"Bagaimana keadaan ayah saya?" ujar Nathan setelah dokter selesai memeriksa keadaan Jonathan.
Sang dokter pun menghela napas sejenak lalu memasang ekspresi senetral mungkin. "Hmm, begini, sepertinya ayah Anda mengalami stres berlebih. Selain itu, tekanan darahnya juga cukup rendah karena tubuhnya kurang menerima asupan nutrisi seimbang. Tapi, kalian tidak perlu khawatir. Selebihnya Ayah Anda baik-baik saja , karena yang beliau butuhkan hanya istirahat yang cukup dan pola makan yang teratur."
Nathan langsung menghela napas lega dan berterima kasih pada sang dokter. Usai itu, ia meminta ijin pada dokter tersebut untuk menemui ayahnya di dalam ruang rawat.
Sesaat setelah Nathan masuk ke ruang rawat, matanya langsung tertuju pada Jonathan yang terbaring lemah di kasur berbalut selimut putih tipis. Seketika itu juga, terlintas memori mendiang ibunya yang juga terbaring di atas tempat tidur hingga ajal menjemputnya. Kini memori itu berhasil menimbulkan prasangka buruk dalam benaknya tentang sang Ayah yang juga akan pergi meninggalkannya dalam waktu dekat.
Sadar akan pikiran buruknya, Nathan langsung menggeleng cepat.
'Tidak! Berhenti memikirkan itu, Nathan!' batinnya diiringi perasaan takut yang mulai bergejolak dalam dada.
Nathan kembali melangkahkan kakinya secara perlahan, lalu duduk di kursi sebelah tempat tidur Jonathan. Menunggu dalam hening sampai sang Ayah membuka matanya kembali.
Sembari menunggu, Nathan menatap sekilas wajah pucat sang Ayah yang masih terpejam. Dari posisinya, dia baru menyadari bila kini wajah sang Ayah tampak begitu tirus dan lelah. Tidak lagi segar seperti biasanya.
Entah kenapa, rasa sakit kembali menusuk relung hatinya ketika mengetahui bila kepergian ibunya ternyata berdampak begitu besar pada ayahnya.
Saat ia usap lembut rambut Jonathan yang mulai memutih, terdengar suara pintu terbuka. Alhasil, Nathan pun sontak menoleh. Di depan ambang pintu tersebut berdiri Natalie dengan napas terengah-engah.
"Haah ... bagaimana keadaan ... huftt ... Ayaah?? Kali ini ... haahh ... apa yang terjadii pada Ayahh???" ucapnya dengan nada panik sembari berjalan menghampiri tempat tidur Jonathan.
Nathan menghela napasnya beberapa kali, berusaha menenangkan dirinya terlebih dahulu.
"Kata dokter, Ayah mengalami stres berlebih. Ditambah dua minggu terakhir ini nafsu makan Ayah menurun drastis. Jadi, yaah begitu ...." Nathan kembali menghela napasnya. Tersirat perasaan tak nyaman dalam benaknya.
Natalie pun duduk di kursi yang ada di sisi berlawanan. Wanita itu tidak mengeluarkan sepatah kata pun dan hanya memandangi wajah sang Ayah dalam hening.
Keheningan yang tercipta di dalam ruang rawat tersebut berhasil membuat suara hembusan napas Jonathan
kini dapat terdengar cukup jelas di telinga Nathan dan juga Natalie. Hingga beberapa saat berlalu, suara Natalie kembali memecah kesunyian."Tidak terasa ya, sudah dua minggu berlalu semenjak kepergian Ibu. Dan sudah dua kali pula Ayah sampai tak sadarkan diri seperti ini ...." Usai berkata demikian, Natalie mengangkat wajahnya menatap lekat Nathan.
"Sepertinya kepergian Ibu jadi pukulan terberat bagi Ayah," sambungnya dengan lirih. Seketika iris matanya bergetar menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya.
