Share

CHAPTER 4: PUPUS

Author: BabyElle
last update Last Updated: 2021-04-10 10:00:00

“Apa kamu bisa mempertemukan saya dengan putranya?”

“Eh? Anda masih mau mencoba membujuknya?” Kini Klara menatapnya dengan tatapan tak percaya.

Produser itu mengangguk dengan antusias. Terlihat dari binar matanya yang memancarkan semangat pantang menyerah.

Berbanding terbalik dengan Klara yang kini terlihat ragu, entah apa yang membuatnya bisa seperti itu.

Wanita bersurai biru navy itu berdeham pelan lalu menggeleng. “Maaf, Mr Wales ... saya tidak bisa melakukannya,” tolaknya kemudian.

“Kenapa?”

“Karena … saya sudah lama tidak menghubunginya,” lanjut wanita itu dengan nada senetral mungkin.

“Hmm … baiklah. Maaf mengganggu waktumu kalau begitu. Selamat malam.”

Usai berkata demikian, produser muda itu langsung beranjak dari kursi dan keluar dari ruangan tersebut.

Tak lama setelah kepergiannya, wanita bersurai biru navy tersebut langsung menghela napas berat sembari menundukan kepalanya sejenak.

Sembari memejamkan matanya, wanita itu bergumam, “Maaf Pak, saya terpaksa berbohong.”

Hubungan apa yang terjalin di antara Klara dan Nathan—putra sulung Mr. Jonathan Hamilton?

.

.

.

Jam berdentang menunjukan pukul sembilan malam, bersamaan dengan Jonathan yang baru saja tiba di kediamannya usai menjenguk Emily di rumah sakit.

“Bagaimana keadaan Ibu?” tanya Natalie saat melihat ayahnya berjalan masuk ke ruang tengah.

Terdiam sejenak, pria paruh baya itu kemudian memasang senyuman di wajahnya. Sebuah senyum yang bahkan tak terpancar di sorot matanya. Hanya senyum yang dipaksakan.

Sebenarnya Natalie tahu kalau saat ini ayahnya merasa takut dan gelisah. Gadis itu sangat paham akan kebiasaan ayahnya, namun memilih untuk tidak berkomentar apapun.

Ayahnya tidak pernah menunjukan emosinya pada siapapun, termasuk padanya, yang merupakan darah dagingnya sendiri. Bukan karena tidak sayang, melainkan karena beliau memang sudah terbiasa memendam semua masalahnya seorang diri.

Dari mana Natalie tahu hal itu? Dia mengetahuinya dari Emily—sang Ibu. Beliaulah yang memberitahukan semua sisi yang belum pernah Natalie lihat dari ayahnya. Sejak saat itulah, gadis itu mulai berpikir kalau hanya ibunyalah yang mampu menjadi tempat ayahnya bersandar, berkeluh kesah—menunjukan semua emosinya.

Ya, karena hal itu, Natalie jadi tahu seberapa berharga dan spesialnya sosok ibunya bagi sang Ayah. Dan … seberapa besar cinta beliau pada Emily, tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

“Ibu baik-baik saja, jangan khawatir,” jawab Jonathan usai terdiam selama beberapa saat.

Menghembuskan napas lega, Natalie membalas, “Syukurlah kalau begitu.”

Namun, dia tidak tahu kalau ayahnya berbohong soal keadaan ibunya yang saat ini cukup memprihatinkan.

.

.

*FLASHBACK: ON*

Beberapa jam sebelumnya.

Seperti biasa, Jonathan selalu menjenguk Emily di rumah sakit untuk mengetahui keadaannya. Namun, saat tiba di depan pintu ruang rawatnya, terdapat beberapa perawat dan seorang dokter sedang memeriksa keadaan istrinya.

Terdengar beberapa percakapan di antara dokter dan para perawat di ruangan tersebut. Mereka mengatakan bila kondisi istrinya sudah cukup mengkhawatirkan dan harus segera diberi tindakan lebih lanjut.

“Apa yang terjadi!? Ada apa dengan istri saya??” seru Jonathan dengan nada panik.

