Hari kedua di rumah Dina, Bu Sari pamit untuk jalan-jalan seorang diri. "Ibu mau lihat-lihat daerah sini. Kalian berdua nggak usah kuatir ibu tersesat. Oke?" ucap wanita paruh baya itu dengan penuh percaya diri.Deny mengiyakan, karena percuma melarang jika sang ibu sudah punya keinginan. Dua jam kemudian, Bu Sari pulang ke kontrakan Dina. Namun, ia tak sendiri."Ayo, Pak, tolong bawa masuk sini," ucap Bu Sari pada orang yang datang bersamanya.Ibu mertua Dina itu membuka pintu pagar di depan kamar Dina."Baik, Bu." Nampak dua orang mengangkat sebuah kardus besar."Assalamu'alaikum, Dina. Ibu pulang, Nak," ucap Bu Sari saat sudah ada di depan pintu yang ternyata dalam kondisi terkunci."Wa'alaikumsalam. Iya, Bu. Tunggu sebentar,” sahut Dina dari dalam kamar sambil berjalan menuju ke mana ibu mertuanya berada.Dina membuka pintu yang dikunci. Ia memang berada di rumah berdua saja dengan Putri, sementara Deny pam
"Cieee ... Punya mesin cuci sama kulkas baru nih, ye ...."Lila, istri tukang bubur, menyambut Dina saat ia baru saja membuka pintu pagar.'Bagaimana ia bisa tau?' Dina bertanya dalam hati.Apa mungkin kemarin dia lihat pas ibu pulang bawa kotak besar itu ya? Atau suara mesinnya terdengar ke rumah dia? Bisa jadi …, kan kemarin sore dicoba. Mbak Lila kepo, ah.Dina masih berdialog dalam diam, sebelum akhirnya menyapa tetangganya."Eh, ada Mbak Lila." Wanita yang tengah menggendong anak sulungnya itu tidak langsung menanggapi ucapan Lila saat ia baru datang tadi."Udah pulang Embahnya Putri ya, Tante?" tanya Lila basa-basi, padahal sudah melihat kepergian ibu mertua Dina tadi."Udah, Mbak. Maaf saya masuk dulu, ya?" jawab dan pamit Dina yang ingin segera masuk untuk istirahat."Iya, Tante. Entar boleh ya minjem mesin cuci barunya?"Ucapan Lila menghentikan langkah Dina. "Hah?” Ibu dari
Dina terheran-heran melihat kedatangan Lila. 'Jadi yang tadi dia bilang itu beneran?' Dina bertanya-tanya sendiri. Mau menolak juga tak enak, sedangkan cucian sudah dibawa ke depan pintunya, seakan tak boleh ditolak permintaannya. "Oh … iya, Mbak. Sini, bawa masuk." Merasa serba salah, pada akhirnya Dina mengijinkan juga, sebab pernah merasakan di posisi Lila.Gegas meminta ijin melalui pesan singkat yang segera diiyakan oleh sang suami."Oke, Tante. Makasih, ya. Nanti ajari ya, gimana pakainnya." Lila berkata setelah membawa ember besarnya masuk."Iya, Mbak." Dina membuka tabung pengering, mempersilakan Lila menggunakannya. "Masukkan ke sini ya, Mbak. Nanti ditutup dulu pakai ini, setelah rapat baru yang ini. Jangan kepenuhan ya, nanti nggak bisa muter dia kalau kebanyakan." Dina menunjukkan cara menggunakan pengering cucian."Oke, Tante," jawab Lila sambil mengacungkan jempol."Enak banget deh, Tante.
