"Baju dari mana ini, Dek?”
Aku menolehkan muka dengan senyum penuh kebahagiaan. Bang Agam terhenyak melihat ekspresiku saat menatapnya.
Penuh kebahagiaan, binar bersuka cita memancar dengan hebatnya. Inilah yang seharusnya kurasakan sebagai seorang wanita.
"Dek, baju dari mana? Bagus sekali!" puji Bang Agam lagi.
Senyumku malah semakin merekah. Bukannya menjawab, aku mengedipkan mata pada pria bertubuh tinggi itu.
Setelahnya, kutautkan pandangan di cermin. Cantik sekali pantulan pada bidang datar itu!
Gamis panjang dari brand ternama serta jilbab motif yang sangat lembut terpadu sempurna. Riasan sederhana juga membuat wajahku segar dipandang.
"Dek?"
"Dari mana lagi, Abang. Aku beli, dong!" balasku pada Bang Agam sembari melirik meja rias yang isinya hanya ada beberapa kosmetik murah.
"U-u ...."
Bang Agam tergugu. Aku tahu benar kata apa yang hendak diucapkan olehnya.
"Uangnya dari mana maksud Abang?"
Pria itu lekas membuang pandang. Telinganya merona merah, jelas saja merasa malu dengan ucapanku.
Selama menjadi istrinya, hanya di awal pernikahan saja Bang Agam memperlakukanku sebagai seorang ratu. Di tahun kedua pernikahan, dia membawa neraka untukku.
"Bagus kan, Bang? Harganya satu juta setengah." Aku mengumbar dengan sengaja.
Bang Agam menelan ludah. Bingung dengan apa yang terjadi di depannya.
Bagaimana bisa istri yang dinafkahi hanya lima belas ribu sehari bisa membeli barang berharga jutaan? Itu juga kalau seluruh uangnya ditabung dan tidak dibelanjakan bahan makanan, maka butuh berbulan-bulan.
Terbayang betapa frustrasinya Bang Agam memikirkan hal ini. Apa dia mengira aku akan pergi kondangan ke kampung sebelah hanya dengan gamis tua hasil seserahannya dulu itu? Atau setelan yang dibelinya dua bulan setelah menikahiku?
Kalau dulu, pasti begitu. Sekarang, aku tidak lagi sudi menegak pahitnya rumah tangga sendirian.
“Bang, cepetan! Nanti telat loh kondangannya,” seruku pada Bang Agam yang masih terdiam di belakangku.
Pria itu belum berganti pakaian, masih dengan kaos rumahan dan celana longgar. Wajahnya pucat pasi, keningnya mengernyit tanpa henti.
Tidak ingin menyia-nyiakan keadaan, aku beranjak menuju lemari kami yang megah. Salah satu laci kubuka segera, kemudian mengeluarkan sebuah kotak tersembunyi di dalamnya.
Tertulis sebuah brand besar yang ramai diminati para elit dan sosialita. Meski bukan versi paling bagus, tapi setidaknya berasal dari salah satu merek tersebut.
Kubuka kotak gelap yang kokoh itu, lalu mengurai lapisan atasnya yang selembut kapas. Di bawahnya bersembunyi sebuah tas kecil berwarna hitam. Ada logo dari brand tersebut di atasnya, mengkilap indah dengan dasar warna perak.
“Bagus enggak, Bang?” pamerku pada Bang Agam.
Pria itu seperti menelan biji nangka dan tersangkut di tenggorokannya berhari-hari. Buru-buru dia mengambil tas tersebut dari tanganku, langsung mengamati tanpa henti.
“A-apa ini, Dek?”
“Apa lagi, Bang? Tas, dong. Harganya dua juta setengah untuk tas sekecil itu!” umbarku dengan senyum merekah.
Sudah bisa kupastikan Bang Agam seperti menerima syok terapi. Selama ini dia memperlakukanku dengan buruk dan enggan memberiku nafkah. Tiba-tiba saja, istrinya yang diabaikan membawa banyak barang-barang mahal seperti yang dipakai olehnya dan ibu mertua selama ini.
“Dek, dari mana uangnya? Kenapa ....”
Dibanding menjawab, aku segera mengambil kembali tas bagus milikku. Dulu, aku bisa memakainya bahkan bisa mengoleksi hingga tiga tas di rentang harga ini. Sedangkan sekarang, bermimpi pun rasanya tidak pantas.
Syukurlah, Allah memberiku kekuatan dan ketekunan. Sekarang ... akan kubalas semua perlakuan buruk itu.