“Maaf, Pak. Tampaknya istri Anda harus segera melakukan transplantasi ginjal,” tegas salah satu dokter, kemudian memberikan instruksi kepada para perawat untuk melakukan penanganan sementara.

“Apa kondisi istri saya sudah begitu parah, Dok?” tanya Jonathan dengan suara bergetar.

Mencoba menenangkannya, sang dokter menjawab, “Begini Pak, istri Anda sudah mengalami beberapa gejala komplikasi. Oleh karenanya, akan lebih baik bila segera melakukan transplantasi ginjal.”

Pernyataan sang dokter terkait keadaan sang istri membuat perasaan takut, cemas dan khawatir kembali meliputi Jonathan.

“Apa … apa transplantasi bisa dilakukan secepatnya, Dok?” tanya Jonathan kemudian, sembari mencoba menekan rasa cemasnya sekeras mungkin.

“Terkait hal itu, kami ada pendonor yang bersedia mendonorkan ginjalnya. Namun, kami harus mengambil sample darah istri Anda terlebih dahulu untuk kami uji antibodinya, apakah sesuai atau tidak dengan ginjal sang pendonor.”

Mendengar hal tersebut, Jonathan langsung memohon dengan sangat pada sang dokter untuk melakukan apapun yang memang harus dilakukan demi kesembuhan sang istri.

“Tapi, ada beberapa hal yang harus Anda dan istri Anda ketahui perihal efek samping dari transplantasi ginjal,” lanjut sang dokter sedikit berhati-hati.

“Efek samping?”

Sang dokter langsung menganggukan kepalanya, kemudian mengajak pria paruh baya itu untuk berbicara lebih detail di dalam ruangannya terkait hal tersebut.

*FLASHBACK: OFF*

.

.

Keesokannya, pada saat jam makan siang. Seperti biasa, Jonathan mengajak putra sulungnya untuk makan siang bersama, namun kali ini di kafe dekat kantornya.

Sembari menyantap makanannya, Jonathan membuka pembicaraan terkait masalah transplantasi ginjal untuk Emily.

“Transplantasi ginjal?” ujar Nathan dengan mata terbelakak.

Jonathan mengangguk lalu melanjutkan, “Iya, tapi dokter yang menangani Ibu bilang; transplantasi tetap tidak menjamin Ibu akan sembuh total.”

“Kenapa begitu?” tanya Nathan dengan alis bertautan.

Jonathan meletakan sendoknya di atas piring, lalu berkata, “Dokter bilang akan ada kemungkinan terjadinya penolakan. Meski ginjalnya cocok dengan Ibu, tapi tidak menjamin akan berfungsi dengan baik dalam tubuh Ibu.”

Usai berkata demikian, dia menghela napas berat.

Kerutan di dahi Nathan semakin dalam usai mendengar pernyataan ayahnya.

“Tapi, kondisi Ibu tidak akan separah ini bila melakukan transplantasi, bukan?” ujarnya kemudian.

Usai menghela napas untuk yang kesekian kalinya, Jonathan membalas, “Iya, itu memang benar. Tapi, Ibu harus tetap menjalani pengobatan rutin untuk mencegah terjadinya penolakan tersebut.”

Seketika timbul secercah harapan dalam diri Nathan perihal kesembuhan Ibu tercintanya.

“Itu artinya masih ada harapan bagi Ibu untuk pulih ‘kan?” tegas Nathan dengan mata berbinar penuh harap.

Membuang pandangannya ke sembarang arah, Jonathan kembali memikirkan perkataan sang dokter. Kedua tangannya terkepal kuat guna menahan gelisah serta rasa khawatirnya yang sudah menjadi-jadi.

“Dokter juga bilang pada Ayah kalau Ibu bisa saja mengalami komplikasi lebih parah di masa mendatang, bila tidak rutin memeriksa keadaannya dan mengikuti anjuran dokter,” ujarnya kemudian dengan suara lirih menyiratkan sebuah kesedihan.

“Itu sama saja dengan mengatakan kalau Ibu harus bergantung pada obat-obatan seumur hidupnya demi bisa bertahan hidup,” lirih pria paruh baya itu lagi.

Pernyataan Jonathan membuat putra sulungnya tertegun sesaat. Kedua maniknya bergetar memancarkan perasaan kaget, khawatir, cemas dan takut secara bersamaan.

