Safira dan Danendra terkejut mendengar suara berat yang datang tiba-tiba dari belakangnya. Mulut Safira terbelalak denan mata terbuka, kedua terkejut melihat Hendra sudah berdiri bersama Jessika di belakangnya.Dengan perasaan tak karuan Safira mencoba tenang, lalu mengukir senyum di bibirnya."Hendra, kalian sudah pulang? Kok cepet banget?" Safira menghampiri dan acuh akan pertanyaan Hendra yang barus aja di layangkan."Dimana Renjana, Bu?" tanya Hendra sedikit menaikan nada bicaranya."Mas,""Kamu duduk dulu, kasian Jessika capek." dengan wajah kesal Hendra masuk kedalam rumah.Ia lari menuju kamar dan langsung mencari Renjana.Jessika yang melihatnya terlihat heran akan sikap Hendra, ia pun menatap Safira yang hanya di balas dengan gelengan kepala."Mas, kamu cari siapa?" Jessika menghampirj dan bertanya dengan wajah sedikit kesal."Bu, dimana Renjana? Kenapa kamarnya kosong?" tanpa hirau akan pertanyaan Jessika, Hendra lebih bertanya pada ibunya untuk menanyakan Renjana."Renjana.
****Renjana dan Ardiyan menoleh, Bisma yang tengah berjalan mengurungkan niatnya melihat Renjana dan Ardiyan sedang tertawa.Bisma adalah teman lama ayah Renjana, ia tinggal di rumah yang tidak jauh dari rumah Renjana saat ini."Pak Bisma... Bapak di sini?" tanya Renjana sambil berdiri menyodorkan tangan untuk bersalaman."Iya, rumah saya di ujung jalan sana. Kamu di sini? Inikan rumah....""Iya Pak, saya mengisi lagi rumah lama ini." sahut Renjana cepat."Apa Hendra tahu? Dan ini... Ardiyan anda di sini?" wajah Bisma terus melirik keduanya dengan perasaan penuh tanya.Melihat Renjana dan Ardiyan sedang duduk berdua, dan ..."Saya sedang ada pekerjaan Pak, Renjana ingin kembali ke Kantor dan memulai lagi semuanya dari Nol." pungkas Ardiyan yang membuat Renjana menatapnya canggung.Mulutnya sedikit menganga mendengar apa yang di katakan pria disampingnya."Apa... Benarkah itu Renjana, Ayah mu pasti sangat senang mendengar itu.""Pak Bisma, tolong jangan bicarakan ini kepada siapa pun
****"Apa ini?" tanya Hendra."Tidak tahu, tadi katanya ini untuk kamu. Dibuka barangkali penting." titah Jessika menyarankan.Hendra pun kembali masuk dengan tangan membuka kertas tersebut, ia keluarkan seutas kertas yang diawali dengan 'PENGADILAN AGAMA JAKARTA'"Pengadilan Agama.... Apa ini?" gumamnya.Perlahan ia membaca setiap kata dan tulisan yang nampak dimatanya, hatinya sedikit terkejut kala sebuah nama Arunika Renjana menggugat cerai dirinya."Bren-sek! Berani sekali Renjana menggugat cerai, aku. Kenapa dia tiba-tiba mengirimkan ini?" pekik Hendra melemparkan kertas berwarna putih ditangannya.Kertas itu jatuh dan Jessika mengambilnya, wajah Jessika tersenyum melihat gugatan cerai yang diajukan istri Hendra."Mbak Renjana menggugat cerai? Kenapa Mas?""Aku tidak tahu, kamu tahu sendiri saat kita pergi Renjana tak bicara apa pun.""Tidak mungkin jika Mbak Renjana pergi tanpa alasan, apa jangan-jangan....""Jangan-jangan apa?""Dia punya---""Ada apa kalian ribut-ribut, Hen? K
****Ehem....Aku berdehem, tubuh itu berbalik dan menatapku dengan tersenyum."Gimana kabar kamu, Renjana?" sapanya sambil menyodorkan tangan.Mas Ardiyan, kenapa dia datang ke sini... Bukankah aku sudah melarangnya menemui saat itu?"Untuk apa kamu ke sini, Mas?" jawabku dengan ketus.Dua tahun sudah aku mencoba menghindarinya, dan pergi tanpa mengabari apa pun. Sejak perceraianku dengan Mas Hendra, aku mencoba sadar akan kekuranganku.Aku juga tidak mau, terlalu berlebihan karena tidak ingin dikatakan