Tampak sebuah lampu sorot dan dua kamera merekam seorang pria paruh baya berjas hitam dan seorang wanita muda, berprofesi sebagai interviewer sedang melakukan sesi wawancara dengan duduk saling berhadapan.
Di tengah-tengah mereka berdiri kokoh sebuah meja kayu berbentuk lingkaran yang di atasnya berhiaskan sebuah vas bunga mawar berwarna merah muda.
Duduk di sofa putih yang nyaman dengan kaki menyilang elegan, pria tersebut memasang senyum formal pada sang interviewer.
Sang interviewer pun membalas senyumnya.
"Sebelumnya, saya ucapkan terima kasih atas kesediaan Anda, Mr. Jonathan untuk melakukan wawancara dengan Global Enterpreneur."
"Saya juga mengucapkan terima kasih pada pihak Global Enterpreneur karena telah mengundang saya kemari untuk sebuah wawancara eksklusif," balas pria paruh baya yang diketahui bernama Jonathan dengan lugas.
"Begini, alasan saya mengundang Anda kemari karena berkaitan dengan berita yang sedang trending di berbagai media beberapa hari terakhir." Sang interviewer kembali melontarkan beberapa kata pengantar sembari melirik beberapa cue card yang ada di genggamannya.
"Dilansir dari banyak media, Anda dan sang istri, Mrs. Emily sering dinobatkan sebagai salah satu pasangan tersukses selama dua dekade terakhir. Bila saya boleh bertanya, kira-kira apa rahasia Anda dan sang istri bisa mempertahankan kesuksesan kalian hingga saat ini?" sambungnya.
Pertanyaannya membuat Jonathan sedikit terkekeh pelan.
Sambil terkekeh, pria itu menjawab, "Sebenarnya tidak ada rahasia apapun. Saya dan sang istri hanya ingin menjalani mimpi kami masing-masing sebagai pengusaha arsitektur dan sebagai pengusaha seni keramik."
Usai mendengar jawabannya, sang interviewer jadi sedikit tergelitik untuk bertanya sesuatu yang agak personal.
"Kalau begitu ... bila Anda tidak keberatan, bisakah Anda menceritakan bagaimana pertemuan awal Anda dengan Mrs. Emily?"
Pria paruh baya itu kembali terkekeh pelan. "Awal pertemuan, ya? Hmm ... kami bertemu pertama kali di sebuah kafe. Pertemuan kami bisa dibilang cukup mengesankan." Sudut bibirnya kini membentuk sebuah senyum hangat layaknya kehangatan mentari yang bersinar di pagi hari.
Senyuman yang juga berhasil membuat sang interviewer sedikit salah tingkah.
"La-lalu, apa yang membuat Anda begitu yakin kalau Mrs. Emilylah sosok yang tepat untuk menjadi teman hidup Anda?" ujar sang interviewer terbata-bata, sembari sesekali melirik cue card untuk mengalihkan pandangannya dari senyum maut pria paruh baya itu.
"Istri saya adalah sosok yang pandai melihat peluang dan juga pekerja keras," jawabnya dengan lugas.
"Ooh, itukah yang membuat Anda jatuh cinta pada istri Anda?" Kini sang interviewer tersenyum penuh arti.
"Bukan."
Raut wajah sang interviewer langsung berubah seratus delapan puluh derajat. Yang awalnya tersenyum sekarang berganti menaikan satu alisnya. "Lalu?"
Menyunggingkan senyum tipis, pria paruh baya itu pun menjawab, "Saya jatuh cinta pada kenaifannya dalam berpikir."
.
.
.
Usai menjalani sesi wawancara yang begitu panjang dan menguras tenaga itu, kini Jonathan memilih masuk ke dalam mobilnya untuk beristirahat sejenak.
Pria itu menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi untuk melepas lelah sembari memejamkan kedua matanya sebentar, menyembunyikan manik biru langit cerahnya di dalam sana.
'Untung saja wawancaranya berjalan dengan lancar,' batinnya sembari menghela napas pelan.
