KARMA UNTUK MANTAN SUAMIKU 3
----- Ku seret layar untuk memperjelas penglihatanku, satu, dua, tiga kali. Ku lihat lekat lekuk tubuh yang sepertinya sangat aku kenali. {Mas Hendra?} balasku pada Jasmin. Tak menunggu lama pesan langsung centang biru, Jasmin pun langsung terlihat sedang mengetik. {Iya Renjana, dia sama siapa? Kok sama perempuan, terlihat akrab dan mesra!} {Apa kamu melihat wajah wanitanya, Jas?} {Nggak Ren, aku ada di belakangnya.} {Kamu dimana?} tanyaku. {Di Taman Melati, kamu kesini.} tanpa ku balas aku langsung mengambil tas kecilku dan langsung pergi. Jika benar itu Mas Hendra, kenapa dia melakukan ini. Apakah dia lupa jika dia sudah beristri, dan siapa wanita yang bersamanya. Apakah itu Jessika? Kenapa hatiku rasanya sakit sekali, saat mengingat nama Jessika meski hanya dalam fikiran sekilas. Mas Hendra memang pernah mengatakan tentang perasaannya, dia mencintai Jessika. Karena Jessika adalah cinta pertama sejak mereka SMA dulu. Kami bertemu disaat aku pun sedang berada dalam fase yang sama, kami dipertemukan saat aku terluka oleh pria yang ternyata pergi tanpa pamit ke luar kota. Saat itu hatiku benar-benar hancur, tapi Mas Hendra terus berusaha memulihkannya. Saat ia tahu aku terjatuh dan terpuruk, dia datang memberikan cahaya dan harapan. Tapi sekarang, seolah semua berubah dalam sekejap. Mas Hendra bahkan tak pernah lagi bersikap baik denganku. "Permisi Mbak? Mbak Renjana?" Aku terkesip oleh sapaan seseorang dihadapanku. Aku lupa kalau aku sedang menunggu Taxi pesananku, sampai tak sadar jika Taxinya sudah menunggu. Dan niatku ke dokter aku urungkan. "Ehh iya Pak, maaf." "Silahkan Mbak." titahnya sambil membukakan pintu mobil. Aku pun masuk dengan perasaan yang gamang, benarkah aku akan menemui Mas Hendra dalam keadaan seperti ini. Tapi jika tidak, aku juga tak akan mau dipermainkan terus. Ting! Lagi suara pesan masuk membuatku tersentak, ku raih gawai yang sengaja ku simpan di samping tempat dudukku. Ku buka pesan yang masuk, Jasmin lagi mengirimkan sebuah Vidio berbeda dengan pesan sebelumnya yang berisikan foto. Ku buka vidio yang sudah terunduh, terlihat sepasang pria dan wanita yang saling menggenggam tangan. Netraku rasanya hangat, pandanganku berbayang. (Jess, maafkan aku yang tidak bisa melupakan kamu!) (Maaf, maaf untuk apa Mas. Kamu pun tahu, aku masih sangat berharap bahwa kita bisa seperti dulu.) (Kamu tahu, lima tahun aku bersama Renjana. Tidak ada kebahagiaan yang aku rasakan, sekedar ingin memiliki anak pun Renjana tak bisa memberikan.) (Kamu sabar Mas, mungkin Tuhan belum mempercayai Mbak Renjana untuk memiliki anak.) (Jess, apa kamu mau menjadi istri dan Ibu buat anak-anakku!) Deg! Istri? Apa maksud kata-kata Mas Hendra, kenapa dia ingin Jessika menjadi istrinya. Apa dia lupa jika sudah memiliki istri? Tidak, bukan lupa. Dia memang sengaja menjadikan ini sebagai alasan agar bisa kembali pada Jessika. Ku usap tetesan bulir bening yang menghangat di kedua pipiku, rasa sesak mendengar kenyataan jika Mas Hendra mampu berbuat seperti ini. (Tapi... Bagaimana dengan Mbak Renjana?) jawab Jessika sambil bertanya. (Kita menikah diam-diam, Jess. Jangan biarkan Renjana tahu.) Lagi hatiku makin perih, mendengar keinginan