sebagai wanita murahan. Tidak mungkin setelah bercerai aku berdekatan dengan pria lain."Renjana, tiga tahun sudah kamu bercerai aku ingin melamar kamu!" Mataku membulat sempurna, mendengar kata-katanya."Tidak Mas, aku tidak pantas untuk kamu! Carilah wanita yang lebih baik dan sempurna, jangan kamu terus mencari aku." tolakku dengan lemas.Aku senang, karena pria yang pernah mengisi hatiku dulu ia kembali. Tapi... Aku sadar siapa aku, tidak pantas menjadi istri pria sebaik Mas Ardi
----"Benar 'kan Mas, dia pergi ninggalin kamu demi Pria lain!"Kata-kata itu keluar begitu saja dari mulut Jessika, apa maksudnya bicara seperti itu."Iya... Kamu benar, dia ninggalin suami hanya demi Pria lain? Benar bukan begitu, Renjana?" Mas Hendra tersenyum sinis menatapku.Aku balik tersenyum melihatnya, dan... "Kamu salah Jessika, harusnya kalian sadar wanita terhormat tidak akan bertahan dengan suami yang akan melakukan hubungan dengan wanita lain. Jika kamu suka, ambil dan jangan biarkan dia kecewa. Karena kalau kamu membuat dia kecewa maka dia akan mencaci maki kekuranganmu!" sinis ku dengan senyum puas.Ku lihat wajah keterkejutan dari keduanya, mereka kira aku kan diam setelah apa yang mereka lakukan. Tidak... Aku akan membuat mereka menyesal."Jangan sembarangan bicara kamu, wajar jika suami dan mertuamu benci karena kamu mandul!" hardik Jessika dengan kesal.Aku percaya dia sedikit sadar akan apa yang aku katakan."Tapi setidaknya aku tidak pernah berzina!" tukasku lagi
----Aku bergegas membawa kendraanku menepi, dengan perasaan tak menentu ku hampiri sosok pria yang tengah merangkul wanita jauh lebih muda dibawahnya.Aku turun dari mobil, cepat-cepat melangkah menuju ayahku. "Pah...." teriakku.Ia berbalik, namun seulas senyum menyemat di sudut bibirnya. Seolah ia tak memiliki rasa bersalah dan dosa, ia menatapku biasa saja."Siapa dia, Pah?" Aku menunjuk wanita disampingnya."Hendra, Hendra... Sudahlah kamu pasti tahu apa yang Papah lakukan,""Apa maksudnya, Pah? Ibu sejak pagi mencari-cari, dia sedang mencemaskan mu. Tapi kau---" andai dia bukan ayahku, sudah ku tinju wajahnya."Apa yang Papah lakukan, tidak jauh dengan apa yang kamu lakukan Dra!" sahutnya tenang.Aku tidak tahu apa maksud papa, tapi sikapnya sungguh keterlaluan. Tega sekali dia menyakiti ibu, atau jangan-jangan baju yang di pegang ibu tadi?"Hendra, sejauh ini bukan hanya Papah yang berengsek. Apa yang Papah lakukan sama persis seperti perlakuanmu terhadap Renjana," ujar papa d
*****Hanya saja fikiran Renjana meracau saat tahu semuanya, jika dirinya tidak mandul lalu hasil tes siapa yang diberikan dokter saat itu padanya?"Mas, kalau benar aku sehat dan tidak memiliki masalah... Lalu----""Aku tahu itu Renjana, sebenarnya---""Permisi Dok, ada seseorang yang akan melahirkan. Tapi Dokter Amira tidak ada, dia mengambil cuty sampai besok." seru seseorang membuat Ardiyan menggantung kata-katanya.Dokter Liza pun dengan cepat membereskan hasil tes milik Renjana, ia meminta maaf karena harus segera membantu pasien yang sedang memerlukan bantuannya."Maaf Bu, saya harus pergi." Renjana mengangguk sambil menerima lembaran kertas dari tangannya.Ardiyan pun membawa Renjana untuk pulang, tak lupa ia membelikan sesuatu sebelum sampai ke rumahnya.Setelah sampai mereka disambut hangat oleh Zia, dan langsung melaksanakan makan malam bersama. Setelah selesai mereka berbincang beberapa menit lamanya, tapi tidak dengan Renjana yang sudah duluan dikamarnya.Tepat pukul 23.1