Nathan pun kembali menghela napasnya yang terasa berat itu tanpa berkata apa pun. Jauh di dalam lubuk hatinya, ia sadar bila kepergian ibunya yang begitu tiba-tiba itu cukup menorehkan luka mendalam baginya. Namun, ketika melihat kondisi Jonathan yang tampak seperti mayat hidup itu. Ia jadi tidak bisa membayangkan seberapa besar dan dalamnya luka yang dirasakan oleh ayahnya.
Mungkin rasa sakitnya berkali-kali lipat dari luka yang ia maupun Natalie rasakan.
Lalu, apa yang harus mereka berdua lakukan untuk membangkitkan kembali semangat hidup Jonathan?
.
.
.
Pagi menjelang, cahaya matahari menembus masuk dari sela-sela tirai jendela. Secercah cahaya menyilaukan yang berhasil membangunkan Jonathan dari istirahat panjangnya.
"Pagi Ayah," ucap Nathan sesaat setelah sang Ayah siuman.
Jonathan menolehkan kepalanya menatap Nathan samar-samar. Matanya kembali terpejam sesaat karena harus beradaptasi dengan silaunya cahaya yang ada di ruangan tersebut.
Selang beberapa detik, pria paruh baya itu berusaha bangkit dari atas kasur dan memposisikan dirinya untuk duduk. Saat melihat Jonathan kesulitan untuk bangun, Nathan pun langsung beranjak dari kursinya dan ikut membantu sang Ayah untuk duduk.
"Apa Ayah sudah merasa lebih baik sekarang?" tanya Nathan dengan tatapan sendu.
Jonathan hanya mengangguk lemah. "...Kenapa Ayah bisa ada di sini?" ujarnya kemudian dengan suara pelan.
Menghela napas sejenak, Nathan membalas, "Ayah pingsan lagi di toko keramik Ibu."
"...Ohh ...." Hanya itu yang terucap oleh Jonathan. Seketika iris biru langitnya menjadi suram, tidak lagi bersinar seperti dulu.
Kebisuannya membuat suasana menjadi canggung, terutama bagi Nathan yang kini juga memilih untuk diam. Pria bersurai coklat itu mengamati perubahan raut wajah serta sorot mata sang Ayah.
Hampa. Itulah yang terpancar dari iris matanya.
.
.
.
Tepat di siang harinya, dokter yang menangani Jonathan menyatakan bila dirinya sudah boleh pulang. Sepanjang perjalanan, tidak ada satu pun kata yang terucap dari mulut pria paruh baya itu. Jonathan hanya memandangi suasana sekitar lewat kaca jendela mobilnya dengan tatapan kosong.
Nathan pun memilih untuk fokus mengemudi, karena dia ingin memberi ayahnya sedikit ruang. Setibanya di rumah, Natalie dan para pelayan menyambut kepulangan mereka dengan senyum tersungging di wajahnya. Sesaat setelah Jonathan masuk ke dalam kamarnya untuk bersiap-siap, Natalie langsung menarik Nathan ke dalam kamar tidurnya untuk berbicara secara empat mata.
"Ada apa sih, Natalie?" ujar Nathan bingung.
Sebelum menjawabnya, wanita bersurai pirang tersebut mengeluarkan sebuah buku diari berwarna merah muda dari dalam laci meja kerjanya. "Ini," ucapnya sembari menyodorkan diari tersebut pada Nathan.
"Ini buku diari kamu?" tanya Nathan lagi, sambil menatap buku diari itu dengan tatapan bingung bercampur rasa penasaran.
"Bukan. Itu buku diari Ibu," balas Natalie singkat.
"Lalu?"
Usai menghela napas berat, Natalie kembali berujar, "Sebulan sebelum kepergiannya, Ibu kasih buku diari itu ke aku. Ibu berpesan padaku untuk menyampaikan diari itu ke Ayah dan menyuruhnya membaca sampai habis."
