk penuh semangat. Kini wajahnya semakin
"Hah?" "Iya. Ayah ingin bertemu dengannya besok. Apa ada masalah dengan itu?" ucap Jonathan tanpa ragu. Terpancar kilau mata yang tak biasa dari iris biru langitnya. Perkataan yang keluar dari mulut sang Ayah tentu membuat Nathan sedikit bingung. Kenapa tiba-tiba beliau ingin pergi menemuinya? "Kenapa Ayah ingin menemuinya? Apa ... apa Ayah bermaksud mendukung pembuatan film tentang Ibu?" tanya Nathan terus terang. "Iya," sahut Jonathan sembari menganggukan kepalanya dengan mantap. Tak lupa senyum tipis yang terhias di wajah rupawannya. Jawaban sang Ayah membuat pria bernetra magenta itu juga ikut menyunggingkan senyum lebar penuh bahagia. "Baiklah. Aku akan mengabari beliau malam ini juga." Perasaan bahagia yang menyeruak dalam dadanya membuat Nathan semakin tak sabar menanti hari esok. . . Keesokannya Jonathan sengaja berangkat dengan menumpang di mobil putra sulungnya. Dengan tujuan agar mereka bisa langsung ke tempat sang produser bersama-sama. "Jadi, kita bisa menemu
Di saat jam makan siang tiba, Nathan tampak bingung ketika ayahnya tak kunjung keluar dari dalam ruang kerjanya. Alhasil, ia pun berinisiatif menghampiri Jonathan untuk mengajaknya makan siang bersama. Namun, saat Nathan baru saja akan mengetuk pintunya. Dari belakang, Alex buru-buru menghentikannya dengan menariknya menjauh dari ruang kerja Jonathan. "Ehh? Kenapa?" tanya Nathan seraya mengernyitkan dahinya, bingung. Alex langsung mengacungkan jari telunjuknya. Sebagai isyarat untuk tetap diam. Namun, matanya sesekali melirik ke ruang kerja Jonathan, untuk mengamati sekilas kegiatan bosnya itu yang terlihat dari kaca jendela ruangannya. Setelah dirasa cukup aman, Alex pun langsung melepas tangan Nathan. Sesaat setelah dirinya menghela napas panjang, Alex berbisik, "Maaf, sebenarnya ini semua salahku." Terlihat jelas di wajahnya raut rasa bersalah. Tak mengerti maksud dari perkataan teman baiknya itu, Nathan pun semakin mengerutkan dahinya. "Kenapa minta maaf segala sih??" ucapny
"Maaf, Pak. Tapi, naskah untuk proyek A Dreamer bahkan belum sempat saya revisi," balas Klara senetral mungkin. "Hmm, benar juga ...," ujar Alfred sembari berpikir sejenak. "Aah, untuk naskah itu saya akan meminta Olivia menyelesaikannya. Jadi, kamu tidak perlu khawatir." Klara langsung mengernyitkan alisnya, bingung. Ia tak habis pikir dengan tindakan bosnya yang suka semena-mena itu. Mudah memindahtangankan tanggung jawab begitu saja. "Tapi, Pak. Anda sudah mempercayakan naskah itu pada saya sejak awal. Jadi, saya tidak mungkin menyerahkannya pada Olivia. Lagipula Anda sudah memberinya beberapa pekerjaan lain, kan?" tegas Klara masih mengernyitkan alisnya. Selama Klara dan Alfred berdebat, Nathan dan Natalie memilih untuk diam memperhatikan mereka dengan seksama. Tak bisa Nathan mungkiri, bila sisi tegas Klara menjadi salah satu daya pikat yang wanita itu miliki. Serta salah satu sisi yang membuatnya jatuh cinta pada wanita itu. "Kalau begitu kita bisa menunda naskah tersebut