Drrrt drrrt drrtt
Kedua maniknya seketika terbuka lebar ketika merasakan getaran dari ponselnya. Dengan sigap pria itu merogoh saku jasnya untuk mengambil benda pipih tersebut. Saat ia melihat nama yang tertera di layarnya, sorot matanya kembali memancarkan energi.
"Halo, ada apa Nathan?" ucapnya kemudian.
[Halo, Ayah. Apa wawancaranya sudah selesai?] Terdengar suara bariton milik putra sulungnya dari seberang sana.
"Ah, sudah. Sebentar lagi Ayah akan ke sana."
[Ohh, begitu. Apa wawancaranya berjalan dengan lancar?]
"Iya. Semuanya berjalan dengan lancar."
[Syukurlah kalau begitu. Oh iya, Ayah, cepatlah kemari. Ibu katanya sangat merindukan Ayah. ]
Sudut bibirnya terangkat ketika mendengar istrinya sudah begitu merindukan dirinya. Pria itu jadi ingin segera melajukan mobilnya secepat kilat agar bisa berjumpa dengan istri tercinta saat itu juga. Karena dia juga sudah teramat merindukannya.
"Baiklah. Sampaikan pada Ibu kalau Ayah akan tiba di sana dalam dua puluh menit." Setelahnya, ia memutus sambungan teleponnya dan mulai melajukan mobilnya dengan kecepatan normal.
.
.
Namun tanpa dirinya sadari, ada sebuah mobil hitam yang mengikutinya dari belakang.
Saat Jonathan ingin mengambil jalur kanan, ia melihat di kaca spionnya tampak sebuah mobil hitam di belakangnya juga ikut mengambil jalur kanan.
'Eh?' batin Jonathan heran.
Namun, ia tak mau memikirkannya lebih jauh. Mungkin saja mobil itu memang menuju ke tujuan yang sama dengannya.
Siapa yang tahu? Itu pikirnya.
Pria paruh baya itu memilih untuk tetap fokus agar bisa menemui sang istri tepat pada waktunya. Ia tak ingin membuat sang istri menunggunya.
Terlihat dari kaca spion mobilnya, mobil hitam tersebut juga mengikuti jalur yang ia lewati, satu, dua belokan hingga jalan layang. Awalnya, dia tak ingin menaruh curiga. Namun, setelah beberapa kali berbelok dan memutar jalan yang sama, dia mulai menaruh curiga.
Satu hal yang semakin menambah kecurigaannya adalah jarak mobil hitam tersebut begitu dekat dengan mobilnya.
'Jadi, benar mobil itu mengikutiku sejak awal?' batinnya dengan penuh curiga.
Akhirnya, Jonathan sengaja membelokan mobilnya menuju jalan buntu dan berhenti di sana untuk memastikannya sekali lagi.
Rupanya kecurigaannya terbukti ketika dia melihat dari kaca spionnya kalau mobil hitam itu juga ikut berbelok ke situ, lalu berhenti beberapa meter tepat di belakangnya.
Setelah menunggunya selama beberapa saat, pengemudi mobil hitam misterius itu tak kunjung keluar menampakan dirinya.
Alhasil, Jonathan mulai merasa geram karena si pengemudi mobil hitam tersebut hanya berdiam diri di dalam mobilnya, tanpa mau keluar dan menjelaskan siapa dirinya dan apa tujuannya.
"Sebenarnya apa yang orang itu inginkan!?" keluh Jonathan sembari menghembuskan napasnya kasar.
Alhasil, karena tak kunjung mendapatkan jawaban, Jonathan akhirnya memilih untuk kembali melajukan mobilnya dengan memutar arah, melewati mobil hitam tersebut. Ia tak mau membuang waktu dengan percuma lagi untuk mengurus hal yang tak jelas seperti ini.
Sekilas, Jonathan mengecek jam di pergelangan tangannya.
"Sial! Waktuku terbuang lebih dari lima menit!" umpatnya sambil berdecak kesal.
Pria itu begitu menyesal karena telah menyia-nyiakan lima menit berharganya untuk hal tak jelas macam itu. Padahal ia harusnya sudah hampir tiba di tempat istrinya berada.
