Di hari Jonathan menemui dokter, tepatnya pada sore hari di mana jam kantor telah usai.
Nathan mendapati sebuah pesan masuk dari Klara, isi pesannya membuat pria bersurai coklat itu menaikan kedua alisnya.
[Nathan, apa sore ini kamu sibuk? Kalau tidak, ada hal penting yang ingin aku bicarakan denganmu. Temui aku di kafe dekat kantormu ya.]
Usai membacanya, Nathan hanya menghela napas panjang. Entah kenapa, seketika jantungnya berdebar keras tak seperti biasanya.
Sesaat sebelum keluar dari dalam ruang kerjanya, pria itu melihat jam yang ada di pergelangan tangannya dan mendapati kalau sudah hampir waktunya. Tidak mau membuat sang wanita menunggu, dia langsung bergegas ke kafe yang dimaksud dengan mengendarai mobilnya.
.
.
.
Sepuluh menit kemudian, pria itu sampai di kafe tersebut lalu memarkirkan mobilnya. Sesaat setelah keluar dari dalam mobilnya, Nathan tidak langsung berjalan ke dalam kafe. Ia terdiam sejenak lalu menarik napasnya dalam-dalam guna mengurangi rasa gugupnya.
Kenapa dia begitu gugup?
‘Rileks Nathan, tenangkan dirimu. Ini hanya pertemuan biasa, tidak berarti apa-apa.’
Kata-kata itulah yang terus dirapalkan oleh pria bersurai coklat tersebut.
Setelah dirasa debaran jantungnya sudah cukup normal, Nathan kembali melangkahkan kakinya ke kafe dengan raut wajah senetral mungkin.
Sesaat dia memasuki kafe tersebut, iris matanya langsung tertuju pada sosok Klara. Seketika muncul binar bahagia di kedua irisnya saat tahu kalau mata mereka saling bertemu satu sama lain.
Dari posisinya saat ini, Nathan bisa melihat dengan jelas senyum yang terukir di wajah Klara.
Tanpa dia sadari pula, senyum yang sama juga telah terukir di wajahnya, sesaat menemukan sosok sang wanita.
“Hei,” sapa Nathan sesaat sebelum duduk. Sorot matanya sibuk mengamati wajah sang wanita yang duduk di hadapannya.
Tak ada yang berubah dari penampilannya, hanya saja kini garis wajahnya terlihat lebih dewasa dan terlihat lebih cantik. Tapi, juga terlihat lelah. Itu pikir Nathan setelah melihatnya pertama kali setelah sekian lama tak berjumpa.
Entah kenapa, saat melihat wajah letih Klara, timbul sebuah dorongan kuat dalam diri Nathan untuk memeluknya erat saat itu juga. Tapi, tentu saja dia tidak bisa melakukannya, terlebih di tempat umum seperti ini.
“Hei,” balas Klara dengan senyum masih melekat di wajahnya.
Sama seperti tadi, jantungnya kembali berdegup dengan cepat ketika mendengar suara dari sang wanita. Dia amati sekilas warna suaranya tetap terdengar sama merdunya seperti dulu.
Eh? Apa yang baru saja dia pikirkan?
Tak mau larut dalam pikirannya lagi, pria bersurai coklat itu buru-buru membuka topik pembicaraan.
“Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan padaku, Klara?” tanyanya dengan nada senetral mungkin.
Berdeham sejenak, wanita bersurai biru navy itu menjawab, “Begini ... aku rasa kamu sudah dengar dari ayahmu kalau beliau ditawari oleh bosku untuk sebuah wawancara eksklusif, kan?”
Nathan hanya mengangguk dengan raut wajah serius lalu mempersilakan wanita itu untuk melanjutkan.
Menghela napas pelan, Klara melanjutkan, “Dan aku dengar kalau ayahmu menolak tawaran wawancaranya.”
Sekali lagi, Nathan menjawabnya dengan anggukan kepala.
“Aku tahu kalau ini bukan hakku dan seharusnya aku tidak memberitahumu soal ini. Tapi, sepertinya kali ini bosku berencana untuk meminta tolong padamu untuk membujuk ayahmu supaya menerima tawaran wawancaranya,” sambung Klara.