Mas Hendra yang sangat keterlaluan. (Tapi....) (Aku mohon, aku ingin memiliki anak!) melas Mas Hendra yang langsung mendapati anggukan dari Jessika. Keduanya berpelukan, membuat rongga dada ku semakin terasa sesak seolah tiada asupan yang dapat ku hirup. Hiks hiks hiks, "Tega kamu, Mas. Kamu jahat!" lirihku dengan deraian air mata. Tidak ku hiraukan tatapan heran dari supir taxi yang sekilas melirikku, rasa sakit ku tak bisa lagi aku sembunyikan. Mas Hendra sungguh keterlaluan, dia ingin menikah di belakangku dengan mantan kekasihnya. * Tak lama aku sampai, taxi pun sudah berlalu meninggalkanku yang masih menatap kosong Taman Melati. Langkahku rasanya berat, pilu dan sakit itu kian mendesak. Air mata rasanya tak ingin berhenti dan terus keluar membasahi pipiku. Mungkin saja aku sudah terlihat sembab, karena terus menangis sejak keluar dari mobil. Puk! "Renjana," suara Jasmin mengagetkan ku, ku lihat wajahnya yang penuh dengan kekhawatiran. "Maaf, aku terpaksa mengirimkan vidionya. Dan merekam mereka, bukan maksud aku--" "Nggak papa, Jas. Kamu nggak salah kok, aku yang salah terlalu percaya akan cinta palsunya selama ini." "Kamu yang sabar ya, Renjana. Tapi sepertinya suami kamu sudah pergi," ku peluk erat tubuh Jasmin. Ku tumpahkan kesedihan dan rasa sakitku padanya, Jasminlah yang menjadi tempatku mengadu. Dialah temanku satu-satunya yang selalu ada disetiap aku perlu. Bahkan di saat aku terjatuh sekali pun. Jasmin memang pernah melarangku untuk berhubungan dengan Mas Hendra, karena aku fikir Mas Hendra tulus dan benar-benar mencintaiku. Tapi aku memaksa, karena saat itu pria yang ku anggap tulus tidak akan melukaiku seperti ini. Lima tahun ku lalui, semua terlihat baik-baik saja, namun kenyataannya semua hanya palsu dan tipu daya. Ku lepas pelukan Jasmin, dan ia membawaku duduk di bawah pohon cemara. Taman ini tempat kami sejak SMA dulu bermain dikala merasa bosan, tapi sekarang tempat ini seolah berubah menjadi tempat yang menyakitkan bagiku. Bruuk Awww Aku terkejut kala tubuhku menabrak seseorang saat hendak menjatuhkan tubuhku di kursi, saat aku berbalik aku lebih terkejut melihat wajah yang sedang menatapku sambil meminta maaf. "Kamu....."KARMA UNTUK MANTAN SUAMIKU 4------Aku lekas menghampirinya, Mas Ardiyan menatapku dengan sama terkejutnya."Renjana? Kamu, sedang apa di sini?" tanyanya sambil melihat pada Jasmin."A-aku... Aku sedang ketemu Jasmin, Mas!" "Hmm...." ia berdehem dengan pandangan terus berputar seakan tengah mencari sesuatu.Dia Ardiyan, pria yang pernah mencintai ku sejak dulu. Pria yang selalu ada disetiap waktu, dan selalu memperhatikan ku.Dulu aku pernah sedikit dekat, hanya saja saat itu aku selalu berfikir dia hanya bergurau dengan perasaannya terhadapku."Dimana suami kamu, Renjana?""Renjana!""Ehh iya, apa Mas?" aku tersentak kala suara Mas Ardiyan yang sedikit keras menegurku.Ia tersenyum menatapku, sambil mendekatkan pandangannya."Kenapa? Ada masalah?" tanyanya dengan senyum yang terus mengembang di sudut bibirnya yang tipis."Ehh Mas tadi nanya apa, maaf aku--""Aku bertanya dimana suami, kamu?" potongnya cepat."Ehh, dia... Mas Hendra... Dia lagi kerja Mas." dustaku dengan berusaha me
