"Teh, ini nanti mereka mulai tinggal di sini, ya. Mereka cowok semua. Kerja di situ memperbaiki masjid."
Hari kelima sejak kepergian Dewi, si tukang bubur mendatangi Dina setelah mengantar beberapa orang yang akan menempati rumah di sebelahnya.Dina sedikit terkejut mengetahui tetangga barunya adalah beberapa orang pria dewasa."Tadinya mereka tinggal di situ dekat Bude jamu, tapi kebanyakan,” beritahu Gema lagi.“Kamar mandi di sana juga cuma satu. Jadi tak saranin aja pindah ke sini," ucapnya menambahkan."Iya, Om," Dina menjawab singkat."Nggak lama kok, paling dua bulan. Saya udah bilang supaya jangan berisik karena ada anak kecil di sini. Saya juga bilang kalau yang di sini orang baik, jangan diapa-apain,” ucap Gema panjang pendek."Iya, Om. Makasih, ya,” Dina menjawab dengan mengulas senyum.Gema mengangguk, lantas pamit setelah merasa cukup memberikan informasi kepada Dina.***Malam harinyDi tempat lain, Dewi masih disibukkan dengan barang-barang setelah pindah kontrakan.“Bisa sebulan baru kelar ini,” keluhnya, sambil memindahkan pakaian ke dalam lemari .“Huh! Mana capek banget nggak ada yang bantuin.”Dewi memilih merebahkan badan, alih-alih menyelesaikan pekerjaan yang ada di depan mata.Selama beberapa hari terakhir, ia yang kelelahan sebab kepindahan mendadak serta menyita jam istirahat, hanya menarik pakaian yang akan dipakai dari dalam koper.Demikian pula dengan anak dan suaminya. “Masukin dulu pakaian ke lemari, Ma. Masa tiap mau salin mesti buka koper,” tegur Azam di hari kedua mereka pindah.Dewi justru mendelik tak suka ditegur demikian.“Papa habisan. Ngajak pindah kok tiba-tiba. Nggak pakai persiapan dulu, pemanasan dulu gitu. Ini, main pergi aja. Malam itu juga lagi,” gerutu Dewi membuat Azam melengak tak suka.“Kenapa jadi nyalahin Papa? Orang kamu juga minta pindah mal
Hari-hari dijalani Dewi dengan penuh kejutan. Sikapnya yang tidak mau kalah dari orang lain, beberapa kali memicu pertengkaran dengan tetangganya. Terlebih lagi, anak-anak kecil di sana sering menyelinap masuk jika ia lengah tidak menutup rapat pintu depan. Bukan sekali ia menemukan barangnya diacak-acak oleh mereka. Tidak bisa berbuat banyak, dia pun hanya bisa menuruti ucapan suaminya untuk selalu mengunci pintu jika sedang ada di rumah. “Kita pindah aja, sih, Pa. Nggak betah Mama. Berisik banget tetangga sebelah. Mana anak nya banyak, kecil-kecil suka nyelonong masuk,” cerocos Dewi saat benar-benar merasa lelah dengan kondisi di kontrakan barunya. “Nggak bisa, Ma. Ini udah yang paling pas sama budget kita. Sabar-sabarin lah,” sahut Azam yang tidak peduli dengan keluhan istrinya. “Papa sih, enak, main bilang sabar. Yang di rumah kan Mama. Capek tau, Pa.” La
Tinggal bersebelahan dengan penjual bubur ayam, membuat hari-hari Dina akrab dengan aroma masakan. Tidak masalah bagi wanita hamil itu, sebab saat masih lajang pun ia pernah bekerja paruh waktu di warung makan. Setidaknya ini jauh lebih baik daripada menghirup asap rokok seperti tempo hari. Ia yang dulu mengenal Lila sambil lalu, kini terlihat sering mengobrol di teras. Ya, sambil menemani anak-anak bermain. Soal gerobak yang pernah dirisaukan oleh Nia beberapa waktu lalu, tidak menjadi masalah bagi Dina, sebab Gema menempatkan gerobak tersebut di ujung halaman. Pintu pagar baru itu juga seperti memiliki kehidupan semenjak Gema dan keluarga kecilnya tinggal di sana. Mereka, semua penghuni bebas menggunakan dengan leluasa, tidak seperti ketika Dewi yang tinggal di sana, yang justru menjadikan pintu itu sebagai hak miliknya. .