"Jadi ... bisa tolong kamu berikan itu pada Ayah sekarang?" lanjutnya dengan senyum penuh harap.
Selama beberapa saat, tidak ada tanggapan dari Nathan. Pria itu hanya mengerutkan dahinya sejenak ketika melihat Natalie tersenyum penuh harap padanya.
"Terus, kenapa kamu malah minta tolong sama aku?" tanya Nathan menyelidik.
Natalie langsung membuang muka ke sembarang arah lalu memainkan ujung rambut pirangnya yang tergerai ke bagian depan.
"Yaah, karena aku pikir kamu lebih dekat dengan Ayah dibanding aku," ucapnya dengan bibir mengerucut.
Mendengar jawabannya, Nathan hanya menghela napas pelan lalu mengangguk. "Hmm, baiklah. Aku akan kasih ini ke Ayah sekarang," ujarnya lalu beranjak keluar dari kamar Natalie.
.
.
Tok tok tok—cklek
"Ayah?"
Sesaat Nathan membuka pintunya, ia melihat Jonathan duduk meringkuk di bawah tepi kasur sembari memeluk dan mencium pakaian tidur yang sering digunakan Emily. Terlebih dari posisinya saat ini, Nathan bisa melihat dengan jelas wajah Jonathan yang basah dengan air mata.
Alhasil, ia langsung mengurungkan niatnya karena ingin memberi ayahnya waktu untuk menyendiri selama beberapa saat. Sejenak ia amati sampul buku diari sang Ibu. Ketika melihat tulisan 'Dear Mr. J' dirinya jadi tergelitik untuk membuka isinya dan membacanya. Namun, saat jemarinya baru saja membuka halaman pertama. Namun, prinsip hidupnya dengan cepat mengambil alih pikirannya.
'Tidak boleh. Hanya Ayah yang boleh membacanya,' batin Nathan, membatalkan niatnya dan memilih untuk mengembalikan buku diari tersebut pada Natalie.
Sesaat pria itu membuka pintu kamar Natalie, ia melihat adiknya itu sedang memandangi sebingkai foto mendiang ibunya dengan tatapan sendu.
"Maaf Natalie. Sepertinya lain kali saja kita berikan buku diari ini," ucap Nathan sedikit berhati-hati. Ia langsung bergegas keluar dari kamar Natalie karena ingin memberinya ruang untuk berduka.
Meski tak dimungkiri bila dirinya juga belum benar-benar mengikhlaskan kepergian ibunya. Tapi, ia tidak bisa meluapkan emosinya, karena merasa semuanya akan percuma. Yang ia harus lakukan adalah mengikhlaskan kepergiannya. Dengan begitu mendiang ibunya akan tenang di sana. Itulah yang ia pikirkan.
Sampai saat ia baru saja membuka pintu kamarnya, pernyataan yang terlontar dari mulut Natalie berhasil menghentikan langkahnya.
"Nathan, kurasa kita harus menemui Produser itu."
To be Continued...