*****"Sia---""Ardiyan...." Ardiyan terkejut melihat seorang wanita berdiri menatapnya."Sepia? Kenapa kamu di sini? Ada apa?" rentetan pertanyaan meluncur dari mulut Ardiyan.Sepia, wanita yang sejak ia temui di luar kota 4 tahun lalu. Kini ia berdiri di hadapannya, wanita yang berkali-kali ditolak cintanya oleh Ardiyan.Tapi kini ia datang dengan penampilan berbeda. Rambutnya yang bergelombang sudah berubah lurus, wajahnya putih natural. Dengan mata yang sipit dan bibirnya yang sexi."Aku mencari kamu dimana-mana, kenapa kamu pergi tidak memberikan aku kabar. Atau memberi aku alamat." jawab Sepia dengan suara merengek."Sepia cukup, saya mohon pergilah... Ini tempat kerja, dan kamu tidak pantas bersikap seperti ini." jawab Ardiyan ketus.Ardiyan tidak menyukai sikap Sepia, yang terlalu berlebihan. Sikapnya seperti kanak-kanak dan sangat manja.Jauh berbeda dengan Renjana, sejak SMP sampai SMA dia wanita yang mandiri. Ramah dan tidak manja, apa lagi suka mengejar pria."Kamu kenapa
-----"Bayu sudah meninggal, ia kecelakaan setelah menikah kesekian kalinya. Ibu mendengar kabar ini dari Linda, Papa kamu sudah nggak ada," isak Safira menjelaskan tentang ayah kandung putranya.Hendra terdiam, tatapannya nanar mengingat sang ayah yang ia akui sebagai ayahnya ternyata hanya orang asing.Dan ia pun menginginkan pertemuan dengan Bayu, tapi kabar yang ia dengar sangat menyakitkan."Bu, kita harus minta maaf sama Renjana, Ibu sudah kelewatan menyakiti dia." tutur Hendra.Safira menatapnya, ada benarnya apa yang dikatakan Hendra. Ia menyesali perbuatannya, tadinya ia hanya niat menggertak, agar Renjana segera hamil dan berusaha lebih baik lagi. Tetapi, sikapnya malah membuat Renjana pergi.Yang semakin membuat Renjana sakit, ia memfitnahnya dengan menyatakan tes palsu hasil dokter padanya."Kamu benar, Dra. Ibu minta maaf karena sudah menyakiti Renjana, selama ini Ibu salah sudah menyianyiakan dia." lirihnya dengan berderaian air mata."Besok kita kesana, Bu. Aku juga ma
***"A-aku sudah pergi dari rumah Mas Hendra. Dia bangkrut Mbak, dan Papa dia pergi dari rumah dan menceraikan Ibu. Maafin aku, Mbak. Selama ini aku buta karena mencintai pria beristri."Renjana menarik napasnya dan, "sudahlah Mbak, semua sudah berlalu. Saya dan keluarga sudah bahagia, apa lagi saya sudah memiliki seorang putri." ucapnya sambil menatap Reyana."Masih punya muka kamu, datang ke rumah saya setelah membuat hancur kehidupan putri saya?" celetuk Zia."Bu sudah, dia sudah mendapat balasan dan Mas Hendra... Dia sudah kehilangan segalanya, perusahaannya, semua sudah kita ambil alih. Mas Hendra sudah tidak punya apa-apa," Renjana menenangkan ibunya."Dan Ibu tahu, Mas Hendra ... Dia, di nyatakan mandul dan...." sambungnya gugup dengan mata melirik Ardiyan.Jessika yang mendengar cerita Renjana makin tak percaya, jika perusahaan suaminya benar-benar milik Renjana."Kenapa?""Papa sudah menikah lagi, dan apa Ibu tahu Mas Hendra bukan anak Papa?" mata Zia membulat.Jessika tertun
****"Apa ini," ucapku sambil mengambil benda tersebut.Ternyata sebuah cincin yang bermata biru, ini adalah cincin pemberian Mas Hendra dulu, saat aku akan pergi ke luar kota.Cih, ini malah makin membuatku muak. Membayangkannya saja rasanya malas, andai aku tahu dia miskin dan mandul mana mau aku menjadi istrinya. Merebut pula dari Renjana, dan akhirnya apa yang aku dapat sekarang.Hanya kesia-siaan, tiga tahun lamanya bertahan bersama pria cacat. Iya, bagiku dia cacat karena tak bisa membuatku