Nathan sontak membelakakan kedua matanya, tak percaya.
“Hah?”
Mengangguk cepat, Klara kembali berkata, “Bosku orang yang bisa dibilang gigih juga cenderung nekat, jadi aku harap kamu harus hati-hati. Bosku bisa melakukan apa pun untuk menggapai tujuan—”
“Permisi, sepertinya saya mendengar kalian berdua sedang asyik membicarakan saya.”
Deg deg!
Nathan dan Klara sontak menoleh ke arah sumber suara. Mereka kaget bukan main saat mengetahui sosok yang baru saja memotong pembicaraan mereka.
Alfred Wales. Sosok yang sedang menjadi topik pembicaraan mereka kini berdiri dengan senyum penuh arti terhias di wajahnya. Lengkap dengan setelan jas hitam dipadu dengan kemeja coklat.
Kemunculan produser itu yang secara tiba-tiba membuat Nathan melempar tatapan penuh emosi serta tanda tanya pada Klara.
'Apa maksudnya ini?' Kata-kata itulah yang seolah terpancar di sorot matanya.
Apa Klara sengaja menjebaknya agar dapat dipertemukan dengan sang produser?
Seketika amarah memenuhi dirinya, namun Nathan masih memberi wanita itu kesempatan untuk menjelaskannya.
“Apa maksudnya ini, Klara?”
Wanita bersurai biru navy itu hanya bisa menggeleng dengan cepat. Ia terlalu kaget sampai suaranya seperti tercekat di tenggorokannya, begitu sulit untuk dikeluarkan.
Lagi seperti tadi, Klara hanya bisa menggeleng dengan mata membulat sempurna seolah mengisyaratkan kalau dirinya sama sekali tidak tahu menahu soal kehadiran bosnya itu.
“Kamu benar-benar tidak tahu?” tanya Nathan untuk memastikannya sekali lagi.
Klara menjawabnya dengan anggukan kepala.
Sementara sang produser yang tidak mau kehilangan kesempatan emas tersebut langsung memotong pembicaraan mereka berdua.
“Ehem, maaf sebelumnya. Tapi, ada beberapa hal yang ingin saya jelaskan pada Anda selaku putra dari Jonathan Hamilton.”
Usai berkata demikian, produser tersebut mengeluarkan sebuah kartu nama dari dalam saku jas hitamnya.
Nathan mengabaikan tawarannya dengan menegaskan, “Maaf, Pak. Tapi, saya rasa penolakan yang ayah saya katakan pada Anda saat itu sudah cukup jelas bagi Anda, bukan?” Sembari bangkit dari kursi, pria bersurai coklat itu melanjutkan, “Dan hal itu tidak akan pernah berubah. Selamat malam.”
Setelah itu, Nathan beranjak pergi dari sana tanpa menoleh sedikit pun pada Klara. Namun, wanita tersebut bisa melihat ekspresi dingin yang ditujukan oleh pria itu pada bosnya.
Tampaknya Nathan marah padanya.
Usai Nathan pergi dari kafe tersebut, Klara langsung berdiri dari tempat duduknya dan menegur bosnya dengan keras.
“Maaf, Mr. Wales. Anda memang bos saya dan saya menghormati Anda sebagai atasan saya. Tapi, saya juga berhak mendapatkan hak atas privasi saya, bukan?” Menarik napas dalam-dalam, wanita itu melanjutkan, “Bila orang tersebut keberatan untuk melakukan wawancara dengan Anda, bukankah itu artinya Anda harus menghargai keputusan orang tersebut? Jangan melewati batas.”
Tanpa berkata apa-apa lagi, Klara langsung bergegas pergi dari kafe tersebut, menyusul Nathan untuk meluruskan kesalahpahaman ini.
.
.
Saat wanita itu tiba di luar kafe, dia langsung mencari mobil milik Nathan—berharap pria itu belum pergi. Untung saja langit belum begitu gelap sehingga dia masih bisa melihat sekitar dengan jelas.