"Kenapa kita harus menemuinya?" ujar Nathan sembari mengernyitkan alisnya. Hening. Usai mengusap lembut foto mendiang ibunya, Natalie pun kembali meletakannya di atas meja kerjanya. Wanita bersurai pirang itu kembali menghela napas untuk yang kesekian kalinya. "Karena itu yang bisa kita lakukan untuk Ayah. Kamu lihat sendiri 'kan bagaimana hancurnya Ayah usai kepergian Ibu?" Setelahnya, Natalie mengambil buku diari tersebut lalu membukanya ke halaman pertama. "Baca ini," sambungnya sambil menyodorkan halaman paling belakang buku diari tersebut pada Nathan. Nathan pun langsung membuang pandangannya ke arah lain. Pria itu menolak untuk membacanya, bukan karena tak ingin menangis, melainkan karena baginya tidak sopan membaca sesuatu yang bersifat privasi. Terlebih privasi ibunya. "Kenapa?" Kini giliran Natalie yang mengernyitkan alisnya. "Kamu tahu 'kan kalau aku tidak suka membaca hal yang bersifat privasi. Apalagi privasi Ibu!" tegas Nathan. Perkataannya membuat Natalie memutar
"Boleh aku menciummu?" Suara Nathan yang masuk ke indera pendengarannya, entah kenapa terdengar bagai candu bagi Klara. Tanpa ragu, wanita itu pun langsung memejamkan matanya, seolah memberi ijin. Seperti sedang dimabuk cinta, ia membiarkan pria bersurai coklat itu mengulum bibirnya selama beberapa saat, merasakan lembut dan hangatnya benda lunak yang melesat masuk ke dalam rongga mulutnya. Perasaan rindu yang teramat dalam juga gelora hasrat yang bergemuruh dalam dada, membuat mereka berdua hampir melakukannya ke sesi yang lebih intens. Namun, Nathan memilih untuk menyudahinya, karena sadar bila mereka hampir melewati batas. "Maaf." Hanya itu yang terlontar dari mulutnya. Tanpa berkata apa-apa lagi, Nathan langsung kembali pada posisi awalnya. Hingga keheningan kembali tercipta di antara mereka. Klara paham betul arti kata 'maaf' yang baru saja keluar dari mulut Nathan. Alhasil, tanpa basa-basi, wanita itu langsung beranjak keluar dari dalam mobil. Meski dalam hati kecilnya, ia s
"Maaf, Pak. Tapi, naskah untuk proyek A Dreamer bahkan belum sempat saya revisi," balas Klara senetral mungkin. "Hmm, benar juga ...," ujar Alfred sembari berpikir sejenak. "Aah, untuk naskah itu saya akan meminta Olivia menyelesaikannya. Jadi, kamu tidak perlu khawatir." Klara langsung mengernyitkan alisnya, bingung. Ia tak habis pikir dengan tindakan bosnya yang suka semena-mena itu. Mudah memindahtangankan tanggung jawab begitu saja. "Tapi, Pak. Anda sudah mempercayakan naskah itu pada saya sejak awal. Jadi, saya tidak mungkin menyerahkannya pada Olivia. Lagipula Anda sudah memberinya beberapa pekerjaan lain, kan?" tegas Klara masih mengernyitkan alisnya. Selama Klara dan Alfred berdebat, Nathan dan Natalie memilih untuk diam memperhatikan mereka dengan seksama. Tak bisa Nathan mungkiri, bila sisi tegas Klara menjadi salah satu daya pikat yang wanita itu miliki. Serta salah satu sisi yang membuatnya jatuh cinta pada wanita itu. "Kalau begitu kita bisa menunda naskah tersebut
