Home / Romansa / Memories of Jonathan & Emily / CHAPTER 6: KEPERGIAN EMILY

Share

CHAPTER 6: KEPERGIAN EMILY

Author: BabyElle
last update Last Updated: 2021-04-10 10:00:00

[Nathan, Ibu sudah pergi untuk selama-lamanya.]

.

.

.

Suara rintik hujan serta isak tangis dari para sahabat dan kerabat dekat yang berduka turut mengiringi kepergian Emily ke tempat peristirahatan terakhirnya.

Kepergiannya yang mendadak telah menjadi pukulan berat serta kedukaan mendalam bagi orang-orang terdekatnya. Terutama Jonathan dan kedua anaknya. Nathan dan Natalie.

Tak henti-hentinya Jonathan menangis, bahkan sejak mendiang istrinya meregang nyawa di atas tempat tidur rumah sakit.

Entah sudah berapa banyak tetes air mata yang jatuh membasahi wajah pucat mendiang istrinya.

Entah sudah berapa kali dia berteriak memanggil nama sang istri agar tidak pergi meninggalkannya.  Memohon pada Sang Kuasa agar bersedia mengembalikan istri tercintanya ke dalam dekapannya lagi seperti sedia kala.

Berharap kalau semua ini hanyalah bunga tidur. Yang mana bila ia membuka mata, sosok istrinya masih berada di sampingnya dengan senyum lembut tersungging di wajahnya.

Namun, semua yang dia lakukan sia-sia belaka.

Istrinya sudah tidak ada lagi di dunia ini. Yang berarti sudah tidak ada lagi senyum hangat, celotehan serta canda tawa yang sering dilontarkan oleh mendiang istrinya.

Tubuhnya sudah terbujur kaku di dalam peti berbahan kayu. 

Tak sedetik pun Jonathan berpaling dari peti mendiang istrinya. Meski pandangannya terhalang oleh air mata yang menggenang di pelupuk matanya.

Dia masih menatap nanar peti Emily. Berusaha merekam kenangan terakhir mendiang istrinya sebelum bersedekap dengan bumi.

Begitu pun dengan Nathan yang juga terus menangis tanpa henti, berharap bila semua ini hanyalah mimpi buruk.

Namun, sayangnya semua itu bukanlah mimpi. Semuanya nyata. Sosok ibunya yang terbujur kaku lengkap dengan gaun panjang berwarna putih di dalam peti kayu itulah buktinya.

Bukti nyata bila tak ada satu pun manusia yang akan abadi di dunia ini. Satu bukti yang menyatakan bila manusia pasti akan menghadapi kematian suatu saat nanti. Hanya tinggal menunggu kapan waktunya akan tiba.

Di pemakaman tersebut pula terdapat beberapa wartawan yang sudah mendapat ijin untuk meliput prosesi pemakaman. Peliputan dilakukan sejak pertama kali mendiang ditempatkan di rumah duka.

Di sana pula terdapat Klara dan Alfred Wales yang juga turut berduka atas kepergian mendiang. Wanita bersurai biru navy itu berjalan mendekati Nathan dan berdiri tepat di sampingnya, lalu menggenggam erat jemari tangannya dalam hening. Bermaksud memberinya sedikit dukungan emosional. 

Kedua iris mata mereka bertemu satu sama lain.

"Ibu sudah pergi ... untuk selamanya. Itu artinya ... Ibu ... sudah tidak merasakan sakit ... lagi 'kan...?" ucap Nathan diiringi isak tangis. Air matanya jatuh silih berganti membasahi wajahnya.

Klara hanya mengangguk dengan air mata menggenang di pelupuk matanya. Wanita itu memilih diam karena dia tahu, bukan jawaban yang dibutuhkan oleh Nathan saat ini, tapi sebuah penghiburan.

Tanpa aba-aba, Nathan langsung melingkari kedua tangannya ke tubuh Klara. Mendekapnya seerat mungkin, seolah mencari sebuah penghiburan di kala rasa sakit yang menusuk hatinya.

.

.

Saat tiba waktunya peti akan diturunkan ke liang lahat, isak tangis kembali terdengar.