POV Bu SariAku baru saja menerima sejumlah uang hasil panen di sawah. Alhamdulillah kali ini hasil panen melimpah. Tiba-tiba saja aku ingin menengok cucuku yang jauh di ibukota bersama anak dan menantuku. Sudah lama aku tak menggendong cucu pertamaku.Selama ini, jika sedang kangen, aku hanya bisa mendengar suaranya melalui sambungan telepon. Hanya ada fotonya saat bayi yang bisa kupandangi. Aku juga sering 'meminjam' anak tetangga yang seumuran dengan cucuku sebagai pengobat rindu.Tak menunggu lama, aku bergegas menuju agen tiket bus ke ibukota. Beruntung sekali tiket hari itu tersedia. Dengan membawa selembar tiket setelah membayarnya, aku berangkat seorang diri hari itu juga saat sore menjelang magrib. Aku baru memberi kabar kepada anakku saat sudah dalam perjalanan ke sana. Aku tak bisa memejamkan mata selama dalam perjalanan. Selama itu pula hanya bisa menikmati kelap-kelip lampu di waktu malam.Jam tiga dini hari, bus yang kami n
Aku mencari info lagi mengenai Dina ke tetangga sekitar kontrakan saat mengajak Putri, cucuku berjalan-jalan kaki di sore hari. Aku mendapat banyak info mengenai Dina. Termasuk tentang Dewi yang pernah melemparkan barang-barang yang ada di teras rumah Dina ke halaman. Aku benar-benar tak menyangka ada orang bar-bar seperti Dewi. Aku justru semakin penasaran dan ingin melihat, seperti apa sih, orangnya?Dina juga bercerita kalau awal mula tinggal di sana, hubungan mereka baik-baik saja. Bahkan Dina juga diberi rak piring, piring dan mangkok yang masih dipakai sampai sekarang. Namun, lama kelamaan malah renggang bahkan cekcok karena hal sepele.Yaa, setidaknya orangnya sudah tidak tinggal di sana. Sedikit lega lah aku. Kalau tetangga yang lain, kurasa aman lah. Aku berencana membelikan mesin cuci setelah mendengar cerita yang masuk ke telingaku. Itu supaya ia tak perlu menunggu jemurannya tak menetes baru dikeluarkan. Oleh sebab itu kees
"Wah, Dek … tadi aku ketemu sama tetanggamu." Deny memulai obrolan dengan istrinya selepas membersihkan diri. Pria itu baru saja pulang kerja. Wajahnya masih terlihat lelah."Tetangga yang mana, Mas?" tanya Dina dengan mengernyitkan keningnya."Ya, itu … Dewi, sama Sultan.""Oh ... Ketemu di mana?""Di pertigaan jalan sana yang tadi Bapak lewat. Wah … ngeri, Bu. Si Sultan lagi tantrum. Entah minta apa sampai guling-guling di pinggir jalan. Kayaknya emaknya sudah nggak tau mau bujuk gimana. Kayak bingung gitu mukanya." Deny bercerita panjang pendek sambil teringat kejadian yang baru dialami dalam perjalanan pulang ke rumah. Sang istri justru terkekeh mendengarnya, membuat Deny keheranan."Anak itu memang unik kalau minta sesuatu terus nggak dituruti,” ucap Dina yang mengerti arti tatapan mata suaminya. “Maklumi saja, Mas. namanya anak tunggal, nggak ada saingannya," lanjut Dina yang menanggapi dengan tersenyum
"Pinjem aja satu, ya," jawab Dina yang tersenyum-senyum saja."Oke, tunggu bentar ya, Tante." Meskipun belum mengerti apa yang dimaksud Dina karena ini di luar kebiasaannya, Lila tetap beranjak ke dapur dan mengambil mangkuk. "Ini, Tante," ucap Lila sambil mengangsurkan sebuah mangkuk bergambar ayam jago. Dina pamit setelah mengucap terima kasih."Dapat, Dek?" Tanya Deny saat melihat istrinya kembali dengan sebuah mangkuk di tangan."Dapat dong, nih." Dina memamerkan sebuah mangkuk bergambar ayam jago. Mangkuk yang sama seperti yang dipakai Gema berjualan bubur ayam. Ia isi dengan kolak yang masih panas."Aku antar dulu ya, Mas." Dina memberi alas piring plastik supaya tidak kepanasan saat mengantar kolak."Iya, Sayang," jawab Deny yang ikut senang melihat istrinya suka berbagi."Mbak, ini mangkoknya saya kembalikan," ucap Dina masih mengulas senyum saat sampai di depan rumah Lila."Owalah … ternyata
