"Baju dari mana ini, Dek?”
Aku menolehkan muka dengan senyum penuh kebahagiaan. Bang Agam terhenyak melihat ekspresiku saat menatapnya.
Penuh kebahagiaan, binar bersuka cita memancar dengan hebatnya. Inilah yang seharusnya kurasakan sebagai seorang wanita.
"Dek, baju dari mana? Bagus sekali!" puji Bang Agam lagi.
Senyumku malah semakin merekah. Bukannya menjawab, aku mengedipkan mata pada pria bertubuh tinggi itu.
Setelahnya, kutautkan pandangan di cermin. Cantik sekali pantulan pada bidang datar itu!
Gamis panjang dari brand ternama serta jilbab motif yang sangat lembut terpadu sempurna. Riasan sederhana juga membuat wajahku segar dipandang.
"Dek?"
"Dari mana lagi, Abang. Aku beli, dong!" balasku pada Bang Agam sembari melirik meja rias yang isinya hanya ada beberapa kosmetik murah.
"U-u ...."
Bang Agam tergugu. Aku tahu benar kata apa yang hendak diucapkan olehnya.
"Uangnya dari mana maksud Abang?"
Pria itu lekas membuang pandang. Telinganya merona merah, jelas saja merasa malu dengan ucapanku.
Selama menjadi istrinya, hanya di awal pernikahan saja Bang Agam memperlakukanku sebagai seorang ratu. Di tahun kedua pernikahan, dia membawa neraka untukku.
"Bagus kan, Bang? Harganya satu juta setengah." Aku mengumbar dengan sengaja.
Bang Agam menelan ludah. Bingung dengan apa yang terjadi di depannya.
Bagaimana bisa istri yang dinafkahi hanya lima belas ribu sehari bisa membeli barang berharga jutaan? Itu juga kalau seluruh uangnya ditabung dan tidak dibelanjakan bahan makanan, maka butuh berbulan-bulan.
Terbayang betapa frustrasinya Bang Agam memikirkan hal ini. Apa dia mengira aku akan pergi kondangan ke kampung sebelah hanya dengan gamis tua hasil seserahannya dulu itu? Atau setelan yang dibelinya dua bulan setelah menikahiku?
Kalau dulu, pasti begitu. Sekarang, aku tidak lagi sudi menegak pahitnya rumah tangga sendirian.
“Bang, cepetan! Nanti telat loh kondangannya,” seruku pada Bang Agam yang masih terdiam di belakangku.
Pria itu belum berganti pakaian, masih dengan kaos rumahan dan celana longgar. Wajahnya pucat pasi, keningnya mengernyit tanpa henti.
Tidak ingin menyia-nyiakan keadaan, aku beranjak menuju lemari kami yang megah. Salah satu laci kubuka segera, kemudian mengeluarkan sebuah kotak tersembunyi di dalamnya.
Tertulis sebuah brand besar yang ramai diminati para elit dan sosialita. Meski bukan versi paling bagus, tapi setidaknya berasal dari salah satu merek tersebut.
Kubuka kotak gelap yang kokoh itu, lalu mengurai lapisan atasnya yang selembut kapas. Di bawahnya bersembunyi sebuah tas kecil berwarna hitam. Ada logo dari brand tersebut di atasnya, mengkilap indah dengan dasar warna perak.
“Bagus enggak, Bang?” pamerku pada Bang Agam.
Pria itu seperti menelan biji nangka dan tersangkut di tenggorokannya berhari-hari. Buru-buru dia mengambil tas tersebut dari tanganku, langsung mengamati tanpa henti.
“A-apa ini, Dek?”
“Apa lagi, Bang? Tas, dong. Harganya dua juta setengah untuk tas sekecil itu!” umbarku dengan senyum merekah.
Sudah bisa kupastikan Bang Agam seperti menerima syok terapi. Selama ini dia memperlakukanku dengan buruk dan enggan memberiku nafkah. Tiba-tiba saja, istrinya yang diabaikan membawa banyak barang-barang mahal seperti yang dipakai olehnya dan ibu mertua selama ini.
“Dek, dari mana uangnya? Kenapa ....”
Dibanding menjawab, aku segera mengambil kembali tas bagus milikku. Dulu, aku bisa memakainya bahkan bisa mengoleksi hingga tiga tas di rentang harga ini. Sedangkan sekarang, bermimpi pun rasanya tidak pantas.