"Ibuuu! Ibuuu! Jangan pergi! Jangan tinggalkan Natalie sendirian, Bu!! Natalie kesepiaaan!! Ibuuuuu!!!"

Natalie begitu histeris memanggil mendiang ibunya berkali-kali, berharap ada sebuah keajaiban terjadi. Karena dia belum bisa merelakan sang Ibu pergi untuk selama-lamanya. 

Tangisan penuh luka Natalie membuat hati Jonathan semakin teriris. Seakan kepedihan yang putrinya rasakan turut ia rasakan. Bahkan, berkali-kali lipat rasa sakitnya.

Tanpa berkata apa pun, pria paruh baya itu mendekap erat putrinya. Berharap pelukan yang ia berikan bisa meringankan sedikit kepedihan mendalam yang putri bungsunya rasakan saat ini.

Beberapa menit berselang, pemakaman sudah hampir selesai dilakukan. Batu nisan berukuran cukup besar pun sudah terpasang tepat di atasnya.

Terukir nama 'Febrianne Emily Maheswari Hamilton' di batu nisan tersebut. Nama dari seorang istri sekaligus Ibu tercinta bagi Jonathan dan kedua buah hati; Nathan dan Natalie.

Semua kenangan suka dan duka yang pernah terukir bersama mendiang istrinya, kini datang silih berganti memenuhi kepalanya.

Tiap memori yang berputar di kepalanya sukses menorehkan luka baru dalam dirinya. Teramat pilu dan menyayat hati. Menyadari bahwa pendamping hidupnya kini telah hilang dan tak akan pernah kembali. 

Jadi, yang bisa dia lakukan adalah mengikhlaskan kepergiannya. 

Namun, di satu sisi, Jonathan merasa seperti ada sesuatu yang hilang. Rasanya begitu hampa.

Ya, Jonathan sadar bila kepergian Emily membuat sebagian jiwanya ikut pergi. Membentuk lubang besar yang tak dapat diperbaiki lagi.

Ya, separuh nyawanya telah pergi. Untuk selamanya.

Mulai hari ini hingga seterusnya, Jonathan harus melanjutkan hidupnya seorang diri.

Tanpa seorang Emily. Tanpa belahan jiwanya.

Yang berarti; tidak akan ada lagi yang mengucapkan selamat pagi dan selamat malam padanya.

Tidak akan ada lagi yang mengomelinya bila bekerja terlalu keras.

Tidak akan ada lagi yang menunggu  kepulangannya di rumah dan bertanya tentang kegiatannya.

Tidak akan ada lagi gelak tawa serta keceriaan di hari-hari mendatang.

Tidak akan ada lagi tempat baginya bertukar ide-ide baru; entah yang terdengar konyol bahkan mustahil untuk dilakukan.

Tidak akan ada lagi tempat bagi dirinya untuk meluapkan semua emosi terpendamnya.

Tidak akan ada lagi pelukan hangat di kala dirinya dirundung masalah berat.

Tidak akan ada lagi baginya bahu untuk bersandar.

Tidak akan ada lagi sosok istri yang amat dia cintai dan juga mencintai dia dengan segenap hatinya.

Tidak akan ada lagi kebahagiaan seperti istrinya. 

Sosok wanita bernama Febrianne Emily Maheswari Hamilton baginya hanya ada satu di dunia ini. Dan tidak akan pernah tergantikan oleh siapa pun.

Wanita terspesial bagi seorang Jonathan Hamilton. Untuk selamanya.

Memandangi batu nisan Emily, Jonathan kembali terisak. "Emily ... kenapa kamu pergi begitu cepat ...? Kamu ... sudah lelah ya mendengar keluh kesahku? Jadi, kamu harus pergi secepat ini ...?" Kemudian menghembuskan napas beratnya. "Maafkan aku ... karena aku selalu menyusahkanmu, Emily. Beristirahatlah dalam damai," lirih Jonathan sembari mengusap batu nisan mendiang istrinya.

.

.

.

Tak terasa sudah dua minggu berlalu sejak kepergian Emily. 