Ibunya harus mengkonsumsi obat-obatan seumur hidupnya?

Lalu apa yang sebaiknya mereka lakukan untuk membuat Emily—istri dan ibu mereka pulih dari penyakitnya?

Tidak ada cara lain selain melakukan transplantasi, bukan?

“Umm … ta—tapi setidaknya masih ada kemungkinan Ibu akan bertahan hidup ‘kan? Asalkan Ibu rutin menjalani anjuran dari dokter, kondisinya akan baik-baik saja ‘kan?”

Benar. Hanya itu yang membuat ibunya dapat bertahan hidup dalam waktu yang lama.

Kini, Jonathan tidak berkomentar apa-apa. Namun, tak dimungkiri bila memang masih ada kemungkinan bagi Emily untuk sembuh, meski hanya satu persen.

“Kamu benar, Nathan.”

Ya, ia sadar kalau dirinya belum boleh menyerah sekarang, karena apa yang dikatakan oleh putra sulungnya memang benar.

Masih ada harapan.

.

.

.

Keesokan hari saat jam istirahat, Jonathan datang menemui sang dokter yang bertugas merawat Emily untuk membicarakan hal terkait rencana transplantasi ginjal.

Setelah berbincang sejenak, akhirnya mereka berdua sepakat untuk memberitahu Emily akan rencana tersebut.

Setibanya di ruang rawat sang istri, Jonathan beserta sang dokter melihat wanita paruh baya itu sedang beristirahat usai menjalani dialisis.

Pria bersurai pirang itu menatap sejenak wajah sang istri yang tampak pucat, tidak lagi berseri seperti sedia kala.

Hatinya seperti tersayat tiap kali melihat sosok istrinya yang tampak begitu rapuh. Andai waktu bisa dia putar kembali, mungkin dia akan langsung membawa istrinya ke rumah sakit saat pertama kali merasakan gejala.

Dia merasa tak berguna karena telah gagal memperhatikan kesehatan istrinya. Dia telah gagal menjalankan perannya sebagai suami yang baik bagi istrinya.

“Emily?”

Iris mata Jonathan langsung membulat dengan sempurna, memancarkan perasaan takut, gelisah, panik secara bersamaan ketika melihat perubahan pola detak jantung istrinya yang terlihat pada patient monitor di sebelah kirinya.

Sang dokter beserta beberapa perawat langsung memeriksa keadaan Emily yang tiba-tiba saja menunjukan gejala komplikasi.

Terlihat dari patient monitor yang menunjukan perubahan tempo detak jantungnya yang perlahan kian melambat.

Deg deg!

.

.

.

“Emily!!”

To be Continued…

Related chapters

  • Memories of Jonathan & Emily   CHAPTER 5: PERTEMUAN NATHAN DAN KLARA

    Di hari Jonathan menemui dokter, tepatnya pada sore hari di mana jam kantor telah usai. Nathan mendapati sebuah pesan masuk dari Klara, isi pesannya membuat pria bersurai coklat itu menaikan kedua alisnya. [Nathan, apa sore ini kamu sibuk? Kalau tidak, ada hal penting yang ingin aku bicarakan denganmu. Temui aku di kafe dekat kantormu ya.] Usai membacanya, Nathan hanya menghela napas panjang. Entah kenapa, seketika jantungnya berdebar keras tak seperti biasanya. Sesaat sebelum keluar dari dalam ruang kerjanya, pria itu melihat jam yang ada di pergelangan tangannya dan mendapati kalau sudah hampir waktunya. Tidak mau membuat sang wanita menunggu, dia langsung bergegas ke kafe yang dimaksud dengan mengendarai mobilnya. . . . Sepuluh menit kemudian, pria itu sampai di kafe tersebut lalu memarkirkan mobilnya. Sesaat setelah keluar dari dalam mobilnya, Nathan tidak langsung berjalan ke dalam kafe. Ia terdiam sejenak lalu menarik napasnya dalam-dalam guna mengurangi rasa gugupnya. K

    Last Updated : 2021-04-10
  • Memories of Jonathan & Emily   CHAPTER 6: KEPERGIAN EMILY