Lagi seperti tadi, mobil hitam misterius itu kembali mengikutinya dari belakang. Bahkan, sekarang secara terang-terangan.
Ketika melihat mobil tersebut masih terus mengikutinya, Jonathan terpaksa mempercepat laju mobilnya supaya memberi jarak yang cukup agar mobil hitam tersebut kehilangan jejaknya.
Namun, sayangnya mobil hitam tersebut juga ikut mempercepat lajunya, sehingga jarak yang tadi sudah tercipta kini hilang.
'Apa sih maunya!?' batin Jonathan geram ketika ia melihat mobil tersebut masih terus mengikutinya. Jarak mobil mereka hanya berkisar satu meter saja.
Pria itu sudah benar-benar merasa geram dengan pengemudi misterius tersebut. Tak lama setelahnya, Jonathan melihat sebuah belokan beberapa meter dari posisinya saat ini. Belokan yang biasa dia lewati bila sedang darurat.
Tanpa membuang lebih banyak waktu, dia pun membanting stirnya ke jalan itu yang ternyata hanya cukup dimasuki satu mobil saja.
Jonathan bersyukur karena setidaknya dia cukup familiar dengan jalan yang sedang dilewatinya saat ini, sehingga tak sulit baginya untuk tiba di ujung jalan tersebut.
.
.
Saat pria itu tiba di ujung jalan yang mengarah ke jalan besar. Tiba-tiba saja, mobil hitam misterius itu muncul dari arah kanan, seolah sudah menunggunya sedari tadi.
Kemunculan mobil hitam itu yang begitu tiba-tiba membuatnya menghentikan laju mobilnya secara mendadak.
Sudah di ambang batas kesabaran. Akhirnya, Jonathan memutuskan untuk keluar dan menghampiri mobil hitam misterius tersebut. Dengan langkah tegas, dia berjalan ke arah mobil hitam itu, sembari menahan emosi yang sudah menggebu dalam dada.
Saat sampai di sisi pintu si pengemudi, Jonathan mengetuk kaca jendela mobil tersebut dengan cukup keras guna melampiaskan emosinya.
Tok tok tok!
"Hei, keluarlah! Kalau Anda memang ada urusan dengan saya, Anda boleh mengatakannya pada saya sekarang."
Tak lama setelah itu, akhirnya si pengemudi mematikan mesinnya dan keluar dari dalam mobil.
Rupanya pengemudi misterius itu adalah sesosok pria muda bersurai hitam dengan iris mata berwarna amber, lengkap dengan kemeja hitam berbalut jas berwarna senada.
Pria tersebut kemudian mengulurkan tangan kanannya untuk berkenalan.
Namun, ajakan untuk berjabatan tangan tak diacuhkan oleh Jonathan karena masih kesal dengan sikap tak sopannya tadi.
Menghela napas panjang, pemuda itu akhirnya mengeluarkan suara.
"Maaf atas ketidaksopanan saya barusan, Mr. Hamilton. Sebenarnya ... memang ada yang ingin saya bicarakan dengan Anda. Apa kita bisa bicara sebentar?" ujarnya dengan nada formal.
Sekarang giliran Jonathan yang menghela napas panjang. Sebelum menjawabnya, ia mengecek jam yang ada di pergelangan tangannya.
'Maafkan aku Emily. Sepertinya aku akan sedikit terlambat sampai ke sana.'
Tak mau membuang waktu lagi, Jonathan menjawab, "Ya, silakan."
Pemuda itu langsung menyunggingkan senyum lega di wajah rupawannya.
"Pertama-tama, perkenalkan saya Alfred Wales, seorang produser. Begini, saya tertarik dengan kisah yang Anda ceritakan saat wawancara tadi. Bolehkan saya melakukan wawancara lebih mendalam lagi dengan Anda?" jelas si pemuda yang berprofesi sebagai produser itu.
"Alfred?" Kini Jonathan mengernyitkan alisnya. Entah kenapa, dia merasa familiar dengan nama itu.
"Kalau boleh saya tahu, untuk keperluan apa Anda melakukan wawancara dengan saya?" tanyanya kemudian.
