Share

Wajah Tanpa Dosa

Penulis: Nisa Khair
last update Terakhir Diperbarui: 2024-06-12 20:15:26

Di tempat lain, Dewi masih disibukkan dengan barang-barang setelah pindah kontrakan.

“Bisa sebulan baru kelar ini,” keluhnya, sambil memindahkan pakaian ke dalam lemari .

“Huh! Mana capek banget nggak ada yang bantuin.”

Dewi memilih merebahkan badan, alih-alih menyelesaikan pekerjaan yang ada di depan mata.

Selama beberapa hari terakhir, ia yang kelelahan sebab kepindahan mendadak serta menyita jam istirahat, hanya menarik pakaian yang akan dipakai dari dalam koper.

Demikian pula dengan anak dan suaminya.

“Masukin dulu pakaian ke lemari, Ma. Masa tiap mau salin mesti buka koper,” tegur Azam di hari kedua mereka pindah.

Dewi justru mendelik tak suka ditegur demikian.

“Papa habisan. Ngajak pindah kok tiba-tiba. Nggak pakai persiapan dulu, pemanasan dulu gitu. Ini, main pergi aja. Malam itu juga lagi,” gerutu Dewi membuat Azam melengak tak suka.

“Kenapa jadi nyalahin Papa? Orang kamu juga minta pindah mal
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Membungkam Mulut Tetangga Julid   Ganti Rugi

    Hari-hari dijalani Dewi dengan penuh kejutan. Sikapnya yang tidak mau kalah dari orang lain, beberapa kali memicu pertengkaran dengan tetangganya. Terlebih lagi, anak-anak kecil di sana sering menyelinap masuk jika ia lengah tidak menutup rapat pintu depan. Bukan sekali ia menemukan barangnya diacak-acak oleh mereka. Tidak bisa berbuat banyak, dia pun hanya bisa menuruti ucapan suaminya untuk selalu mengunci pintu jika sedang ada di rumah. “Kita pindah aja, sih, Pa. Nggak betah Mama. Berisik banget tetangga sebelah. Mana anak nya banyak, kecil-kecil suka nyelonong masuk,” cerocos Dewi saat benar-benar merasa lelah dengan kondisi di kontrakan barunya. “Nggak bisa, Ma. Ini udah yang paling pas sama budget kita. Sabar-sabarin lah,” sahut Azam yang tidak peduli dengan keluhan istrinya. “Papa sih, enak, main bilang sabar. Yang di rumah kan Mama. Capek tau, Pa.” La

    Terakhir Diperbarui : 2024-06-13
  • Membungkam Mulut Tetangga Julid   Hati-hati

    Tinggal bersebelahan dengan penjual bubur ayam, membuat hari-hari Dina akrab dengan aroma masakan. Tidak masalah bagi wanita hamil itu, sebab saat masih lajang pun ia pernah bekerja paruh waktu di warung makan. Setidaknya ini jauh lebih baik daripada menghirup asap rokok seperti tempo hari. Ia yang dulu mengenal Lila sambil lalu, kini terlihat sering mengobrol di teras. Ya, sambil menemani anak-anak bermain. Soal gerobak yang pernah dirisaukan oleh Nia beberapa waktu lalu, tidak menjadi masalah bagi Dina, sebab Gema menempatkan gerobak tersebut di ujung halaman. Pintu pagar baru itu juga seperti memiliki kehidupan semenjak Gema dan keluarga kecilnya tinggal di sana. Mereka, semua penghuni bebas menggunakan dengan leluasa, tidak seperti ketika Dewi yang tinggal di sana, yang justru menjadikan pintu itu sebagai hak miliknya. .

    Terakhir Diperbarui : 2024-06-13
  • Membungkam Mulut Tetangga Julid   Tamu Istimewa

    Jarum jam menunjuk angka sembilan malam, saat Deny memberi kabar kalau mereka akan kedatangan tamu agung."Dek, besok Nenek ke sini. Sekarang lagi di jalan. Ini tadi barusan nelpon bapak."Dina menghentikan kegiatannya melipat pakaian. Nenek yang dimaksud adalah orang tua Deny, ibu mertua Dina. Menghela nafas panjang, menghembuskannya kemudian. 'Sepertinya harus begadang buat bereskan semua ini.' Dina berdialog sendiri."Iya, Mas. Semoga perjalanan ibu lancar, selamat sampai di sini," sahut Dina yang kemudian menyapu pandang ke seluruh ruangan.Mainan berserakan dari ujung pintu masuk hingga pintu dapur. Keranjang baju kotor penuh. Cucian piring menumpuk. Sisa jajanan tadi sore berserakan di dapur. Sungguh, ini seperti kapal pecah. Belum lagi kompor yang entah kapan terakhir dilap. Dina memandangi anaknya yang sudah terlelap. Sang suami juga beranjak tidur, pasti lelah sudah bekerja seharian. Ia juga mengantuk karena hari