Di saat jam makan siang tiba, Nathan tampak bingung ketika ayahnya tak kunjung keluar dari dalam ruang kerjanya. Alhasil, ia pun berinisiatif menghampiri Jonathan untuk mengajaknya makan siang bersama. Namun, saat Nathan baru saja akan mengetuk pintunya. Dari belakang, Alex buru-buru menghentikannya dengan menariknya menjauh dari ruang kerja Jonathan. "Ehh? Kenapa?" tanya Nathan seraya mengernyitkan dahinya, bingung. Alex langsung mengacungkan jari telunjuknya. Sebagai isyarat untuk tetap diam. Namun, matanya sesekali melirik ke ruang kerja Jonathan, untuk mengamati sekilas kegiatan bosnya itu yang terlihat dari kaca jendela ruangannya. Setelah dirasa cukup aman, Alex pun langsung melepas tangan Nathan. Sesaat setelah dirinya menghela napas panjang, Alex berbisik, "Maaf, sebenarnya ini semua salahku." Terlihat jelas di wajahnya raut rasa bersalah. Tak mengerti maksud dari perkataan teman baiknya itu, Nathan pun semakin mengerutkan dahinya. "Kenapa minta maaf segala sih??" ucapny
"Hah?" "Iya. Ayah ingin bertemu dengannya besok. Apa ada masalah dengan itu?" ucap Jonathan tanpa ragu. Terpancar kilau mata yang tak biasa dari iris biru langitnya. Perkataan yang keluar dari mulut sang Ayah tentu membuat Nathan sedikit bingung. Kenapa tiba-tiba beliau ingin pergi menemuinya? "Kenapa Ayah ingin menemuinya? Apa ... apa Ayah bermaksud mendukung pembuatan film tentang Ibu?" tanya Nathan terus terang. "Iya," sahut Jonathan sembari menganggukan kepalanya dengan mantap. Tak lupa senyum tipis yang terhias di wajah rupawannya. Jawaban sang Ayah membuat pria bernetra magenta itu juga ikut menyunggingkan senyum lebar penuh bahagia. "Baiklah. Aku akan mengabari beliau malam ini juga." Perasaan bahagia yang menyeruak dalam dadanya membuat Nathan semakin tak sabar menanti hari esok. . . Keesokannya Jonathan sengaja berangkat dengan menumpang di mobil putra sulungnya. Dengan tujuan agar mereka bisa langsung ke tempat sang produser bersama-sama. "Jadi, kita bisa menemu
[Jakarta, 21 April 1991 'Diariku, Seminggu lagi hari pertunanganku akan tiba. Aku sudah tidak sabar menantikan hari pertunanganku dengan pria pujaan hatiku. Semoga saja berjalan dengan lancar ya. Aku tidak tahu, tapi entah kenapa aku begitu menantikannya. Apa dia menantikannya juga? Kuharap iya. Sampai di sini dulu ya, diariku.'] . . . "Ayuuuuuuuu!!!" seru Emily dari kejauhan. Sosok pemilik nama tersebut menoleh dengan ekspresi penuh tanda tanya. "Emily? Kok kamu ke kampus? Bukannya hari ini kamu tidak ada kelas, ya?" Bukannya menjawab, gadis surai coklat itu malah memasang senyuman termanis, manisnya mengalahkan madu. Senyuman yang menghiasi wajahnya semakin membuat Ayu bertanya-tanya. "Emily ... kamu baik-baik saja?" Ayu kini mulai bergidik ngeri karena sikap aneh dari teman baiknya itu. Emily mengangguk penuh semangat. Kini wajahnya semakin
"Baik, Bi. Aku sudah siap," ucap Emily seraya bangkit dari kursi riasnya. "Mari saya antar, Nona," tawar sang Pelayan sembari mengulurkan tangannya. . . . Ketika Emily keluar dari dalam ruang rias dengan kebaya modern berwarna beige dan kain batik berwarna coklat pekat. Beberapa tamu undangan langsung menoleh ke arahnya dan berdecak kagum. Gadis itu sesekali melirik ke arah para tamu undangan yang saat ini sedang menatapnya dengan tatapan penuh rasa takjub. Bukan hanya itu, kini dirinya juga melirik ke arah Jonathan—calon tunangannya yang saat ini juga sedang menatapnya dengan tatapan yang sulit ia terjemahkan. Kagumkah? Sukakah? Atau hanya sekedar terpana? Setibanya di hadapan calon ibu mertuanya. Ia disambut dengan sebuah pelukan hangat. "Hello, Dear. Nice to meet you. You're so beautiful," pujinya dengan senyum sumringah. "Aa ... thank you so much, Ma'am," ba