"Saya ingin mengangkat kisah Anda ke dalam sebuah film, Pak."
"Maaf?"
To be Continued ...
“Maaf, bisa Anda jelaskan maksud Anda barusan?” Menghela napas sejenak, sang produser kembali mengutarakan maksud serta tujuannya secara rinci. “Begini, saya tertarik untuk mengangkat kisah Anda beserta sang istri ke dalam sebuah film. Berdasarkan kisah yang tadi Anda ceritakan saat sesi wawancara bersama Global Enterpreneur, tampaknya akan sangat bagus bila kisah Anda diangkat ke dalam bentuk audio visual. Saya ingin merangkai karakter serta alur ceritanya dengan baik berdasarkan kejadian yang sebenarnya. Oleh karena itu, saya ingin melakukan wawancara lebih mendetail dengan Anda terkait hal tersebut.” Usai produser itu menjelaskan maksud dan tujuannya, Jonathan hanya diam. Dari raut wajahnya, tampak seperti sedang mempertimbangkan tawarannya. Usai memikirkannya sejenak, Jonathan dengan tegas menjawab, “Maaf, saya tidak tertarik.” Saat dia hendak melangkahkan kakinya ke arah mobil, sang produser itu menghentikannya. “Apa Anda tidak ingin membicarakannya terlebih dahulu dengan
“Hah?” “Iyaa. Beliau pendiri J&E Group.” Olivia kini berbisik dengan penuh antusias. Namun, Klara hanya diam, tidak berkomentar apapun. Melihatnya diam seperti itu, rekan kerjanya kembali melanjutkan topik pembicaraan. “Yaah, kurasa Bos gagal menemuinya.” Meletakan jari telunjuk di dagunya, staf wanita bersurai hitam itu melanjutkan, “Atau tawaran wawancaranya ditolak mentah-mentah oleh Mr. Hamilton.” Raut wajahnya terlihat begitu yakin dengan dugaannya. “Oooh … begitu ….” Klara hanya menjawab seadanya. “Lagipula, beliau memang terkenal sebagai sosok yang sangat menjaga privasinya. Jadi, sampai saat ini tidak ada yang tahu seperti apa keluarganya. Selama ini yang kulihat beliau hanya muncul bersama istrinya saja,” lanjut Olivia sedikit acuh. Setibanya di dalam ruang kerja, mereka berdua langsung duduk di kursi masing-masing untuk mengedit tumpukan naskah yang sudah memasuki deadline. Namun, tanpa sepengetahuan siapapun, sebenarnya sedari tadi timbul rasa gelisah di dalam bena
“Apa kamu bisa mempertemukan saya dengan putranya?” “Eh? Anda masih mau mencoba membujuknya?” Kini Klara menatapnya dengan tatapan tak percaya. Produser itu mengangguk dengan antusias. Terlihat dari binar matanya yang memancarkan semangat pantang menyerah. Berbanding terbalik dengan Klara yang kini terlihat ragu, entah apa yang membuatnya bisa seperti itu. Wanita bersurai biru navy itu berdeham pelan lalu menggeleng. “Maaf, Mr Wales ... saya tidak bisa melakukannya,” tolaknya kemudian. “Kenapa?” “Karena … saya sudah lama tidak menghubunginya,” lanjut wanita itu dengan nada senetral mungkin. “Hmm … baiklah. Maaf mengganggu waktumu kalau begitu. Selamat malam.” Usai berkata demikian, produser muda itu langsung beranjak dari kursi dan keluar dari ruangan tersebut. Tak lama setelah kepergiannya, wanita bersurai biru navy tersebut langsung menghela napas berat sembari menundukan kepalanya sejenak. Sembari memejamkan matanya, wanita itu bergumam, “Maaf Pak, saya terpaksa berbohong.
