“Hah?”
“Iyaa. Beliau pendiri J&E Group.” Olivia kini berbisik dengan penuh antusias.
Namun, Klara hanya diam, tidak berkomentar apapun.
Melihatnya diam seperti itu, rekan kerjanya kembali melanjutkan topik pembicaraan.
“Yaah, kurasa Bos gagal menemuinya.” Meletakan jari telunjuk di dagunya, staf wanita bersurai hitam itu melanjutkan, “Atau tawaran wawancaranya ditolak mentah-mentah oleh Mr. Hamilton.”
Raut wajahnya terlihat begitu yakin dengan dugaannya.
“Oooh … begitu ….” Klara hanya menjawab seadanya.
“Lagipula, beliau memang terkenal sebagai sosok yang sangat menjaga privasinya. Jadi, sampai saat ini tidak ada yang tahu seperti apa keluarganya. Selama ini yang kulihat beliau hanya muncul bersama istrinya saja,” lanjut Olivia sedikit acuh.
Setibanya di dalam ruang kerja, mereka berdua langsung duduk di kursi masing-masing untuk mengedit tumpukan naskah yang sudah memasuki deadline.
Namun, tanpa sepengetahuan siapapun, sebenarnya sedari tadi timbul rasa gelisah di dalam benak Klara.
‘Bagaimana ini?’ batinnya resah.
.
.
.
Setelah beberapa saat duduk termenung, Alfred, sang produser muda itu memutuskan untuk memfokuskan dirinya pada pekerjaan yang belum terselesaikan. Untuk urusan tawaran wawancara kemarin, biarlah itu menjadi urusan di hari esok. Yang jelas dia masih belum menyerah.
Melakukan peregangan sejenak, produser tersebut beranjak dari sana dan melangkah dengan penuh semangat ke ruang kerjanya.
.
.
.
“Ayah, sore ini aku akan ada rapat dengan divisiku. Jadi, titipkan permohonan maafku pada Ibu ya,” ujar Nathan sebelum menyendok makan siang ke dalam mulutnya.
“Oh, baiklah,” balas Jonathan singkat.
Mereka pun makan dalam suasana hening. Hal itu memang sudah menjadi kebiasaan di keluarga mereka. Tidak ada yang berbicara selama acara makan berlangsung.
Sementara staf yang lain sibuk bertukar cerita dan canda satu sama lain, sehingga suasana kafetaria tetap terasa hidup.
Selesai mereka makan siang, Nathan mulai membuka topik pembicaraan, selagi jam istirahat masih cukup lama.
“Ayah, menurutmu apa Ibu bisa sembuh total?”
“Tentu saja. Ibumu pasti bisa pulih. Kenapa bertanya seperti itu?” tegas Jonathan. Namun, tak dimungkiri kalau sebenarnya dia merasa takut.
Menggeleng pelan. “Tidak ada maksud apapun. Hanya saja, kata dokter kemarin, penyakit Ibu sudah dalam stadium akhir. A-aku takut … kalau waktu Ibu … sudah tidak lama lagi …,” ucap Nathan dengan suara pelan. Terpancar kesedihan di kedua iris matanya.
Bagi Jonathan, kata demi kata yang terucap dari mulut putranya bagaikan sebilah pisau yang menyayat hatinya. Terasa begitu menyakitkan.
“Tidak. Ibumu pasti bisa sembuh,” sanggahnya dengan suara gemetar, namun terdengar tegas dan penuh keyakinan.
.
.
.
Tak terasa waktu berlalu begitu cepat, langit sudah kehilangan cahaya kemilaunya. Saat ini Jonathan sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit untuk menjenguk istrinya.
Sudah sebulan berlalu sejak istrinya masuk rumah sakit karena penyakit ginjal kronisnya, dan selama sebulan penuh pula Jonathan datang untuk memberinya dukungan emosional.
Tiap detik yang ia lalui bersama sang istri sangatlah berharga, sehingga ia tidak mau melewatkannya barang sedetik pun.
Namun, jauh di dalam lubuk hatinya, tersimpan rasa takut dan kecemasan yang luar biasa.