Syukurlah, Allah memberiku kekuatan dan ketekunan. Sekarang ... akan kubalas semua perlakuan buruk itu.
“Aku tunggu di luar, ya?” paparku masih dengan senyuman.
Usai menyampir tas di pundak, buru-buru aku melenggang keluar dari kamar. Tidak menghentikan langkah meski Bang Agam keberatan.
Dia mencoba melarang, meminta agar aku tetap bersamanya di kamar. Tapi, telingaku bak tuli dan gerak tubuh ini tidak bisa dikendali.
Aku tetap keluar dari kamar kami yang mewah dengan penampilan yang juga mewah. Siap menghadapi hari ini tanpa rasa ragu meski hanya sedetik.
“A-apa?”
Senyumku terbit lagi. Seruan penuh kejut itu sudah pasti dari ibu mertuaku yang budiman. Perempuan dengan dua anak lelaki itu sangat mencintai menantunya hingga rela mengekori hidup anak-anaknya serta memberi komentar untuk setiap gerak-gerik mereka.
“I-ima?” panggilnya.
Ibu mertuaku, perempuan paruh baya yang berbicara selembut salju berusaha menghampiri. Dia mengabaikan sarapannya demi menemui diriku yang sudah sangat siap menghadapi dunia kali ini.
“Iya, Bu?”
“I-ini? Ini!” Ibu mertuaku menyentuh gamis, jilbab dan juga tas. Semuanya tidak luput dari interogasinya yang tajam serta teliti itu. Perempuan ini tahu benar di mana letak barang-barang baru yang terpakai di tubuhku. “Da-dari ....”
“Dibeliin Bang Agam, ya, kan?” Aku melempar jawaban pada seorang pria yang keluar dari kamar kami.
Ekspresinya masih saja pucat pasi. Aku rasa, Bang Agam kehilangan banyak darah karena harus melihat betapa glamournya perempuan yang dinikahinya tiga tahun lalu hari ini.
Apa dia kira aku akan selamanya hanya diam memandang? Dia memakai banyak barang mahal di tubuh, memberikan puluhan juta untuk ibunya tapi hanya menyisakan secuil untukku.
“Tasnya dua juta setengah, Bu. Bajunya satu juta setengah, jilbabnya lima ratus ribu.” Tegas sekali lidahku bertutur di depan ibu dan Bang Agam.
Keduanya saling lempar pandang. Aku paham benar apa artinya.
“Oh iya, jam tangan yang dibelikan Bang Agam juga bagus banget, Bu. Belum sampai jamnya, mungkin dua hari lagi,” imbuhku masih dengan pundak yang terangkat setinggi langit. “Iya, kan?”
“A-agam?” Ibu mertua menatap putranya. Manik matanya bergetar, penuh kecemburuan.
“Bu, i-ini ....”
“Sama sepatunya juga, satu juta. Aduh, Abang ... terima kasih banyak. Sering-sering, deh.”
“I-ini tidak ....” Bang Agam terus menyangkal.
“Agam, Ibu juga mau. Kenapa hanya kamu belikan Ima dan tidak belikan buat Ibu?”
“Bu, jangan salah paham.” Bang Agam mengelak kembali.
Kali ini, aku melempar granit pada keduanya.
“Apanya yang salah paham? Jelas-jelas kamu memanjakan Ima sampai seperti ini. Ibu tidak mau tahu, Gam. Besok, semua yang kamu belikan untuk Ima juga belikan Ibu. Lebih mahal, lebih bagus. Titik!” Ibu mertuaku berteriak.
Pertama kalinya, kudengar dia marah besar. Biasanya dia bermain dengan intonasi super rendah namun penuh kata-kata menyakitkan.
Melihatnya muntab, aku tergelak. Bahagia rasanya membuat mereka bertengkar dan salah paham.
Kutinggalkan keduanya, masih berdebat dengan siapa yang salah dan benar. Lalu, melenggang ke teras rumah, berjalan keluar pagar hingga ke jalanan. Membiarkan puluhan mata melihat diriku yang berubah.
“Inilah aku yang sebenarnya!” gumamku sembari melempar senyum ke sembarang arah. “Mereka akan menerima balasan karena memperlakukanku dengan buruk selama ini.”
-
Like, subscribe dan komennyaaa ...