Namun, setelah beberapa saat mencarinya, wanita itu tak kunjung mendapati mobilnya di tempat parkir.
Sudah merasa lelah, Klara akhirnya memutuskan untuk kembali ke rumah dengan menumpang sebuah taksi. Selama perjalanan, wanita itu terus dibayangi perasaan cemas dan takut. Dia tidak mau membuat pria itu salah paham akan dirinya.
Bila Klara boleh berterus terang, sebenarnya tadi dia ingin sekali membicarakan banyak hal dengan Nathan.
Persoalan tadi hanyalah alibinya. Padahal, jauh di dalam lubuk hatinya, Klara ingin sekali melepas rindu dengan pria itu.
Wanita itu ingin mengatakan kalau dirinya begitu merindukan sosok Nathan.
Rindu akan senyumannya. Rindu akan canda tawanya. Rindu akan kejahilan serta omelannya.
Dia juga rindu akan sentuhan serta pelukan hangatnya yang selalu menjadi obat penenangnya di kala kecemasan melanda.
Dia rindu dengan pria yang pernah menjadi pendamping hidupnya itu.
Ya, Klara merindukan semua yang ada pada Nathan, mantan suaminya.
.
.
.
Setibanya Klara di depan gedung apartemen, dia tak menyangka akan dikejutkan dengan kehadiran Nathan di sana.
“Na-Nathan...!” ucap wanita bersurai biru navy itu dengan mata terbelakak.
Si pemilik nama hanya tersenyum lembut lalu berjalan mendekat.
“Maaf, aku harus berpura-pura marah padamu dan langsung pergi meninggalkanmu tadi. Aku hanya ingin produser itu berhenti mengikuti kita,” ujar Nathan tanpa mengalihkan pandangannya dari sang wanita.
Seketika timbul rasa lega dalam benak Klara usai mendengar pengakuan Nathan perihal kejadian tadi.
“Mau bicara di mobilku?” tawar pria itu kemudian.
Klara langsung mengangguk, lalu mereka berdua berjalan ke tempat mobilnya terparkir. Sesaat setelah mereka masuk ke dalam mobil, keheningan melanda.
Entah kenapa, tiba-tiba saja rasa canggung meliputi mereka berdua.
Apa mungkin karena ini pertama kalinya bagi Nathan dan Klara kembali bertemu setelah sekian lama tak berjumpa?
Usai menghembuskan napas untuk yang kesekian kalinya, Nathan mulai mengeluarkan suaranya untuk memecah keheningan.
“Bagaimana keadaan Arthur?”
Klara menatapnya sekilas lalu menjawab, "Arthur ... dia baik-baik saja. Oh iya, Arthur bilang padaku kalau dia ingin sekali bertemu denganmu. Dia rindu padamu, Nathan."
Menghela napas berat, Nathan hanya bisa tersenyum. Terpancar rasa sedih di sorot matanya. Perasaan sedih itu timbul karena dirinya tidak bisa dengan leluasa bertemu dengan putra semata wayangnya itu.
"Aku juga begitu merindukannya. Seandainya aku bisa menemuinya ...," ungkap pria itu terus terang.
Wanita bersurai biru navy itu hanya bisa menggenggam erat tangannya dalam diam. Jauh di dalam lubuk hatinya, dia sangat sakit dengan situasi seperti ini. Yang mana mereka harus berpisah karena keadaan yang tidak mendukung.
Nathan balas menggenggam erat tangannya, seakan mendapat dukungan emosional dari wanita yang pernah menjadi pendamping hidupnya itu. Suasana pun menjadi sunyi selama beberapa waktu.
"Tidak apa-apa, aku akan coba berbicara dengan Arthur. Semoga—"
Drrttt drrrrtttt drrrttt— bunyi getar ponsel milik Nathan membuat Klara menghentikan pembicaraannya.
Saat melihat nama sang Ayah di layar ponselnya, Nathan langsung mengangkat sambungan teleponnya.
Kalimat yang dilontarkan oleh sang Ayah dari seberang telepon seakan membuat jantungnya berhenti berdetak.