    Terakhir Diperbarui : 2024-06-14
  • Membungkam Mulut Tetangga Julid   Kejutan

    Hari kedua di rumah Dina, Bu Sari pamit untuk jalan-jalan seorang diri. "Ibu mau lihat-lihat daerah sini. Kalian berdua nggak usah kuatir ibu tersesat. Oke?" ucap wanita paruh baya itu dengan penuh percaya diri.Deny mengiyakan, karena percuma melarang jika sang ibu sudah punya keinginan. Dua jam kemudian, Bu Sari pulang ke kontrakan Dina. Namun, ia tak sendiri."Ayo, Pak, tolong bawa masuk sini," ucap Bu Sari pada orang yang datang bersamanya.Ibu mertua Dina itu membuka pintu pagar di depan kamar Dina."Baik, Bu." Nampak dua orang mengangkat sebuah kardus besar."Assalamu'alaikum, Dina. Ibu pulang, Nak," ucap Bu Sari saat sudah ada di depan pintu yang ternyata dalam kondisi terkunci."Wa'alaikumsalam. Iya, Bu. Tunggu sebentar,” sahut Dina dari dalam kamar sambil berjalan menuju ke mana ibu mertuanya berada.Dina membuka pintu yang dikunci. Ia memang berada di rumah berdua saja dengan Putri, sementara Deny pam

    Terakhir Diperbarui : 2024-06-14
  • Membungkam Mulut Tetangga Julid   Pinjam Bentar

    "Cieee ... Punya mesin cuci sama kulkas baru nih, ye ...."Lila, istri tukang bubur, menyambut Dina saat ia baru saja membuka pintu pagar.'Bagaimana ia bisa tau?' Dina bertanya dalam hati.Apa mungkin kemarin dia lihat pas ibu pulang bawa kotak besar itu ya? Atau suara mesinnya terdengar ke rumah dia? Bisa jadi …, kan kemarin sore dicoba. Mbak Lila kepo, ah.Dina masih berdialog dalam diam, sebelum akhirnya menyapa tetangganya."Eh, ada Mbak Lila." Wanita yang tengah menggendong anak sulungnya itu tidak langsung menanggapi ucapan Lila saat ia baru datang tadi."Udah pulang Embahnya Putri ya, Tante?" tanya Lila basa-basi, padahal sudah melihat kepergian ibu mertua Dina tadi."Udah, Mbak. Maaf saya masuk dulu, ya?" jawab dan pamit Dina yang ingin segera masuk untuk istirahat."Iya, Tante. Entar boleh ya minjem mesin cuci barunya?"Ucapan Lila menghentikan langkah Dina. "Hah?” Ibu dari

    Terakhir Diperbarui : 2024-06-15
  • Membungkam Mulut Tetangga Julid   Dimanfaatkan?

    Dina terheran-heran melihat kedatangan Lila. 'Jadi yang tadi dia bilang itu beneran?' Dina bertanya-tanya sendiri. Mau menolak juga tak enak, sedangkan cucian sudah dibawa ke depan pintunya, seakan tak boleh ditolak permintaannya. "Oh … iya, Mbak. Sini, bawa masuk." Merasa serba salah, pada akhirnya Dina mengijinkan juga, sebab pernah merasakan di posisi Lila.Gegas meminta ijin melalui pesan singkat yang segera diiyakan oleh sang suami."Oke, Tante. Makasih, ya. Nanti ajari ya, gimana pakainnya." Lila berkata setelah membawa ember besarnya masuk."Iya, Mbak." Dina membuka tabung pengering, mempersilakan Lila menggunakannya. "Masukkan ke sini ya, Mbak. Nanti ditutup dulu pakai ini, setelah rapat baru yang ini. Jangan kepenuhan ya, nanti nggak bisa muter dia kalau kebanyakan." Dina menunjukkan cara menggunakan pengering cucian."Oke, Tante," jawab Lila sambil mengacungkan jempol."Enak banget deh, Tante.