Sudah selama itu pula Jonathan menjalani hari-harinya kembali sebagai seorang ayah bagi Nathan dan Natalie, sekaligus pemimpin perusahaannya, J&E Group.

Tanpa kehadiran sang istri tercintanya lagi di sisinya.

Saat Jonathan sedang menandatangani beberapa berkas penting, iris biru langitnya bergerak ke sebuah foto bingkai putih yang terpasang di sisi meja kerjanya. Sorot matanya kembali menyiratkan kesedihan. 

"...Emily."

Tampak sebulir air mata mengalir membasahi pipinya usai memandangi wajah mendiang istrinya yang sedang tersenyum cerah berbalut gaun putih, dalam foto pertama mereka sebagai sepasang suami istri.

Ya, Jonathan masih berusaha untuk menerima semuanya.  Berusaha untuk tetap tegar. Berusaha untuk menerima kenyataan bila Emily sudah tidak ada lagi bersamanya.

Pria paruh baya itu terus berupaya untuk mencari kesibukan. Mungkin saja dengan begitu, dirinya tidak akan terlarut dalam kesedihan terus-menerus.

Kesedihan yang terus menggerogoti jiwanya.

Namun, itu terlalu sulit bagi Jonathan untuk mengikhlaskan kepergian Emily.

Kenyataannya saat ini, dirinya begitu hancur. Tak lagi bersemangat menjalani aktivitasnya seperti dulu. Tidak ada lagi senyum bahagia di wajahnya. Semuanya tampak begitu gelap. 

.

.

Tok tok tok!

Sebuah ketuk pintu kembali menyadarkan Jonathan pada kenyataan. Pria paruh baya itu langsung memperbaiki posisi duduknya dan memasang ekspresi senetral mungkin. 

Saat pintu terbuka, tampak seorang pria muda berparas rupawan yang tak lain merupakan sekretarisnya.

"Maaf Pak, ada seseorang yang ingin bertemu dengan Anda."

"Baik, biarkan dia masuk," balas Jonathan.

Selang beberapa saat kemudian, masuk seorang yang tak asing, dengan senyum formal terukir di wajahnya.

"Selamat siang, Tuan Hamilton."

"...Tuan Alfred ...?"

To be Continued...

Related chapters

  • Memories of Jonathan & Emily   CHAPTER 7: KETERPURUKAN JONATHAN

    "Selamat siang Tuan Hamilton," sapa Alfred sambil tersenyum tipis. Jonathan sedikit menaikan alisnya ketika melihat sosok produser muda tersebut memasuki ruang kerjanya. Pria paruh baya itu pun berdeham, kemudian membalas sapaannya dengan lugas, "Selamat siang. Ada perlu apa Anda kemari? Kalau Anda ingin membahas perihal wawancara lagi, maaf saya tidak punya waktu banyak." Sambil berkata demikian, tangannya sibuk merapikan berkas yang telah dia tandatangani. "Umm, sebelumnya saya minta maaf karena datang tanpa pemberitahuan. Tapi, Anda tak perlu khawatir. Kedatangan saya kemari bukan untuk itu," balas Alfred sembari menautkan kedua tangannya, bermaksud menutupi kegugupan yang dia rasakan. "Lalu?" Menghela napas sejenak, produser muda tersebut kembali berujar, "Begini, saya datang untuk menyampaikan turut berduka cita pada Anda secara pribadi, Tuan Hamilton. Saya minta maaf, karena baru bisa menyampaikannya sekarang." Usai itu keheningan melanda, karena tak ada balasan apa pun dar

    Last Updated : 2021-04-11
  • Memories of Jonathan & Emily   CHAPTER 8: TITIK BALIK