“Aku tunggu di luar, ya?” paparku masih dengan senyuman.
Usai menyampir tas di pundak, buru-buru aku melenggang keluar dari kamar. Tidak menghentikan langkah meski Bang Agam keberatan.
Dia mencoba melarang, meminta agar aku tetap bersamanya di kamar. Tapi, telingaku bak tuli dan gerak tubuh ini tidak bisa dikendali.
Aku tetap keluar dari kamar kami yang mewah dengan penampilan yang juga mewah. Siap menghadapi hari ini tanpa rasa ragu meski hanya sedetik.
“A-apa?”
Senyumku terbit lagi. Seruan penuh kejut itu sudah pasti dari ibu mertuaku yang budiman. Perempuan dengan dua anak lelaki itu sangat mencintai menantunya hingga rela mengekori hidup anak-anaknya serta memberi komentar untuk setiap gerak-gerik mereka.
“I-ima?” panggilnya.
Ibu mertuaku, perempuan paruh baya yang berbicara selembut salju berusaha menghampiri. Dia mengabaikan sarapannya demi menemui diriku yang sudah sangat siap menghadapi dunia kali ini.
“Iya, Bu?”
“I-ini? Ini!” Ibu mertuaku menyentuh gamis, jilbab dan juga tas. Semuanya tidak luput dari interogasinya yang tajam serta teliti itu. Perempuan ini tahu benar di mana letak barang-barang baru yang terpakai di tubuhku. “Da-dari ....”
“Dibeliin Bang Agam, ya, kan?” Aku melempar jawaban pada seorang pria yang keluar dari kamar kami.
Ekspresinya masih saja pucat pasi. Aku rasa, Bang Agam kehilangan banyak darah karena harus melihat betapa glamournya perempuan yang dinikahinya tiga tahun lalu hari ini.
Apa dia kira aku akan selamanya hanya diam memandang? Dia memakai banyak barang mahal di tubuh, memberikan puluhan juta untuk ibunya tapi hanya menyisakan secuil untukku.
“Tasnya dua juta setengah, Bu. Bajunya satu juta setengah, jilbabnya lima ratus ribu.” Tegas sekali lidahku bertutur di depan ibu dan Bang Agam.
Keduanya saling lempar pandang. Aku paham benar apa artinya.
“Oh iya, jam tangan yang dibelikan Bang Agam juga bagus banget, Bu. Belum sampai jamnya, mungkin dua hari lagi,” imbuhku masih dengan pundak yang terangkat setinggi langit. “Iya, kan?”
“A-agam?” Ibu mertua menatap putranya. Manik matanya bergetar, penuh kecemburuan.
“Bu, i-ini ....”
“Sama sepatunya juga, satu juta. Aduh, Abang ... terima kasih banyak. Sering-sering, deh.”
“I-ini tidak ....” Bang Agam terus menyangkal.
“Agam, Ibu juga mau. Kenapa hanya kamu belikan Ima dan tidak belikan buat Ibu?”
“Bu, jangan salah paham.” Bang Agam mengelak kembali.
Kali ini, aku melempar granit pada keduanya.
“Apanya yang salah paham? Jelas-jelas kamu memanjakan Ima sampai seperti ini. Ibu tidak mau tahu, Gam. Besok, semua yang kamu belikan untuk Ima juga belikan Ibu. Lebih mahal, lebih bagus. Titik!” Ibu mertuaku berteriak.
Pertama kalinya, kudengar dia marah besar. Biasanya dia bermain dengan intonasi super rendah namun penuh kata-kata menyakitkan.
Melihatnya muntab, aku tergelak. Bahagia rasanya membuat mereka bertengkar dan salah paham.
Kutinggalkan keduanya, masih berdebat dengan siapa yang salah dan benar. Lalu, melenggang ke teras rumah, berjalan keluar pagar hingga ke jalanan. Membiarkan puluhan mata melihat diriku yang berubah.
“Inilah aku yang sebenarnya!” gumamku sembari melempar senyum ke sembarang arah. “Mereka akan menerima balasan karena memperlakukanku dengan buruk selama ini.”
-
Like, subscribe dan komennyaaa ...