Tak berapa lama setelah Lila menghilang di balik pintu, terdengar ramai di luar rumah. Dina tidak memperdulikan, karena fokusnya kini pada putrinya.Setelah selesai acara makan pagi, gegas membereskan peralatan makan, kemudian memandikan Putri."Assalamu'alaikum Putri,” sapa seseorang membuat Dina menoleh karena terkejut.“Eh, udah cantik. Habis mandi ya, Nak?" Belum sempat Dina menjawab salam, Bu Maya melanjutkan sapaannya.Mantan tetangga Dina itu muncul di depan pintu tepat saat Dina selesai memakaikan baju pada Putri. Kondisi pintu depan memang terbuka. Meski terkejut, tak urung Dina mengulas senyum saat melihat siapa yang datang."Wa'alaikumsalam, Bu Maya. Iya, baru selesai mandi ini. Gimana kabarnya, Bu?” jawab dan sapa Dina, lantas menyapa gadis kecil dalam gendongan Bu Maya, “Hai, Hana cantik.”“Yuk, sini masuk," ajak Dina kemudian."Alhamdulillah sehat, Mbak Dina," jawab Bu Maya setelah berada di ruang
“Dapat arisan kan, kamu? Kebetulan, sudah saatnya kirim ke ibu.”Hati Lila meradang mendengar ucapan suaminya. Terlebih lagi, melihat ekspresi pria di depannya yang tidak merasa bersalah sedikitpun. “Itu tabungan aku, Yah!?” seru Lila tak terima.Setelah sekian lama ia menyusul suami ke ibukota, lalu berusaha menyisihkan sedikit tabungan, kini dengan mudahnya lelaki itu merampas apa yang ia punya. Ya, meski semua dari pemberian sang suami. Namun, sebagai istri, dia juga punya hak bukan?“Tabungan kamu kan dari aku juga,” sahut Gema yang langsung menyimpan lembaran-lembaran merah itu ke dalam saku celananya.“Dah lah, sana urusin Ari. Ayah mau tidur biar bisa bangun cepat lalu masak bubur,” pungkas Gema lalu berlalu ke kamar. Lila ingin mendebat, tapi seakan tidak bertenaga. Dalam diam, wanita itu mencari cara supaya bisa mengambil kembali haknya..Tengah malam, Lila terbangun dengan kepala yang pusing luar biasa.
Beberapa saat sebelumnya …Lila memasuki halaman kontrakan dengan berdendang ringan. Wanita itu baru saja pulang dari arisan di komplek sebelah.Aroma masakan langsung menyapa indera penciuman begitu ia membuka pintu. Pemandangan pertama yang terlihat adalah Ari yang sedang duduk manis di depan kotak nasi yang terbuka dan menampilkan isinya.Beberapa bungkus makanan ringan berserakan di sekitar bocah berumur tiga tahun itu. Melihat siapa yang datang, Ari langsung melebarkan senyum dan menyapa, “Bunda!”Lila tersenyum malas, dan lebih tertarik dengan nasi kotak yang terlihat lezat.“Ayah mana, Nak?” tanya Lila setelah mendaratkan bibir di pipi gembul anak sulungnya.“Ayah masak di dapur!”Gema menyahut sebelum Ari menjawab pertanyaan sang Bunda.“Jam segini baru pulang. Pasti ngerumpi lagi!” gerutu Gema yang segera beranjak dari dapur menuju ruang tamu.“Nggak ingat anak. Main pergi nggak pulang-pulang.”Gema masih meluapkan kekesalannya pada sang istri yang pergi sejak sore hingga mal
