"Dek?" Bang Agam menoleh padaku.
Tatapannya menyalak, seperti ingin menerkam. Tidak terlihat keinginan untuk bersuara lembut denganku.
"Kenapa, Abang? Apa aku salah bicara barusan?"
"Jangan bicara begitu sama istrimu, Gam. Suaramu, kasar!" Ibu membentak Bang Agam.
Beliau juga memukul lengan pria yang telah menikahiku tiga tahun terakhir. Tidak cukup sampai di situ, ibu mertua menambahkan beberapa nasihat lain, soal perjuangan istri, kebaikan istri, dan hak-hak seorang istri di dalam rumah tangga.
Mendengarnya, aku menggelak sekali lagi. Sungguh, konyol sekali ocehan mereka berdua di pagi hari.
Mendadak ibu mertua membuka khutbah, menasihati putranya agar bersikap baik padaku. Padahal, ibu sendiri alasan terbesar rumah tangga kami goyah.
Semenjak ibu mertua datang, Bang Agam berubah. Hak dan kewajibanku diabaikannya. Dia hanya fokus menuruti ibu saja, menjadikannya ratu di istanaku.
"Tsk, aduh ... kepalaku sakit sekali. Ibu khutbah pagi-pagi begini, padahal sarapan saja belum." Aku menyindir.
"Kan kamu yang belum masak, Dek? Baru semalam aku beri uang." Bang Agam menyahutku lantang.
"Bang, apa enggak malu sama jam di tangan? Sama baju dan sepatu yang mahal itu? Masa belanja dapur cuma lima belas ribu?"
Wajah Bang Agam berubah. Dia kesal dengan ucapanku dan hendak menyalak kembali. Namun, ibu mertua menahan agar dirinya tidak memarahiku.
"Jangan begitu, Gam. Jangan marahi istrimu, jangan tinggikan suara di depan dia. Kamu harus sabar, ingat bagaimana lelahnya istrimu mengurus rumah ini."
"Aduh, Bu ... kenapa enggak Ibu ingatkan juga pada Bang Agam supaya nafkahku diberikan? Pembantu saja digaji, ini istri malah ditelantarkan begini!" sahutku lagi.
Keduanya melirik serentak. Bang Agam jelas tersinggung terus kusahut tanpa henti.
Pria itu sangat menjunjung tingginharga diri sebagai lelaki. Jika terus dijawab begini, maka emosinya akan melalak tidak terkendali.
"Ima?" Ibu mertua menyerukan namaku.
Membalasnya, aku tersenyum tenang. Sungguh, hati ini bahagia sekali melihat ekspresi kesal di paras anak-beranak itu.
"Iya, Bu. Ada apa Ibu manggil aku? Mau ajak beli emas, atau ...."
"Dek?"
Bang Agam muntab. Aku yang tidak berhenti menyahut ibu mertua berhasil menyulut emosinya hingga ke ubun-ubun.
Dia melangkah cepat menghampiriku. Tatapannya sudah ingin menerkam. Gurat kemarahan terpampang jelas di parasnya yang putih itu.
"Berangkat kerja dulu, Bang. Sudah jam berapa ini?" ujarku lagi. Tahu benar jadwal kerjanya di hari Senin, Bang Agam pasti kesulitan jika harus sarapan dulu sebelum masuk kerja. Tugasnya di kantor seperti gunung yang siap meledak kapan saja.
Bang Agam mengepal tangan mendengarku mengingatkan. Dia mengentakkan kaki di lantai, mengerang kesal lalu pergi begitu saja ke luar.
Di belakang ibu mertua menyusul. Masih sibuk berteriak soal janji Bang Agam untuk membelikannya emas, tidak boleh ditunda dan harus segera. Aku tahu benar alasan kenapa Ibu Mertua begitu ngotot pada anaknya, semua ini karena jadwal pengajian nanti sore di masjid dekat rumah. Sudah pasti Ibu Mertua ingin segera membungkam mulut temannya yang sudah sesumbar pamer emas.
“Pergi saja, Bang. Jangan ditunda lagi, nanti emas yang Ibu mau bisa habis.” Aku menyindir Kembali dengan gelagat sedikit angkuh. Bukan karena tidak hormat, tapi terlanjut kesal melihat Ibu dengan angkuhnya akan membelanjakan uang sebanyak itu hanya untuk membeli emas saat dapur kami sulit mengepul.
“Ima, kamu ini ….”