[Nathan, Ibu sudah pergi untuk selama-lamanya.]
To be Continued...
[Nathan, Ibu sudah pergi untuk selama-lamanya.] . . . Suara rintik hujan serta isak tangis dari para sahabat dan kerabat dekat yang berduka turut mengiringi kepergian Emily ke tempat peristirahatan terakhirnya. Kepergiannya yang mendadak telah menjadi pukulan berat serta kedukaan mendalam bagi orang-orang terdekatnya. Terutama Jonathan dan kedua anaknya. Nathan dan Natalie. Tak henti-hentinya Jonathan menangis, bahkan sejak mendiang istrinya meregang nyawa di atas tempat tidur rumah sakit. Entah sudah berapa banyak tetes air mata yang jatuh membasahi wajah pucat mendiang istrinya. Entah sudah berapa kali dia berteriak memanggil nama sang istri agar tidak pergi meninggalkannya. Memohon pada Sang Kuasa agar bersedia mengembalikan istri tercintanya ke dalam dekapannya lagi seperti sedia kala. Berharap kalau semua ini hanyalah bunga tidur. Yang mana bila ia membuka mata, sosok istrinya masih berada di sampingn
"Selamat siang Tuan Hamilton," sapa Alfred sambil tersenyum tipis. Jonathan sedikit menaikan alisnya ketika melihat sosok produser muda tersebut memasuki ruang kerjanya. Pria paruh baya itu pun berdeham, kemudian membalas sapaannya dengan lugas, "Selamat siang. Ada perlu apa Anda kemari? Kalau Anda ingin membahas perihal wawancara lagi, maaf saya tidak punya waktu banyak." Sambil berkata demikian, tangannya sibuk merapikan berkas yang telah dia tandatangani. "Umm, sebelumnya saya minta maaf karena datang tanpa pemberitahuan. Tapi, Anda tak perlu khawatir. Kedatangan saya kemari bukan untuk itu," balas Alfred sembari menautkan kedua tangannya, bermaksud menutupi kegugupan yang dia rasakan. "Lalu?" Menghela napas sejenak, produser muda tersebut kembali berujar, "Begini, saya datang untuk menyampaikan turut berduka cita pada Anda secara pribadi, Tuan Hamilton. Saya minta maaf, karena baru bisa menyampaikannya sekarang." Usai itu keheningan melanda, karena tak ada balasan apa pun dar
"Bagaimana keadaan ayah saya?" ujar Nathan setelah dokter selesai memeriksa keadaan Jonathan.Sang dokter pun menghela napas sejenak lalu memasang ekspresi senetral mungkin. "Hmm, begini, sepertinya ayah Anda mengalami stres berlebih. Selain itu, tekanan darahnya juga cukup rendah karena tubuhnya kurang menerima asupan nutrisi seimbang. Tapi, kalian tidak perlu khawatir. Selebihnya Ayah Anda baik-baik saja , karena yang beliau butuhkan hanya istirahat yang cukup dan pola makan yang teratur."Nathan langsung menghela napas lega dan berterima kasih pada sang dokter. Usai itu, ia meminta ijin pada dokter tersebut untuk menemui ayahnya di dalam ruang rawat.Sesaat setelah Nathan masuk ke ruang rawat, matanya langsung tertuju pada Jonathan yang terbaring lemah di kasur berbalut selimut putih tipis. Seketika itu juga, terlintas memori mendiang ibunya yang juga terbaring di atas tempat tidur hingga ajal menjemputnya. Kini memori itu berhasil menimbulkan prasangka buruk dalam benaknya tentang