Dua hari yang lalu, ibu Bang Agam menyakitiku begitu dalam. Kudengar ibu mertua mengobrol dengan salah satu tetangga arisannya yang mampir ke rumah kami.Mereka duduk di ruang tamu, menikmati teh dan kue yang dibeli oleh ibu mertua. Makanan lezat itu ‘disimpannya’ di dalam kamar tanpa sepengetahuanku, entah soal Bang Agam. Selalu begitu hingga pada akhirnya aku tahu kelakuan bengisnya itu.Usai salat asar, aku hendak berjalan ke dapur untuk menyiapkan bahan masakan. Ibu mertua dan teman-temannya tidak sadar jika diriku masih ada di rumah itu, sebab sebelumnya Ibu mertua sudah memberi perintah agar aku ke warung sebentar.Kudengar mereka berbicara dalam nada tinggi penuh semangat. “Itulah, Mbak. Mantuku juga sama malasnya. Kerjanya main hape saja siang dan malam, tidak tahu masak dan cuci. Aku semua yang kerjain!”“Betul, mantu-mantu jaman sekarang benar
Bang Agam membelalakkan mata. Sehari lima belas ribu rupiah, bahkan untuk memasak sop saja tidak cukup. Entah kenapa pria dengan pikiran busuk sepertinya bisa lulus rekrutmen super sulit di perusahaan cabang luar negeri itu.“Lima belas ribu sehari! Apa kamu tidak bisa mengelola dengan baik? Aku sudah bilang, berhematlah. Kita ....”“Katakan itu sama Ibumu, Bang. Jangan sama aku. Di sini, di rumah ini, siapa yang harusnya kamu suruh berhemat, hah?” seruku lebih keras.Aku membelalakkan mata sebagai balasan. Tiga tahun bersabar, tapi malah hidupku jadi semakin gila.“Lancang kamu bawa-bawa nama ibuku, Dek. Itu tugasku merawat Ibu, beliau yang membesarkanku, memberiku uang untuk kuliah, beliau juga yang melahirkanku. Beliau paling berjasa di dalam hidupku. Sedangkan kamu, apa jasamu, hah?” balasnya.Aku menerima palu godam
"Dek?" Bang Agam menoleh padaku.Tatapannya menyalak, seperti ingin menerkam. Tidak terlihat keinginan untuk bersuara lembut denganku."Kenapa, Abang? Apa aku salah bicara barusan?""Jangan bicara begitu sama istrimu, Gam. Suaramu, kasar!" Ibu membentak Bang Agam.Beliau juga memukul lengan pria yang telah menikahiku tiga tahun terakhir. Tidak cukup sampai di situ, ibu mertua menambahkan beberapa nasihat lain, soal perjuangan istri, kebaikan istri, dan hak-hak seorang istri di dalam rumah tangga.Mendengarnya, aku menggelak sekali lagi. Sungguh, konyol sekali ocehan mereka berdua di pagi hari.Mendadak ibu mertua membuka khutbah, menasihati putranya agar bersikap baik padaku. Padahal, ibu sendiri alasan terbesar rumah tangga kami goyah.Semenjak ibu mertua datang, Bang Agam berubah. Hak dan kewajibanku diabaikannya. Dia hanya fokus menuruti ibu saja, menjadikannya ratu di istanaku."Tsk
Bab 5: Membalas Suami dan MertuakuHal pertama yang paling ingin kulakukan setelah Bang Agam pergi adalah membuktikan betapa mampunya diriku hidup tanpa uluran tangan suami dan mertuaku. Mereka selama ini terlampau memandang sebelah mata hingga tidak bisa melihat perbedaan antara hak dan kewajiban.Sebab itulah, aku memilih menjejak dengan tegak di atas lutut sendiri. Tidak boleh menunggu dan berharap lagi pada dua sosok itu.“Bismillah!” Aku bergumam keras saat keluar dari rumah mewah ini.Jaket tebal membalut tubuh, berwarna hitam dan hijau. Helem juga melindungi kepala, sedang sebagian muka tertutup oleh masker. Segalanya membuatku begitu yakin dan siap untuk menjalani hari ini tanpa sepengetahuan mertua dan suamiku.Setelahnya, aku turun ke jalan. Bertemu dengan puluhan orang lain yang sama sibuknya deng