Bang Agam hendak menegurku lebih keras. Sekali lagi, ibu mertua melarangnya. Beliau menarik tangan Bang Agam, langsung menyeretnya jauh hingga tidak lagi terlihat oleh diriku.
Terakhir, yang kudengar hanyalah suara deru mesin mobil Bang Agam. Hening datang beberapa detik kemudian. Tinggal aku sendiri di rumah ini, mengulas senyum sebab ide untuk membalas Bang Agam dan Ibu Mertua bisa tereksekusi.
Bab 5: Membalas Suami dan MertuakuHal pertama yang paling ingin kulakukan setelah Bang Agam pergi adalah membuktikan betapa mampunya diriku hidup tanpa uluran tangan suami dan mertuaku. Mereka selama ini terlampau memandang sebelah mata hingga tidak bisa melihat perbedaan antara hak dan kewajiban.Sebab itulah, aku memilih menjejak dengan tegak di atas lutut sendiri. Tidak boleh menunggu dan berharap lagi pada dua sosok itu.“Bismillah!” Aku bergumam keras saat keluar dari rumah mewah ini.Jaket tebal membalut tubuh, berwarna hitam dan hijau. Helem juga melindungi kepala, sedang sebagian muka tertutup oleh masker. Segalanya membuatku begitu yakin dan siap untuk menjalani hari ini tanpa sepengetahuan mertua dan suamiku.Setelahnya, aku turun ke jalan. Bertemu dengan puluhan orang lain yang sama sibuknya deng
Bab 6: Membalas Mertua dan SuamikuJam empat sore, aku tiba di rumah mewah itu lagi. Hela napasku mengudara berat, mendorong motor tua yang kubawa sebelum menikahi Bang Agam menuju garasi. Sendirian, usai berjuang dengan panas dan jalanan. Ditambah lagi, suamiku baru saja menghina dengan memintaku membuangkan bungkus kretek bekasnya. Tidak ingin meninggalkan jejak, aku buru-buru membuka jaket kebesaran tersebut, lalu menyembunyikannya di bawah jok motor terlebih dulu untuk saat ini. Khawatir juga andai Ibu Mertua yang baik budi tersebut muncul dan memergoki apa yang telah kulakukan di luar sana selama ini. Setelahnya, aku bergerak menuju pintu masuk. Helaan napas ini memberat, gelisah menyerang membabi-buta. Ada sepasang sandal yang sangat kukenal telah terduduk manis di rak. Juga sepatu yang terlihat begitu arogan berada di sebelahnya. “Dari mana saja, Nak?” Lembut mendayu, sebuah suara menyapa diriku. Bukannya senang, tubuhku merinding luar biasa. Sekujur badan bergetar, seola
Bab 7: Membalas Mertua dan Suamiku “Kak, nurut kalau diingetin!” Tiga tahun lalu, aku mendengar ocehan itu sembari rebahan. Saa itu, aku membuat sebuah kesalahan besar di dalam hidup. Menetapkan kriteria yang tidak islami saat memilih calon suami, mengabaikan semua hal-hal penting yang harusnya menjadi pertimbangan hanya karena perkara duniawi semata. Teringat jelas olehku, kala itu .... “Kak, mending istikharah dulu sebelum ngambil keputusan!” Adikku yang berwajah rupawan muncul entah dari mana. Dia berdiri di ambang pintu kamarku, memandang dengan ekspresi tidak suka. Pria yang usianya lebih muda empat tahun dariku itu memicingkan mata. Ditatapnya gawai yang enggan kulepas sejak pagi. Padahal, selama ini aku tidak pernah candu dengan benda pipih yang menyala itu. Hidupku sudah sangat sibuk, bekerja di toko retail, kemudia
Bab 8: Membalas Mertua dan Suamiku“Maksudmu apa, Ima?” Bang Agam terus menodongku dengan perkataan yang lebih tajam.Dia berdiri di sebelah meja, menatap diriku dengan ekspresi seolah ingin menerkam. Ditambah lagi, perlahan-lahan terdengar rintihan putus asa dari mulut ibu mertua. Beliau mulai memainkan lakon hanya untuk membuat diriku semakin buruk di depan Bang Agam.“Kenapa hanya beli satu porsi padahal di rumah ini ada tiga orang? Apa tidak paham kalau kamu tidak masak, itu berarti kami tidak makan! Kalau beli makanan, ingat juga pada suami dan ibu mertuamu,” sambungnya kembali.Kuulas senyum, kemudian memutar keran air untuk mencuci tangan di wastafel. Sikap masih kuatur sedemikian lembut dan anggun agar emosi yang ada di dalam diri Bang Agam semakin memuncak.“Tidak cukup uangnya,” sahutku. Ringan sekali, seolah sedang m