Memori. Satu kata yang tak akan pernah lekang oleh waktu. Seperti kata pepatah; setiap ada pertemuan, pasti ada perpisahan. Yang tersisa hanyalah kenangan. Sebuah kenangan indah yang pernah terukir bersama dengan orang tersayang. Kenangan yang akan selalu tersimpan dalam sanubari, bahkan sampai ajal menjemput. Kenangan yang menjadi penopang seseorang, hingga mampu berdiri tegar menjalani hidup seperti sedia kala. Namun, tak dimungkiri, bila kenangan juga mampu menjadi pedang bermata dua yang menusuk tepat di titik sanubari. Kenangan yang membuat luka hati tak kunjung pulih. Kenangan yang terus menyisakan penyesalan terdalam. Seperti kisah ini, di mana sang tokoh utama pria yang bernama Jonathan Hamilton harus merasakan kepedihan mendalam usai kepergian sang istri tercinta untuk selama-lamanya. Kenangan akan sang istri yang menghembuskan napas terakhirnya di atas tempat tidur pasien meninggalkan rasa penyesalan yang selalu menghantuinya. Andai waktu bisa diputar kembali, ia ber
"Baik, Bi. Aku sudah siap," ucap Emily seraya bangkit dari kursi riasnya. "Mari saya antar, Nona," tawar sang Pelayan sembari mengulurkan tangannya. . . . Ketika Emily keluar dari dalam ruang rias dengan kebaya modern berwarna beige dan kain batik berwarna coklat pekat. Beberapa tamu undangan langsung menoleh ke arahnya dan berdecak kagum. Gadis itu sesekali melirik ke arah para tamu undangan yang saat ini sedang menatapnya dengan tatapan penuh rasa takjub. Bukan hanya itu, kini dirinya juga melirik ke arah Jonathan—calon tunangannya yang saat ini juga sedang menatapnya dengan tatapan yang sulit ia terjemahkan. Kagumkah? Sukakah? Atau hanya sekedar terpana? Setibanya di hadapan calon ibu mertuanya. Ia disambut dengan sebuah pelukan hangat. "Hello, Dear. Nice to meet you. You're so beautiful," pujinya dengan senyum sumringah. "Aa ... thank you so much, Ma'am," ba
[Jakarta, 21 April 1991 'Diariku, Seminggu lagi hari pertunanganku akan tiba. Aku sudah tidak sabar menantikan hari pertunanganku dengan pria pujaan hatiku. Semoga saja berjalan dengan lancar ya. Aku tidak tahu, tapi entah kenapa aku begitu menantikannya. Apa dia menantikannya juga? Kuharap iya. Sampai di sini dulu ya, diariku.'] . . . "Ayuuuuuuuu!!!" seru Emily dari kejauhan. Sosok pemilik nama tersebut menoleh dengan ekspresi penuh tanda tanya. "Emily? Kok kamu ke kampus? Bukannya hari ini kamu tidak ada kelas, ya?" Bukannya menjawab, gadis surai coklat itu malah memasang senyuman termanis, manisnya mengalahkan madu. Senyuman yang menghiasi wajahnya semakin membuat Ayu bertanya-tanya. "Emily ... kamu baik-baik saja?" Ayu kini mulai bergidik ngeri karena sikap aneh dari teman baiknya itu. Emily mengangguk penuh semangat. Kini wajahnya semakin