Bab 6: Membalas Mertua dan SuamikuJam empat sore, aku tiba di rumah mewah itu lagi. Hela napasku mengudara berat, mendorong motor tua yang kubawa sebelum menikahi Bang Agam menuju garasi. Sendirian, usai berjuang dengan panas dan jalanan. Ditambah lagi, suamiku baru saja menghina dengan memintaku membuangkan bungkus kretek bekasnya. Tidak ingin meninggalkan jejak, aku buru-buru membuka jaket kebesaran tersebut, lalu menyembunyikannya di bawah jok motor terlebih dulu untuk saat ini. Khawatir juga andai Ibu Mertua yang baik budi tersebut muncul dan memergoki apa yang telah kulakukan di luar sana selama ini. Setelahnya, aku bergerak menuju pintu masuk. Helaan napas ini memberat, gelisah menyerang membabi-buta. Ada sepasang sandal yang sangat kukenal telah terduduk manis di rak. Juga sepatu yang terlihat begitu arogan berada di sebelahnya. “Dari mana saja, Nak?” Lembut mendayu, sebuah suara menyapa diriku. Bukannya senang, tubuhku merinding luar biasa. Sekujur badan bergetar, seola
Bab 7: Membalas Mertua dan Suamiku “Kak, nurut kalau diingetin!” Tiga tahun lalu, aku mendengar ocehan itu sembari rebahan. Saa itu, aku membuat sebuah kesalahan besar di dalam hidup. Menetapkan kriteria yang tidak islami saat memilih calon suami, mengabaikan semua hal-hal penting yang harusnya menjadi pertimbangan hanya karena perkara duniawi semata. Teringat jelas olehku, kala itu .... “Kak, mending istikharah dulu sebelum ngambil keputusan!” Adikku yang berwajah rupawan muncul entah dari mana. Dia berdiri di ambang pintu kamarku, memandang dengan ekspresi tidak suka. Pria yang usianya lebih muda empat tahun dariku itu memicingkan mata. Ditatapnya gawai yang enggan kulepas sejak pagi. Padahal, selama ini aku tidak pernah candu dengan benda pipih yang menyala itu. Hidupku sudah sangat sibuk, bekerja di toko retail, kemudia
Bab 8: Membalas Mertua dan Suamiku“Maksudmu apa, Ima?” Bang Agam terus menodongku dengan perkataan yang lebih tajam.Dia berdiri di sebelah meja, menatap diriku dengan ekspresi seolah ingin menerkam. Ditambah lagi, perlahan-lahan terdengar rintihan putus asa dari mulut ibu mertua. Beliau mulai memainkan lakon hanya untuk membuat diriku semakin buruk di depan Bang Agam.“Kenapa hanya beli satu porsi padahal di rumah ini ada tiga orang? Apa tidak paham kalau kamu tidak masak, itu berarti kami tidak makan! Kalau beli makanan, ingat juga pada suami dan ibu mertuamu,” sambungnya kembali.Kuulas senyum, kemudian memutar keran air untuk mencuci tangan di wastafel. Sikap masih kuatur sedemikian lembut dan anggun agar emosi yang ada di dalam diri Bang Agam semakin memuncak.“Tidak cukup uangnya,” sahutku. Ringan sekali, seolah sedang m
Bab 9: Membalas Mertua dan SuamikuBeliau terhenyak mendengarku berkata dengan suara ketus. Diletakkannya seuntai gelang ke atas meja, kemudian ibu mertua terlihat mengatur napas sebelum memandang balas diriku.Sungguh, aku muak sekali. Terlihat jelas beliau sepertinya sengaja melakukan hal ini pada kami. Dia tahu benar jika Bang Agam sangat tidak suka kalau ibu mertua merasa sedih, dan hal itu dimanfaatkan olehnya.“Kenapa Ibu lakukan hal sejahat ini padaku dan Bang Agam kalau Ibu sendiri tidak mau hal ini terjadi pada diri sendiri?” seruku kembali dengan nada yang lebih tinggi.“Loh, kok kamu ngomongnya begitu, Ima? Ini Ibu, loh. Ini Ibunya Agam, mertuamu sendiri,” balas Ibu mertua.Beliau mengusap dada, seolah-olah kata yang kuutarakan barusan telah menembus relung dadanya. Padahal, aku yakin benar, beliau peduli saja tida