Dia takut bila apa yang dikatakan oleh putranya tadi siang akan menjadi kenyataan. Dia takut jikalau Emily benar-benar akan pergi meninggalkannya untuk selamanya. Dia takut, apabila saat itu tiba, dia tak akan sanggup menghadapi rasa sakitnya dan memilih untuk menyerah.
Jonathan tidak bisa membayangkan akan seperti apa perjalanan hidupnya tanpa kehadiran Emily, sang istri yang selalu setia menemaninya sejak pertama kali mereka membangun rumah tangga.
Membayangkannya saja sudah membuat dunianya terasa hampa seketika.
‘Tidak!’ batinnya mencoba menghentikan pikiran buruk yang terus berputar di kepalanya sedari tadi.
Pria itu masih percaya akan nyatanya mukjizat Tuhan. Dia masih yakin dan percaya penuh pada kuasa-Nya. Dia percaya kalau Tuhan pasti memiliki suatu rencana atas Emily dan juga dirinya.
Tidak ada yang mustahil bila Tuhan sudah berkehendak, bukan?
Ya. Untuk saat ini Jonathan hanya ingin bertemu dan menemani Emily. Karena memang hanya itu yang bisa dia lakukan saat ini selain berdoa memohon kesembuhan pada Tuhan.
.
.
.
“Selamat siang, Mr.Wales. Naskah yang kemarin Anda minta sudah siap,” ujar Klara sembari menyerahkan berkas naskah pada Alfred.
“Aa, terima kasih. Saya cek dulu ya,” balas sang produser sambil membuka beberapa halaman untuk dia baca sekilas.
Setelahnya, staf wanita tersebut mohon pamit untuk kembali ke ruang kerjanya. Usai membaca beberapa adegan, produser muda itu langsung terkesima dengan alur serta adegan yang tertuang di dalam naskah tersebut.
“Woow, Klara memang sangat berbakat dalam penulisan naskah film slice of life. Tak salah aku mempercayakannya untuk menangani naskah film ini,” pujinya pada staf wanita surai biru navy itu dengan penuh rasa kagum.
Bahkan, dalam satu dialog terselip quotes; Bila kerikil kecil menjadi alasanmu untuk berhenti berjuang, maka rancangan indah yang telah Tuhan siapkan tidak akan pernah tampak di matamu.
Naskah yang berjudul ‘A Dreamer’ menceritakan tentang perjalanan dua orang kakak beradik yang ingin mengejar cita-citanya sebagai pemain figure skating.
Di akhir alur naskah, produser itu tampaknya terinspirasi untuk kembali membujuk Jonathan Hamilton supaya menyetujui pembuatan film tentang perjalanan hidupnya.
Seketika, satu ide timbul dalam pikirannya.
“Benar juga, aku 'kan bisa bertanya padanya,” ujarnya dengan penuh antusias.
.
.
Malam hari pun tiba, ada beberapa staf yang harus lembur untuk mengejar deadline pengeditan naskah. Begitupun dengan Klara. Saat ini dia sedang mengirimi pesan ke baby sitter yang bertugas menjaga anaknya.
[Selamat malam, Henry … maaf ya hari ini aku harus lembur. Tolong sampaikan pada Arthur kalau aku baru akan pulang sekitar jam sepuluh. Jadi, tolong temani Arthur tidur sampai aku pulang ya. Terima kasih.]
Beberapa menit kemudian muncul notifikasi balasan pesan dari baby sitternya.
[Baik, Nona. Jangan khawatir, saya akan menemani Arthur sampai Anda pulang. Jaga kesehatan Anda ya, Nona.]
Setelah itu, Klara kembali melanjutkan pekerjaannya. Di saat dirinya sibuk mengetik, Alfred masuk ke ruang kerjanya dan langsung duduk di kursi yang ada di sebelahnya.
Saat ini hanya ada mereka berdua di dalam ruang kerja tersebut.
“Klara, maaf ya kalau saya menganggu waktu lemburmu. Tapi ada yang ingin saya bicarakan denganmu,” ucap sang produser kemudian.
Menghentikan kegiatannya sejenak lalu menoleh, si pemilik nama bertanya, “Ya, ada apa Pak?”
