Share

Membalas Mertua dan Suamiku
Membalas Mertua dan Suamiku
Penulis: Bemine

Bab 1: Membalas Mertua dan Suamiku

"Baju dari mana ini, Dek?”

Aku menolehkan muka dengan senyum penuh kebahagiaan. Bang Agam terhenyak melihat ekspresiku saat menatapnya. 

Penuh kebahagiaan, binar bersuka cita memancar dengan hebatnya. Inilah yang seharusnya kurasakan sebagai seorang wanita.

"Dek, baju dari mana? Bagus sekali!" puji Bang Agam lagi. 

Senyumku malah semakin merekah. Bukannya menjawab, aku mengedipkan mata pada pria bertubuh tinggi itu. 

Setelahnya, kutautkan pandangan di cermin. Cantik sekali pantulan pada bidang datar itu! 

Gamis panjang dari brand ternama serta jilbab motif yang sangat lembut terpadu sempurna. Riasan sederhana juga membuat wajahku segar dipandang. 

"Dek?" 

"Dari mana lagi, Abang. Aku beli, dong!" balasku pada Bang Agam sembari melirik meja rias yang isinya hanya ada beberapa kosmetik murah. 

"U-u ...."

Bang Agam tergugu. Aku tahu benar kata apa yang hendak diucapkan olehnya. 

"Uangnya dari mana maksud Abang?" 

Pria itu lekas membuang pandang. Telinganya merona merah, jelas saja merasa malu dengan ucapanku. 

Selama menjadi istrinya, hanya di awal pernikahan saja Bang Agam memperlakukanku sebagai seorang ratu. Di tahun kedua pernikahan, dia membawa neraka untukku. 

"Bagus kan, Bang? Harganya satu juta setengah." Aku mengumbar dengan sengaja. 

Bang Agam menelan ludah. Bingung dengan apa yang terjadi di depannya. 

Bagaimana bisa istri yang dinafkahi hanya lima belas ribu sehari bisa membeli barang berharga jutaan? Itu juga kalau seluruh uangnya ditabung dan tidak dibelanjakan bahan makanan, maka butuh berbulan-bulan. 

Terbayang betapa frustrasinya Bang Agam memikirkan hal ini. Apa dia mengira aku akan pergi kondangan ke kampung sebelah hanya dengan gamis tua hasil seserahannya dulu itu? Atau setelan yang dibelinya dua bulan setelah menikahiku? 

Kalau dulu, pasti begitu. Sekarang, aku tidak lagi sudi menegak pahitnya rumah tangga sendirian. 

“Bang, cepetan! Nanti telat loh kondangannya,” seruku pada Bang Agam yang masih terdiam di belakangku. 

Pria itu belum berganti pakaian, masih dengan kaos rumahan dan celana longgar. Wajahnya pucat pasi, keningnya mengernyit tanpa henti. 

Tidak ingin menyia-nyiakan keadaan, aku beranjak menuju lemari kami yang megah. Salah satu laci kubuka segera, kemudian mengeluarkan sebuah kotak tersembunyi di dalamnya. 

Tertulis sebuah brand besar yang ramai diminati para elit dan sosialita. Meski bukan versi paling bagus, tapi setidaknya berasal dari salah satu merek tersebut. 

Kubuka kotak gelap yang kokoh itu, lalu mengurai lapisan atasnya yang selembut kapas. Di bawahnya bersembunyi sebuah tas kecil berwarna hitam. Ada logo dari brand tersebut di atasnya, mengkilap indah dengan dasar warna perak. 

“Bagus enggak, Bang?” pamerku pada Bang Agam. 

Pria itu seperti menelan biji nangka dan tersangkut di tenggorokannya berhari-hari. Buru-buru dia mengambil tas tersebut dari tanganku, langsung mengamati tanpa henti. 

“A-apa ini, Dek?” 

“Apa lagi, Bang? Tas, dong. Harganya dua juta setengah untuk tas sekecil itu!” umbarku dengan senyum merekah. 

Sudah bisa kupastikan Bang Agam seperti menerima syok terapi. Selama ini dia memperlakukanku dengan buruk dan enggan memberiku nafkah. Tiba-tiba saja, istrinya yang diabaikan membawa banyak barang-barang mahal seperti yang dipakai olehnya dan ibu mertua selama ini. 

“Dek, dari mana uangnya? Kenapa ....” 