"Hah?" "Iya. Ayah ingin bertemu dengannya besok. Apa ada masalah dengan itu?" ucap Jonathan tanpa ragu. Terpancar kilau mata yang tak biasa dari iris biru langitnya. Perkataan yang keluar dari mulut sang Ayah tentu membuat Nathan sedikit bingung. Kenapa tiba-tiba beliau ingin pergi menemuinya? "Kenapa Ayah ingin menemuinya? Apa ... apa Ayah bermaksud mendukung pembuatan film tentang Ibu?" tanya Nathan terus terang. "Iya," sahut Jonathan sembari menganggukan kepalanya dengan mantap. Tak lupa senyum tipis yang terhias di wajah rupawannya. Jawaban sang Ayah membuat pria bernetra magenta itu juga ikut menyunggingkan senyum lebar penuh bahagia. "Baiklah. Aku akan mengabari beliau malam ini juga." Perasaan bahagia yang menyeruak dalam dadanya membuat Nathan semakin tak sabar menanti hari esok. . . Keesokannya Jonathan sengaja berangkat dengan menumpang di mobil putra sulungnya. Dengan tujuan agar mereka bisa langsung ke tempat sang produser bersama-sama. "Jadi, kita bisa menemu
Di saat jam makan siang tiba, Nathan tampak bingung ketika ayahnya tak kunjung keluar dari dalam ruang kerjanya. Alhasil, ia pun berinisiatif menghampiri Jonathan untuk mengajaknya makan siang bersama. Namun, saat Nathan baru saja akan mengetuk pintunya. Dari belakang, Alex buru-buru menghentikannya dengan menariknya menjauh dari ruang kerja Jonathan. "Ehh? Kenapa?" tanya Nathan seraya mengernyitkan dahinya, bingung. Alex langsung mengacungkan jari telunjuknya. Sebagai isyarat untuk tetap diam. Namun, matanya sesekali melirik ke ruang kerja Jonathan, untuk mengamati sekilas kegiatan bosnya itu yang terlihat dari kaca jendela ruangannya. Setelah dirasa cukup aman, Alex pun langsung melepas tangan Nathan. Sesaat setelah dirinya menghela napas panjang, Alex berbisik, "Maaf, sebenarnya ini semua salahku." Terlihat jelas di wajahnya raut rasa bersalah. Tak mengerti maksud dari perkataan teman baiknya itu, Nathan pun semakin mengerutkan dahinya. "Kenapa minta maaf segala sih??" ucapny
"Maaf, Pak. Tapi, naskah untuk proyek A Dreamer bahkan belum sempat saya revisi," balas Klara senetral mungkin. "Hmm, benar juga ...," ujar Alfred sembari berpikir sejenak. "Aah, untuk naskah itu saya akan meminta Olivia menyelesaikannya. Jadi, kamu tidak perlu khawatir." Klara langsung mengernyitkan alisnya, bingung. Ia tak habis pikir dengan tindakan bosnya yang suka semena-mena itu. Mudah memindahtangankan tanggung jawab begitu saja. "Tapi, Pak. Anda sudah mempercayakan naskah itu pada saya sejak awal. Jadi, saya tidak mungkin menyerahkannya pada Olivia. Lagipula Anda sudah memberinya beberapa pekerjaan lain, kan?" tegas Klara masih mengernyitkan alisnya. Selama Klara dan Alfred berdebat, Nathan dan Natalie memilih untuk diam memperhatikan mereka dengan seksama. Tak bisa Nathan mungkiri, bila sisi tegas Klara menjadi salah satu daya pikat yang wanita itu miliki. Serta salah satu sisi yang membuatnya jatuh cinta pada wanita itu. "Kalau begitu kita bisa menunda naskah tersebut
"Boleh aku menciummu?" Suara Nathan yang masuk ke indera pendengarannya, entah kenapa terdengar bagai candu bagi Klara. Tanpa ragu, wanita itu pun langsung memejamkan matanya, seolah memberi ijin. Seperti sedang dimabuk cinta, ia membiarkan pria bersurai coklat itu mengulum bibirnya selama beberapa saat, merasakan lembut dan hangatnya benda lunak yang melesat masuk ke dalam rongga mulutnya. Perasaan rindu yang teramat dalam juga gelora hasrat yang bergemuruh dalam dada, membuat mereka berdua hampir melakukannya ke sesi yang lebih intens. Namun, Nathan memilih untuk menyudahinya, karena sadar bila mereka hampir melewati batas. "Maaf." Hanya itu yang terlontar dari mulutnya. Tanpa berkata apa-apa lagi, Nathan langsung kembali pada posisi awalnya. Hingga keheningan kembali tercipta di antara mereka. Klara paham betul arti kata 'maaf' yang baru saja keluar dari mulut Nathan. Alhasil, tanpa basa-basi, wanita itu langsung beranjak keluar dari dalam mobil. Meski dalam hati kecilnya, ia s