"Kenapa kita harus menemuinya?" ujar Nathan sembari mengernyitkan alisnya. Hening. Usai mengusap lembut foto mendiang ibunya, Natalie pun kembali meletakannya di atas meja kerjanya. Wanita bersurai pirang itu kembali menghela napas untuk yang kesekian kalinya. "Karena itu yang bisa kita lakukan untuk Ayah. Kamu lihat sendiri 'kan bagaimana hancurnya Ayah usai kepergian Ibu?" Setelahnya, Natalie mengambil buku diari tersebut lalu membukanya ke halaman pertama. "Baca ini," sambungnya sambil menyodorkan halaman paling belakang buku diari tersebut pada Nathan. Nathan pun langsung membuang pandangannya ke arah lain. Pria itu menolak untuk membacanya, bukan karena tak ingin menangis, melainkan karena baginya tidak sopan membaca sesuatu yang bersifat privasi. Terlebih privasi ibunya. "Kenapa?" Kini giliran Natalie yang mengernyitkan alisnya. "Kamu tahu 'kan kalau aku tidak suka membaca hal yang bersifat privasi. Apalagi privasi Ibu!" tegas Nathan. Perkataannya membuat Natalie memutar
"Boleh aku menciummu?" Suara Nathan yang masuk ke indera pendengarannya, entah kenapa terdengar bagai candu bagi Klara. Tanpa ragu, wanita itu pun langsung memejamkan matanya, seolah memberi ijin. Seperti sedang dimabuk cinta, ia membiarkan pria bersurai coklat itu mengulum bibirnya selama beberapa saat, merasakan lembut dan hangatnya benda lunak yang melesat masuk ke dalam rongga mulutnya. Perasaan rindu yang teramat dalam juga gelora hasrat yang bergemuruh dalam dada, membuat mereka berdua hampir melakukannya ke sesi yang lebih intens. Namun, Nathan memilih untuk menyudahinya, karena sadar bila mereka hampir melewati batas. "Maaf." Hanya itu yang terlontar dari mulutnya. Tanpa berkata apa-apa lagi, Nathan langsung kembali pada posisi awalnya. Hingga keheningan kembali tercipta di antara mereka. Klara paham betul arti kata 'maaf' yang baru saja keluar dari mulut Nathan. Alhasil, tanpa basa-basi, wanita itu langsung beranjak keluar dari dalam mobil. Meski dalam hati kecilnya, ia s
"Maaf, Pak. Tapi, naskah untuk proyek A Dreamer bahkan belum sempat saya revisi," balas Klara senetral mungkin. "Hmm, benar juga ...," ujar Alfred sembari berpikir sejenak. "Aah, untuk naskah itu saya akan meminta Olivia menyelesaikannya. Jadi, kamu tidak perlu khawatir." Klara langsung mengernyitkan alisnya, bingung. Ia tak habis pikir dengan tindakan bosnya yang suka semena-mena itu. Mudah memindahtangankan tanggung jawab begitu saja. "Tapi, Pak. Anda sudah mempercayakan naskah itu pada saya sejak awal. Jadi, saya tidak mungkin menyerahkannya pada Olivia. Lagipula Anda sudah memberinya beberapa pekerjaan lain, kan?" tegas Klara masih mengernyitkan alisnya. Selama Klara dan Alfred berdebat, Nathan dan Natalie memilih untuk diam memperhatikan mereka dengan seksama. Tak bisa Nathan mungkiri, bila sisi tegas Klara menjadi salah satu daya pikat yang wanita itu miliki. Serta salah satu sisi yang membuatnya jatuh cinta pada wanita itu. "Kalau begitu kita bisa menunda naskah tersebut
Di saat jam makan siang tiba, Nathan tampak bingung ketika ayahnya tak kunjung keluar dari dalam ruang kerjanya. Alhasil, ia pun berinisiatif menghampiri Jonathan untuk mengajaknya makan siang bersama. Namun, saat Nathan baru saja akan mengetuk pintunya. Dari belakang, Alex buru-buru menghentikannya dengan menariknya menjauh dari ruang kerja Jonathan. "Ehh? Kenapa?" tanya Nathan seraya mengernyitkan dahinya, bingung. Alex langsung mengacungkan jari telunjuknya. Sebagai isyarat untuk tetap diam. Namun, matanya sesekali melirik ke ruang kerja Jonathan, untuk mengamati sekilas kegiatan bosnya itu yang terlihat dari kaca jendela ruangannya. Setelah dirasa cukup aman, Alex pun langsung melepas tangan Nathan. Sesaat setelah dirinya menghela napas panjang, Alex berbisik, "Maaf, sebenarnya ini semua salahku." Terlihat jelas di wajahnya raut rasa bersalah. Tak mengerti maksud dari perkataan teman baiknya itu, Nathan pun semakin mengerutkan dahinya. "Kenapa minta maaf segala sih??" ucapny