    [Nathan, Ibu sudah pergi untuk selama-lamanya.] . . . Suara rintik hujan serta isak tangis dari para sahabat dan kerabat dekat yang berduka turut mengiringi kepergian Emily ke tempat peristirahatan terakhirnya. Kepergiannya yang mendadak telah menjadi pukulan berat serta kedukaan mendalam bagi orang-orang terdekatnya. Terutama Jonathan dan kedua anaknya. Nathan dan Natalie. Tak henti-hentinya Jonathan menangis, bahkan sejak mendiang istrinya meregang nyawa di atas tempat tidur rumah sakit. Entah sudah berapa banyak tetes air mata yang jatuh membasahi wajah pucat mendiang istrinya. Entah sudah berapa kali dia berteriak memanggil nama sang istri agar tidak pergi meninggalkannya. Memohon pada Sang Kuasa agar bersedia mengembalikan istri tercintanya ke dalam dekapannya lagi seperti sedia kala. Berharap kalau semua ini hanyalah bunga tidur. Yang mana bila ia membuka mata, sosok istrinya masih berada di sampingn

    Last Updated : 2021-04-10
  • Memories of Jonathan & Emily   CHAPTER 7: KETERPURUKAN JONATHAN

    "Selamat siang Tuan Hamilton," sapa Alfred sambil tersenyum tipis. Jonathan sedikit menaikan alisnya ketika melihat sosok produser muda tersebut memasuki ruang kerjanya. Pria paruh baya itu pun berdeham, kemudian membalas sapaannya dengan lugas, "Selamat siang. Ada perlu apa Anda kemari? Kalau Anda ingin membahas perihal wawancara lagi, maaf saya tidak punya waktu banyak." Sambil berkata demikian, tangannya sibuk merapikan berkas yang telah dia tandatangani. "Umm, sebelumnya saya minta maaf karena datang tanpa pemberitahuan. Tapi, Anda tak perlu khawatir. Kedatangan saya kemari bukan untuk itu," balas Alfred sembari menautkan kedua tangannya, bermaksud menutupi kegugupan yang dia rasakan. "Lalu?" Menghela napas sejenak, produser muda tersebut kembali berujar, "Begini, saya datang untuk menyampaikan turut berduka cita pada Anda secara pribadi, Tuan Hamilton. Saya minta maaf, karena baru bisa menyampaikannya sekarang." Usai itu keheningan melanda, karena tak ada balasan apa pun dar

    Last Updated : 2021-04-11
  • Memories of Jonathan & Emily   CHAPTER 8: TITIK BALIK

    "Bagaimana keadaan ayah saya?" ujar Nathan setelah dokter selesai memeriksa keadaan Jonathan.Sang dokter pun menghela napas sejenak lalu memasang ekspresi senetral mungkin. "Hmm, begini, sepertinya ayah Anda mengalami stres berlebih. Selain itu, tekanan darahnya juga cukup rendah karena tubuhnya kurang menerima asupan nutrisi seimbang. Tapi, kalian tidak perlu khawatir. Selebihnya Ayah Anda baik-baik saja , karena yang beliau butuhkan hanya istirahat yang cukup dan pola makan yang teratur."Nathan langsung menghela napas lega dan berterima kasih pada sang dokter. Usai itu, ia meminta ijin pada dokter tersebut untuk menemui ayahnya di dalam ruang rawat.Sesaat setelah Nathan masuk ke ruang rawat, matanya langsung tertuju pada Jonathan yang terbaring lemah di kasur berbalut selimut putih tipis. Seketika itu juga, terlintas memori mendiang ibunya yang juga terbaring di atas tempat tidur hingga ajal menjemputnya. Kini memori itu berhasil menimbulkan prasangka buruk dalam benaknya tentang

    Last Updated : 2021-04-12
  • Memories of Jonathan & Emily   CHAPTER 9: MELANGKAH MAJU

