Aku mencari info lagi mengenai Dina ke tetangga sekitar kontrakan saat mengajak Putri, cucuku berjalan-jalan kaki di sore hari.
Aku mendapat banyak info mengenai Dina. Termasuk tentang Dewi yang pernah melemparkan barang-barang yang ada di teras rumah Dina ke halaman.Aku benar-benar tak menyangka ada orang bar-bar seperti Dewi. Aku justru semakin penasaran dan ingin melihat, seperti apa sih, orangnya?Dina juga bercerita kalau awal mula tinggal di sana, hubungan mereka baik-baik saja. Bahkan Dina juga diberi rak piring, piring dan mangkok yang masih dipakai sampai sekarang. Namun, lama kelamaan malah renggang bahkan cekcok karena hal sepele.Yaa, setidaknya orangnya sudah tidak tinggal di sana. Sedikit lega lah aku. Kalau tetangga yang lain, kurasa aman lah.Aku berencana membelikan mesin cuci setelah mendengar cerita yang masuk ke telingaku. Itu supaya ia tak perlu menunggu jemurannya tak menetes baru dikeluarkan. Oleh sebab itu kees"Wah, Dek … tadi aku ketemu sama tetanggamu." Deny memulai obrolan dengan istrinya selepas membersihkan diri. Pria itu baru saja pulang kerja. Wajahnya masih terlihat lelah."Tetangga yang mana, Mas?" tanya Dina dengan mengernyitkan keningnya."Ya, itu … Dewi, sama Sultan.""Oh ... Ketemu di mana?""Di pertigaan jalan sana yang tadi Bapak lewat. Wah … ngeri, Bu. Si Sultan lagi tantrum. Entah minta apa sampai guling-guling di pinggir jalan. Kayaknya emaknya sudah nggak tau mau bujuk gimana. Kayak bingung gitu mukanya." Deny bercerita panjang pendek sambil teringat kejadian yang baru dialami dalam perjalanan pulang ke rumah. Sang istri justru terkekeh mendengarnya, membuat Deny keheranan."Anak itu memang unik kalau minta sesuatu terus nggak dituruti,” ucap Dina yang mengerti arti tatapan mata suaminya. “Maklumi saja, Mas. namanya anak tunggal, nggak ada saingannya," lanjut Dina yang menanggapi dengan tersenyum
"Pinjem aja satu, ya," jawab Dina yang tersenyum-senyum saja."Oke, tunggu bentar ya, Tante." Meskipun belum mengerti apa yang dimaksud Dina karena ini di luar kebiasaannya, Lila tetap beranjak ke dapur dan mengambil mangkuk. "Ini, Tante," ucap Lila sambil mengangsurkan sebuah mangkuk bergambar ayam jago. Dina pamit setelah mengucap terima kasih."Dapat, Dek?" Tanya Deny saat melihat istrinya kembali dengan sebuah mangkuk di tangan."Dapat dong, nih." Dina memamerkan sebuah mangkuk bergambar ayam jago. Mangkuk yang sama seperti yang dipakai Gema berjualan bubur ayam. Ia isi dengan kolak yang masih panas."Aku antar dulu ya, Mas." Dina memberi alas piring plastik supaya tidak kepanasan saat mengantar kolak."Iya, Sayang," jawab Deny yang ikut senang melihat istrinya suka berbagi."Mbak, ini mangkoknya saya kembalikan," ucap Dina masih mengulas senyum saat sampai di depan rumah Lila."Owalah … ternyata