    "Bagaimana keadaan ayah saya?" ujar Nathan setelah dokter selesai memeriksa keadaan Jonathan.Sang dokter pun menghela napas sejenak lalu memasang ekspresi senetral mungkin. "Hmm, begini, sepertinya ayah Anda mengalami stres berlebih. Selain itu, tekanan darahnya juga cukup rendah karena tubuhnya kurang menerima asupan nutrisi seimbang. Tapi, kalian tidak perlu khawatir. Selebihnya Ayah Anda baik-baik saja , karena yang beliau butuhkan hanya istirahat yang cukup dan pola makan yang teratur."Nathan langsung menghela napas lega dan berterima kasih pada sang dokter. Usai itu, ia meminta ijin pada dokter tersebut untuk menemui ayahnya di dalam ruang rawat.Sesaat setelah Nathan masuk ke ruang rawat, matanya langsung tertuju pada Jonathan yang terbaring lemah di kasur berbalut selimut putih tipis. Seketika itu juga, terlintas memori mendiang ibunya yang juga terbaring di atas tempat tidur hingga ajal menjemputnya. Kini memori itu berhasil menimbulkan prasangka buruk dalam benaknya tentang

    Last Updated : 2021-04-12
  • Memories of Jonathan & Emily   CHAPTER 9: MELANGKAH MAJU

    "Kenapa kita harus menemuinya?" ujar Nathan sembari mengernyitkan alisnya. Hening. Usai mengusap lembut foto mendiang ibunya, Natalie pun kembali meletakannya di atas meja kerjanya. Wanita bersurai pirang itu kembali menghela napas untuk yang kesekian kalinya. "Karena itu yang bisa kita lakukan untuk Ayah. Kamu lihat sendiri 'kan bagaimana hancurnya Ayah usai kepergian Ibu?" Setelahnya, Natalie mengambil buku diari tersebut lalu membukanya ke halaman pertama. "Baca ini," sambungnya sambil menyodorkan halaman paling belakang buku diari tersebut pada Nathan. Nathan pun langsung membuang pandangannya ke arah lain. Pria itu menolak untuk membacanya, bukan karena tak ingin menangis, melainkan karena baginya tidak sopan membaca sesuatu yang bersifat privasi. Terlebih privasi ibunya. "Kenapa?" Kini giliran Natalie yang mengernyitkan alisnya. "Kamu tahu 'kan kalau aku tidak suka membaca hal yang bersifat privasi. Apalagi privasi Ibu!" tegas Nathan. Perkataannya membuat Natalie memutar

    Last Updated : 2021-04-14
  • Memories of Jonathan & Emily   CHAPTER 10: KEJUTAN UNTUK JONATHAN

    "Boleh aku menciummu?" Suara Nathan yang masuk ke indera pendengarannya, entah kenapa terdengar bagai candu bagi Klara. Tanpa ragu, wanita itu pun langsung memejamkan matanya, seolah memberi ijin. Seperti sedang dimabuk cinta, ia membiarkan pria bersurai coklat itu mengulum bibirnya selama beberapa saat, merasakan lembut dan hangatnya benda lunak yang melesat masuk ke dalam rongga mulutnya. Perasaan rindu yang teramat dalam juga gelora hasrat yang bergemuruh dalam dada, membuat mereka berdua hampir melakukannya ke sesi yang lebih intens. Namun, Nathan memilih untuk menyudahinya, karena sadar bila mereka hampir melewati batas. "Maaf." Hanya itu yang terlontar dari mulutnya. Tanpa berkata apa-apa lagi, Nathan langsung kembali pada posisi awalnya. Hingga keheningan kembali tercipta di antara mereka. Klara paham betul arti kata 'maaf' yang baru saja keluar dari mulut Nathan. Alhasil, tanpa basa-basi, wanita itu langsung beranjak keluar dari dalam mobil. Meski dalam hati kecilnya, ia s

    Last Updated : 2021-04-16
  • Memories of Jonathan & Emily   CHAPTER 11: AWAL YANG BARU