Di hari Jonathan menemui dokter, tepatnya pada sore hari di mana jam kantor telah usai. Nathan mendapati sebuah pesan masuk dari Klara, isi pesannya membuat pria bersurai coklat itu menaikan kedua alisnya. [Nathan, apa sore ini kamu sibuk? Kalau tidak, ada hal penting yang ingin aku bicarakan denganmu. Temui aku di kafe dekat kantormu ya.] Usai membacanya, Nathan hanya menghela napas panjang. Entah kenapa, seketika jantungnya berdebar keras tak seperti biasanya. Sesaat sebelum keluar dari dalam ruang kerjanya, pria itu melihat jam yang ada di pergelangan tangannya dan mendapati kalau sudah hampir waktunya. Tidak mau membuat sang wanita menunggu, dia langsung bergegas ke kafe yang dimaksud dengan mengendarai mobilnya. . . . Sepuluh menit kemudian, pria itu sampai di kafe tersebut lalu memarkirkan mobilnya. Sesaat setelah keluar dari dalam mobilnya, Nathan tidak langsung berjalan ke dalam kafe. Ia terdiam sejenak lalu menarik napasnya dalam-dalam guna mengurangi rasa gugupnya. K
[Nathan, Ibu sudah pergi untuk selama-lamanya.] . . . Suara rintik hujan serta isak tangis dari para sahabat dan kerabat dekat yang berduka turut mengiringi kepergian Emily ke tempat peristirahatan terakhirnya. Kepergiannya yang mendadak telah menjadi pukulan berat serta kedukaan mendalam bagi orang-orang terdekatnya. Terutama Jonathan dan kedua anaknya. Nathan dan Natalie. Tak henti-hentinya Jonathan menangis, bahkan sejak mendiang istrinya meregang nyawa di atas tempat tidur rumah sakit. Entah sudah berapa banyak tetes air mata yang jatuh membasahi wajah pucat mendiang istrinya. Entah sudah berapa kali dia berteriak memanggil nama sang istri agar tidak pergi meninggalkannya. Memohon pada Sang Kuasa agar bersedia mengembalikan istri tercintanya ke dalam dekapannya lagi seperti sedia kala. Berharap kalau semua ini hanyalah bunga tidur. Yang mana bila ia membuka mata, sosok istrinya masih berada di sampingn
"Selamat siang Tuan Hamilton," sapa Alfred sambil tersenyum tipis. Jonathan sedikit menaikan alisnya ketika melihat sosok produser muda tersebut memasuki ruang kerjanya. Pria paruh baya itu pun berdeham, kemudian membalas sapaannya dengan lugas, "Selamat siang. Ada perlu apa Anda kemari? Kalau Anda ingin membahas perihal wawancara lagi, maaf saya tidak punya waktu banyak." Sambil berkata demikian, tangannya sibuk merapikan berkas yang telah dia tandatangani. "Umm, sebelumnya saya minta maaf karena datang tanpa pemberitahuan. Tapi, Anda tak perlu khawatir. Kedatangan saya kemari bukan untuk itu," balas Alfred sembari menautkan kedua tangannya, bermaksud menutupi kegugupan yang dia rasakan. "Lalu?" Menghela napas sejenak, produser muda tersebut kembali berujar, "Begini, saya datang untuk menyampaikan turut berduka cita pada Anda secara pribadi, Tuan Hamilton. Saya minta maaf, karena baru bisa menyampaikannya sekarang." Usai itu keheningan melanda, karena tak ada balasan apa pun dar