Tak berapa lama setelah Lila menghilang di balik pintu, terdengar ramai di luar rumah. Dina tidak memperdulikan, karena fokusnya kini pada putrinya.Setelah selesai acara makan pagi, gegas membereskan peralatan makan, kemudian memandikan Putri."Assalamu'alaikum Putri,” sapa seseorang membuat Dina menoleh karena terkejut.“Eh, udah cantik. Habis mandi ya, Nak?" Belum sempat Dina menjawab salam, Bu Maya melanjutkan sapaannya.Mantan tetangga Dina itu muncul di depan pintu tepat saat Dina selesai memakaikan baju pada Putri. Kondisi pintu depan memang terbuka. Meski terkejut, tak urung Dina mengulas senyum saat melihat siapa yang datang."Wa'alaikumsalam, Bu Maya. Iya, baru selesai mandi ini. Gimana kabarnya, Bu?” jawab dan sapa Dina, lantas menyapa gadis kecil dalam gendongan Bu Maya, “Hai, Hana cantik.”“Yuk, sini masuk," ajak Dina kemudian."Alhamdulillah sehat, Mbak Dina," jawab Bu Maya setelah berada di ruang
"Nggak kok. Bercanda aja, Tan. Mesin aku aja aku taruh di kamar nggak aku pakai. Kalau nyuci ya, digosrek biar cepet."Mesin cuci milik Nia memang pengeringnya rusak, jadi tak pernah lagi dipakai. Di kamar ia gunakan untuk menaruh mainan dan boneka milik anak-anak."Beneran juga nggak apa kok, Teh," jawab Dina dengan penuh ketulusan.Biar bagaimana, Nia banyak membantu semenjak ia tinggal di sana. Saat banjir besar pun rela mengajaknya ke rumah saudara yang bebas banjir, yang bahkan Dina belum mengenal sama sekali. Dan keluarga Nia yang lain pun, menyambut Dina dengan baik. Tak ada salahnya bukan, jika gantian memberi bantuan saat diperlukan? Apalagi Nia juga punya dua balita, cucian juga pasti banyak. Terlebih jika musim hujan tiba."Tadi si Hana ke sini. Ketemu nggak, Tan?" Nia mengalihkan pembicaraan. Bu Maya memang masuk melalui pintu yang berada tepat di depan rumah Nia. Sebelum ke rumah Dina sudah bertemu dengan Nia lebih dulu.
Ekspresi pemilik rumah seakan menjelaskan kalau ada masalah dengan air genangan itu. Nampak pemilik rumah mengalihkan pandangan ke luar pagar, menghindari bertemu mata dengan Deny juga Dina. "Kira-kira ini ongkos sewanya berapa ya, Bu? " tanya Deny memecah sunyi di antara mereka. "Itu …, saya minta satu juta saja, Pak, untuk satu bulannya," jawab wanita yang mengenakan kacamata dengan dahi terlipat. "Tapi, kalau mau ambil satu tahun, nanti saya kasih diskon," ujarnya menambahkan. "Oh, ya sudah. Terima kasih ya, Bu. Kami sudah diijinkan melihat rumah ibu. Nanti saya rundingkan dulu dengan istri saya, " ucap Deny sambil melirik istrinya. "Baik, Pak. Saya tunggu kabar baiknya ya, Pak, " ucap pemilik rumah penuh harap. Ia berharap tamu kali ini bersedia dengan harga yang ia tawarkan. Toh, rumahnya besar, halaman luas, sudah dilengkapi juga dengan pagar. Anak-anak akan aman jika bermain di halaman karena terhalang pagar. Ia hanya mencemaskan tampungan air yang tak bisa lancar men
Hari beranjak siang. Namun, cuaca tak begitu terik. Putri yang sedang belajar jalan tak mau diam. Bocah kecil itu terus membawa sang ibu berjalan tanpa kenal lelah. Kini, mereka telah sampai di jalan depan kontrakan. Sementara di lapangan juga sudah ramai dengan anak-anak yang baru pulang sekolah."Tante, ada es lilin lagi, nggak? Kalau ada, aku mau, dong."Seorang anak menghampiri Dina saat ia sedang menemani Putri belajar jalan di jalan dekat lapangan. Dina menghentikan langkah kemudian mengamati anak yang berusia sekitar delapan tahun di hadapannya. Ia mengenali anak itu, anak yang beberapa hari yang lalu ia titipi satu kotak es lilin susu coklat buatannya."Aduh, maaf ya, Dek. Tante belum sempat buat lagi. Besok, ya. Insya Allah kalau tante longgar, Tante buatkan lagi es lilinnya," jawab Dina dengan tetap memegang tangan putrinya. Ia melihat raut kecewa di wajah anak itu. Ada rasa bersalah terselip di hatinya. Ia menghela nafas pelan, kemudian ia hembuskan perlahan."Apa kamu hau