    Terakhir Diperbarui : 2024-06-15
  • Membungkam Mulut Tetangga Julid   POV Bu Sari

    POV Bu SariAku baru saja menerima sejumlah uang hasil panen di sawah. Alhamdulillah kali ini hasil panen melimpah. Tiba-tiba saja aku ingin menengok cucuku yang jauh di ibukota bersama anak dan menantuku. Sudah lama aku tak menggendong cucu pertamaku.Selama ini, jika sedang kangen, aku hanya bisa mendengar suaranya melalui sambungan telepon. Hanya ada fotonya saat bayi yang bisa kupandangi. Aku juga sering 'meminjam' anak tetangga yang seumuran dengan cucuku sebagai pengobat rindu.Tak menunggu lama, aku bergegas menuju agen tiket bus ke ibukota. Beruntung sekali tiket hari itu tersedia. Dengan membawa selembar tiket setelah membayarnya, aku berangkat seorang diri hari itu juga saat sore menjelang magrib. Aku baru memberi kabar kepada anakku saat sudah dalam perjalanan ke sana. Aku tak bisa memejamkan mata selama dalam perjalanan. Selama itu pula hanya bisa menikmati kelap-kelip lampu di waktu malam.Jam tiga dini hari, bus yang kami n

    Terakhir Diperbarui : 2024-06-17
  • Membungkam Mulut Tetangga Julid   Demi Kewarasan

    Aku mencari info lagi mengenai Dina ke tetangga sekitar kontrakan saat mengajak Putri, cucuku berjalan-jalan kaki di sore hari. Aku mendapat banyak info mengenai Dina. Termasuk tentang Dewi yang pernah melemparkan barang-barang yang ada di teras rumah Dina ke halaman. Aku benar-benar tak menyangka ada orang bar-bar seperti Dewi. Aku justru semakin penasaran dan ingin melihat, seperti apa sih, orangnya?Dina juga bercerita kalau awal mula tinggal di sana, hubungan mereka baik-baik saja. Bahkan Dina juga diberi rak piring, piring dan mangkok yang masih dipakai sampai sekarang. Namun, lama kelamaan malah renggang bahkan cekcok karena hal sepele.Yaa, setidaknya orangnya sudah tidak tinggal di sana. Sedikit lega lah aku. Kalau tetangga yang lain, kurasa aman lah. Aku berencana membelikan mesin cuci setelah mendengar cerita yang masuk ke telingaku. Itu supaya ia tak perlu menunggu jemurannya tak menetes baru dikeluarkan. Oleh sebab itu kees

    Terakhir Diperbarui : 2024-06-17

Bab terbaru

  • Membungkam Mulut Tetangga Julid   Buat Kita Aja

    “Dapat arisan kan, kamu? Kebetulan, sudah saatnya kirim ke ibu.”Hati Lila meradang mendengar ucapan suaminya. Terlebih lagi, melihat ekspresi pria di depannya yang tidak merasa bersalah sedikitpun. “Itu tabungan aku, Yah!?” seru Lila tak terima.Setelah sekian lama ia menyusul suami ke ibukota, lalu berusaha menyisihkan sedikit tabungan, kini dengan mudahnya lelaki itu merampas apa yang ia punya. Ya, meski semua dari pemberian sang suami. Namun, sebagai istri, dia juga punya hak bukan?“Tabungan kamu kan dari aku juga,” sahut Gema yang langsung menyimpan lembaran-lembaran merah itu ke dalam saku celananya.“Dah lah, sana urusin Ari. Ayah mau tidur biar bisa bangun cepat lalu masak bubur,” pungkas Gema lalu berlalu ke kamar. Lila ingin mendebat, tapi seakan tidak bertenaga. Dalam diam, wanita itu mencari cara supaya bisa mengambil kembali haknya..Tengah malam, Lila terbangun dengan kepala yang pusing luar biasa.

  • Membungkam Mulut Tetangga Julid   Perdebatan Suami Istri

    Beberapa saat sebelumnya …Lila memasuki halaman kontrakan dengan berdendang ringan. Wanita itu baru saja pulang dari arisan di komplek sebelah.Aroma masakan langsung menyapa indera penciuman begitu ia membuka pintu. Pemandangan pertama yang terlihat adalah Ari yang sedang duduk manis di depan kotak nasi yang terbuka dan menampilkan isinya.Beberapa bungkus makanan ringan berserakan di sekitar bocah berumur tiga tahun itu. Melihat siapa yang datang, Ari langsung melebarkan senyum dan menyapa, “Bunda!”Lila tersenyum malas, dan lebih tertarik dengan nasi kotak yang terlihat lezat.“Ayah mana, Nak?” tanya Lila setelah mendaratkan bibir di pipi gembul anak sulungnya.“Ayah masak di dapur!”Gema menyahut sebelum Ari menjawab pertanyaan sang Bunda.“Jam segini baru pulang. Pasti ngerumpi lagi!” gerutu Gema yang segera beranjak dari dapur menuju ruang tamu.“Nggak ingat anak. Main pergi nggak pulang-pulang.”Gema masih meluapkan kekesalannya pada sang istri yang pergi sejak sore hingga mal