"Gimana Dek, setuju nggak kalau kita pindah ke sana?"Deny sungguh ingin tahu pendapat sang istri, meski sudah terbaca dari raut wajahnya saat berada di sana sore tadi."Setuju sih, Mas. Tapi ... ," jawaban Dina menggantung, seakan ada hal yang berat untuk disampaikan. Biar bagaimana pun, ia sudah jatuh hati dengan rumah yang mereka kunjungi, terlebih dengan halaman di belakang rumah. Ia tak perlu ke luar rumah untuk menjemur cucian, bukan? Juga akan merasa aman menemani anaknya bermain di halaman depan karena sudah memiliki pagar."Tapi kenapa, Dek?" kali ini Deny memandang lekat penuh tanya pada sang istri."Apa nggak mahal sewanya, Mas?” cicit Dina membuat salah satu sudut bibir suaminya tertarik ke atas.“Sudah kuduga,” batin Deny.Dina menghembuskan napas panjang, lalu berkata, “Rumahnya bagus, lho. Halaman ada dua, sudah dipagar lagi," terucap juga pertanyaan yang mengganjal hati wanita itu. Se
Di tempat kerja, Deny disambut dengan ungkapan belasungkawa dari teman-teman kerja. Pria yang masih berduka itu menerima sumbangan kematian dari rekan kerja yang dimasukkan di dalam amplop berwarna putih. Sudah menjadi hal wajar di tempat ia bekerja. Namun, belum ada niat untuk membuka dan melihat isinya. Ia pun menyimpan amplop itu di dalam tas. "Ayo Den, kita ke luar, yuk," ajak Sapto saat jam makan siang."Mau ke mana?""Makan di depan yuk. Aku yang traktir, deh," jawab Sapto dengan senyum tulus."Ya udah, ayok."Mereka berjalan beriringan. Ada empat orang lagi yang ikut serta. Mereka semua teman satu divisi, berusaha menghibur Deny yang masih dalam suasana berkabung dengan bermacam cara.."Dek, ini tadi Mas dapat uang kematian dari teman-teman," ucap Deni saat buah hati mereka sudah terlelap, sambil menyerahkan amplop tebal."Ini buat Ibu kan, Mas? Dikirim aja uangnya," saran Dina begitu sa
Wajah Dina menjadi seputih kapas begitu meninggalkan dapur."Kenapa, Bu?" Deni saat melihat perubahan istrinya."I-itu, Pak. Ada ekor di dalam kompor," ucap Dina dengan nada panik mode on.Deni tersenyum menanggapi. Tanpa berkata lagi, ia beranjak untuk membuka pintu depan. "Tutup dulu pintu kamarnya, Bu."Dina menurut meski tak mengerti dengan maksud sang suami.Deni kembali ke dapur untuk melepaskan sambungan regulator, kemudian mengangkat kompor dua tungku tersebut ke luar rumah.Deni berhenti di luar pagar, lantas membalik kompor itu, dan benar saja, si pemilik ekor yang ditemukan oleh istrinya melompat ke luar."Pergi yang jauh, jangan kembali lagi, ya," ucap Deni sambil dadah dadah.Deni kembali ke dalam rumah, mengambil lap untuk membersihkan kompor."Sudah ketemu, Pak?" ia disambut dengan pertanyaan dari istrinya yang baru ke luar dari kamar mandi."Sudah, Bu. Sudah pergi malah.""Alhamdulillah ... ."Dina menghembuskan napas lega, sambil menepuk dada."Senang sekali dengar
Pukul empat sore, ibu-ibu sudah memenuhi halaman rumah Bu Sari. Sudah menjadi kebiasaan di sana, jika ada warga meninggal, warga lain bergantian membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an. Sore hari setelah Ashar untuk ibu-ibu, sedang untuk bapak-bapak setelah sholat Maghrib. Bu Sari serta Dina ikut bergabung dengan para ibu. Sesekali Bu Sari masih meneteskan air mata. Dina tetap setia di samping Bu Sari mencoba menguatkan.Sedikit hiburan untuk Bu Sari dengan adanya Putri. Sesekali diajak bercanda untuk melupakan kesedihan karena ditinggal belahan jiwa. Tak jarang pula kenangan demi kenangan berkelebat dalam ingatan, membuat butiran mutiara berdesakan hendak ke luar dari indera penglihatan.***Tak terasa sudah tiga hari Dina dan Deny menemani Bu Sari di rumah setelah kepergian sang suami. Bu Sari sedikit terhibur dengan adanya Putri, cucu satu-satunya yang bertingkah lucu. Tak jarang Bu Sari menggendong dan menemani bermain saat Dina harus beristirahat. Kondisinya yang sedang berbadan dua d