"Oh gitu, nggak apa-apa, Tante," aku menjawab singkat, takut nanti Tante malah nangis karena merasa bersalah tak bisa memberi es lilin untukku."Maaf ya, Mbak. Ini ada air dingin kalau mau," tawar Tante sambil mengangsurkan satu botol air dingin dengan banyak embun kecil di luar botol. Glekk! Tanpa sadar aku menelan ludah sendiri. Membayangkan air itu melewati tenggorokan di cuaca panas ini sepertinya nikmat sekali."Mau aku, Tan. Segar sekali ini. Aku tuang sendiri saja, ya. Tante nggak usah repot," ucapku sambil menerima botol itu. Aku mengambil sendiri sebuah gelas yang berada di dapur. Aku merasa sedang berada di rumahku sendiri.Ahhh ....Segar sekali air ini saat melewati tenggorokanku. Tante terlihat tersenyum melihatku.Klik.Mesin cuci sudah berhenti. Botol air itu ku serahkan kembali kepada Tante. Gelas aku taruh di dapur, lalu segera beranjak melanjutkan membilas setelah membuang air bekas mencuci s
POV DewiHari ini jadwalku mengirim stok susu yoghurt ke rumah Bude penjual gas. Ini kunjungan pertama setelah aku pindah dari kontrakan Bu Rini. Tak banyak yang berubah, hanya warung Bude yang awalnya hanya menjual gas dan galon, kini sudah lengkap dengan kebutuhan rumah tangga.Bude menghubungi aku sebelumnya, meminta untuk mengisi stok di tokonya yang masih baru. Aku memang pernah memberi sample produk susu yoghurt itu saat aku baru mulai kerja menjadi sales. Mendapat permintaan itu tentu saja aku senang, sekaligus deg degan. Aku takut ditanya ini itu karena saat pindah aku tidak pamit pada siapa pun.Aku sampai di rumah Bude saat matahari sudah tinggi. Kebetulan toko Bude sedang sepi. Aku mengambil dua pak susu yogurt sesuai permintaan Bude. 'Semoga laris,' ucapku berdo'a dalam hati, karena ini baru pertama kali mengisi toko ini."Eh, ada Bu Dewi, ya?" sapa Bu RT saat aku memasukkan susu ke dalam kulkas yang berisi jualan
“Dapat arisan kan, kamu? Kebetulan, sudah saatnya kirim ke ibu.”Hati Lila meradang mendengar ucapan suaminya. Terlebih lagi, melihat ekspresi pria di depannya yang tidak merasa bersalah sedikitpun. “Itu tabungan aku, Yah!?” seru Lila tak terima.Setelah sekian lama ia menyusul suami ke ibukota, lalu berusaha menyisihkan sedikit tabungan, kini dengan mudahnya lelaki itu merampas apa yang ia punya. Ya, meski semua dari pemberian sang suami. Namun, sebagai istri, dia juga punya hak bukan?“Tabungan kamu kan dari aku juga,” sahut Gema yang langsung menyimpan lembaran-lembaran merah itu ke dalam saku celananya.“Dah lah, sana urusin Ari. Ayah mau tidur biar bisa bangun cepat lalu masak bubur,” pungkas Gema lalu berlalu ke kamar. Lila ingin mendebat, tapi seakan tidak bertenaga. Dalam diam, wanita itu mencari cara supaya bisa mengambil kembali haknya..Tengah malam, Lila terbangun dengan kepala yang pusing luar biasa.