    "Kenapa kita harus menemuinya?" ujar Nathan sembari mengernyitkan alisnya. Hening. Usai mengusap lembut foto mendiang ibunya, Natalie pun kembali meletakannya di atas meja kerjanya. Wanita bersurai pirang itu kembali menghela napas untuk yang kesekian kalinya. "Karena itu yang bisa kita lakukan untuk Ayah. Kamu lihat sendiri 'kan bagaimana hancurnya Ayah usai kepergian Ibu?" Setelahnya, Natalie mengambil buku diari tersebut lalu membukanya ke halaman pertama. "Baca ini," sambungnya sambil menyodorkan halaman paling belakang buku diari tersebut pada Nathan. Nathan pun langsung membuang pandangannya ke arah lain. Pria itu menolak untuk membacanya, bukan karena tak ingin menangis, melainkan karena baginya tidak sopan membaca sesuatu yang bersifat privasi. Terlebih privasi ibunya. "Kenapa?" Kini giliran Natalie yang mengernyitkan alisnya. "Kamu tahu 'kan kalau aku tidak suka membaca hal yang bersifat privasi. Apalagi privasi Ibu!" tegas Nathan. Perkataannya membuat Natalie memutar

    Last Updated : 2021-04-14
  • Memories of Jonathan & Emily   CHAPTER 10: KEJUTAN UNTUK JONATHAN

    "Boleh aku menciummu?" Suara Nathan yang masuk ke indera pendengarannya, entah kenapa terdengar bagai candu bagi Klara. Tanpa ragu, wanita itu pun langsung memejamkan matanya, seolah memberi ijin. Seperti sedang dimabuk cinta, ia membiarkan pria bersurai coklat itu mengulum bibirnya selama beberapa saat, merasakan lembut dan hangatnya benda lunak yang melesat masuk ke dalam rongga mulutnya. Perasaan rindu yang teramat dalam juga gelora hasrat yang bergemuruh dalam dada, membuat mereka berdua hampir melakukannya ke sesi yang lebih intens. Namun, Nathan memilih untuk menyudahinya, karena sadar bila mereka hampir melewati batas. "Maaf." Hanya itu yang terlontar dari mulutnya. Tanpa berkata apa-apa lagi, Nathan langsung kembali pada posisi awalnya. Hingga keheningan kembali tercipta di antara mereka. Klara paham betul arti kata 'maaf' yang baru saja keluar dari mulut Nathan. Alhasil, tanpa basa-basi, wanita itu langsung beranjak keluar dari dalam mobil. Meski dalam hati kecilnya, ia s

    Last Updated : 2021-04-16
  • Memories of Jonathan & Emily   CHAPTER 11: AWAL YANG BARU

    "Maaf, Pak. Tapi, naskah untuk proyek A Dreamer bahkan belum sempat saya revisi," balas Klara senetral mungkin. "Hmm, benar juga ...," ujar Alfred sembari berpikir sejenak. "Aah, untuk naskah itu saya akan meminta Olivia menyelesaikannya. Jadi, kamu tidak perlu khawatir." Klara langsung mengernyitkan alisnya, bingung. Ia tak habis pikir dengan tindakan bosnya yang suka semena-mena itu. Mudah memindahtangankan tanggung jawab begitu saja. "Tapi, Pak. Anda sudah mempercayakan naskah itu pada saya sejak awal. Jadi, saya tidak mungkin menyerahkannya pada Olivia. Lagipula Anda sudah memberinya beberapa pekerjaan lain, kan?" tegas Klara masih mengernyitkan alisnya. Selama Klara dan Alfred berdebat, Nathan dan Natalie memilih untuk diam memperhatikan mereka dengan seksama. Tak bisa Nathan mungkiri, bila sisi tegas Klara menjadi salah satu daya pikat yang wanita itu miliki. Serta salah satu sisi yang membuatnya jatuh cinta pada wanita itu. "Kalau begitu kita bisa menunda naskah tersebut

    Last Updated : 2021-04-19
  • Memories of Jonathan & Emily   CHAPTER 12: TITIK BALIK