  • Membungkam Mulut Tetangga Julid   Aku suka Rumahnya, Mas

    "Gimana Dek, setuju nggak kalau kita pindah ke sana?"Deny sungguh ingin tahu pendapat sang istri, meski sudah terbaca dari raut wajahnya saat berada di sana sore tadi."Setuju sih, Mas. Tapi ... ," jawaban Dina menggantung, seakan ada hal yang berat untuk disampaikan. Biar bagaimana pun, ia sudah jatuh hati dengan rumah yang mereka kunjungi, terlebih dengan halaman di belakang rumah. Ia tak perlu ke luar rumah untuk menjemur cucian, bukan? Juga akan merasa aman menemani anaknya bermain di halaman depan karena sudah memiliki pagar."Tapi kenapa, Dek?" kali ini Deny memandang lekat penuh tanya pada sang istri."Apa nggak mahal sewanya, Mas?” cicit Dina membuat salah satu sudut bibir suaminya tertarik ke atas.“Sudah kuduga,” batin Deny.Dina menghembuskan napas panjang, lalu berkata, “Rumahnya bagus, lho. Halaman ada dua, sudah dipagar lagi," terucap juga pertanyaan yang mengganjal hati wanita itu. Se

  • Membungkam Mulut Tetangga Julid   Survei Lokasi

    Di tempat kerja, Deny disambut dengan ungkapan belasungkawa dari teman-teman kerja. Pria yang masih berduka itu menerima sumbangan kematian dari rekan kerja yang dimasukkan di dalam amplop berwarna putih. Sudah menjadi hal wajar di tempat ia bekerja. Namun, belum ada niat untuk membuka dan melihat isinya. Ia pun menyimpan amplop itu di dalam tas. "Ayo Den, kita ke luar, yuk," ajak Sapto saat jam makan siang."Mau ke mana?""Makan di depan yuk. Aku yang traktir, deh," jawab Sapto dengan senyum tulus."Ya udah, ayok."Mereka berjalan beriringan. Ada empat orang lagi yang ikut serta. Mereka semua teman satu divisi, berusaha menghibur Deny yang masih dalam suasana berkabung dengan bermacam cara.."Dek, ini tadi Mas dapat uang kematian dari teman-teman," ucap Deni saat buah hati mereka sudah terlelap, sambil menyerahkan amplop tebal."Ini buat Ibu kan, Mas? Dikirim aja uangnya," saran Dina begitu sa

  • Membungkam Mulut Tetangga Julid   Sampai Tuntas

    Wajah Dina menjadi seputih kapas begitu meninggalkan dapur."Kenapa, Bu?" Deni saat melihat perubahan istrinya."I-itu, Pak. Ada ekor di dalam kompor," ucap Dina dengan nada panik mode on.Deni tersenyum menanggapi. Tanpa berkata lagi, ia beranjak untuk membuka pintu depan. "Tutup dulu pintu kamarnya, Bu."Dina menurut meski tak mengerti dengan maksud sang suami.Deni kembali ke dapur untuk melepaskan sambungan regulator, kemudian mengangkat kompor dua tungku tersebut ke luar rumah.Deni berhenti di luar pagar, lantas membalik kompor itu, dan benar saja, si pemilik ekor yang ditemukan oleh istrinya melompat ke luar."Pergi yang jauh, jangan kembali lagi, ya," ucap Deni sambil dadah dadah.Deni kembali ke dalam rumah, mengambil lap untuk membersihkan kompor."Sudah ketemu, Pak?" ia disambut dengan pertanyaan dari istrinya yang baru ke luar dari kamar mandi."Sudah, Bu. Sudah pergi malah.""Alhamdulillah ... ."Dina menghembuskan napas lega, sambil menepuk dada."Senang sekali dengar