Setelah berpikir sejenak, produser itu pun mulai mengutarakan pikirannya, “Umm … begini, saya berencana untuk mewawancarai Mr. Jonathan Hamilton. Kamu tahu 'kan? Pendiri J&E Group.”
Klara hanya menganggukan kepalanya, lalu mempersilahkan produser itu untuk kembali berbicara.
"Tapi sayangnya, beliau menolak tawaran wawancara saya." Menghela napas sejenak. "Jadi, apa saya boleh minta tolong padamu?"
"Minta tolong apa, Pak?" tanya Klara kemudian.
"Apa kamu bisa mempertemukan saya dengan putranya?"
To be Continued…
“Apa kamu bisa mempertemukan saya dengan putranya?” “Eh? Anda masih mau mencoba membujuknya?” Kini Klara menatapnya dengan tatapan tak percaya. Produser itu mengangguk dengan antusias. Terlihat dari binar matanya yang memancarkan semangat pantang menyerah. Berbanding terbalik dengan Klara yang kini terlihat ragu, entah apa yang membuatnya bisa seperti itu. Wanita bersurai biru navy itu berdeham pelan lalu menggeleng. “Maaf, Mr Wales ... saya tidak bisa melakukannya,” tolaknya kemudian. “Kenapa?” “Karena … saya sudah lama tidak menghubunginya,” lanjut wanita itu dengan nada senetral mungkin. “Hmm … baiklah. Maaf mengganggu waktumu kalau begitu. Selamat malam.” Usai berkata demikian, produser muda itu langsung beranjak dari kursi dan keluar dari ruangan tersebut. Tak lama setelah kepergiannya, wanita bersurai biru navy tersebut langsung menghela napas berat sembari menundukan kepalanya sejenak. Sembari memejamkan matanya, wanita itu bergumam, “Maaf Pak, saya terpaksa berbohong.
Di hari Jonathan menemui dokter, tepatnya pada sore hari di mana jam kantor telah usai. Nathan mendapati sebuah pesan masuk dari Klara, isi pesannya membuat pria bersurai coklat itu menaikan kedua alisnya. [Nathan, apa sore ini kamu sibuk? Kalau tidak, ada hal penting yang ingin aku bicarakan denganmu. Temui aku di kafe dekat kantormu ya.] Usai membacanya, Nathan hanya menghela napas panjang. Entah kenapa, seketika jantungnya berdebar keras tak seperti biasanya. Sesaat sebelum keluar dari dalam ruang kerjanya, pria itu melihat jam yang ada di pergelangan tangannya dan mendapati kalau sudah hampir waktunya. Tidak mau membuat sang wanita menunggu, dia langsung bergegas ke kafe yang dimaksud dengan mengendarai mobilnya. . . . Sepuluh menit kemudian, pria itu sampai di kafe tersebut lalu memarkirkan mobilnya. Sesaat setelah keluar dari dalam mobilnya, Nathan tidak langsung berjalan ke dalam kafe. Ia terdiam sejenak lalu menarik napasnya dalam-dalam guna mengurangi rasa gugupnya. K
[Nathan, Ibu sudah pergi untuk selama-lamanya.] . . . Suara rintik hujan serta isak tangis dari para sahabat dan kerabat dekat yang berduka turut mengiringi kepergian Emily ke tempat peristirahatan terakhirnya. Kepergiannya yang mendadak telah menjadi pukulan berat serta kedukaan mendalam bagi orang-orang terdekatnya. Terutama Jonathan dan kedua anaknya. Nathan dan Natalie. Tak henti-hentinya Jonathan menangis, bahkan sejak mendiang istrinya meregang nyawa di atas tempat tidur rumah sakit. Entah sudah berapa banyak tetes air mata yang jatuh membasahi wajah pucat mendiang istrinya. Entah sudah berapa kali dia berteriak memanggil nama sang istri agar tidak pergi meninggalkannya. Memohon pada Sang Kuasa agar bersedia mengembalikan istri tercintanya ke dalam dekapannya lagi seperti sedia kala. Berharap kalau semua ini hanyalah bunga tidur. Yang mana bila ia membuka mata, sosok istrinya masih berada di sampingn