"Bagaimana keadaan ayah saya?" ujar Nathan setelah dokter selesai memeriksa keadaan Jonathan.Sang dokter pun menghela napas sejenak lalu memasang ekspresi senetral mungkin. "Hmm, begini, sepertinya ayah Anda mengalami stres berlebih. Selain itu, tekanan darahnya juga cukup rendah karena tubuhnya kurang menerima asupan nutrisi seimbang. Tapi, kalian tidak perlu khawatir. Selebihnya Ayah Anda baik-baik saja , karena yang beliau butuhkan hanya istirahat yang cukup dan pola makan yang teratur."Nathan langsung menghela napas lega dan berterima kasih pada sang dokter. Usai itu, ia meminta ijin pada dokter tersebut untuk menemui ayahnya di dalam ruang rawat.Sesaat setelah Nathan masuk ke ruang rawat, matanya langsung tertuju pada Jonathan yang terbaring lemah di kasur berbalut selimut putih tipis. Seketika itu juga, terlintas memori mendiang ibunya yang juga terbaring di atas tempat tidur hingga ajal menjemputnya. Kini memori itu berhasil menimbulkan prasangka buruk dalam benaknya tentang
"Kenapa kita harus menemuinya?" ujar Nathan sembari mengernyitkan alisnya. Hening. Usai mengusap lembut foto mendiang ibunya, Natalie pun kembali meletakannya di atas meja kerjanya. Wanita bersurai pirang itu kembali menghela napas untuk yang kesekian kalinya. "Karena itu yang bisa kita lakukan untuk Ayah. Kamu lihat sendiri 'kan bagaimana hancurnya Ayah usai kepergian Ibu?" Setelahnya, Natalie mengambil buku diari tersebut lalu membukanya ke halaman pertama. "Baca ini," sambungnya sambil menyodorkan halaman paling belakang buku diari tersebut pada Nathan. Nathan pun langsung membuang pandangannya ke arah lain. Pria itu menolak untuk membacanya, bukan karena tak ingin menangis, melainkan karena baginya tidak sopan membaca sesuatu yang bersifat privasi. Terlebih privasi ibunya. "Kenapa?" Kini giliran Natalie yang mengernyitkan alisnya. "Kamu tahu 'kan kalau aku tidak suka membaca hal yang bersifat privasi. Apalagi privasi Ibu!" tegas Nathan. Perkataannya membuat Natalie memutar
"Baik, Bi. Aku sudah siap," ucap Emily seraya bangkit dari kursi riasnya. "Mari saya antar, Nona," tawar sang Pelayan sembari mengulurkan tangannya. . . . Ketika Emily keluar dari dalam ruang rias dengan kebaya modern berwarna beige dan kain batik berwarna coklat pekat. Beberapa tamu undangan langsung menoleh ke arahnya dan berdecak kagum. Gadis itu sesekali melirik ke arah para tamu undangan yang saat ini sedang menatapnya dengan tatapan penuh rasa takjub. Bukan hanya itu, kini dirinya juga melirik ke arah Jonathan—calon tunangannya yang saat ini juga sedang menatapnya dengan tatapan yang sulit ia terjemahkan. Kagumkah? Sukakah? Atau hanya sekedar terpana? Setibanya di hadapan calon ibu mertuanya. Ia disambut dengan sebuah pelukan hangat. "Hello, Dear. Nice to meet you. You're so beautiful," pujinya dengan senyum sumringah. "Aa ... thank you so much, Ma'am," ba
[Jakarta, 21 April 1991 'Diariku, Seminggu lagi hari pertunanganku akan tiba. Aku sudah tidak sabar menantikan hari pertunanganku dengan pria pujaan hatiku. Semoga saja berjalan dengan lancar ya. Aku tidak tahu, tapi entah kenapa aku begitu menantikannya. Apa dia menantikannya juga? Kuharap iya. Sampai di sini dulu ya, diariku.'] . . . "Ayuuuuuuuu!!!" seru Emily dari kejauhan. Sosok pemilik nama tersebut menoleh dengan ekspresi penuh tanda tanya. "Emily? Kok kamu ke kampus? Bukannya hari ini kamu tidak ada kelas, ya?" Bukannya menjawab, gadis surai coklat itu malah memasang senyuman termanis, manisnya mengalahkan madu. Senyuman yang menghiasi wajahnya semakin membuat Ayu bertanya-tanya. "Emily ... kamu baik-baik saja?" Ayu kini mulai bergidik ngeri karena sikap aneh dari teman baiknya itu. Emily mengangguk penuh semangat. Kini wajahnya semakin