KARMA UNTUK MANTAN SUAMIKU 5-----Jasmin menatapku, mendengar suara benda pipih yang ku genggam berdering. Membuat kata-kataku akhirnya mengapung di udara."Jas, aku pulang dulu ya. Ibu sudah menelpon.""Tapi....""Aku pergi." tanpa menunggu Jasmin menyahut aku pergi dengan sedikit berlari.Degup jantungku seolah berdebar tak karuan, aku tidak sanggup rasanya harus bertemu dengan Mas Hendra.Bayangan Mas Hendra memeluk dan mengatakan ingin menikahi Jessika terus berputar. Membuat dadaku bergemuruh.Tapi aku harus menyembunyikan perasaanku, aku tidak ingin mereka tahu jika aku sudah tahu semuanya.*Sesampainya di halaman rumah, kulihat mobil Mas Hendra sudah ada di tempatnya. Suasana rumah juga sepertinya sedang ada tamu.Aku masuk dengan mencoba menunjukkan wajah seperti biasanya, tidak ingin ibu melihatku yang pagi-pagi bersedih."Renjana, dari mana kamu?" suara halus yang selalu ku dengar itu menyambutku.Tapi bukan kehangatan lagi yang aku rasa, hatiku malah semakin perih."Aku h
KARMA UNTUK MANTAN SUAMIKU 6----Aku berkata sedikit berat, melihat penampilan Renjana sangatlah berbeda."Sebulan?" ucapnya datar seraya melirik Jessika."Iya, ada pekerjaan yang tak bisa dihandle oleh Aris Jadi aku harus kesana. Karena di sini ada Aggasta yang siap menghandle." tandasku berusaha membuat Renjana yakin.Meski sebenarnya aku pun sedikit ragu, tapi itu sudah ku putuskan."Iya nggak papa kalau kamu harus pergi," Aku terdiam, tadi pagi Renjana masih sangat berusaha meluluhkanku. Tapi sekarang?"Ya sudah kamu boleh istirahat, aku akan mengantar Jessika dulu." ia tak bicara dan langsung meninggalkan kami.Jessika hanya melihatku, ia mungkin bertanya-tanya kenapa dengan Renjana. Hanya saja ku berikan dia isyarat agar tak terlalu memikirkan apa pun.Aku tidak ingin merusak suasana hati Jessika yang sudah ku beri harapan.****Pov Trailer***Renjana berjalan dengan perasaan perih, ia berusaha menutupi semua yang ia tahu akan suaminya yang akan menikahi Jessika secara diam-
***Suara ketukan pintu membuat keduanya memutar pandangan, Hendra menatap Jessika dan begitu pun sebaliknya."Siapa Mas, apa ada yang tahu kita ada di sini?""Tidak ada, sebantar biar aku lihat."Hendra beranjak dari atas kasur, ia membuka pintu dan terlihat seorang pelayan wanita berdiri menunduk saat melihatnya.Mata Hendra menyapu lorong, tidak ada siapa-siapa di sana. Lalu perlahan ia pun bertanya pada pelayan dihadapannya. "Ada apa? Siapa yang ingin bertemu denganku?""Maaf Pak, tadi ada seorang pria dia hanya ingin memberikan ini." tunjuk pelayan sambil menyodorkan sebuah kertas di tangannya.Dahi Hendra mengernyit, menatap seutas kertas yang bersulam sampul amplop berarna biru."Dari siapa?" Pelayan wanita itu menggelang, lalu berkata. "Saya tidak tahu, Pak. Dia hanya mengatakan kalau Bapak pasti mengenalnya, dan dia meminta Bapak membuka suratnya.""Aneh sekali... Ya sudah sini, dan pergilah." Hendra pun menutup pintu dan menatap kertas berwarna biru di tangannya.Perlahan t
***Renjana berkata lirih didalam fikirannya, ia seakan tak ingin menghadapi pria yang bertahun-tahun lamanya meninggalkan dia.Entah apa yang Renjana rasakan, hatinya seolah menolak membenci tapi ia tak ingin bersitatap dengannya.Iya, Renjana sama sekali tak ingin banyak bicara