"Selamat siang Tuan Hamilton," sapa Alfred sambil tersenyum tipis. Jonathan sedikit menaikan alisnya ketika melihat sosok produser muda tersebut memasuki ruang kerjanya. Pria paruh baya itu pun berdeham, kemudian membalas sapaannya dengan lugas, "Selamat siang. Ada perlu apa Anda kemari? Kalau Anda ingin membahas perihal wawancara lagi, maaf saya tidak punya waktu banyak." Sambil berkata demikian, tangannya sibuk merapikan berkas yang telah dia tandatangani. "Umm, sebelumnya saya minta maaf karena datang tanpa pemberitahuan. Tapi, Anda tak perlu khawatir. Kedatangan saya kemari bukan untuk itu," balas Alfred sembari menautkan kedua tangannya, bermaksud menutupi kegugupan yang dia rasakan. "Lalu?" Menghela napas sejenak, produser muda tersebut kembali berujar, "Begini, saya datang untuk menyampaikan turut berduka cita pada Anda secara pribadi, Tuan Hamilton. Saya minta maaf, karena baru bisa menyampaikannya sekarang." Usai itu keheningan melanda, karena tak ada balasan apa pun dar
"Bagaimana keadaan ayah saya?" ujar Nathan setelah dokter selesai memeriksa keadaan Jonathan.Sang dokter pun menghela napas sejenak lalu memasang ekspresi senetral mungkin. "Hmm, begini, sepertinya ayah Anda mengalami stres berlebih. Selain itu, tekanan darahnya juga cukup rendah karena tubuhnya kurang menerima asupan nutrisi seimbang. Tapi, kalian tidak perlu khawatir. Selebihnya Ayah Anda baik-baik saja , karena yang beliau butuhkan hanya istirahat yang cukup dan pola makan yang teratur."Nathan langsung menghela napas lega dan berterima kasih pada sang dokter. Usai itu, ia meminta ijin pada dokter tersebut untuk menemui ayahnya di dalam ruang rawat.Sesaat setelah Nathan masuk ke ruang rawat, matanya langsung tertuju pada Jonathan yang terbaring lemah di kasur berbalut selimut putih tipis. Seketika itu juga, terlintas memori mendiang ibunya yang juga terbaring di atas tempat tidur hingga ajal menjemputnya. Kini memori itu berhasil menimbulkan prasangka buruk dalam benaknya tentang
"Kenapa kita harus menemuinya?" ujar Nathan sembari mengernyitkan alisnya. Hening. Usai mengusap lembut foto mendiang ibunya, Natalie pun kembali meletakannya di atas meja kerjanya. Wanita bersurai pirang itu kembali menghela napas untuk yang kesekian kalinya. "Karena itu yang bisa kita lakukan untuk Ayah. Kamu lihat sendiri 'kan bagaimana hancurnya Ayah usai kepergian Ibu?" Setelahnya, Natalie mengambil buku diari tersebut lalu membukanya ke halaman pertama. "Baca ini," sambungnya sambil menyodorkan halaman paling belakang buku diari tersebut pada Nathan. Nathan pun langsung membuang pandangannya ke arah lain. Pria itu menolak untuk membacanya, bukan karena tak ingin menangis, melainkan karena baginya tidak sopan membaca sesuatu yang bersifat privasi. Terlebih privasi ibunya. "Kenapa?" Kini giliran Natalie yang mengernyitkan alisnya. "Kamu tahu 'kan kalau aku tidak suka membaca hal yang bersifat privasi. Apalagi privasi Ibu!" tegas Nathan. Perkataannya membuat Natalie memutar