Bab 40: Membalas Mertua dan Suamiku Aku dan Qais pulang ke rumah lama kami dengan tergesa-gesa usai mendapatkan kabar dari Bang Agam. Kami tiba setelah mengebut di jalanan dengan perasaan tidak karuan. Di depan pagar, aku terdiam untuk sesaat. Rumah mewah yang dibeli oleh Bang Agam kini ramai dengan orang-orang. Mereka berduyun-duyun masuk, sibuk berbicara tentang ibu mertua yang meninggal di rumah sakit. “Sudah tiga hari di rumah sakit, katanya sejak ngerebut rumah ini dari anak mantunya, tiap malam seperti didatengin setan, Bu. Tidak bisa tidur, malah teriak-teriak kayak kerasukan.” Dua perempuan yang dulu menjadi teman karib ibu mertuaku saling berbisik. “Azab kali, Bu. Duh, saya juga sudah denger dari Bu RT. Selama ini Ima dan Agam difitnah, mereka diperlakukan seperti sapi perah, sampe akhirnya Agam yang minta keluar dari rumah ini. Terus, malah bawa anak keduanya ke sini!” “Betul, Bu. Saya juga dengar. Nauzubillah banget ternyata kelakuannya. Saya kira semua omongann
Bab 39: Membalas Mertua dan Suamiku “Agam!”“Aku minta maaf, Ibu. Aku minta maaf sekali,” lirih Bang Agam. Pria itu memejamkan kedua mata. Dari tempatku berdiri, terlihat penyesalan dan rasa sedih yang begitu dalam, bahkan urat tebal muncul di bawah pelipisnya.Pada akhirnya, hubungan kami jadi semakin rumit. Semua cara yang aku lakukan di masa lalu, termasuk membalas kelakuan Ibu mertua dan menyadarkan Bang Agam tidak membuahkan banyak hasil.“Agam, kamu mau tinggal di mana kalau bukan di rumah itu?” cegah Ibu mertua seraya menarik lengan Bang Agam.Suamiku tidak menjawab. Bibirnya hanya diam, terkatub terlalu rapat.“Bang, kita ....”“Kita bereskan barang, Dek. Bawa semua baju, tas, sepatu, riasan, milikmu, milikku, milik Qais, juga beberapa bungkus
Bab 38: Membalas Mertua dan SuamikuKami tiba di rumah Pak RT beberapa menit kemudian. Bang Agam bahkan tidak sempat berganti pakaian olahraganya hanya untuk mengecek keadaan ibu mertua yang diisukan sudah ada di kota.“Bang, yakin sudah antar Ibu ke desa?” tanyaku dengan suara berbisik.Aku turun dari boncengan motor, kemudian membawa Qais bersamaku. Bang Agam juga memarkirkan motornya agar tidak menghalanginya jalan keluar masuk di rumah Pak RT.“Iya, Dek. Aku juga memberi Ibu uang saku. Tidak mungkin aku membuat Ibu menderita dengan meninggalkannya di jalanan,” balas Bang Agam dengan mata yang membulat.Jika dia saja sekaget ini, aku yakin benar kalau ucapannya tidaklah dusta. Sepertinya, memang ada yang dilakukan oleh ibu mertua usai Bang Agam kembali ke kota semalam.“Kita masuk dulu dan tem
Bab 37: Membalas Mertua dan SuamikuBang Agam tidak gentar meski terus mendengar penolakan. Pria itu sudah mengambil keputusan tegas untuk membawa pulang Ibu dan keluarga Iqmal ke desa.Saat Ibu mertua terus memohon supaya Bang Agam melunak, pria itu malah menelepon taksi agar menjemput sampai ke rumah. Dia menelepon dua taksi, satu untuk keluarga ibu mertua, satunya lagi untuk adikku.“Gam, Ibu enggak mau pulang ke desa. Ibu mau di sini sama kamu,” rintih ibu mertua lagi. Perempuan itu memeluk lengan Bang Agam sekuat mungkin.Sejujurnya, aku terenyuh melihat ibu mertua sampai menangis. Perempuan itu memang sering kali membuat diriku kesal di rumah ini, tapi memaksa mereka kembali di malam hari juga kurang bijak menurutku.Di saat yang bersamaan, aku juga tidak bisa menentang Bang Agam. Pria itu menetapkan keputusan bukan tanpa alasan
Bab 36: Membalas Mertua dan SuamikuBegitulah semuanya selesai. Ibu mertua dan keluarganya yang menghadapi rasa malu jadi enggan beradu tatap denganku. Mereka juga tidak mau makan malam di meja yang sama, malah membawa makanan dan menghabiskannya di kamar bersama-sama.Aku juga tidak memaksa, membiarkan mereka melakukan apa yang mereka suka hingga Bang Agam kembali ke rumah ini. Jangan sampai duniaku yang nyaman dibolak-balik oleh mereka sekali lagi.“Kak, sampai kapan keluarga Bang Agam di sini?” Adikku berujar dengan suara lebih rendah. “Kemarin cuma Ibunya Bang Agam yang tinggal di sini, sekarang semuanya pindah ke sini?”Dia mengusaikan makan malamnya. Pria itu mencuci piring yang dipakai di wastafel lalu menyimpannya kembali di rak piring. Sungguh, aku tidak menduga jika pria muda itu akan punya sikap seperti ini.&ld