dengan Ardiyan. Rasa sakit itu seolah kian bertambah, ia bersalah di dalam segalanya."Renjana, tunggu!" seru Ardiyan memanggilnya.Renjana pun menghentikan langkahnya, dengan perasaan yang berusaha ia tahan."Apa kamu membenciku?" ujarnya dengan wajah sendu.Renjana mendongak, menatap pria berwajah tampan dengan kumis tipis. Rambutnya yang sengaja dirapihkan membuat Renjana kembali mengingat Ardiyan di masalalunya.Hati Renjana berpacu, kilas bayangan dimana mereka bersama dulu seolah kembali datang."Mas, aku---""Aku tahu masalah kamu dan suami kamu, Renjana. Dan aku tahu di mana mereka sekarang." mata Renjana membulat mendengar kata-kata Ardiyan."Dimana mereka? Mengapa Mas, tahu?""Ren, aku sudah satu ta
----Mataku rasanya memanas, genangan anak sungai seakan hendak jatuh. Aku mencoba menahan rasa sesak di dada, namun semakin ku tahan tubuhku rasanya bergetar.Aku tidak yakin, tapi apa yang ku lihat sangat nyata...Suamiku, dia Bersama Jessika di sebuah hotel. Meresa terlihat mesra, bahkan perlakuan Mas Hendra begitu berbeda.BruukTak terasa benda pipih ditanganku terjatuh, tanganku seakan tak bertenaga. Rasa sesak itu kian terasa, aku benar-benar tidak menyangka. Mas Hendra benar-benar melakukan ini dibelakangku."Kuat Renjana, kamu pasti kuat!" ku usap butir bening yang sudah membasahi kedua pipiku.Dengan rasa sakit di hatiku, aku putuskan untuk melihat sejauh mana kamu bisa melakukan ini Mas.Mungkin ini sudah jalan dan ketentuan Tuhan, aku harus melepaskan pria seperti mu.Keteguhanku untuk bertahan kini hancur, bahkan hatiku seakan tak berbentuk karena ulahmu. Baiklah, akan aku ikuti permainanmu, Mas.{Besok aku akan datang, tunggulah di sana!} dengan perasaan hancur, ku balas
****Aku berbalik memutarkan tubuh, terlihat ibu mertua sedang berdiri bersama putrinya adik Mas Hendra yang paling kecil.Anjani, anak ibu yang bungsu sedang berdiri menatapku dengan sinis. Kenapa... Tidak ada tatapan yang begitu enak ku lihat dikeduanya, mereka berubah seketika.Anjani pun tidak biasanya bersikap sombong seperti ini, dan suara yang ku dengar adalah suaranya."Ada apa, Bu?" tanyaku menatapnya.Aku tidak akan menangis lagi, aku akan melawan mereka meski kemungkinan itu bukan hal yang seharusnya aku lakukan."Mbak, harusnya Mbak menyiapkan makanan. Ini udah sore kok malah enak-enakan diluar." ujarnya ketus."Jani, kenapa kamu bicara seperti itu sama Mbak?" tanya penasaran."Mbak, kan tahu tidak ada lagi yang mengharapkan Mbak di rumah ini. Jadi buat apa lagi aku harus pura-pura nerima Mbak. Dari dulu Mbak itu hanya benalu di sini!""Anjani... Kamu---""Apa yang di katakan Anjani itu benar, Renjana. Saya sudah bilang cepatlah kamu bercerai dengan Hendra!""Bu... Ini rum
****Aku berbalik memutarkan tubuh, terlihat ibu mertua sedang berdiri bersama putrinya adik Mas Hendra yang paling kecil.Anjani, anak ibu yang bungsu sedang berdiri menatapku dengan sinis. Kenapa... Tidak ada tatapan yang begitu enak ku lihat dikeduanya, mereka berubah seketika.Anjani pun tidak biasanya bersikap sombong seperti ini, dan suara yang ku dengar adalah suaranya."Ada apa, Bu?" tanyaku menatapnya.Aku tidak akan menangis lagi, aku akan melawan mereka meski kemungkinan itu bukan hal yang seharusnya aku