"Boleh aku menciummu?" Suara Nathan yang masuk ke indera pendengarannya, entah kenapa terdengar bagai candu bagi Klara. Tanpa ragu, wanita itu pun langsung memejamkan matanya, seolah memberi ijin. Seperti sedang dimabuk cinta, ia membiarkan pria bersurai coklat itu mengulum bibirnya selama beberapa saat, merasakan lembut dan hangatnya benda lunak yang melesat masuk ke dalam rongga mulutnya. Perasaan rindu yang teramat dalam juga gelora hasrat yang bergemuruh dalam dada, membuat mereka berdua hampir melakukannya ke sesi yang lebih intens. Namun, Nathan memilih untuk menyudahinya, karena sadar bila mereka hampir melewati batas. "Maaf." Hanya itu yang terlontar dari mulutnya. Tanpa berkata apa-apa lagi, Nathan langsung kembali pada posisi awalnya. Hingga keheningan kembali tercipta di antara mereka. Klara paham betul arti kata 'maaf' yang baru saja keluar dari mulut Nathan. Alhasil, tanpa basa-basi, wanita itu langsung beranjak keluar dari dalam mobil. Meski dalam hati kecilnya, ia s
"Maaf, Pak. Tapi, naskah untuk proyek A Dreamer bahkan belum sempat saya revisi," balas Klara senetral mungkin. "Hmm, benar juga ...," ujar Alfred sembari berpikir sejenak. "Aah, untuk naskah itu saya akan meminta Olivia menyelesaikannya. Jadi, kamu tidak perlu khawatir." Klara langsung mengernyitkan alisnya, bingung. Ia tak habis pikir dengan tindakan bosnya yang suka semena-mena itu. Mudah memindahtangankan tanggung jawab begitu saja. "Tapi, Pak. Anda sudah mempercayakan naskah itu pada saya sejak awal. Jadi, saya tidak mungkin menyerahkannya pada Olivia. Lagipula Anda sudah memberinya beberapa pekerjaan lain, kan?" tegas Klara masih mengernyitkan alisnya. Selama Klara dan Alfred berdebat, Nathan dan Natalie memilih untuk diam memperhatikan mereka dengan seksama. Tak bisa Nathan mungkiri, bila sisi tegas Klara menjadi salah satu daya pikat yang wanita itu miliki. Serta salah satu sisi yang membuatnya jatuh cinta pada wanita itu. "Kalau begitu kita bisa menunda naskah tersebut
"Baik, Bi. Aku sudah siap," ucap Emily seraya bangkit dari kursi riasnya. "Mari saya antar, Nona," tawar sang Pelayan sembari mengulurkan tangannya. . . . Ketika Emily keluar dari dalam ruang rias dengan kebaya modern berwarna beige dan kain batik berwarna coklat pekat. Beberapa tamu undangan langsung menoleh ke arahnya dan berdecak kagum. Gadis itu sesekali melirik ke arah para tamu undangan yang saat ini sedang menatapnya dengan tatapan penuh rasa takjub. Bukan hanya itu, kini dirinya juga melirik ke arah Jonathan—calon tunangannya yang saat ini juga sedang menatapnya dengan tatapan yang sulit ia terjemahkan. Kagumkah? Sukakah? Atau hanya sekedar terpana? Setibanya di hadapan calon ibu mertuanya. Ia disambut dengan sebuah pelukan hangat. "Hello, Dear. Nice to meet you. You're so beautiful," pujinya dengan senyum sumringah. "Aa ... thank you so much, Ma'am," ba
[Jakarta, 21 April 1991 'Diariku, Seminggu lagi hari pertunanganku akan tiba. Aku sudah tidak sabar menantikan hari pertunanganku dengan pria pujaan hatiku. Semoga saja berjalan dengan lancar ya. Aku tidak tahu, tapi entah kenapa aku begitu menantikannya. Apa dia menantikannya juga? Kuharap iya. Sampai di sini dulu ya, diariku.'] . . . "Ayuuuuuuuu!!!" seru Emily dari kejauhan. Sosok pemilik nama tersebut menoleh dengan ekspresi penuh tanda tanya. "Emily? Kok kamu ke kampus? Bukannya hari ini kamu tidak ada kelas, ya?" Bukannya menjawab, gadis surai coklat itu malah memasang senyuman termanis, manisnya mengalahkan madu. Senyuman yang menghiasi wajahnya semakin membuat Ayu bertanya-tanya. "Emily ... kamu baik-baik saja?" Ayu kini mulai bergidik ngeri karena sikap aneh dari teman baiknya itu. Emily mengangguk penuh semangat. Kini wajahnya semakin