Jarum jam menunjuk angka sembilan malam, saat Deny memberi kabar kalau mereka akan kedatangan tamu agung."Dek, besok Nenek ke sini. Sekarang lagi di jalan. Ini tadi barusan nelpon bapak."Dina menghentikan kegiatannya melipat pakaian. Nenek yang dimaksud adalah orang tua Deny, ibu mertua Dina. Menghela nafas panjang, menghembuskannya kemudian. 'Sepertinya harus begadang buat bereskan semua ini.' Dina berdialog sendiri."Iya, Mas. Semoga perjalanan ibu lancar, selamat sampai di sini," sahut Dina yang kemudian menyapu pandang ke seluruh ruangan.Mainan berserakan dari ujung pintu masuk hingga pintu dapur. Keranjang baju kotor penuh. Cucian piring menumpuk. Sisa jajanan tadi sore berserakan di dapur. Sungguh, ini seperti kapal pecah. Belum lagi kompor yang entah kapan terakhir dilap. Dina memandangi anaknya yang sudah terlelap. Sang suami juga beranjak tidur, pasti lelah sudah bekerja seharian. Ia juga mengantuk karena hari
Hari kedua di rumah Dina, Bu Sari pamit untuk jalan-jalan seorang diri. "Ibu mau lihat-lihat daerah sini. Kalian berdua nggak usah kuatir ibu tersesat. Oke?" ucap wanita paruh baya itu dengan penuh percaya diri.Deny mengiyakan, karena percuma melarang jika sang ibu sudah punya keinginan. Dua jam kemudian, Bu Sari pulang ke kontrakan Dina. Namun, ia tak sendiri."Ayo, Pak, tolong bawa masuk sini," ucap Bu Sari pada orang yang datang bersamanya.Ibu mertua Dina itu membuka pintu pagar di depan kamar Dina."Baik, Bu." Nampak dua orang mengangkat sebuah kardus besar."Assalamu'alaikum, Dina. Ibu pulang, Nak," ucap Bu Sari saat sudah ada di depan pintu yang ternyata dalam kondisi terkunci."Wa'alaikumsalam. Iya, Bu. Tunggu sebentar,” sahut Dina dari dalam kamar sambil berjalan menuju ke mana ibu mertuanya berada.Dina membuka pintu yang dikunci. Ia memang berada di rumah berdua saja dengan Putri, sementara Deny pam
"Cieee ... Punya mesin cuci sama kulkas baru nih, ye ...."Lila, istri tukang bubur, menyambut Dina saat ia baru saja membuka pintu pagar.'Bagaimana ia bisa tau?' Dina bertanya dalam hati.Apa mungkin kemarin dia lihat pas ibu pulang bawa kotak besar itu ya? Atau suara mesinnya terdengar ke rumah dia? Bisa jadi …, kan kemarin sore dicoba. Mbak Lila kepo, ah.Dina masih berdialog dalam diam, sebelum akhirnya menyapa tetangganya."Eh, ada Mbak Lila." Wanita yang tengah menggendong anak sulungnya itu tidak langsung menanggapi ucapan Lila saat ia baru datang tadi."Udah pulang Embahnya Putri ya, Tante?" tanya Lila basa-basi, padahal sudah melihat kepergian ibu mertua Dina tadi."Udah, Mbak. Maaf saya masuk dulu, ya?" jawab dan pamit Dina yang ingin segera masuk untuk istirahat."Iya, Tante. Entar boleh ya minjem mesin cuci barunya?"Ucapan Lila menghentikan langkah Dina. "Hah?” Ibu dari
Dina terheran-heran melihat kedatangan Lila. 'Jadi yang tadi dia bilang itu beneran?' Dina bertanya-tanya sendiri. Mau menolak juga tak enak, sedangkan cucian sudah dibawa ke depan pintunya, seakan tak boleh ditolak permintaannya. "Oh … iya, Mbak. Sini, bawa masuk." Merasa serba salah, pada akhirnya Dina mengijinkan juga, sebab pernah merasakan di posisi Lila.Gegas meminta ijin melalui pesan singkat yang segera diiyakan oleh sang suami."Oke, Tante. Makasih, ya. Nanti ajari ya, gimana pakainnya." Lila berkata setelah membawa ember besarnya masuk."Iya, Mbak." Dina membuka tabung pengering, mempersilakan Lila menggunakannya. "Masukkan ke sini ya, Mbak. Nanti ditutup dulu pakai ini, setelah rapat baru yang ini. Jangan kepenuhan ya, nanti nggak bisa muter dia kalau kebanyakan." Dina menunjukkan cara menggunakan pengering cucian."Oke, Tante," jawab Lila sambil mengacungkan jempol."Enak banget deh, Tante.
POV Bu SariAku baru saja menerima sejumlah uang hasil panen di sawah. Alhamdulillah kali ini hasil panen melimpah. Tiba-tiba saja aku ingin menengok cucuku yang jauh di ibukota bersama anak dan menantuku. Sudah lama aku tak menggendong cucu pertamaku.Selama ini, jika sedang kangen, aku hanya bisa mendengar suaranya melalui sambungan telepon. Hanya ada fotonya saat bayi yang bisa kupandangi. Aku juga sering 'meminjam' anak tetangga yang seumuran dengan cucuku sebagai pengobat rindu.Tak menunggu lama, aku bergegas menuju agen tiket bus ke ibukota. Beruntung sekali tiket hari itu tersedia. Dengan membawa selembar tiket setelah membayarnya, aku berangkat seorang diri hari itu juga saat sore menjelang magrib. Aku baru memberi kabar kepada anakku saat sudah dalam perjalanan ke sana. Aku tak bisa memejamkan mata selama dalam perjalanan. Selama itu pula hanya bisa menikmati kelap-kelip lampu di waktu malam.Jam tiga dini hari, bus yang kami n