"Boleh aku menciummu?" Suara Nathan yang masuk ke indera pendengarannya, entah kenapa terdengar bagai candu bagi Klara. Tanpa ragu, wanita itu pun langsung memejamkan matanya, seolah memberi ijin. Seperti sedang dimabuk cinta, ia membiarkan pria bersurai coklat itu mengulum bibirnya selama beberapa saat, merasakan lembut dan hangatnya benda lunak yang melesat masuk ke dalam rongga mulutnya. Perasaan rindu yang teramat dalam juga gelora hasrat yang bergemuruh dalam dada, membuat mereka berdua hampir melakukannya ke sesi yang lebih intens. Namun, Nathan memilih untuk menyudahinya, karena sadar bila mereka hampir melewati batas. "Maaf." Hanya itu yang terlontar dari mulutnya. Tanpa berkata apa-apa lagi, Nathan langsung kembali pada posisi awalnya. Hingga keheningan kembali tercipta di antara mereka. Klara paham betul arti kata 'maaf' yang baru saja keluar dari mulut Nathan. Alhasil, tanpa basa-basi, wanita itu langsung beranjak keluar dari dalam mobil. Meski dalam hati kecilnya, ia s
"Kenapa kita harus menemuinya?" ujar Nathan sembari mengernyitkan alisnya. Hening. Usai mengusap lembut foto mendiang ibunya, Natalie pun kembali meletakannya di atas meja kerjanya. Wanita bersurai pirang itu kembali menghela napas untuk yang kesekian kalinya. "Karena itu yang bisa kita lakukan untuk Ayah. Kamu lihat sendiri 'kan bagaimana hancurnya Ayah usai kepergian Ibu?" Setelahnya, Natalie mengambil buku diari tersebut lalu membukanya ke halaman pertama. "Baca ini," sambungnya sambil menyodorkan halaman paling belakang buku diari tersebut pada Nathan. Nathan pun langsung membuang pandangannya ke arah lain. Pria itu menolak untuk membacanya, bukan karena tak ingin menangis, melainkan karena baginya tidak sopan membaca sesuatu yang bersifat privasi. Terlebih privasi ibunya. "Kenapa?" Kini giliran Natalie yang mengernyitkan alisnya. "Kamu tahu 'kan kalau aku tidak suka membaca hal yang bersifat privasi. Apalagi privasi Ibu!" tegas Nathan. Perkataannya membuat Natalie memutar
"Bagaimana keadaan ayah saya?" ujar Nathan setelah dokter selesai memeriksa keadaan Jonathan.Sang dokter pun menghela napas sejenak lalu memasang ekspresi senetral mungkin. "Hmm, begini, sepertinya ayah Anda mengalami stres berlebih. Selain itu, tekanan darahnya juga cukup rendah karena tubuhnya kurang menerima asupan nutrisi seimbang. Tapi, kalian tidak perlu khawatir. Selebihnya Ayah Anda baik-baik saja , karena yang beliau butuhkan hanya istirahat yang cukup dan pola makan yang teratur."Nathan langsung menghela napas lega dan berterima kasih pada sang dokter. Usai itu, ia meminta ijin pada dokter tersebut untuk menemui ayahnya di dalam ruang rawat.Sesaat setelah Nathan masuk ke ruang rawat, matanya langsung tertuju pada Jonathan yang terbaring lemah di kasur berbalut selimut putih tipis. Seketika itu juga, terlintas memori mendiang ibunya yang juga terbaring di atas tempat tidur hingga ajal menjemputnya. Kini memori itu berhasil menimbulkan prasangka buruk dalam benaknya tentang
"Selamat siang Tuan Hamilton," sapa Alfred sambil tersenyum tipis. Jonathan sedikit menaikan alisnya ketika melihat sosok produser muda tersebut memasuki ruang kerjanya. Pria paruh baya itu pun berdeham, kemudian membalas sapaannya dengan lugas, "Selamat siang. Ada perlu apa Anda kemari? Kalau Anda ingin membahas perihal wawancara lagi, maaf saya tidak punya waktu banyak." Sambil berkata demikian, tangannya sibuk merapikan berkas yang telah dia tandatangani. "Umm, sebelumnya saya minta maaf karena datang tanpa pemberitahuan. Tapi, Anda tak perlu khawatir. Kedatangan saya kemari bukan untuk itu," balas Alfred sembari menautkan kedua tangannya, bermaksud menutupi kegugupan yang dia rasakan. "Lalu?" Menghela napas sejenak, produser muda tersebut kembali berujar, "Begini, saya datang untuk menyampaikan turut berduka cita pada Anda secara pribadi, Tuan Hamilton. Saya minta maaf, karena baru bisa menyampaikannya sekarang." Usai itu keheningan melanda, karena tak ada balasan apa pun dar