lakukan."Mbak, harusnya Mbak menyiapkan makanan. Ini udah sore kok malah enak-enakan diluar." ujarnya ketus."Jani, kenapa kamu bicara seperti itu sama Mbak?" tanya penasaran."Mbak, kan tahu tidak ada lagi yang mengharapkan Mbak di rumah ini. Jadi buat apa lagi aku harus pura-pura nerima Mbak. Dari dulu Mbak itu hanya benalu di sini!""Anjani... Kamu---""Apa yang di katakan Anjani itu benar, Renjana. Saya sudah bilang cepatlah kamu bercerai dengan Hendra!""Bu... Ini rum
-----"Bayu sudah meninggal, ia kecelakaan setelah menikah kesekian kalinya. Ibu mendengar kabar ini dari Linda, Papa kamu sudah nggak ada," isak Safira menjelaskan tentang ayah kandung putranya.Hendra terdiam, tatapannya nanar mengingat sang ayah yang ia akui sebagai ayahnya ternyata hanya orang asing.Dan ia pun menginginkan pertemuan dengan Bayu, tapi kabar yang ia dengar sangat menyakitkan."Bu, kita harus minta maaf sama Renjana, Ibu sudah kelewatan menyakiti dia." tutur Hendra.Safira menatapnya, ada benarnya apa yang dikatakan Hendra. Ia menyesali perbuatannya, tadinya ia hanya niat menggertak, agar Renjana segera hamil dan berusaha lebih baik lagi. Tetapi, sikapnya malah membuat Renjana pergi.Yang semakin membuat Renjana sakit, ia memfitnahnya dengan menyatakan tes palsu hasil dokter padanya."Kamu benar, Dra. Ibu minta maaf karena sudah menyakiti Renjana, selama ini Ibu salah sudah menyianyiakan dia." lirihnya dengan berderaian air mata."Besok kita kesana, Bu. Aku juga ma
***"A-aku sudah pergi dari rumah Mas Hendra. Dia bangkrut Mbak, dan Papa dia pergi dari rumah dan menceraikan Ibu. Maafin aku, Mbak. Selama ini aku buta karena mencintai pria beristri."Renjana menarik napasnya dan, "sudahlah Mbak, semua sudah berlalu. Saya dan keluarga sudah bahagia, apa lagi saya sudah memiliki seorang putri." ucapnya sambil menatap Reyana."Masih punya muka kamu, datang ke rumah saya setelah membuat hancur kehidupan putri saya?" celetuk Zia."Bu sudah, dia sudah mendapat balasan dan Mas Hendra... Dia sudah kehilangan segalanya, perusahaannya, semua sudah kita ambil alih. Mas Hendra sudah tidak punya apa-apa," Renjana menenangkan ibunya."Dan Ibu tahu, Mas Hendra ... Dia, di nyatakan mandul dan...." sambungnya gugup dengan mata melirik Ardiyan.Jessika yang mendengar cerita Renjana makin tak percaya, jika perusahaan suaminya benar-benar milik Renjana."Kenapa?""Papa sudah menikah lagi, dan apa Ibu tahu Mas Hendra bukan anak Papa?" mata Zia membulat.Jessika tertun
****"Apa ini," ucapku sambil mengambil benda tersebut.Ternyata sebuah cincin yang bermata biru, ini adalah cincin pemberian Mas Hendra dulu, saat aku akan pergi ke luar kota.Cih, ini malah makin membuatku muak. Membayangkannya saja rasanya malas, andai aku tahu dia miskin dan mandul mana mau aku menjadi istrinya. Merebut pula dari Renjana, dan akhirnya apa yang aku dapat sekarang.Hanya kesia-siaan, tiga tahun lamanya bertahan bersama pria cacat. Iya, bagiku dia cacat karena tak bisa membuatku hamil. Tetapi dengan angkuhnya dia mengatakan jika Renjana yang mandul.Malu sekali, aku membanggakan pria cacat pada semua orang, tapi kenyataannya aku sendiri yang malu."Bu, ini karena aku tak mendengar nasehat mu," aku berkata lirih.Orang tuaku melarang