Beberapa saat sebelumnya …Lila memasuki halaman kontrakan dengan berdendang ringan. Wanita itu baru saja pulang dari arisan di komplek sebelah.Aroma masakan langsung menyapa indera penciuman begitu ia membuka pintu. Pemandangan pertama yang terlihat adalah Ari yang sedang duduk manis di depan kotak nasi yang terbuka dan menampilkan isinya.Beberapa bungkus makanan ringan berserakan di sekitar bocah berumur tiga tahun itu. Melihat siapa yang datang, Ari langsung melebarkan senyum dan menyapa, “Bunda!”Lila tersenyum malas, dan lebih tertarik dengan nasi kotak yang terlihat lezat.“Ayah mana, Nak?” tanya Lila setelah mendaratkan bibir di pipi gembul anak sulungnya.“Ayah masak di dapur!”Gema menyahut sebelum Ari menjawab pertanyaan sang Bunda.“Jam segini baru pulang. Pasti ngerumpi lagi!” gerutu Gema yang segera beranjak dari dapur menuju ruang tamu.“Nggak ingat anak. Main pergi nggak pulang-pulang.”Gema masih meluapkan kekesalannya pada sang istri yang pergi sejak sore hingga mal
"Gimana Dek, setuju nggak kalau kita pindah ke sana?"Deny sungguh ingin tahu pendapat sang istri, meski sudah terbaca dari raut wajahnya saat berada di sana sore tadi."Setuju sih, Mas. Tapi ... ," jawaban Dina menggantung, seakan ada hal yang berat untuk disampaikan. Biar bagaimana pun, ia sudah jatuh hati dengan rumah yang mereka kunjungi, terlebih dengan halaman di belakang rumah. Ia tak perlu ke luar rumah untuk menjemur cucian, bukan? Juga akan merasa aman menemani anaknya bermain di halaman depan karena sudah memiliki pagar."Tapi kenapa, Dek?" kali ini Deny memandang lekat penuh tanya pada sang istri."Apa nggak mahal sewanya, Mas?” cicit Dina membuat salah satu sudut bibir suaminya tertarik ke atas.“Sudah kuduga,” batin Deny.Dina menghembuskan napas panjang, lalu berkata, “Rumahnya bagus, lho. Halaman ada dua, sudah dipagar lagi," terucap juga pertanyaan yang mengganjal hati wanita itu. Se
Di tempat kerja, Deny disambut dengan ungkapan belasungkawa dari teman-teman kerja. Pria yang masih berduka itu menerima sumbangan kematian dari rekan kerja yang dimasukkan di dalam amplop berwarna putih. Sudah menjadi hal wajar di tempat ia bekerja. Namun, belum ada niat untuk membuka dan melihat isinya. Ia pun menyimpan amplop itu di dalam tas. "Ayo Den, kita ke luar, yuk," ajak Sapto saat jam makan siang."Mau ke mana?""Makan di depan yuk. Aku yang traktir, deh," jawab Sapto dengan senyum tulus."Ya udah, ayok."Mereka berjalan beriringan. Ada empat orang lagi yang ikut serta. Mereka semua teman satu divisi, berusaha menghibur Deny yang masih dalam suasana berkabung dengan bermacam cara.."Dek, ini tadi Mas dapat uang kematian dari teman-teman," ucap Deni saat buah hati mereka sudah terlelap, sambil menyerahkan amplop tebal."Ini buat Ibu kan, Mas? Dikirim aja uangnya," saran Dina begitu sa
Wajah Dina menjadi seputih kapas begitu meninggalkan dapur."Kenapa, Bu?" Deni saat melihat perubahan istrinya."I-itu, Pak. Ada ekor di dalam kompor," ucap Dina dengan nada panik mode on.Deni tersenyum menanggapi. Tanpa berkata lagi, ia beranjak untuk membuka pintu depan. "Tutup dulu pintu kamarnya, Bu."Dina menurut meski tak mengerti dengan maksud sang suami.Deni kembali ke dapur untuk melepaskan sambungan regulator, kemudian mengangkat kompor dua tungku tersebut ke luar rumah.Deni berhenti di luar pagar, lantas membalik kompor itu, dan benar saja, si pemilik ekor yang ditemukan oleh istrinya melompat ke luar."Pergi yang jauh, jangan kembali lagi, ya," ucap Deni sambil dadah dadah.Deni kembali ke dalam rumah, mengambil lap untuk membersihkan kompor."Sudah ketemu, Pak?" ia disambut dengan pertanyaan dari istrinya yang baru ke luar dari kamar mandi."Sudah, Bu. Sudah pergi malah.""Alhamdulillah ... ."Dina menghembuskan napas lega, sambil menepuk dada."Senang sekali dengar