  • Membungkam Mulut Tetangga Julid   Ada Tamu

    Pukul empat sore, ibu-ibu sudah memenuhi halaman rumah Bu Sari. Sudah menjadi kebiasaan di sana, jika ada warga meninggal, warga lain bergantian membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an. Sore hari setelah Ashar untuk ibu-ibu, sedang untuk bapak-bapak setelah sholat Maghrib. Bu Sari serta Dina ikut bergabung dengan para ibu. Sesekali Bu Sari masih meneteskan air mata. Dina tetap setia di samping Bu Sari mencoba menguatkan.Sedikit hiburan untuk Bu Sari dengan adanya Putri. Sesekali diajak bercanda untuk melupakan kesedihan karena ditinggal belahan jiwa. Tak jarang pula kenangan demi kenangan berkelebat dalam ingatan, membuat butiran mutiara berdesakan hendak ke luar dari indera penglihatan.***Tak terasa sudah tiga hari Dina dan Deny menemani Bu Sari di rumah setelah kepergian sang suami. Bu Sari sedikit terhibur dengan adanya Putri, cucu satu-satunya yang bertingkah lucu. Tak jarang Bu Sari menggendong dan menemani bermain saat Dina harus beristirahat. Kondisinya yang sedang berbadan dua d

  • Membungkam Mulut Tetangga Julid   Pembaringan Terakhir

    "Bu, Bapak baik-baik saja, kan?" Deny bertanya sekali lagi. Sementara Bu Sari masih terisak. Perasaan Deny mulai tak nyaman."Bapakmu baik. Bapak sudah tenang, Nak. Kalian pulang, ya," ucap Bu Sari di antara isak tangisnya.“Maksud ibu tenang bagaimana?” kejar Deny, mengabaikan isakan sang ibu.“Bapakmu meninggal, Nak. Jam satu dini hari tadi. Pulanglah kalau masih ingin melihat bapakmu untuk terakhir kalinya,” jelas Bu Sari, membuat tangis Deny meledak.“Bu … Bapak meninggal, Bu …,” raung Deny yang reflek memeluk istrinya.Dina sendiri terdiam untuk beberapa saat melihat reaksi suaminya. “Innaa lillaahi wa Innaa ilaihi raaji'uun,” gumamnya nyaris tak terdengar.“Mas, istighfar, Mas …,” ucap Dina kemudian, sambil menepuk-nepuk punggung suaminya. “Yang ikhlas, ya, biar lapang jalan Bapak,” lanjut Dina, yang sedikit menenangkan pria yang masih terisak dalam pelukannya.Teringat pada sang ibu yang masih terhubung melalui sambungan telepon, lelaki itu pun berkata, “Baik, Bu. Aku akan car

  • Membungkam Mulut Tetangga Julid   Banjir

    Sore harinya ….Dina tertegun melihat genangan air di depan kontrakan. Tingginya menyentuh bagian bawah pintu pagar. Hujan baru berhenti beberapa menit yang lalu. Wanita bergamis hijau toska itu berharap air tidak naik lagi, seperti beberapa waktu lalu, yang justru jadi penyebab banjir karena air kiriman.Sempat tertidur setelah menidurkan putri kecilnya, Dina terbangun saat mendengar suara hujan yang turun bagai dicurahkan dari langit. Atap rumah tempat ia tinggal bukan dari genteng yang terbuat dari tanah, sehingga saat hujan turun meski gerimis kecil, ia bisa mengetahui dari dalam rumah.Istri dari Deny itu melihat anak-anak bermain air banjir. Ada yang membawa ban mobil yang besar untuk mereka naiki bergantian. Ada juga yang membawa kursi rusak untuk dinaiki rame-rame."Aku woy … woy … gantian!"Byurr ….Seorang anak menceburkan diri ke genangan air di ujung lapangan."Ganti aku!"Seorang anak lainnya hendak menaiki kursi rusak yang sudah diduduki oleh temannya. Namun, sudah asy

  • Membungkam Mulut Tetangga Julid   Tanpa Kamu

    Dina melihat Putri telah bangun dengan badan yang basah. Pemandangan yang biasa ia temui, sebab tidak menggunakan popok bayi pada anaknya.Jika ada Deny, lelaki itu akan sigap memegang anaknya dalam kondisi seperti sekarang. Dina menghela napas teringat suaminya yang ringan tangan membantunya mengurus anak.Toilet training sudah diajarkan sedini mungkin. Namun, sejauh ini belum membuahkan hasil. Menghela napas sejenak, mengulas senyum tipis, lantas bergegas mengangkat bocah kecilnya untuk dibersihkan di kamar mandi.Pakaian yang bersih telah menempel di badan Putri. Dina mengoleskan minyak telon ke beberapa bagian badan anaknya yang terbuka, lantas kembali mengASIhi putri kecilnya yang kini sudah wangi. "Kalau masih ngantuk boleh bobok lagi ya, Nak. Tapi ini sudah pagi, mau main juga boleh," ucap Dina sambil mengASIhi Putri. Satu tangannya yang bebas, mengusap-usap kepala bocah kecil itu dengan penuh rasa sayang."Mmm ... mmm

DMCA.com Protection Status