Bab 9: Membalas Mertua dan SuamikuBeliau terhenyak mendengarku berkata dengan suara ketus. Diletakkannya seuntai gelang ke atas meja, kemudian ibu mertua terlihat mengatur napas sebelum memandang balas diriku.Sungguh, aku muak sekali. Terlihat jelas beliau sepertinya sengaja melakukan hal ini pada kami. Dia tahu benar jika Bang Agam sangat tidak suka kalau ibu mertua merasa sedih, dan hal itu dimanfaatkan olehnya.“Kenapa Ibu lakukan hal sejahat ini padaku dan Bang Agam kalau Ibu sendiri tidak mau hal ini terjadi pada diri sendiri?” seruku kembali dengan nada yang lebih tinggi.“Loh, kok kamu ngomongnya begitu, Ima? Ini Ibu, loh. Ini Ibunya Agam, mertuamu sendiri,” balas Ibu mertua.Beliau mengusap dada, seolah-olah kata yang kuutarakan barusan telah menembus relung dadanya. Padahal, aku yakin benar, beliau peduli saja tida
Bab 10: Membalas Mertua dan SuamikuAku menantu jahat? Sepertinya begitu yang akan terdengar andai orang-orang tahu jika ibu mertua dibawa ke rumah sakit dengan ambulance dan diriku enggan ikut.Sesaat lalu, bunyi sirene ambulance memekakkan telinga. Ibu mertua jatuh pingsan karena mendengar tuntutan ku pada Bang Agam.Walau demikian, aku tahu benar kelakuan perempuan paruh baya itu. Ibu mertua sangat sehat, sulit diterima akal jika tiba-tiba dia jatuh pingsan."Dek, ikut ke rumah sakit!" Perintah dari Bang Agam bagai angin lalu. Pria itu berdiri di ambang pintu, menatap nyalang padaku yang enggan berganti baju.Sekalipun aku tidak bergerak sampai Bang Agam menyerah dan meninggalkanku sendirian di rumah. Akhirnya aku berhasil bersikap egois pada mereka setelah sekian lama mengalah.Malam ini, tidurku sangat nyenyak meski sendiri
Bab 11: Membalas Mertua dan Suamiku“Agam, Ibu juga mau. Kenapa hanya kamu belikan Ima dan tidak belikan buat Ibu?”Keesokan harinya Ibu mertua berteriak. Beliau tidak terima saat aku melempar batu ke arah Bang Agam usai memamerkan sepasang pakaian baru di badan untuk kondangan.“Bu, jangan salah paham.” Bang Agam mengelak kembali. Tentu saja dia tidak tahu akan hal ini. Seluruh barang yang ada di badan kubeli diam-diam dengan uang yang kudapatkan hasil ojol, satu per satu, sampai terkumpul satu set lengkap. Di hadapan keduanya, aku mengumbar secara berlebihan seolah-olah seisi lemari adalah pakaian branded seperti ini.“Apanya yang salah paham? Jelas-jelas kamu
Bab 12: Membalas Mertua dan Suamiku“Tidak ada, mobil Bang Agam tidak ada di garasinya. Ini sudah berapa bulan?” Aku menggerutu sendirian, abai dengan teriakan ibu mertua dari dalam, juga seruan Bang Agam yang bertanya kenapa ada hujan uang di dalam rumah. Aku sibuk memerhatikan garasi, selama ini hanya diisi oleh motor tuaku seorang diri. Ke mana dia membawa mobil mewahnya?“Apa yang dilakukan pria itu sebenarnya di belakangku selama ini?” “Bu, tolong kumpulkan dulu uangnya sebentar, aku harus menemui Ima.” Suara Bang Agam terdengar perlahan dari dalam rumah. Jelas pria itu panik dan gelisah.Saat aku berbalik arah, Bang Agam sudah berdiri di belakangku. Wajahnya merah, putus asa jelas tergambar di sana.Kuulas senyum, sengaja mengejek pria yang kalang-kabut itu.“Dek, tolong jangan begini. Aku sudah bilang, ini yang terakhir kali. Bulan depan ....”“Bulan depan kenapa? Aku sudah tidak tahan lagi, Bang. Hidup saja berdua sama ibumu!” ketusku pada Bang Agam. Meski bibir menjawab pria