    "Maaf, Pak. Tapi, naskah untuk proyek A Dreamer bahkan belum sempat saya revisi," balas Klara senetral mungkin. "Hmm, benar juga ...," ujar Alfred sembari berpikir sejenak. "Aah, untuk naskah itu saya akan meminta Olivia menyelesaikannya. Jadi, kamu tidak perlu khawatir." Klara langsung mengernyitkan alisnya, bingung. Ia tak habis pikir dengan tindakan bosnya yang suka semena-mena itu. Mudah memindahtangankan tanggung jawab begitu saja. "Tapi, Pak. Anda sudah mempercayakan naskah itu pada saya sejak awal. Jadi, saya tidak mungkin menyerahkannya pada Olivia. Lagipula Anda sudah memberinya beberapa pekerjaan lain, kan?" tegas Klara masih mengernyitkan alisnya. Selama Klara dan Alfred berdebat, Nathan dan Natalie memilih untuk diam memperhatikan mereka dengan seksama. Tak bisa Nathan mungkiri, bila sisi tegas Klara menjadi salah satu daya pikat yang wanita itu miliki. Serta salah satu sisi yang membuatnya jatuh cinta pada wanita itu. "Kalau begitu kita bisa menunda naskah tersebut

    Last Updated : 2021-04-19
  • Memories of Jonathan & Emily   CHAPTER 12: TITIK BALIK

    Di saat jam makan siang tiba, Nathan tampak bingung ketika ayahnya tak kunjung keluar dari dalam ruang kerjanya. Alhasil, ia pun berinisiatif menghampiri Jonathan untuk mengajaknya makan siang bersama. Namun, saat Nathan baru saja akan mengetuk pintunya. Dari belakang, Alex buru-buru menghentikannya dengan menariknya menjauh dari ruang kerja Jonathan. "Ehh? Kenapa?" tanya Nathan seraya mengernyitkan dahinya, bingung. Alex langsung mengacungkan jari telunjuknya. Sebagai isyarat untuk tetap diam. Namun, matanya sesekali melirik ke ruang kerja Jonathan, untuk mengamati sekilas kegiatan bosnya itu yang terlihat dari kaca jendela ruangannya. Setelah dirasa cukup aman, Alex pun langsung melepas tangan Nathan. Sesaat setelah dirinya menghela napas panjang, Alex berbisik, "Maaf, sebenarnya ini semua salahku." Terlihat jelas di wajahnya raut rasa bersalah. Tak mengerti maksud dari perkataan teman baiknya itu, Nathan pun semakin mengerutkan dahinya. "Kenapa minta maaf segala sih??" ucapny

    Last Updated : 2021-04-28
  • Memories of Jonathan & Emily   CHAPTER 13: MELANGKAH MAJU

    "Hah?" "Iya. Ayah ingin bertemu dengannya besok. Apa ada masalah dengan itu?" ucap Jonathan tanpa ragu. Terpancar kilau mata yang tak biasa dari iris biru langitnya. Perkataan yang keluar dari mulut sang Ayah tentu membuat Nathan sedikit bingung. Kenapa tiba-tiba beliau ingin pergi menemuinya? "Kenapa Ayah ingin menemuinya? Apa ... apa Ayah bermaksud mendukung pembuatan film tentang Ibu?" tanya Nathan terus terang. "Iya," sahut Jonathan sembari menganggukan kepalanya dengan mantap. Tak lupa senyum tipis yang terhias di wajah rupawannya. Jawaban sang Ayah membuat pria bernetra magenta itu juga ikut menyunggingkan senyum lebar penuh bahagia. "Baiklah. Aku akan mengabari beliau malam ini juga." Perasaan bahagia yang menyeruak dalam dadanya membuat Nathan semakin tak sabar menanti hari esok. . . Keesokannya Jonathan sengaja berangkat dengan menumpang di mobil putra sulungnya. Dengan tujuan agar mereka bisa langsung ke tempat sang produser bersama-sama. "Jadi, kita bisa menemu

    Last Updated : 2021-05-04
  • Memories of Jonathan & Emily   CHAPTER 14: BEFORE ENGAGEMENT