"Hah?" "Iya. Ayah ingin bertemu dengannya besok. Apa ada masalah dengan itu?" ucap Jonathan tanpa ragu. Terpancar kilau mata yang tak biasa dari iris biru langitnya. Perkataan yang keluar dari mulut sang Ayah tentu membuat Nathan sedikit bingung. Kenapa tiba-tiba beliau ingin pergi menemuinya? "Kenapa Ayah ingin menemuinya? Apa ... apa Ayah bermaksud mendukung pembuatan film tentang Ibu?" tanya Nathan terus terang. "Iya," sahut Jonathan sembari menganggukan kepalanya dengan mantap. Tak lupa senyum tipis yang terhias di wajah rupawannya. Jawaban sang Ayah membuat pria bernetra magenta itu juga ikut menyunggingkan senyum lebar penuh bahagia. "Baiklah. Aku akan mengabari beliau malam ini juga." Perasaan bahagia yang menyeruak dalam dadanya membuat Nathan semakin tak sabar menanti hari esok. . . Keesokannya Jonathan sengaja berangkat dengan menumpang di mobil putra sulungnya. Dengan tujuan agar mereka bisa langsung ke tempat sang produser bersama-sama. "Jadi, kita bisa menemu
Di saat jam makan siang tiba, Nathan tampak bingung ketika ayahnya tak kunjung keluar dari dalam ruang kerjanya. Alhasil, ia pun berinisiatif menghampiri Jonathan untuk mengajaknya makan siang bersama. Namun, saat Nathan baru saja akan mengetuk pintunya. Dari belakang, Alex buru-buru menghentikannya dengan menariknya menjauh dari ruang kerja Jonathan. "Ehh? Kenapa?" tanya Nathan seraya mengernyitkan dahinya, bingung. Alex langsung mengacungkan jari telunjuknya. Sebagai isyarat untuk tetap diam. Namun, matanya sesekali melirik ke ruang kerja Jonathan, untuk mengamati sekilas kegiatan bosnya itu yang terlihat dari kaca jendela ruangannya. Setelah dirasa cukup aman, Alex pun langsung melepas tangan Nathan. Sesaat setelah dirinya menghela napas panjang, Alex berbisik, "Maaf, sebenarnya ini semua salahku." Terlihat jelas di wajahnya raut rasa bersalah. Tak mengerti maksud dari perkataan teman baiknya itu, Nathan pun semakin mengerutkan dahinya. "Kenapa minta maaf segala sih??" ucapny
"Maaf, Pak. Tapi, naskah untuk proyek A Dreamer bahkan belum sempat saya revisi," balas Klara senetral mungkin. "Hmm, benar juga ...," ujar Alfred sembari berpikir sejenak. "Aah, untuk naskah itu saya akan meminta Olivia menyelesaikannya. Jadi, kamu tidak perlu khawatir." Klara langsung mengernyitkan alisnya, bingung. Ia tak habis pikir dengan tindakan bosnya yang suka semena-mena itu. Mudah memindahtangankan tanggung jawab begitu saja. "Tapi, Pak. Anda sudah mempercayakan naskah itu pada saya sejak awal. Jadi, saya tidak mungkin menyerahkannya pada Olivia. Lagipula Anda sudah memberinya beberapa pekerjaan lain, kan?" tegas Klara masih mengernyitkan alisnya. Selama Klara dan Alfred berdebat, Nathan dan Natalie memilih untuk diam memperhatikan mereka dengan seksama. Tak bisa Nathan mungkiri, bila sisi tegas Klara menjadi salah satu daya pikat yang wanita itu miliki. Serta salah satu sisi yang membuatnya jatuh cinta pada wanita itu. "Kalau begitu kita bisa menunda naskah tersebut
"Boleh aku menciummu?" Suara Nathan yang masuk ke indera pendengarannya, entah kenapa terdengar bagai candu bagi Klara. Tanpa ragu, wanita itu pun langsung memejamkan matanya, seolah memberi ijin. Seperti sedang dimabuk cinta, ia membiarkan pria bersurai coklat itu mengulum bibirnya selama beberapa saat, merasakan lembut dan hangatnya benda lunak yang melesat masuk ke dalam rongga mulutnya. Perasaan rindu yang teramat dalam juga gelora hasrat yang bergemuruh dalam dada, membuat mereka berdua hampir melakukannya ke sesi yang lebih intens. Namun, Nathan memilih untuk menyudahinya, karena sadar bila mereka hampir melewati batas. "Maaf." Hanya itu yang terlontar dari mulutnya. Tanpa berkata apa-apa lagi, Nathan langsung kembali pada posisi awalnya. Hingga keheningan kembali tercipta di antara mereka. Klara paham betul arti kata 'maaf' yang baru saja keluar dari mulut Nathan. Alhasil, tanpa basa-basi, wanita itu langsung beranjak keluar dari dalam mobil. Meski dalam hati kecilnya, ia s