Dibanding menjawab, aku segera mengambil kembali tas bagus milikku. Dulu, aku bisa memakainya bahkan bisa mengoleksi hingga tiga tas di rentang harga ini. Sedangkan sekarang, bermimpi pun rasanya tidak pantas. 

Syukurlah, Allah memberiku kekuatan dan ketekunan. Sekarang ... akan kubalas semua perlakuan buruk itu. 

“Aku tunggu di luar, ya?” paparku masih dengan senyuman. 

Usai menyampir tas di pundak, buru-buru aku melenggang keluar dari kamar. Tidak menghentikan langkah meski Bang Agam keberatan. 

Dia mencoba melarang, meminta agar aku tetap bersamanya di kamar. Tapi, telingaku bak tuli dan gerak tubuh ini tidak bisa dikendali. 

Aku tetap keluar dari kamar kami yang mewah dengan penampilan yang juga mewah. Siap menghadapi hari ini tanpa rasa ragu meski hanya sedetik. 

“A-apa?” 

Senyumku terbit lagi. Seruan penuh kejut itu sudah pasti dari ibu mertuaku yang budiman. Perempuan dengan dua anak lelaki itu sangat mencintai menantunya hingga rela mengekori hidup anak-anaknya serta memberi komentar untuk setiap gerak-gerik mereka. 

“I-ima?” panggilnya. 

Ibu mertuaku, perempuan paruh baya yang berbicara selembut salju berusaha menghampiri. Dia mengabaikan sarapannya demi menemui diriku yang sudah sangat siap menghadapi dunia kali ini. 

“Iya, Bu?” 

“I-ini? Ini!” Ibu mertuaku menyentuh gamis, jilbab dan juga tas. Semuanya tidak luput dari interogasinya yang tajam serta teliti itu. Perempuan ini tahu benar di mana letak barang-barang baru yang terpakai di tubuhku. “Da-dari ....” 

“Dibeliin Bang Agam, ya, kan?” Aku melempar jawaban pada seorang pria yang keluar dari kamar kami. 

Ekspresinya masih saja pucat pasi. Aku rasa, Bang Agam kehilangan banyak darah karena harus melihat betapa glamournya perempuan yang dinikahinya tiga tahun lalu hari ini. 

Apa dia kira aku akan selamanya hanya diam memandang? Dia memakai banyak barang mahal di tubuh, memberikan puluhan juta untuk ibunya tapi hanya menyisakan secuil untukku. 

“Tasnya dua juta setengah, Bu. Bajunya satu juta setengah, jilbabnya lima ratus ribu.” Tegas sekali lidahku bertutur di depan ibu dan Bang Agam. 

Keduanya saling lempar pandang. Aku paham benar apa artinya. 

“Oh iya, jam tangan yang dibelikan Bang Agam juga bagus banget, Bu. Belum sampai jamnya, mungkin dua hari lagi,” imbuhku masih dengan pundak yang terangkat setinggi langit. “Iya, kan?” 

“A-agam?” Ibu mertua menatap putranya. Manik matanya bergetar, penuh kecemburuan.

“Bu, i-ini ....” 

“Sama sepatunya juga, satu juta. Aduh, Abang ... terima kasih banyak. Sering-sering, deh.” 

“I-ini tidak ....” Bang Agam terus menyangkal. 

“Agam, Ibu juga mau. Kenapa hanya kamu belikan Ima dan tidak belikan buat Ibu?” 

“Bu, jangan salah paham.” Bang Agam mengelak kembali. 

Kali ini, aku melempar granit pada keduanya. 

“Apanya yang salah paham? Jelas-jelas kamu memanjakan Ima sampai seperti ini. Ibu tidak mau tahu, Gam. Besok, semua yang kamu belikan untuk Ima juga belikan Ibu. Lebih mahal, lebih bagus. Titik!” Ibu mertuaku berteriak. 

Pertama kalinya, kudengar dia marah besar. Biasanya dia bermain dengan intonasi super rendah namun penuh kata-kata menyakitkan. 

Melihatnya muntab, aku tergelak. Bahagia rasanya membuat mereka bertengkar dan salah paham. 

Kutinggalkan keduanya, masih berdebat dengan siapa yang salah dan benar. Lalu, melenggang ke teras rumah, berjalan keluar pagar hingga ke jalanan. Membiarkan puluhan mata melihat diriku yang berubah. 

“Inilah aku yang sebenarnya!” gumamku sembari melempar senyum ke sembarang arah. “Mereka akan menerima balasan karena memperlakukanku dengan buruk selama ini.”

-

Like, subscribe dan komennyaaa ... 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status