    [Jakarta, 21 April 1991 'Diariku, Seminggu lagi hari pertunanganku akan tiba. Aku sudah tidak sabar menantikan hari pertunanganku dengan pria pujaan hatiku. Semoga saja berjalan dengan lancar ya. Aku tidak tahu, tapi entah kenapa aku begitu menantikannya. Apa dia menantikannya juga? Kuharap iya. Sampai di sini dulu ya, diariku.'] . . . "Ayuuuuuuuu!!!" seru Emily dari kejauhan. Sosok pemilik nama tersebut menoleh dengan ekspresi penuh tanda tanya. "Emily? Kok kamu ke kampus? Bukannya hari ini kamu tidak ada kelas, ya?" Bukannya menjawab, gadis surai coklat itu malah memasang senyuman termanis, manisnya mengalahkan madu. Senyuman yang menghiasi wajahnya semakin membuat Ayu bertanya-tanya. "Emily ... kamu baik-baik saja?" Ayu kini mulai bergidik ngeri karena sikap aneh dari teman baiknya itu. Emily mengangguk penuh semangat. Kini wajahnya semakin

    Last Updated : 2021-05-07

Latest chapter

  • Memories of Jonathan & Emily   CHAPTER 15: EMILY'S WORRIES

    "Baik, Bi. Aku sudah siap," ucap Emily seraya bangkit dari kursi riasnya. "Mari saya antar, Nona," tawar sang Pelayan sembari mengulurkan tangannya. . . . Ketika Emily keluar dari dalam ruang rias dengan kebaya modern berwarna beige dan kain batik berwarna coklat pekat. Beberapa tamu undangan langsung menoleh ke arahnya dan berdecak kagum. Gadis itu sesekali melirik ke arah para tamu undangan yang saat ini sedang menatapnya dengan tatapan penuh rasa takjub. Bukan hanya itu, kini dirinya juga melirik ke arah Jonathan—calon tunangannya yang saat ini juga sedang menatapnya dengan tatapan yang sulit ia terjemahkan. Kagumkah? Sukakah? Atau hanya sekedar terpana? Setibanya di hadapan calon ibu mertuanya. Ia disambut dengan sebuah pelukan hangat. "Hello, Dear. Nice to meet you. You're so beautiful," pujinya dengan senyum sumringah. "Aa ... thank you so much, Ma'am," ba

  • Memories of Jonathan & Emily   CHAPTER 14: BEFORE ENGAGEMENT

    [Jakarta, 21 April 1991 'Diariku, Seminggu lagi hari pertunanganku akan tiba. Aku sudah tidak sabar menantikan hari pertunanganku dengan pria pujaan hatiku. Semoga saja berjalan dengan lancar ya. Aku tidak tahu, tapi entah kenapa aku begitu menantikannya. Apa dia menantikannya juga? Kuharap iya. Sampai di sini dulu ya, diariku.'] . . . "Ayuuuuuuuu!!!" seru Emily dari kejauhan. Sosok pemilik nama tersebut menoleh dengan ekspresi penuh tanda tanya. "Emily? Kok kamu ke kampus? Bukannya hari ini kamu tidak ada kelas, ya?" Bukannya menjawab, gadis surai coklat itu malah memasang senyuman termanis, manisnya mengalahkan madu. Senyuman yang menghiasi wajahnya semakin membuat Ayu bertanya-tanya. "Emily ... kamu baik-baik saja?" Ayu kini mulai bergidik ngeri karena sikap aneh dari teman baiknya itu. Emily mengangguk penuh semangat. Kini wajahnya semakin

  • Memories of Jonathan & Emily   CHAPTER 13: MELANGKAH MAJU

    "Hah?" "Iya. Ayah ingin bertemu dengannya besok. Apa ada masalah dengan itu?" ucap Jonathan tanpa ragu. Terpancar kilau mata yang tak biasa dari iris biru langitnya. Perkataan yang keluar dari mulut sang Ayah tentu membuat Nathan sedikit bingung. Kenapa tiba-tiba beliau ingin pergi menemuinya? "Kenapa Ayah ingin menemuinya? Apa ... apa Ayah bermaksud mendukung pembuatan film tentang Ibu?" tanya Nathan terus terang. "Iya," sahut Jonathan sembari menganggukan kepalanya dengan mantap. Tak lupa senyum tipis yang terhias di wajah rupawannya. Jawaban sang Ayah membuat pria bernetra magenta itu juga ikut menyunggingkan senyum lebar penuh bahagia. "Baiklah. Aku akan mengabari beliau malam ini juga." Perasaan bahagia yang menyeruak dalam dadanya membuat Nathan semakin tak sabar menanti hari esok. . . Keesokannya Jonathan sengaja berangkat dengan menumpang di mobil putra sulungnya. Dengan tujuan agar mereka bisa langsung ke tempat sang produser bersama-sama. "Jadi, kita bisa menemu