    Di saat jam makan siang tiba, Nathan tampak bingung ketika ayahnya tak kunjung keluar dari dalam ruang kerjanya. Alhasil, ia pun berinisiatif menghampiri Jonathan untuk mengajaknya makan siang bersama. Namun, saat Nathan baru saja akan mengetuk pintunya. Dari belakang, Alex buru-buru menghentikannya dengan menariknya menjauh dari ruang kerja Jonathan. "Ehh? Kenapa?" tanya Nathan seraya mengernyitkan dahinya, bingung. Alex langsung mengacungkan jari telunjuknya. Sebagai isyarat untuk tetap diam. Namun, matanya sesekali melirik ke ruang kerja Jonathan, untuk mengamati sekilas kegiatan bosnya itu yang terlihat dari kaca jendela ruangannya. Setelah dirasa cukup aman, Alex pun langsung melepas tangan Nathan. Sesaat setelah dirinya menghela napas panjang, Alex berbisik, "Maaf, sebenarnya ini semua salahku." Terlihat jelas di wajahnya raut rasa bersalah. Tak mengerti maksud dari perkataan teman baiknya itu, Nathan pun semakin mengerutkan dahinya. "Kenapa minta maaf segala sih??" ucapny

    Last Updated : 2021-04-28

Latest chapter

  • Memories of Jonathan & Emily   CHAPTER 15: EMILY'S WORRIES

    "Baik, Bi. Aku sudah siap," ucap Emily seraya bangkit dari kursi riasnya. "Mari saya antar, Nona," tawar sang Pelayan sembari mengulurkan tangannya. . . . Ketika Emily keluar dari dalam ruang rias dengan kebaya modern berwarna beige dan kain batik berwarna coklat pekat. Beberapa tamu undangan langsung menoleh ke arahnya dan berdecak kagum. Gadis itu sesekali melirik ke arah para tamu undangan yang saat ini sedang menatapnya dengan tatapan penuh rasa takjub. Bukan hanya itu, kini dirinya juga melirik ke arah Jonathan—calon tunangannya yang saat ini juga sedang menatapnya dengan tatapan yang sulit ia terjemahkan. Kagumkah? Sukakah? Atau hanya sekedar terpana? Setibanya di hadapan calon ibu mertuanya. Ia disambut dengan sebuah pelukan hangat. "Hello, Dear. Nice to meet you. You're so beautiful," pujinya dengan senyum sumringah. "Aa ... thank you so much, Ma'am," ba

  • Memories of Jonathan & Emily   CHAPTER 14: BEFORE ENGAGEMENT

    [Jakarta, 21 April 1991 'Diariku, Seminggu lagi hari pertunanganku akan tiba. Aku sudah tidak sabar menantikan hari pertunanganku dengan pria pujaan hatiku. Semoga saja berjalan dengan lancar ya. Aku tidak tahu, tapi entah kenapa aku begitu menantikannya. Apa dia menantikannya juga? Kuharap iya. Sampai di sini dulu ya, diariku.'] . . . "Ayuuuuuuuu!!!" seru Emily dari kejauhan. Sosok pemilik nama tersebut menoleh dengan ekspresi penuh tanda tanya. "Emily? Kok kamu ke kampus? Bukannya hari ini kamu tidak ada kelas, ya?" Bukannya menjawab, gadis surai coklat itu malah memasang senyuman termanis, manisnya mengalahkan madu. Senyuman yang menghiasi wajahnya semakin membuat Ayu bertanya-tanya. "Emily ... kamu baik-baik saja?" Ayu kini mulai bergidik ngeri karena sikap aneh dari teman baiknya itu. Emily mengangguk penuh semangat. Kini wajahnya semakin

  • Memories of Jonathan & Emily   CHAPTER 13: MELANGKAH MAJU

    "Hah?" "Iya. Ayah ingin bertemu dengannya besok. Apa ada masalah dengan itu?" ucap Jonathan tanpa ragu. Terpancar kilau mata yang tak biasa dari iris biru langitnya. Perkataan yang keluar dari mulut sang Ayah tentu membuat Nathan sedikit bingung. Kenapa tiba-tiba beliau ingin pergi menemuinya? "Kenapa Ayah ingin menemuinya? Apa ... apa Ayah bermaksud mendukung pembuatan film tentang Ibu?" tanya Nathan terus terang. "Iya," sahut Jonathan sembari menganggukan kepalanya dengan mantap. Tak lupa senyum tipis yang terhias di wajah rupawannya. Jawaban sang Ayah membuat pria bernetra magenta itu juga ikut menyunggingkan senyum lebar penuh bahagia. "Baiklah. Aku akan mengabari beliau malam ini juga." Perasaan bahagia yang menyeruak dalam dadanya membuat Nathan semakin tak sabar menanti hari esok. . . Keesokannya Jonathan sengaja berangkat dengan menumpang di mobil putra sulungnya. Dengan tujuan agar mereka bisa langsung ke tempat sang produser bersama-sama. "Jadi, kita bisa menemu