Bab 35: Membalas Mertua dan Suamiku “Ya Allah, aku enggak mimpi, kan?” lirihku.Sosok di depanku ini, kenapa dia ada di sini? Kami dipisahkan oleh benua, lautan, dan darat yang sangat luas. Lantas, kenapa tiba-tiba dia ada di rumahku? Tidak ada kabar soal kepulangannya yang selama ini masih menjadi misteri bagiku. Anak ini, dia memilih menetap di negeri orang karena kecewa dengan keputusanku yang tetap memilih untuk menikahi Bang Agam dulu.“Kak Ima, kenapa nangis, sih?” balasnya. Pria itu tidak melirik diriku meski aku yang berbicara dengannya. “Kamu kenapa di sini, Dek?”“Aku pulang, memangnya kenapa lagi?” Pria muda itu masih menatap Qais lebih dalam. Dia juga mengusap pipi gembul anak lelaki itu sebelum kemudian berdiri tegak seperti semula. “Kakak mau ke mana? Bang Agam mana?” tanyanya seray
Bab 34: Membalas Mertua dan Suamiku“Kamu mau ke mana, Gam?” Ibu mertuaku berseru keras saat Bang Agam keluar dari kamar dengan sebuah koper berukuran sedang.Aku di belakangnya hanya diam, memegang tangan Qais yang masih berusaha beradaptasi dengan lingkungan yang riuh ini. Tidak berbicara, juga tidak menolehkan muka. Biar Bang Agam saja yang mengurusi keluarganya.“Bu, hari ini aku harus ke Jakarta. Setelah pulang, nanti aku antar Ibu dan Iqmal ke desa!” sahut suamiku sembari menatap perempuan yang sudah melahirkannya itu.Bang Agam menggulung lengan kemeja hitamnya. Dia masih menunggu respon dari ibu mertua yang seperti sedang berpikir keras.“Kapan pulangnya?” Ibu mertuaku bertanya lagi. Perempuan yang memakai daster bermotif daun talas itu melenggang ke depan, dia mulai menghampiri Bang Agam dengan ekspresi riang yang tidak kumengerti alasan
Bab 33: Membalas Mertua dan Suamiku“Tidak perlu sekeras itu dengan adik iparmu, Gam. Kami itu keluargamu, bukan pengemis.” Ibu mertua menyahut. Beliau muncul, berdiri di sampingku dengan wajah penuh kekesalan.Bang Agam terlihat menghela napas, pundaknya naik, kemudian turun. Pria itu tidak berbalik, malah merebahkan tubuhnya di ranjang tepat di sebelah Qais dengan posisi tertelungkup. Sudah tidak ada lagi perkataan dan omelan yang didengarnya, pria itu menutup kepala dengan bantal dan menekannya sekuat mungkin.Ibu mertua langsung mencebik melihat Bang Agam begitu.“Sari, keluarlah! Bang Agam mau tidur,” pintaku seraya menarik tangan Sari yang seperti tidak peka dengan keadaan. Entah siapa yang salah sekarang, semuanya jadi rumit dan panas. Bang Agam juga terlihat tidak nyaman hingga terus meninggikan suara.
Bab 32: Membalas Mertua dan SuamikuKriet ...Aku membuka pintu meski Bang Agam belum membalas pesan. Mengurusi tamu yang datang tanpa diundang itu jauh lebih penting, dari pada kami jadi tontonan tetangga karena kegaduhan yang terus terjadi.“Ima, buka pintu saja lama banget! Kamu mau kami kram berdiri di luar seperti orang bodoh?” Segera, omelan menjadi pembuka pertemuan kami kembali setelah sekian lama.Di hadapanku, perempuan yang kupanggil ibu mertua itu berdiri dengan berkacak pinggang. Ekspresinya tidak ramah, jelas dia kesal. Begitu pula dengan anak dan menantu, hanya dua cucunya yang tersenyum padaku.“Iya, Bu. Da-dari mana, Bu?” balasku masih mencoba mengontrol diri.Ini adalah pertemuan kami setelah sekian lama, jelas aku terkejut. Ibu mertua pergi dengan Iqmal sekeluarga, hilang bak ditelan bumi. Tiba-tiba saja me