  • Memories of Jonathan & Emily   CHAPTER 12: TITIK BALIK

    Di saat jam makan siang tiba, Nathan tampak bingung ketika ayahnya tak kunjung keluar dari dalam ruang kerjanya. Alhasil, ia pun berinisiatif menghampiri Jonathan untuk mengajaknya makan siang bersama. Namun, saat Nathan baru saja akan mengetuk pintunya. Dari belakang, Alex buru-buru menghentikannya dengan menariknya menjauh dari ruang kerja Jonathan. "Ehh? Kenapa?" tanya Nathan seraya mengernyitkan dahinya, bingung. Alex langsung mengacungkan jari telunjuknya. Sebagai isyarat untuk tetap diam. Namun, matanya sesekali melirik ke ruang kerja Jonathan, untuk mengamati sekilas kegiatan bosnya itu yang terlihat dari kaca jendela ruangannya. Setelah dirasa cukup aman, Alex pun langsung melepas tangan Nathan. Sesaat setelah dirinya menghela napas panjang, Alex berbisik, "Maaf, sebenarnya ini semua salahku." Terlihat jelas di wajahnya raut rasa bersalah. Tak mengerti maksud dari perkataan teman baiknya itu, Nathan pun semakin mengerutkan dahinya. "Kenapa minta maaf segala sih??" ucapny

  • Memories of Jonathan & Emily   CHAPTER 11: AWAL YANG BARU

    "Maaf, Pak. Tapi, naskah untuk proyek A Dreamer bahkan belum sempat saya revisi," balas Klara senetral mungkin. "Hmm, benar juga ...," ujar Alfred sembari berpikir sejenak. "Aah, untuk naskah itu saya akan meminta Olivia menyelesaikannya. Jadi, kamu tidak perlu khawatir." Klara langsung mengernyitkan alisnya, bingung. Ia tak habis pikir dengan tindakan bosnya yang suka semena-mena itu. Mudah memindahtangankan tanggung jawab begitu saja. "Tapi, Pak. Anda sudah mempercayakan naskah itu pada saya sejak awal. Jadi, saya tidak mungkin menyerahkannya pada Olivia. Lagipula Anda sudah memberinya beberapa pekerjaan lain, kan?" tegas Klara masih mengernyitkan alisnya. Selama Klara dan Alfred berdebat, Nathan dan Natalie memilih untuk diam memperhatikan mereka dengan seksama. Tak bisa Nathan mungkiri, bila sisi tegas Klara menjadi salah satu daya pikat yang wanita itu miliki. Serta salah satu sisi yang membuatnya jatuh cinta pada wanita itu. "Kalau begitu kita bisa menunda naskah tersebut

  • Memories of Jonathan & Emily   CHAPTER 10: KEJUTAN UNTUK JONATHAN

    "Boleh aku menciummu?" Suara Nathan yang masuk ke indera pendengarannya, entah kenapa terdengar bagai candu bagi Klara. Tanpa ragu, wanita itu pun langsung memejamkan matanya, seolah memberi ijin. Seperti sedang dimabuk cinta, ia membiarkan pria bersurai coklat itu mengulum bibirnya selama beberapa saat, merasakan lembut dan hangatnya benda lunak yang melesat masuk ke dalam rongga mulutnya. Perasaan rindu yang teramat dalam juga gelora hasrat yang bergemuruh dalam dada, membuat mereka berdua hampir melakukannya ke sesi yang lebih intens. Namun, Nathan memilih untuk menyudahinya, karena sadar bila mereka hampir melewati batas. "Maaf." Hanya itu yang terlontar dari mulutnya. Tanpa berkata apa-apa lagi, Nathan langsung kembali pada posisi awalnya. Hingga keheningan kembali tercipta di antara mereka. Klara paham betul arti kata 'maaf' yang baru saja keluar dari mulut Nathan. Alhasil, tanpa basa-basi, wanita itu langsung beranjak keluar dari dalam mobil. Meski dalam hati kecilnya, ia s