hamil. Tetapi dengan angkuhnya dia mengatakan jika Renjana yang mandul.Malu sekali, aku membanggakan pria cacat pada semua orang, tapi kenyataannya aku sendiri yang malu."Bu, ini karena aku tak mendengar nasehat mu," aku berkata lirih.Orang tuaku melarang hubunganku dengan Mas Hendra, alasannya saat itu karena Hendra beristri. Namun, aku tetap memaksa karena aku mencintainya.Tetapi sekarang, mengingatnya saja aku menolak.Mataku sudah sangat berat, lelah sekali rasanya setelah membenahi r
****"Adriyan, apa ini?" tanya Zia sambil membuka lembaran kertas di tangannya."Buka, Bu."Zia membukanya, tapi matanya seketika membulat saat melihat sebuah foto yang menunjukkan wajah seorang pria sedang memeluk seorang wanita."Astagfirullah... Adriyan apa ini?" pekiknya dengan tangan gemetar."Kenapa, Bu?" Adriyan mengambil kertas di tangan mertuanya.Ia pun ikut terkejut, melihat wajahnya berada di sana. Yang semakin membuatnya terkejut, ia sedang memeluk Vega."Astaga... Apa ini, kenapa ada foto seperti ini?""Harusnya Ibu yang tanya, apa itu?"Ardiyan menggeleng, "tidak Bu, ini bukan aku. Percayalah,""Yaallah, Renjana ...,"Adriyan mengepalkan tangan, ia tidak tahu mengapa Vega melakukan ini. Padahal ia tahu jika mereka terakhir bertemu beberapa tahun lalu, dan Adriyan pun bukan tipe pria yang mudah dekat dengan wanita.Tanpa banyak bicara Adriyan pergi, ia menghubungi seseorang untuk mencari tahu semuanya. Meski tidak habis fikir dengan apa yang di lakukan Vega, tapi menurut
*****''Mas,'' suara merdu dengan senyum di bibirnya yang ranum itu memanggilnya.Ia menghampiri dengan wajah bahagia sambil mengusap wajahnya yang berlinangan air mata, Vega namanya. Wanita yang tengah mengamuk di depan kantor Adriyan.''Vega, ada apa kamu ke sini?" tanya Ardiyan.''Aku mau kamu tanggung jawab, Mas!" suara lantang dengan wajah sendu menatap nanar manik hitam miliknya.''Tanggung jawab? Apa maksudnya?"''Aku hamil... Aku hamil anak kamu, Mas!'' ucapnya dengan lantang.Wajah semua orang memandang Ardiyan dengan tatapan penuh tanya dan terkejut. Tatapan mereka semua memandang Ardiyan dengan penuh tanda tanya.''Cukup Vega... Jangan lagi berkata hal yang akan membuat saya murka. Pergi dan jangan membuat keributan dengan bicara hal yang tidak-tidak, aku tidak pernah melakukan apa yang kamu tuduhkan.'' hardik Ardiyan dengan wajah merah padam menahan amarah.''Kenapa Mas, kenapa kamu mau enaknya saja? Kenapa tidak mau bertanggung jawab, ini anak kamu, Mas.''''Aku sudah ber
****"Pah,""Kenapa Fira? Apa kamu bingung menjelaskan semuanya pada Hendra? Biar aku jelaskan, biar aku yang bicara!" Danendra berdiri diambang pintu dengan wajah datar dan dingin."Cukup Pah, aku mohon ja-jangan bilang apa pun sama Hendra. Kamu Ayahnya dia, Pah." ucap Safira terbata sambil mendekati Danendra.Danendra hanya tersenyum sambil menatap tajam wanita yang menatapnya iba."Bayu adalah Ayah kamu, Hendra. Ibu mu menikah denganku setelah ia hamil tiga bulan! Safira sama sekali tidak pernah aku sentuh, sekali pun!" Danendra berkata tegas kepada Hendra dan Safira.Hendra terperangah dengan wajah terkejut dengan bola mata yang membulat. Iya menatap Safira dengan rasa tak percaya.Pandangannya berputar kepada Safira dan Danendra, Iya tak mengerti dengan apa yang terjadi sebenarnya."Ini tidak benar kan Bu, Ini semua tidak benar!" pekik Hendra."Maafkan Ibu, Dra. Maafkan Ibu,""Lalu di mana, Ayahku?" tanya Hendra.Safira menggelengkan kepalanya, Iya tidak tahu harus menjawab apa.