  • Memories of Jonathan & Emily   CHAPTER 12: TITIK BALIK

    Di saat jam makan siang tiba, Nathan tampak bingung ketika ayahnya tak kunjung keluar dari dalam ruang kerjanya. Alhasil, ia pun berinisiatif menghampiri Jonathan untuk mengajaknya makan siang bersama. Namun, saat Nathan baru saja akan mengetuk pintunya. Dari belakang, Alex buru-buru menghentikannya dengan menariknya menjauh dari ruang kerja Jonathan. "Ehh? Kenapa?" tanya Nathan seraya mengernyitkan dahinya, bingung. Alex langsung mengacungkan jari telunjuknya. Sebagai isyarat untuk tetap diam. Namun, matanya sesekali melirik ke ruang kerja Jonathan, untuk mengamati sekilas kegiatan bosnya itu yang terlihat dari kaca jendela ruangannya. Setelah dirasa cukup aman, Alex pun langsung melepas tangan Nathan. Sesaat setelah dirinya menghela napas panjang, Alex berbisik, "Maaf, sebenarnya ini semua salahku." Terlihat jelas di wajahnya raut rasa bersalah. Tak mengerti maksud dari perkataan teman baiknya itu, Nathan pun semakin mengerutkan dahinya. "Kenapa minta maaf segala sih??" ucapny

  • Memories of Jonathan & Emily   CHAPTER 11: AWAL YANG BARU

    "Maaf, Pak. Tapi, naskah untuk proyek A Dreamer bahkan belum sempat saya revisi," balas Klara senetral mungkin. "Hmm, benar juga ...," ujar Alfred sembari berpikir sejenak. "Aah, untuk naskah itu saya akan meminta Olivia menyelesaikannya. Jadi, kamu tidak perlu khawatir." Klara langsung mengernyitkan alisnya, bingung. Ia tak habis pikir dengan tindakan bosnya yang suka semena-mena itu. Mudah memindahtangankan tanggung jawab begitu saja. "Tapi, Pak. Anda sudah mempercayakan naskah itu pada saya sejak awal. Jadi, saya tidak mungkin menyerahkannya pada Olivia. Lagipula Anda sudah memberinya beberapa pekerjaan lain, kan?" tegas Klara masih mengernyitkan alisnya. Selama Klara dan Alfred berdebat, Nathan dan Natalie memilih untuk diam memperhatikan mereka dengan seksama. Tak bisa Nathan mungkiri, bila sisi tegas Klara menjadi salah satu daya pikat yang wanita itu miliki. Serta salah satu sisi yang membuatnya jatuh cinta pada wanita itu. "Kalau begitu kita bisa menunda naskah tersebut

  • Memories of Jonathan & Emily   CHAPTER 10: KEJUTAN UNTUK JONATHAN

    "Boleh aku menciummu?" Suara Nathan yang masuk ke indera pendengarannya, entah kenapa terdengar bagai candu bagi Klara. Tanpa ragu, wanita itu pun langsung memejamkan matanya, seolah memberi ijin. Seperti sedang dimabuk cinta, ia membiarkan pria bersurai coklat itu mengulum bibirnya selama beberapa saat, merasakan lembut dan hangatnya benda lunak yang melesat masuk ke dalam rongga mulutnya. Perasaan rindu yang teramat dalam juga gelora hasrat yang bergemuruh dalam dada, membuat mereka berdua hampir melakukannya ke sesi yang lebih intens. Namun, Nathan memilih untuk menyudahinya, karena sadar bila mereka hampir melewati batas. "Maaf." Hanya itu yang terlontar dari mulutnya. Tanpa berkata apa-apa lagi, Nathan langsung kembali pada posisi awalnya. Hingga keheningan kembali tercipta di antara mereka. Klara paham betul arti kata 'maaf' yang baru saja keluar dari mulut Nathan. Alhasil, tanpa basa-basi, wanita itu langsung beranjak keluar dari dalam mobil. Meski dalam hati kecilnya, ia s