  • Memories of Jonathan & Emily   CHAPTER 9: MELANGKAH MAJU

    "Kenapa kita harus menemuinya?" ujar Nathan sembari mengernyitkan alisnya. Hening. Usai mengusap lembut foto mendiang ibunya, Natalie pun kembali meletakannya di atas meja kerjanya. Wanita bersurai pirang itu kembali menghela napas untuk yang kesekian kalinya. "Karena itu yang bisa kita lakukan untuk Ayah. Kamu lihat sendiri 'kan bagaimana hancurnya Ayah usai kepergian Ibu?" Setelahnya, Natalie mengambil buku diari tersebut lalu membukanya ke halaman pertama. "Baca ini," sambungnya sambil menyodorkan halaman paling belakang buku diari tersebut pada Nathan. Nathan pun langsung membuang pandangannya ke arah lain. Pria itu menolak untuk membacanya, bukan karena tak ingin menangis, melainkan karena baginya tidak sopan membaca sesuatu yang bersifat privasi. Terlebih privasi ibunya. "Kenapa?" Kini giliran Natalie yang mengernyitkan alisnya. "Kamu tahu 'kan kalau aku tidak suka membaca hal yang bersifat privasi. Apalagi privasi Ibu!" tegas Nathan. Perkataannya membuat Natalie memutar

  • Memories of Jonathan & Emily   CHAPTER 8: TITIK BALIK

    "Bagaimana keadaan ayah saya?" ujar Nathan setelah dokter selesai memeriksa keadaan Jonathan.Sang dokter pun menghela napas sejenak lalu memasang ekspresi senetral mungkin. "Hmm, begini, sepertinya ayah Anda mengalami stres berlebih. Selain itu, tekanan darahnya juga cukup rendah karena tubuhnya kurang menerima asupan nutrisi seimbang. Tapi, kalian tidak perlu khawatir. Selebihnya Ayah Anda baik-baik saja , karena yang beliau butuhkan hanya istirahat yang cukup dan pola makan yang teratur."Nathan langsung menghela napas lega dan berterima kasih pada sang dokter. Usai itu, ia meminta ijin pada dokter tersebut untuk menemui ayahnya di dalam ruang rawat.Sesaat setelah Nathan masuk ke ruang rawat, matanya langsung tertuju pada Jonathan yang terbaring lemah di kasur berbalut selimut putih tipis. Seketika itu juga, terlintas memori mendiang ibunya yang juga terbaring di atas tempat tidur hingga ajal menjemputnya. Kini memori itu berhasil menimbulkan prasangka buruk dalam benaknya tentang

  • Memories of Jonathan & Emily   CHAPTER 7: KETERPURUKAN JONATHAN

    "Selamat siang Tuan Hamilton," sapa Alfred sambil tersenyum tipis. Jonathan sedikit menaikan alisnya ketika melihat sosok produser muda tersebut memasuki ruang kerjanya. Pria paruh baya itu pun berdeham, kemudian membalas sapaannya dengan lugas, "Selamat siang. Ada perlu apa Anda kemari? Kalau Anda ingin membahas perihal wawancara lagi, maaf saya tidak punya waktu banyak." Sambil berkata demikian, tangannya sibuk merapikan berkas yang telah dia tandatangani. "Umm, sebelumnya saya minta maaf karena datang tanpa pemberitahuan. Tapi, Anda tak perlu khawatir. Kedatangan saya kemari bukan untuk itu," balas Alfred sembari menautkan kedua tangannya, bermaksud menutupi kegugupan yang dia rasakan. "Lalu?" Menghela napas sejenak, produser muda tersebut kembali berujar, "Begini, saya datang untuk menyampaikan turut berduka cita pada Anda secara pribadi, Tuan Hamilton. Saya minta maaf, karena baru bisa menyampaikannya sekarang." Usai itu keheningan melanda, karena tak ada balasan apa pun dar

DMCA.com Protection Status