"Hah?" "Iya. Ayah ingin bertemu dengannya besok. Apa ada masalah dengan itu?" ucap Jonathan tanpa ragu. Terpancar kilau mata yang tak biasa dari iris biru langitnya. Perkataan yang keluar dari mulut sang Ayah tentu membuat Nathan sedikit bingung. Kenapa tiba-tiba beliau ingin pergi menemuinya? "Kenapa Ayah ingin menemuinya? Apa ... apa Ayah bermaksud mendukung pembuatan film tentang Ibu?" tanya Nathan terus terang. "Iya," sahut Jonathan sembari menganggukan kepalanya dengan mantap. Tak lupa senyum tipis yang terhias di wajah rupawannya. Jawaban sang Ayah membuat pria bernetra magenta itu juga ikut menyunggingkan senyum lebar penuh bahagia. "Baiklah. Aku akan mengabari beliau malam ini juga." Perasaan bahagia yang menyeruak dalam dadanya membuat Nathan semakin tak sabar menanti hari esok. . . Keesokannya Jonathan sengaja berangkat dengan menumpang di mobil putra sulungnya. Dengan tujuan agar mereka bisa langsung ke tempat sang produser bersama-sama. "Jadi, kita bisa menemu
"Baik, Bi. Aku sudah siap," ucap Emily seraya bangkit dari kursi riasnya. "Mari saya antar, Nona," tawar sang Pelayan sembari mengulurkan tangannya. . . . Ketika Emily keluar dari dalam ruang rias dengan kebaya modern berwarna beige dan kain batik berwarna coklat pekat. Beberapa tamu undangan langsung menoleh ke arahnya dan berdecak kagum. Gadis itu sesekali melirik ke arah para tamu undangan yang saat ini sedang menatapnya dengan tatapan penuh rasa takjub. Bukan hanya itu, kini dirinya juga melirik ke arah Jonathan—calon tunangannya yang saat ini juga sedang menatapnya dengan tatapan yang sulit ia terjemahkan. Kagumkah? Sukakah? Atau hanya sekedar terpana? Setibanya di hadapan calon ibu mertuanya. Ia disambut dengan sebuah pelukan hangat. "Hello, Dear. Nice to meet you. You're so beautiful," pujinya dengan senyum sumringah. "Aa ... thank you so much, Ma'am," ba
[Jakarta, 21 April 1991 'Diariku, Seminggu lagi hari pertunanganku akan tiba. Aku sudah tidak sabar menantikan hari pertunanganku dengan pria pujaan hatiku. Semoga saja berjalan dengan lancar ya. Aku tidak tahu, tapi entah kenapa aku begitu menantikannya. Apa dia menantikannya juga? Kuharap iya. Sampai di sini dulu ya, diariku.'] . . . "Ayuuuuuuuu!!!" seru Emily dari kejauhan. Sosok pemilik nama tersebut menoleh dengan ekspresi penuh tanda tanya. "Emily? Kok kamu ke kampus? Bukannya hari ini kamu tidak ada kelas, ya?" Bukannya menjawab, gadis surai coklat itu malah memasang senyuman termanis, manisnya mengalahkan madu. Senyuman yang menghiasi wajahnya semakin membuat Ayu bertanya-tanya. "Emily ... kamu baik-baik saja?" Ayu kini mulai bergidik ngeri karena sikap aneh dari teman baiknya itu. Emily mengangguk penuh semangat. Kini wajahnya semakin