Dua hari yang lalu, ibu Bang Agam menyakitiku begitu dalam. Kudengar ibu mertua mengobrol dengan salah satu tetangga arisannya yang mampir ke rumah kami.Mereka duduk di ruang tamu, menikmati teh dan kue yang dibeli oleh ibu mertua. Makanan lezat itu ‘disimpannya’ di dalam kamar tanpa sepengetahuanku, entah soal Bang Agam. Selalu begitu hingga pada akhirnya aku tahu kelakuan bengisnya itu.Usai salat asar, aku hendak berjalan ke dapur untuk menyiapkan bahan masakan. Ibu mertua dan teman-temannya tidak sadar jika diriku masih ada di rumah itu, sebab sebelumnya Ibu mertua sudah memberi perintah agar aku ke warung sebentar.Kudengar mereka berbicara dalam nada tinggi penuh semangat. “Itulah, Mbak. Mantuku juga sama malasnya. Kerjanya main hape saja siang dan malam, tidak tahu masak dan cuci. Aku semua yang kerjain!”“Betul, mantu-mantu jaman sekarang benar
Bang Agam membelalakkan mata. Sehari lima belas ribu rupiah, bahkan untuk memasak sop saja tidak cukup. Entah kenapa pria dengan pikiran busuk sepertinya bisa lulus rekrutmen super sulit di perusahaan cabang luar negeri itu.“Lima belas ribu sehari! Apa kamu tidak bisa mengelola dengan baik? Aku sudah bilang, berhematlah. Kita ....”“Katakan itu sama Ibumu, Bang. Jangan sama aku. Di sini, di rumah ini, siapa yang harusnya kamu suruh berhemat, hah?” seruku lebih keras.Aku membelalakkan mata sebagai balasan. Tiga tahun bersabar, tapi malah hidupku jadi semakin gila.“Lancang kamu bawa-bawa nama ibuku, Dek. Itu tugasku merawat Ibu, beliau yang membesarkanku, memberiku uang untuk kuliah, beliau juga yang melahirkanku. Beliau paling berjasa di dalam hidupku. Sedangkan kamu, apa jasamu, hah?” balasnya.Aku menerima palu godam
"Dek?" Bang Agam menoleh padaku.Tatapannya menyalak, seperti ingin menerkam. Tidak terlihat keinginan untuk bersuara lembut denganku."Kenapa, Abang? Apa aku salah bicara barusan?""Jangan bicara begitu sama istrimu, Gam. Suaramu, kasar!" Ibu membentak Bang Agam.Beliau juga memukul lengan pria yang telah menikahiku tiga tahun terakhir. Tidak cukup sampai di situ, ibu mertua menambahkan beberapa nasihat lain, soal perjuangan istri, kebaikan istri, dan hak-hak seorang istri di dalam rumah tangga.Mendengarnya, aku menggelak sekali lagi. Sungguh, konyol sekali ocehan mereka berdua di pagi hari.Mendadak ibu mertua membuka khutbah, menasihati putranya agar bersikap baik padaku. Padahal, ibu sendiri alasan terbesar rumah tangga kami goyah.Semenjak ibu mertua datang, Bang Agam berubah. Hak dan kewajibanku diabaikannya. Dia hanya fokus menuruti ibu saja, menjadikannya ratu di istanaku."Tsk
Bab 5: Membalas Suami dan MertuakuHal pertama yang paling ingin kulakukan setelah Bang Agam pergi adalah membuktikan betapa mampunya diriku hidup tanpa uluran tangan suami dan mertuaku. Mereka selama ini terlampau memandang sebelah mata hingga tidak bisa melihat perbedaan antara hak dan kewajiban.Sebab itulah, aku memilih menjejak dengan tegak di atas lutut sendiri. Tidak boleh menunggu dan berharap lagi pada dua sosok itu.“Bismillah!” Aku bergumam keras saat keluar dari rumah mewah ini.Jaket tebal membalut tubuh, berwarna hitam dan hijau. Helem juga melindungi kepala, sedang sebagian muka tertutup oleh masker. Segalanya membuatku begitu yakin dan siap untuk menjalani hari ini tanpa sepengetahuan mertua dan suamiku.Setelahnya, aku turun ke jalan. Bertemu dengan puluhan orang lain yang sama sibuknya deng