hubunganku dengan Mas Hendra, alasannya saat itu karena Hendra beristri. Namun, aku tetap memaksa karena aku mencintainya.Tetapi sekarang, mengingatnya saja aku menolak.Mataku sudah sangat berat, lelah sekali rasanya setelah membenahi r
****"Adriyan, apa ini?" tanya Zia sambil membuka lembaran kertas di tangannya."Buka, Bu."Zia membukanya, tapi matanya seketika membulat saat melihat sebuah foto yang menunjukkan wajah seorang pria sedang memeluk seorang wanita."Astagfirullah... Adriyan apa ini?" pekiknya dengan tangan gemetar."Kenapa, Bu?" Adriyan mengambil kertas di tangan mertuanya.Ia pun ikut terkejut, melihat wajahnya berada di sana. Yang semakin membuatnya terkejut, ia sedang memeluk Vega."Astaga... Apa ini, kenapa ada foto seperti ini?""Harusnya Ibu yang tanya, apa itu?"Ardiyan menggeleng, "tidak Bu, ini bukan aku. Percayalah,""Yaallah, Renjana ...,"Adriyan mengepalkan tangan, ia tidak tahu mengapa Vega melakukan ini. Padahal ia tahu jika mereka terakhir bertemu beberapa tahun lalu, dan Adriyan pun bukan tipe pria yang mudah dekat dengan wanita.Tanpa banyak bicara Adriyan pergi, ia menghubungi seseorang untuk mencari tahu semuanya. Meski tidak habis fikir dengan apa yang di lakukan Vega, tapi menurut
*****''Mas,'' suara merdu dengan senyum di bibirnya yang ranum itu memanggilnya.Ia menghampiri dengan wajah bahagia sambil mengusap wajahnya yang berlinangan air mata, Vega namanya. Wanita yang tengah mengamuk di depan kantor Adriyan.''Vega, ada apa kamu ke sini?" tanya Ardiyan.''Aku mau kamu tanggung jawab, Mas!" suara lantang dengan wajah sendu menatap nanar manik hitam miliknya.''Tanggung jawab? Apa maksudnya?"''Aku hamil... Aku hamil anak kamu, Mas!'' ucapnya dengan lantang.Wajah semua orang memandang Ardiyan dengan tatapan penuh tanya dan terkejut. Tatapan mereka semua memandang Ardiyan dengan penuh tanda tanya.''Cukup Vega... Jangan lagi berkata hal yang akan membuat saya murka. Pergi dan jangan membuat keributan dengan bicara hal yang tidak-tidak, aku tidak pernah melakukan apa yang kamu tuduhkan.'' hardik Ardiyan dengan wajah merah padam menahan amarah.''Kenapa Mas, kenapa kamu mau enaknya saja? Kenapa tidak mau bertanggung jawab, ini anak kamu, Mas.''''Aku sudah ber
****"Pah,""Kenapa Fira? Apa kamu bingung menjelaskan semuanya pada Hendra? Biar aku jelaskan, biar aku yang bicara!" Danendra berdiri diambang pintu dengan wajah datar dan dingin."Cukup Pah, aku mohon ja-jangan bilang apa pun sama Hendra. Kamu Ayahnya dia, Pah." ucap Safira terbata sambil mendekati Danendra.Danendra hanya tersenyum sambil menatap tajam wanita yang menatapnya iba."Bayu adalah Ayah kamu, Hendra. Ibu mu menikah denganku setelah ia hamil tiga bulan! Safira sama sekali tidak pernah aku sentuh, sekali pun!" Danendra berkata tegas kepada Hendra dan Safira.Hendra terperangah dengan wajah terkejut dengan bola mata yang membulat. Iya menatap Safira dengan rasa tak percaya.Pandangannya berputar kepada Safira dan Danendra, Iya tak mengerti dengan apa yang terjadi sebenarnya."Ini tidak benar kan Bu, Ini semua tidak benar!" pekik Hendra."Maafkan Ibu, Dra. Maafkan Ibu,""Lalu di mana, Ayahku?" tanya Hendra.Safira menggelengkan kepalanya, Iya tidak tahu harus menjawab apa.
