Share

Bab 4: Membalas Mertua dan Suamiku

"Dek?" Bang Agam menoleh padaku. 

Tatapannya menyalak, seperti ingin menerkam. Tidak terlihat keinginan untuk bersuara lembut denganku. 

"Kenapa, Abang? Apa aku salah bicara barusan?"

"Jangan bicara begitu sama istrimu, Gam. Suaramu, kasar!" Ibu membentak Bang Agam. 

Beliau juga memukul lengan pria yang telah menikahiku tiga tahun terakhir. Tidak cukup sampai di situ, ibu mertua menambahkan beberapa nasihat lain, soal perjuangan istri, kebaikan istri, dan hak-hak seorang istri di dalam rumah tangga. 

Mendengarnya, aku menggelak sekali lagi. Sungguh, konyol sekali ocehan mereka berdua di pagi hari. 

Mendadak ibu mertua membuka khutbah, menasihati putranya agar bersikap baik padaku. Padahal, ibu sendiri alasan terbesar rumah tangga kami goyah. 

Semenjak ibu mertua datang, Bang Agam berubah. Hak dan kewajibanku diabaikannya. Dia hanya fokus menuruti ibu saja, menjadikannya ratu di istanaku. 

"Tsk, aduh ... kepalaku sakit sekali. Ibu khutbah pagi-pagi begini, padahal sarapan saja belum." Aku menyindir. 

"Kan kamu yang belum masak, Dek? Baru semalam aku beri uang." Bang Agam menyahutku lantang. 

"Bang, apa enggak malu sama jam di tangan? Sama baju dan sepatu yang mahal itu? Masa belanja dapur cuma lima belas ribu?" 

Wajah Bang Agam berubah. Dia kesal dengan ucapanku dan hendak menyalak kembali. Namun, ibu mertua menahan agar dirinya tidak memarahiku. 

"Jangan begitu, Gam. Jangan marahi istrimu, jangan tinggikan suara di depan dia. Kamu harus sabar, ingat bagaimana lelahnya istrimu mengurus rumah ini." 

"Aduh, Bu ... kenapa enggak Ibu ingatkan juga pada Bang Agam supaya nafkahku diberikan? Pembantu saja digaji, ini istri malah ditelantarkan begini!" sahutku lagi. 

Keduanya melirik serentak. Bang Agam jelas tersinggung terus kusahut tanpa henti. 

Pria itu sangat menjunjung tingginharga diri sebagai lelaki. Jika terus dijawab begini, maka emosinya akan melalak tidak terkendali. 

"Ima?" Ibu mertua menyerukan namaku. 

Membalasnya, aku tersenyum tenang. Sungguh, hati ini bahagia sekali melihat ekspresi kesal di paras anak-beranak itu. 

"Iya, Bu. Ada apa Ibu manggil aku? Mau ajak beli emas, atau ...."

"Dek?" 

Bang Agam muntab. Aku yang tidak berhenti menyahut ibu mertua berhasil menyulut emosinya hingga ke ubun-ubun.

Dia melangkah cepat menghampiriku. Tatapannya sudah ingin menerkam. Gurat kemarahan terpampang jelas di parasnya yang putih itu. 

"Berangkat kerja dulu, Bang. Sudah jam berapa ini?" ujarku lagi. Tahu benar jadwal kerjanya di hari Senin, Bang Agam pasti kesulitan jika harus sarapan dulu sebelum masuk kerja. Tugasnya di kantor seperti gunung yang siap meledak kapan saja. 

Bang Agam mengepal tangan mendengarku mengingatkan. Dia mengentakkan kaki di lantai, mengerang kesal lalu pergi begitu saja ke luar. 

Di belakang ibu mertua menyusul. Masih sibuk berteriak soal janji Bang Agam untuk membelikannya emas, tidak boleh ditunda dan harus segera. Aku tahu benar alasan kenapa Ibu Mertua begitu ngotot pada anaknya, semua ini karena jadwal pengajian nanti sore di masjid dekat rumah. Sudah pasti Ibu Mertua ingin segera membungkam mulut temannya yang sudah sesumbar pamer emas. 

“Pergi saja, Bang. Jangan ditunda lagi, nanti emas yang Ibu mau bisa habis.” Aku menyindir Kembali dengan gelagat sedikit angkuh. Bukan karena tidak hormat, tapi terlanjut kesal melihat Ibu dengan angkuhnya akan membelanjakan uang sebanyak itu hanya untuk membeli emas saat dapur kami sulit mengepul. 

“Ima, kamu ini ….” 

Bang Agam hendak menegurku lebih keras. Sekali lagi, ibu mertua melarangnya. Beliau menarik tangan Bang Agam, langsung menyeretnya jauh hingga tidak lagi terlihat oleh diriku. 

Terakhir, yang kudengar hanyalah suara deru mesin mobil Bang Agam. Hening datang beberapa detik kemudian. Tinggal aku sendiri di rumah ini, mengulas senyum sebab ide untuk membalas Bang Agam dan Ibu Mertua bisa tereksekusi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status