"Hah?" "Iya. Ayah ingin bertemu dengannya besok. Apa ada masalah dengan itu?" ucap Jonathan tanpa ragu. Terpancar kilau mata yang tak biasa dari iris biru langitnya. Perkataan yang keluar dari mulut sang Ayah tentu membuat Nathan sedikit bingung. Kenapa tiba-tiba beliau ingin pergi menemuinya? "Kenapa Ayah ingin menemuinya? Apa ... apa Ayah bermaksud mendukung pembuatan film tentang Ibu?" tanya Nathan terus terang. "Iya," sahut Jonathan sembari menganggukan kepalanya dengan mantap. Tak lupa senyum tipis yang terhias di wajah rupawannya. Jawaban sang Ayah membuat pria bernetra magenta itu juga ikut menyunggingkan senyum lebar penuh bahagia. "Baiklah. Aku akan mengabari beliau malam ini juga." Perasaan bahagia yang menyeruak dalam dadanya membuat Nathan semakin tak sabar menanti hari esok. . . Keesokannya Jonathan sengaja berangkat dengan menumpang di mobil putra sulungnya. Dengan tujuan agar mereka bisa langsung ke tempat sang produser bersama-sama. "Jadi, kita bisa menemu
Di saat jam makan siang tiba, Nathan tampak bingung ketika ayahnya tak kunjung keluar dari dalam ruang kerjanya. Alhasil, ia pun berinisiatif menghampiri Jonathan untuk mengajaknya makan siang bersama. Namun, saat Nathan baru saja akan mengetuk pintunya. Dari belakang, Alex buru-buru menghentikannya dengan menariknya menjauh dari ruang kerja Jonathan. "Ehh? Kenapa?" tanya Nathan seraya mengernyitkan dahinya, bingung. Alex langsung mengacungkan jari telunjuknya. Sebagai isyarat untuk tetap diam. Namun, matanya sesekali melirik ke ruang kerja Jonathan, untuk mengamati sekilas kegiatan bosnya itu yang terlihat dari kaca jendela ruangannya. Setelah dirasa cukup aman, Alex pun langsung melepas tangan Nathan. Sesaat setelah dirinya menghela napas panjang, Alex berbisik, "Maaf, sebenarnya ini semua salahku." Terlihat jelas di wajahnya raut rasa bersalah. Tak mengerti maksud dari perkataan teman baiknya itu, Nathan pun semakin mengerutkan dahinya. "Kenapa minta maaf segala sih??" ucapny
"Maaf, Pak. Tapi, naskah untuk proyek A Dreamer bahkan belum sempat saya revisi," balas Klara senetral mungkin. "Hmm, benar juga ...," ujar Alfred sembari berpikir sejenak. "Aah, untuk naskah itu saya akan meminta Olivia menyelesaikannya. Jadi, kamu tidak perlu khawatir." Klara langsung mengernyitkan alisnya, bingung. Ia tak habis pikir dengan tindakan bosnya yang suka semena-mena itu. Mudah memindahtangankan tanggung jawab begitu saja. "Tapi, Pak. Anda sudah mempercayakan naskah itu pada saya sejak awal. Jadi, saya tidak mungkin menyerahkannya pada Olivia. Lagipula Anda sudah memberinya beberapa pekerjaan lain, kan?" tegas Klara masih mengernyitkan alisnya. Selama Klara dan Alfred berdebat, Nathan dan Natalie memilih untuk diam memperhatikan mereka dengan seksama. Tak bisa Nathan mungkiri, bila sisi tegas Klara menjadi salah satu daya pikat yang wanita itu miliki. Serta salah satu sisi yang membuatnya jatuh cinta pada wanita itu. "Kalau begitu kita bisa menunda naskah tersebut
"Boleh aku menciummu?" Suara Nathan yang masuk ke indera pendengarannya, entah kenapa terdengar bagai candu bagi Klara. Tanpa ragu, wanita itu pun langsung memejamkan matanya, seolah memberi ijin. Seperti sedang dimabuk cinta, ia membiarkan pria bersurai coklat itu mengulum bibirnya selama beberapa saat, merasakan lembut dan hangatnya benda lunak yang melesat masuk ke dalam rongga mulutnya. Perasaan rindu yang teramat dalam juga gelora hasrat yang bergemuruh dalam dada, membuat mereka berdua hampir melakukannya ke sesi yang lebih intens. Namun, Nathan memilih untuk menyudahinya, karena sadar bila mereka hampir melewati batas. "Maaf." Hanya itu yang terlontar dari mulutnya. Tanpa berkata apa-apa lagi, Nathan langsung kembali pada posisi awalnya. Hingga keheningan kembali tercipta di antara mereka. Klara paham betul arti kata 'maaf' yang baru saja keluar dari mulut Nathan. Alhasil, tanpa basa-basi, wanita itu langsung beranjak keluar dari dalam mobil. Meski dalam hati kecilnya, ia s