Pukul empat sore, ibu-ibu sudah memenuhi halaman rumah Bu Sari. Sudah menjadi kebiasaan di sana, jika ada warga meninggal, warga lain bergantian membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an. Sore hari setelah Ashar untuk ibu-ibu, sedang untuk bapak-bapak setelah sholat Maghrib. Bu Sari serta Dina ikut bergabung dengan para ibu. Sesekali Bu Sari masih meneteskan air mata. Dina tetap setia di samping Bu Sari mencoba menguatkan.Sedikit hiburan untuk Bu Sari dengan adanya Putri. Sesekali diajak bercanda untuk melupakan kesedihan karena ditinggal belahan jiwa. Tak jarang pula kenangan demi kenangan berkelebat dalam ingatan, membuat butiran mutiara berdesakan hendak ke luar dari indera penglihatan.***Tak terasa sudah tiga hari Dina dan Deny menemani Bu Sari di rumah setelah kepergian sang suami. Bu Sari sedikit terhibur dengan adanya Putri, cucu satu-satunya yang bertingkah lucu. Tak jarang Bu Sari menggendong dan menemani bermain saat Dina harus beristirahat. Kondisinya yang sedang berbadan dua d
"Bu, Bapak baik-baik saja, kan?" Deny bertanya sekali lagi. Sementara Bu Sari masih terisak. Perasaan Deny mulai tak nyaman."Bapakmu baik. Bapak sudah tenang, Nak. Kalian pulang, ya," ucap Bu Sari di antara isak tangisnya.“Maksud ibu tenang bagaimana?” kejar Deny, mengabaikan isakan sang ibu.“Bapakmu meninggal, Nak. Jam satu dini hari tadi. Pulanglah kalau masih ingin melihat bapakmu untuk terakhir kalinya,” jelas Bu Sari, membuat tangis Deny meledak.“Bu … Bapak meninggal, Bu …,” raung Deny yang reflek memeluk istrinya.Dina sendiri terdiam untuk beberapa saat melihat reaksi suaminya. “Innaa lillaahi wa Innaa ilaihi raaji'uun,” gumamnya nyaris tak terdengar.“Mas, istighfar, Mas …,” ucap Dina kemudian, sambil menepuk-nepuk punggung suaminya. “Yang ikhlas, ya, biar lapang jalan Bapak,” lanjut Dina, yang sedikit menenangkan pria yang masih terisak dalam pelukannya.Teringat pada sang ibu yang masih terhubung melalui sambungan telepon, lelaki itu pun berkata, “Baik, Bu. Aku akan car
Sore harinya ….Dina tertegun melihat genangan air di depan kontrakan. Tingginya menyentuh bagian bawah pintu pagar. Hujan baru berhenti beberapa menit yang lalu. Wanita bergamis hijau toska itu berharap air tidak naik lagi, seperti beberapa waktu lalu, yang justru jadi penyebab banjir karena air kiriman.Sempat tertidur setelah menidurkan putri kecilnya, Dina terbangun saat mendengar suara hujan yang turun bagai dicurahkan dari langit. Atap rumah tempat ia tinggal bukan dari genteng yang terbuat dari tanah, sehingga saat hujan turun meski gerimis kecil, ia bisa mengetahui dari dalam rumah.Istri dari Deny itu melihat anak-anak bermain air banjir. Ada yang membawa ban mobil yang besar untuk mereka naiki bergantian. Ada juga yang membawa kursi rusak untuk dinaiki rame-rame."Aku woy … woy … gantian!"Byurr ….Seorang anak menceburkan diri ke genangan air di ujung lapangan."Ganti aku!"Seorang anak lainnya hendak menaiki kursi rusak yang sudah diduduki oleh temannya. Namun, sudah asy
Dina melihat Putri telah bangun dengan badan yang basah. Pemandangan yang biasa ia temui, sebab tidak menggunakan popok bayi pada anaknya.Jika ada Deny, lelaki itu akan sigap memegang anaknya dalam kondisi seperti sekarang. Dina menghela napas teringat suaminya yang ringan tangan membantunya mengurus anak.Toilet training sudah diajarkan sedini mungkin. Namun, sejauh ini belum membuahkan hasil. Menghela napas sejenak, mengulas senyum tipis, lantas bergegas mengangkat bocah kecilnya untuk dibersihkan di kamar mandi.Pakaian yang bersih telah menempel di badan Putri. Dina mengoleskan minyak telon ke beberapa bagian badan anaknya yang terbuka, lantas kembali mengASIhi putri kecilnya yang kini sudah wangi. "Kalau masih ngantuk boleh bobok lagi ya, Nak. Tapi ini sudah pagi, mau main juga boleh," ucap Dina sambil mengASIhi Putri. Satu tangannya yang bebas, mengusap-usap kepala bocah kecil itu dengan penuh rasa sayang."Mmm ... mmm