  • Memories of Jonathan & Emily   CHAPTER 9: MELANGKAH MAJU

    "Kenapa kita harus menemuinya?" ujar Nathan sembari mengernyitkan alisnya. Hening. Usai mengusap lembut foto mendiang ibunya, Natalie pun kembali meletakannya di atas meja kerjanya. Wanita bersurai pirang itu kembali menghela napas untuk yang kesekian kalinya. "Karena itu yang bisa kita lakukan untuk Ayah. Kamu lihat sendiri 'kan bagaimana hancurnya Ayah usai kepergian Ibu?" Setelahnya, Natalie mengambil buku diari tersebut lalu membukanya ke halaman pertama. "Baca ini," sambungnya sambil menyodorkan halaman paling belakang buku diari tersebut pada Nathan. Nathan pun langsung membuang pandangannya ke arah lain. Pria itu menolak untuk membacanya, bukan karena tak ingin menangis, melainkan karena baginya tidak sopan membaca sesuatu yang bersifat privasi. Terlebih privasi ibunya. "Kenapa?" Kini giliran Natalie yang mengernyitkan alisnya. "Kamu tahu 'kan kalau aku tidak suka membaca hal yang bersifat privasi. Apalagi privasi Ibu!" tegas Nathan. Perkataannya membuat Natalie memutar

  • Memories of Jonathan & Emily   CHAPTER 8: TITIK BALIK

    "Bagaimana keadaan ayah saya?" ujar Nathan setelah dokter selesai memeriksa keadaan Jonathan.Sang dokter pun menghela napas sejenak lalu memasang ekspresi senetral mungkin. "Hmm, begini, sepertinya ayah Anda mengalami stres berlebih. Selain itu, tekanan darahnya juga cukup rendah karena tubuhnya kurang menerima asupan nutrisi seimbang. Tapi, kalian tidak perlu khawatir. Selebihnya Ayah Anda baik-baik saja , karena yang beliau butuhkan hanya istirahat yang cukup dan pola makan yang teratur."Nathan langsung menghela napas lega dan berterima kasih pada sang dokter. Usai itu, ia meminta ijin pada dokter tersebut untuk menemui ayahnya di dalam ruang rawat.Sesaat setelah Nathan masuk ke ruang rawat, matanya langsung tertuju pada Jonathan yang terbaring lemah di kasur berbalut selimut putih tipis. Seketika itu juga, terlintas memori mendiang ibunya yang juga terbaring di atas tempat tidur hingga ajal menjemputnya. Kini memori itu berhasil menimbulkan prasangka buruk dalam benaknya tentang

  • Memories of Jonathan & Emily   CHAPTER 7: KETERPURUKAN JONATHAN

    "Selamat siang Tuan Hamilton," sapa Alfred sambil tersenyum tipis. Jonathan sedikit menaikan alisnya ketika melihat sosok produser muda tersebut memasuki ruang kerjanya. Pria paruh baya itu pun berdeham, kemudian membalas sapaannya dengan lugas, "Selamat siang. Ada perlu apa Anda kemari? Kalau Anda ingin membahas perihal wawancara lagi, maaf saya tidak punya waktu banyak." Sambil berkata demikian, tangannya sibuk merapikan berkas yang telah dia tandatangani. "Umm, sebelumnya saya minta maaf karena datang tanpa pemberitahuan. Tapi, Anda tak perlu khawatir. Kedatangan saya kemari bukan untuk itu," balas Alfred sembari menautkan kedua tangannya, bermaksud menutupi kegugupan yang dia rasakan. "Lalu?" Menghela napas sejenak, produser muda tersebut kembali berujar, "Begini, saya datang untuk menyampaikan turut berduka cita pada Anda secara pribadi, Tuan Hamilton. Saya minta maaf, karena baru bisa menyampaikannya sekarang." Usai itu keheningan melanda, karena tak ada balasan apa pun dar

DMCA.com Protection Status