Bab 6: Membalas Mertua dan SuamikuJam empat sore, aku tiba di rumah mewah itu lagi. Hela napasku mengudara berat, mendorong motor tua yang kubawa sebelum menikahi Bang Agam menuju garasi. Sendirian, usai berjuang dengan panas dan jalanan. Ditambah lagi, suamiku baru saja menghina dengan memintaku membuangkan bungkus kretek bekasnya. Tidak ingin meninggalkan jejak, aku buru-buru membuka jaket kebesaran tersebut, lalu menyembunyikannya di bawah jok motor terlebih dulu untuk saat ini. Khawatir juga andai Ibu Mertua yang baik budi tersebut muncul dan memergoki apa yang telah kulakukan di luar sana selama ini. Setelahnya, aku bergerak menuju pintu masuk. Helaan napas ini memberat, gelisah menyerang membabi-buta. Ada sepasang sandal yang sangat kukenal telah terduduk manis di rak. Juga sepatu yang terlihat begitu arogan berada di sebelahnya. “Dari mana saja, Nak?” Lembut mendayu, sebuah suara menyapa diriku. Bukannya senang, tubuhku merinding luar biasa. Sekujur badan bergetar, seola
Bab 7: Membalas Mertua dan Suamiku “Kak, nurut kalau diingetin!” Tiga tahun lalu, aku mendengar ocehan itu sembari rebahan. Saa itu, aku membuat sebuah kesalahan besar di dalam hidup. Menetapkan kriteria yang tidak islami saat memilih calon suami, mengabaikan semua hal-hal penting yang harusnya menjadi pertimbangan hanya karena perkara duniawi semata. Teringat jelas olehku, kala itu .... “Kak, mending istikharah dulu sebelum ngambil keputusan!” Adikku yang berwajah rupawan muncul entah dari mana. Dia berdiri di ambang pintu kamarku, memandang dengan ekspresi tidak suka. Pria yang usianya lebih muda empat tahun dariku itu memicingkan mata. Ditatapnya gawai yang enggan kulepas sejak pagi. Padahal, selama ini aku tidak pernah candu dengan benda pipih yang menyala itu. Hidupku sudah sangat sibuk, bekerja di toko retail, kemudia
Bab 8: Membalas Mertua dan Suamiku“Maksudmu apa, Ima?” Bang Agam terus menodongku dengan perkataan yang lebih tajam.Dia berdiri di sebelah meja, menatap diriku dengan ekspresi seolah ingin menerkam. Ditambah lagi, perlahan-lahan terdengar rintihan putus asa dari mulut ibu mertua. Beliau mulai memainkan lakon hanya untuk membuat diriku semakin buruk di depan Bang Agam.“Kenapa hanya beli satu porsi padahal di rumah ini ada tiga orang? Apa tidak paham kalau kamu tidak masak, itu berarti kami tidak makan! Kalau beli makanan, ingat juga pada suami dan ibu mertuamu,” sambungnya kembali.Kuulas senyum, kemudian memutar keran air untuk mencuci tangan di wastafel. Sikap masih kuatur sedemikian lembut dan anggun agar emosi yang ada di dalam diri Bang Agam semakin memuncak.“Tidak cukup uangnya,” sahutku. Ringan sekali, seolah sedang m
Bab 9: Membalas Mertua dan SuamikuBeliau terhenyak mendengarku berkata dengan suara ketus. Diletakkannya seuntai gelang ke atas meja, kemudian ibu mertua terlihat mengatur napas sebelum memandang balas diriku.Sungguh, aku muak sekali. Terlihat jelas beliau sepertinya sengaja melakukan hal ini pada kami. Dia tahu benar jika Bang Agam sangat tidak suka kalau ibu mertua merasa sedih, dan hal itu dimanfaatkan olehnya.“Kenapa Ibu lakukan hal sejahat ini padaku dan Bang Agam kalau Ibu sendiri tidak mau hal ini terjadi pada diri sendiri?” seruku kembali dengan nada yang lebih tinggi.“Loh, kok kamu ngomongnya begitu, Ima? Ini Ibu, loh. Ini Ibunya Agam, mertuamu sendiri,” balas Ibu mertua.Beliau mengusap dada, seolah-olah kata yang kuutarakan barusan telah menembus relung dadanya. Padahal, aku yakin benar, beliau peduli saja tida