**** "Pah," "Kenapa Fira? Apa kamu bingung menjelaskan semuanya pada Hendra? Biar aku jelaskan, biar aku yang bicara!" Danendra berdiri diambang pintu dengan wajah datar dan dingin. "Cukup Pah, aku mohon ja-jangan bilang apa pun sama Hendra. Kamu Ayahnya dia, Pah." ucap Safira terbata sambil mendekati Danendra. Danendra hanya tersenyum sambil menatap tajam wanita yang menatapnya iba. "Bayu adalah Ayah kamu, Hendra. Ibu mu menikah denganku setelah ia hamil tiga bulan! Safira sama sekali tidak pernah aku sentuh, sekali pun!" Danendra berkata tegas kepada Hendra dan Safira. Hendra terperangah dengan wajah terkejut dengan bola mata yang membulat. Iya menatap Safira dengan rasa tak percaya. Pandangannya berputar kepada Safira dan Danendra, Iya tak mengerti dengan apa yang terjadi sebenarnya. "Ini tidak benar kan Bu, Ini semua tidak benar!" pekik Hendra. "Maafkan Ibu, Dra. Maafkan Ibu," "Lalu di mana, Ayahku?" tanya Hendra. Safira menggelengkan kepalanya, Iya tidak tahu
---- Warga berkerumun melihat pria yang sedang tertatih, kakinya sedikit luka karen terkena goresan aspal. Hendra, ia yang sedang berjalan setelah menepikan mobilnya keserempet mobil yang melaju dengan kencang. "Pak, apa anda baik-baik saja?" tanya seorang pria berbadan tambun. "Tidak apa, Pak. Saya baik-baik saja, terimakasih sudah bantu saya." jawab Hendra dengan mulut yang meringis. "Tapi mobilnya lari, Pak," "Tidak apa," "Mari saya bantu," Hendra di bawa kepanggil jalan, untuk di bantu mengobati kakinya. Saat ia hendak duduk, pandangannya tiba-tiba melihat sosok pria yang sedang menatapny. Hendra yang hendak duduk itu urung dan kembali melangkahkan kakinya, ia berjalan menuju Danendra yang menatapnya. Danendra diam tanpa mau menghampiri putranya, melihat Hendra seakan melihat Safira di matanya. "Pah," panggilnya lirih. Danendra tak menjawab, justru ia berbalik hendak pergi meninggalkannya. Tapi Hendra mencegah dan berkata, "Pah, Ibu ingin Papa pulang. Saya
*** "Aku...." "Kenapa, kenapa mikiran Renjana?" sentak Jessika. "Ehh, bukan gitu bukan.... Aku hanya---" "Lebih baik kalian pergi, di sini tidak ada yang memerlukan kalian." tukas Zia dengan sinis. Jessika mendelik, ia hendak menjawab kata-kata Zia, tapi Hendra lebih dulu menarik tangannya. Hendra sadar jika ia memiliki harapan untuk memiliki anak bersama Renjana, tapi justru Ardiyan yang memenuhi harapan itu. "Kamu apa-apaan sih, Mas." ketus Jessika. "Sudah jangan bicara apa-apa lagi, aku tadi mendengar teriakan dia jadi aku ingin melihatnya." "Kenapa, khawatir?" "Jess bukan begitu, aku tidak pernah melihat Renjana kesakitan seperti ini." "Kenapa kamu peduli, bukannya nggak pernah mencintai dia? Apa jangan-jangan---" "Sudah jangan terlalu berlebihan, ayok masuk kita nunggu di dalam." Pertengkaran terpaksa berhenti dengan wajah Jessika yang masam. Hendra hanya membiarkan istrinya, ia tak mau mengambil pusing sikapnya. Tapi ia tak mengerti seolah hatinya se