**** "Pah," "Kenapa Fira? Apa kamu bingung menjelaskan semuanya pada Hendra? Biar aku jelaskan, biar aku yang bicara!" Danendra berdiri diambang pintu dengan wajah datar dan dingin. "Cukup Pah, aku mohon ja-jangan bilang apa pun sama Hendra. Kamu Ayahnya dia, Pah." ucap Safira terbata sambil mendekati Danendra. Danendra hanya tersenyum sambil menatap tajam wanita yang menatapnya iba. "Bayu adalah Ayah kamu, Hendra. Ibu mu menikah denganku setelah ia hamil tiga bulan! Safira sama sekali tidak pernah aku sentuh, sekali pun!" Danendra berkata tegas kepada Hendra dan Safira. Hendra terperangah dengan wajah terkejut dengan bola mata yang membulat. Iya menatap Safira dengan rasa tak percaya. Pandangannya berputar kepada Safira dan Danendra, Iya tak mengerti dengan apa yang terjadi sebenarnya. "Ini tidak benar kan Bu, Ini semua tidak benar!" pekik Hendra. "Maafkan Ibu, Dra. Maafkan Ibu," "Lalu di mana, Ayahku?" tanya Hendra. Safira menggelengkan kepalanya, Iya tidak tahu
---- Warga berkerumun melihat pria yang sedang tertatih, kakinya sedikit luka karen terkena goresan aspal. Hendra, ia yang sedang berjalan setelah menepikan mobilnya keserempet mobil yang melaju dengan kencang. "Pak, apa anda baik-baik saja?" tanya seorang pria berbadan tambun. "Tidak apa, Pak. Saya baik-baik saja, terimakasih sudah bantu saya." jawab Hendra dengan mulut yang meringis. "Tapi mobilnya lari, Pak," "Tidak apa," "Mari saya bantu," Hendra di bawa kepanggil jalan, untuk di bantu mengobati kakinya. Saat ia hendak duduk, pandangannya tiba-tiba melihat sosok pria yang sedang menatapny. Hendra yang hendak duduk itu urung dan kembali melangkahkan kakinya, ia berjalan menuju Danendra yang menatapnya. Danendra diam tanpa mau menghampiri putranya, melihat Hendra seakan melihat Safira di matanya. "Pah," panggilnya lirih. Danendra tak menjawab, justru ia berbalik hendak pergi meninggalkannya. Tapi Hendra mencegah dan berkata, "Pah, Ibu ingin Papa pulang. Saya
*** "Aku...." "Kenapa, kenapa mikiran Renjana?" sentak Jessika. "Ehh, bukan gitu bukan.... Aku hanya---" "Lebih baik kalian pergi, di sini tidak ada yang memerlukan kalian." tukas Zia dengan sinis. Jessika mendelik, ia hendak menjawab kata-kata Zia, tapi Hendra lebih dulu menarik tangannya. Hendra sadar jika ia memiliki harapan untuk memiliki anak bersama Renjana, tapi justru Ardiyan yang memenuhi harapan itu. "Kamu apa-apaan sih, Mas." ketus Jessika. "Sudah jangan bicara apa-apa lagi, aku tadi mendengar teriakan dia jadi aku ingin melihatnya." "Kenapa, khawatir?" "Jess bukan begitu, aku tidak pernah melihat Renjana kesakitan seperti ini." "Kenapa kamu peduli, bukannya nggak pernah mencintai dia? Apa jangan-jangan---" "Sudah jangan terlalu berlebihan, ayok masuk kita nunggu di dalam." Pertengkaran terpaksa berhenti dengan wajah Jessika yang masam. Hendra hanya membiarkan istrinya, ia tak mau mengambil pusing sikapnya. Tapi ia tak mengerti seolah hatinya se