"Kenapa kita harus menemuinya?" ujar Nathan sembari mengernyitkan alisnya. Hening. Usai mengusap lembut foto mendiang ibunya, Natalie pun kembali meletakannya di atas meja kerjanya. Wanita bersurai pirang itu kembali menghela napas untuk yang kesekian kalinya. "Karena itu yang bisa kita lakukan untuk Ayah. Kamu lihat sendiri 'kan bagaimana hancurnya Ayah usai kepergian Ibu?" Setelahnya, Natalie mengambil buku diari tersebut lalu membukanya ke halaman pertama. "Baca ini," sambungnya sambil menyodorkan halaman paling belakang buku diari tersebut pada Nathan. Nathan pun langsung membuang pandangannya ke arah lain. Pria itu menolak untuk membacanya, bukan karena tak ingin menangis, melainkan karena baginya tidak sopan membaca sesuatu yang bersifat privasi. Terlebih privasi ibunya. "Kenapa?" Kini giliran Natalie yang mengernyitkan alisnya. "Kamu tahu 'kan kalau aku tidak suka membaca hal yang bersifat privasi. Apalagi privasi Ibu!" tegas Nathan. Perkataannya membuat Natalie memutar
"Bagaimana keadaan ayah saya?" ujar Nathan setelah dokter selesai memeriksa keadaan Jonathan.Sang dokter pun menghela napas sejenak lalu memasang ekspresi senetral mungkin. "Hmm, begini, sepertinya ayah Anda mengalami stres berlebih. Selain itu, tekanan darahnya juga cukup rendah karena tubuhnya kurang menerima asupan nutrisi seimbang. Tapi, kalian tidak perlu khawatir. Selebihnya Ayah Anda baik-baik saja , karena yang beliau butuhkan hanya istirahat yang cukup dan pola makan yang teratur."Nathan langsung menghela napas lega dan berterima kasih pada sang dokter. Usai itu, ia meminta ijin pada dokter tersebut untuk menemui ayahnya di dalam ruang rawat.Sesaat setelah Nathan masuk ke ruang rawat, matanya langsung tertuju pada Jonathan yang terbaring lemah di kasur berbalut selimut putih tipis. Seketika itu juga, terlintas memori mendiang ibunya yang juga terbaring di atas tempat tidur hingga ajal menjemputnya. Kini memori itu berhasil menimbulkan prasangka buruk dalam benaknya tentang
"Selamat siang Tuan Hamilton," sapa Alfred sambil tersenyum tipis. Jonathan sedikit menaikan alisnya ketika melihat sosok produser muda tersebut memasuki ruang kerjanya. Pria paruh baya itu pun berdeham, kemudian membalas sapaannya dengan lugas, "Selamat siang. Ada perlu apa Anda kemari? Kalau Anda ingin membahas perihal wawancara lagi, maaf saya tidak punya waktu banyak." Sambil berkata demikian, tangannya sibuk merapikan berkas yang telah dia tandatangani. "Umm, sebelumnya saya minta maaf karena datang tanpa pemberitahuan. Tapi, Anda tak perlu khawatir. Kedatangan saya kemari bukan untuk itu," balas Alfred sembari menautkan kedua tangannya, bermaksud menutupi kegugupan yang dia rasakan. "Lalu?" Menghela napas sejenak, produser muda tersebut kembali berujar, "Begini, saya datang untuk menyampaikan turut berduka cita pada Anda secara pribadi, Tuan Hamilton. Saya minta maaf, karena baru bisa menyampaikannya sekarang." Usai itu keheningan melanda, karena tak ada balasan apa pun dar