"Hah?" "Iya. Ayah ingin bertemu dengannya besok. Apa ada masalah dengan itu?" ucap Jonathan tanpa ragu. Terpancar kilau mata yang tak biasa dari iris biru langitnya. Perkataan yang keluar dari mulut sang Ayah tentu membuat Nathan sedikit bingung. Kenapa tiba-tiba beliau ingin pergi menemuinya? "Kenapa Ayah ingin menemuinya? Apa ... apa Ayah bermaksud mendukung pembuatan film tentang Ibu?" tanya Nathan terus terang. "Iya," sahut Jonathan sembari menganggukan kepalanya dengan mantap. Tak lupa senyum tipis yang terhias di wajah rupawannya. Jawaban sang Ayah membuat pria bernetra magenta itu juga ikut menyunggingkan senyum lebar penuh bahagia. "Baiklah. Aku akan mengabari beliau malam ini juga." Perasaan bahagia yang menyeruak dalam dadanya membuat Nathan semakin tak sabar menanti hari esok. . . Keesokannya Jonathan sengaja berangkat dengan menumpang di mobil putra sulungnya. Dengan tujuan agar mereka bisa langsung ke tempat sang produser bersama-sama. "Jadi, kita bisa menemu
Di saat jam makan siang tiba, Nathan tampak bingung ketika ayahnya tak kunjung keluar dari dalam ruang kerjanya. Alhasil, ia pun berinisiatif menghampiri Jonathan untuk mengajaknya makan siang bersama. Namun, saat Nathan baru saja akan mengetuk pintunya. Dari belakang, Alex buru-buru menghentikannya dengan menariknya menjauh dari ruang kerja Jonathan. "Ehh? Kenapa?" tanya Nathan seraya mengernyitkan dahinya, bingung. Alex langsung mengacungkan jari telunjuknya. Sebagai isyarat untuk tetap diam. Namun, matanya sesekali melirik ke ruang kerja Jonathan, untuk mengamati sekilas kegiatan bosnya itu yang terlihat dari kaca jendela ruangannya. Setelah dirasa cukup aman, Alex pun langsung melepas tangan Nathan. Sesaat setelah dirinya menghela napas panjang, Alex berbisik, "Maaf, sebenarnya ini semua salahku." Terlihat jelas di wajahnya raut rasa bersalah. Tak mengerti maksud dari perkataan teman baiknya itu, Nathan pun semakin mengerutkan dahinya. "Kenapa minta maaf segala sih??" ucapny
"Maaf, Pak. Tapi, naskah untuk proyek A Dreamer bahkan belum sempat saya revisi," balas Klara senetral mungkin. "Hmm, benar juga ...," ujar Alfred sembari berpikir sejenak. "Aah, untuk naskah itu saya akan meminta Olivia menyelesaikannya. Jadi, kamu tidak perlu khawatir." Klara langsung mengernyitkan alisnya, bingung. Ia tak habis pikir dengan tindakan bosnya yang suka semena-mena itu. Mudah memindahtangankan tanggung jawab begitu saja. "Tapi, Pak. Anda sudah mempercayakan naskah itu pada saya sejak awal. Jadi, saya tidak mungkin menyerahkannya pada Olivia. Lagipula Anda sudah memberinya beberapa pekerjaan lain, kan?" tegas Klara masih mengernyitkan alisnya. Selama Klara dan Alfred berdebat, Nathan dan Natalie memilih untuk diam memperhatikan mereka dengan seksama. Tak bisa Nathan mungkiri, bila sisi tegas Klara menjadi salah satu daya pikat yang wanita itu miliki. Serta salah satu sisi yang membuatnya jatuh cinta pada wanita itu. "Kalau begitu kita bisa menunda naskah tersebut
"Boleh aku menciummu?" Suara Nathan yang masuk ke indera pendengarannya, entah kenapa terdengar bagai candu bagi Klara. Tanpa ragu, wanita itu pun langsung memejamkan matanya, seolah memberi ijin. Seperti sedang dimabuk cinta, ia membiarkan pria bersurai coklat itu mengulum bibirnya selama beberapa saat, merasakan lembut dan hangatnya benda lunak yang melesat masuk ke dalam rongga mulutnya. Perasaan rindu yang teramat dalam juga gelora hasrat yang bergemuruh dalam dada, membuat mereka berdua hampir melakukannya ke sesi yang lebih intens. Namun, Nathan memilih untuk menyudahinya, karena sadar bila mereka hampir melewati batas. "Maaf." Hanya itu yang terlontar dari mulutnya. Tanpa berkata apa-apa lagi, Nathan langsung kembali pada posisi awalnya. Hingga keheningan kembali tercipta di antara mereka. Klara paham betul arti kata 'maaf' yang baru saja keluar dari mulut Nathan. Alhasil, tanpa basa-basi, wanita itu langsung beranjak keluar dari dalam mobil. Meski dalam hati kecilnya, ia s