"Bu, Bapak baik-baik saja, kan?" Deny bertanya sekali lagi. Sementara Bu Sari masih terisak. Perasaan Deny mulai tak nyaman."Bapakmu baik. Bapak sudah tenang, Nak. Kalian pulang, ya," ucap Bu Sari di antara isak tangisnya.“Maksud ibu tenang bagaimana?” kejar Deny, mengabaikan isakan sang ibu.“Bapakmu meninggal, Nak. Jam satu dini hari tadi. Pulanglah kalau masih ingin melihat bapakmu untuk terakhir kalinya,” jelas Bu Sari, membuat tangis Deny meledak.“Bu … Bapak meninggal, Bu …,” raung Deny yang reflek memeluk istrinya.Dina sendiri terdiam untuk beberapa saat melihat reaksi suaminya. “Innaa lillaahi wa Innaa ilaihi raaji'uun,” gumamnya nyaris tak terdengar.“Mas, istighfar, Mas …,” ucap Dina kemudian, sambil menepuk-nepuk punggung suaminya. “Yang ikhlas, ya, biar lapang jalan Bapak,” lanjut Dina, yang sedikit menenangkan pria yang masih terisak dalam pelukannya.Teringat pada sang ibu yang masih terhubung melalui sambungan telepon, lelaki itu pun berkata, “Baik, Bu. Aku akan car
Sore harinya ….Dina tertegun melihat genangan air di depan kontrakan. Tingginya menyentuh bagian bawah pintu pagar. Hujan baru berhenti beberapa menit yang lalu. Wanita bergamis hijau toska itu berharap air tidak naik lagi, seperti beberapa waktu lalu, yang justru jadi penyebab banjir karena air kiriman.Sempat tertidur setelah menidurkan putri kecilnya, Dina terbangun saat mendengar suara hujan yang turun bagai dicurahkan dari langit. Atap rumah tempat ia tinggal bukan dari genteng yang terbuat dari tanah, sehingga saat hujan turun meski gerimis kecil, ia bisa mengetahui dari dalam rumah.Istri dari Deny itu melihat anak-anak bermain air banjir. Ada yang membawa ban mobil yang besar untuk mereka naiki bergantian. Ada juga yang membawa kursi rusak untuk dinaiki rame-rame."Aku woy … woy … gantian!"Byurr ….Seorang anak menceburkan diri ke genangan air di ujung lapangan."Ganti aku!"Seorang anak lainnya hendak menaiki kursi rusak yang sudah diduduki oleh temannya. Namun, sudah asy
Dina melihat Putri telah bangun dengan badan yang basah. Pemandangan yang biasa ia temui, sebab tidak menggunakan popok bayi pada anaknya.Jika ada Deny, lelaki itu akan sigap memegang anaknya dalam kondisi seperti sekarang. Dina menghela napas teringat suaminya yang ringan tangan membantunya mengurus anak.Toilet training sudah diajarkan sedini mungkin. Namun, sejauh ini belum membuahkan hasil. Menghela napas sejenak, mengulas senyum tipis, lantas bergegas mengangkat bocah kecilnya untuk dibersihkan di kamar mandi.Pakaian yang bersih telah menempel di badan Putri. Dina mengoleskan minyak telon ke beberapa bagian badan anaknya yang terbuka, lantas kembali mengASIhi putri kecilnya yang kini sudah wangi. "Kalau masih ngantuk boleh bobok lagi ya, Nak. Tapi ini sudah pagi, mau main juga boleh," ucap Dina sambil mengASIhi Putri. Satu tangannya yang bebas, mengusap-usap kepala bocah kecil itu dengan penuh rasa sayang."Mmm ... mmm