"Kenapa kita harus menemuinya?" ujar Nathan sembari mengernyitkan alisnya. Hening. Usai mengusap lembut foto mendiang ibunya, Natalie pun kembali meletakannya di atas meja kerjanya. Wanita bersurai pirang itu kembali menghela napas untuk yang kesekian kalinya. "Karena itu yang bisa kita lakukan untuk Ayah. Kamu lihat sendiri 'kan bagaimana hancurnya Ayah usai kepergian Ibu?" Setelahnya, Natalie mengambil buku diari tersebut lalu membukanya ke halaman pertama. "Baca ini," sambungnya sambil menyodorkan halaman paling belakang buku diari tersebut pada Nathan. Nathan pun langsung membuang pandangannya ke arah lain. Pria itu menolak untuk membacanya, bukan karena tak ingin menangis, melainkan karena baginya tidak sopan membaca sesuatu yang bersifat privasi. Terlebih privasi ibunya. "Kenapa?" Kini giliran Natalie yang mengernyitkan alisnya. "Kamu tahu 'kan kalau aku tidak suka membaca hal yang bersifat privasi. Apalagi privasi Ibu!" tegas Nathan. Perkataannya membuat Natalie memutar
"Bagaimana keadaan ayah saya?" ujar Nathan setelah dokter selesai memeriksa keadaan Jonathan.Sang dokter pun menghela napas sejenak lalu memasang ekspresi senetral mungkin. "Hmm, begini, sepertinya ayah Anda mengalami stres berlebih. Selain itu, tekanan darahnya juga cukup rendah karena tubuhnya kurang menerima asupan nutrisi seimbang. Tapi, kalian tidak perlu khawatir. Selebihnya Ayah Anda baik-baik saja , karena yang beliau butuhkan hanya istirahat yang cukup dan pola makan yang teratur."Nathan langsung menghela napas lega dan berterima kasih pada sang dokter. Usai itu, ia meminta ijin pada dokter tersebut untuk menemui ayahnya di dalam ruang rawat.Sesaat setelah Nathan masuk ke ruang rawat, matanya langsung tertuju pada Jonathan yang terbaring lemah di kasur berbalut selimut putih tipis. Seketika itu juga, terlintas memori mendiang ibunya yang juga terbaring di atas tempat tidur hingga ajal menjemputnya. Kini memori itu berhasil menimbulkan prasangka buruk dalam benaknya tentang
"Selamat siang Tuan Hamilton," sapa Alfred sambil tersenyum tipis. Jonathan sedikit menaikan alisnya ketika melihat sosok produser muda tersebut memasuki ruang kerjanya. Pria paruh baya itu pun berdeham, kemudian membalas sapaannya dengan lugas, "Selamat siang. Ada perlu apa Anda kemari? Kalau Anda ingin membahas perihal wawancara lagi, maaf saya tidak punya waktu banyak." Sambil berkata demikian, tangannya sibuk merapikan berkas yang telah dia tandatangani. "Umm, sebelumnya saya minta maaf karena datang tanpa pemberitahuan. Tapi, Anda tak perlu khawatir. Kedatangan saya kemari bukan untuk itu," balas Alfred sembari menautkan kedua tangannya, bermaksud menutupi kegugupan yang dia rasakan. "Lalu?" Menghela napas sejenak, produser muda tersebut kembali berujar, "Begini, saya datang untuk menyampaikan turut berduka cita pada Anda secara pribadi, Tuan Hamilton. Saya minta maaf, karena baru bisa menyampaikannya sekarang." Usai itu keheningan melanda, karena tak ada balasan apa pun dar