"Kenapa kita harus menemuinya?" ujar Nathan sembari mengernyitkan alisnya. Hening. Usai mengusap lembut foto mendiang ibunya, Natalie pun kembali meletakannya di atas meja kerjanya. Wanita bersurai pirang itu kembali menghela napas untuk yang kesekian kalinya. "Karena itu yang bisa kita lakukan untuk Ayah. Kamu lihat sendiri 'kan bagaimana hancurnya Ayah usai kepergian Ibu?" Setelahnya, Natalie mengambil buku diari tersebut lalu membukanya ke halaman pertama. "Baca ini," sambungnya sambil menyodorkan halaman paling belakang buku diari tersebut pada Nathan. Nathan pun langsung membuang pandangannya ke arah lain. Pria itu menolak untuk membacanya, bukan karena tak ingin menangis, melainkan karena baginya tidak sopan membaca sesuatu yang bersifat privasi. Terlebih privasi ibunya. "Kenapa?" Kini giliran Natalie yang mengernyitkan alisnya. "Kamu tahu 'kan kalau aku tidak suka membaca hal yang bersifat privasi. Apalagi privasi Ibu!" tegas Nathan. Perkataannya membuat Natalie memutar
"Bagaimana keadaan ayah saya?" ujar Nathan setelah dokter selesai memeriksa keadaan Jonathan.Sang dokter pun menghela napas sejenak lalu memasang ekspresi senetral mungkin. "Hmm, begini, sepertinya ayah Anda mengalami stres berlebih. Selain itu, tekanan darahnya juga cukup rendah karena tubuhnya kurang menerima asupan nutrisi seimbang. Tapi, kalian tidak perlu khawatir. Selebihnya Ayah Anda baik-baik saja , karena yang beliau butuhkan hanya istirahat yang cukup dan pola makan yang teratur."Nathan langsung menghela napas lega dan berterima kasih pada sang dokter. Usai itu, ia meminta ijin pada dokter tersebut untuk menemui ayahnya di dalam ruang rawat.Sesaat setelah Nathan masuk ke ruang rawat, matanya langsung tertuju pada Jonathan yang terbaring lemah di kasur berbalut selimut putih tipis. Seketika itu juga, terlintas memori mendiang ibunya yang juga terbaring di atas tempat tidur hingga ajal menjemputnya. Kini memori itu berhasil menimbulkan prasangka buruk dalam benaknya tentang
"Selamat siang Tuan Hamilton," sapa Alfred sambil tersenyum tipis. Jonathan sedikit menaikan alisnya ketika melihat sosok produser muda tersebut memasuki ruang kerjanya. Pria paruh baya itu pun berdeham, kemudian membalas sapaannya dengan lugas, "Selamat siang. Ada perlu apa Anda kemari? Kalau Anda ingin membahas perihal wawancara lagi, maaf saya tidak punya waktu banyak." Sambil berkata demikian, tangannya sibuk merapikan berkas yang telah dia tandatangani. "Umm, sebelumnya saya minta maaf karena datang tanpa pemberitahuan. Tapi, Anda tak perlu khawatir. Kedatangan saya kemari bukan untuk itu," balas Alfred sembari menautkan kedua tangannya, bermaksud menutupi kegugupan yang dia rasakan. "Lalu?" Menghela napas sejenak, produser muda tersebut kembali berujar, "Begini, saya datang untuk menyampaikan turut berduka cita pada Anda secara pribadi, Tuan Hamilton. Saya minta maaf, karena baru bisa menyampaikannya sekarang." Usai itu keheningan melanda, karena tak ada balasan apa pun dar