"Kenapa kita harus menemuinya?" ujar Nathan sembari mengernyitkan alisnya. Hening. Usai mengusap lembut foto mendiang ibunya, Natalie pun kembali meletakannya di atas meja kerjanya. Wanita bersurai pirang itu kembali menghela napas untuk yang kesekian kalinya. "Karena itu yang bisa kita lakukan untuk Ayah. Kamu lihat sendiri 'kan bagaimana hancurnya Ayah usai kepergian Ibu?" Setelahnya, Natalie mengambil buku diari tersebut lalu membukanya ke halaman pertama. "Baca ini," sambungnya sambil menyodorkan halaman paling belakang buku diari tersebut pada Nathan. Nathan pun langsung membuang pandangannya ke arah lain. Pria itu menolak untuk membacanya, bukan karena tak ingin menangis, melainkan karena baginya tidak sopan membaca sesuatu yang bersifat privasi. Terlebih privasi ibunya. "Kenapa?" Kini giliran Natalie yang mengernyitkan alisnya. "Kamu tahu 'kan kalau aku tidak suka membaca hal yang bersifat privasi. Apalagi privasi Ibu!" tegas Nathan. Perkataannya membuat Natalie memutar
"Bagaimana keadaan ayah saya?" ujar Nathan setelah dokter selesai memeriksa keadaan Jonathan.Sang dokter pun menghela napas sejenak lalu memasang ekspresi senetral mungkin. "Hmm, begini, sepertinya ayah Anda mengalami stres berlebih. Selain itu, tekanan darahnya juga cukup rendah karena tubuhnya kurang menerima asupan nutrisi seimbang. Tapi, kalian tidak perlu khawatir. Selebihnya Ayah Anda baik-baik saja , karena yang beliau butuhkan hanya istirahat yang cukup dan pola makan yang teratur."Nathan langsung menghela napas lega dan berterima kasih pada sang dokter. Usai itu, ia meminta ijin pada dokter tersebut untuk menemui ayahnya di dalam ruang rawat.Sesaat setelah Nathan masuk ke ruang rawat, matanya langsung tertuju pada Jonathan yang terbaring lemah di kasur berbalut selimut putih tipis. Seketika itu juga, terlintas memori mendiang ibunya yang juga terbaring di atas tempat tidur hingga ajal menjemputnya. Kini memori itu berhasil menimbulkan prasangka buruk dalam benaknya tentang
"Selamat siang Tuan Hamilton," sapa Alfred sambil tersenyum tipis. Jonathan sedikit menaikan alisnya ketika melihat sosok produser muda tersebut memasuki ruang kerjanya. Pria paruh baya itu pun berdeham, kemudian membalas sapaannya dengan lugas, "Selamat siang. Ada perlu apa Anda kemari? Kalau Anda ingin membahas perihal wawancara lagi, maaf saya tidak punya waktu banyak." Sambil berkata demikian, tangannya sibuk merapikan berkas yang telah dia tandatangani. "Umm, sebelumnya saya minta maaf karena datang tanpa pemberitahuan. Tapi, Anda tak perlu khawatir. Kedatangan saya kemari bukan untuk itu," balas Alfred sembari menautkan kedua tangannya, bermaksud menutupi kegugupan yang dia rasakan. "Lalu?" Menghela napas sejenak, produser muda tersebut kembali berujar, "Begini, saya datang untuk menyampaikan turut berduka cita pada Anda secara pribadi, Tuan Hamilton. Saya minta maaf, karena baru bisa menyampaikannya sekarang." Usai itu keheningan melanda, karena tak ada balasan apa pun dar