Home / Pernikahan / Membalas Mertua dan Suamiku / Bab 7: Membalas Mertua dan Suamiku

Share

Bab 7: Membalas Mertua dan Suamiku

Author: Bemine
last update Last Updated: 2024-05-07 13:02:14

Bab 7: Membalas Mertua dan Suamiku

“Kak, nurut kalau diingetin!” Tiga tahun lalu, aku mendengar ocehan itu sembari rebahan.

Saa itu, aku membuat sebuah kesalahan besar di dalam hidup. Menetapkan kriteria yang tidak islami saat memilih calon suami, mengabaikan semua hal-hal penting yang harusnya menjadi pertimbangan hanya karena perkara duniawi semata.  

Teringat jelas olehku, kala itu ....

“Kak, mending istikharah dulu sebelum ngambil keputusan!” Adikku yang berwajah rupawan muncul entah dari mana.

Dia berdiri di ambang pintu kamarku, memandang dengan ekspresi tidak suka. Pria yang usianya lebih muda empat tahun dariku itu memicingkan mata. Ditatapnya gawai yang enggan kulepas sejak pagi.

Padahal, selama ini aku tidak pernah candu dengan benda pipih yang menyala itu. Hidupku sudah sangat sibuk, bekerja di toko retail, kemudian mengurus pria ini serta urusan rumah tangga yang hanya ada kami berdua. Sebab, orang tuaku tinggal jauh dari kami demi mencari rezeki sampai Bapak pensiun dan mereka berjanji akan kembali bersama kami.

“Aku enggak yakin kalau Bang Agam itu cocok sama Kakak. Dia ....”

“Gimana, sih? Kok kamu ngomongnya begitu? Bang Agam itu sudah yang paling tepat buat Kakak. Dia sudah mapan, orang tuanya juga setuju kalau kami menikah,” sungutku sembari membalikkan badan.

Ranjang lembut, selimut tebal, serta bantal dan guling. Aku merasa bak terlentang di atas awan, ditambah lagi di luar sana hujan mengguyur sejak sore, hawa seju menembus kulit dan membuat seluruh tubuhku malas bergerak.

Sejujurnya, telingaku panas mendengar ocehan pria itu, ditambah lagi sikapnya yang sangat meragukan ketulusan Bang Agam untuk menikahi diriku. Bukankah harusnya dia ikut bersyukur atas apa yang terjadi denganku?

Kakak satu-satunya akan segera menikah, dengan seorang pria yang baik kepribadian, pekerjaan dan juga berasal dari keluarga harmonis. Sungguh, aku tidak paham kenapa dirinya bisa begitu khawatir. Padahal, dengan menikahkanku itu artinya bebannya sebagai seorang adik akan jauh berkurang.

“Ya sudah, terserah saja. Jangan nangis kalau nanti Kakak terluka!” balasnya dengan suara ketus.

Saat aku melirik ke arah pintu, pria itu tidak lagi berada di sana. Hadirnya sudah hilang, mungkin kembali ke kamarnya atau pergi keluar untuk jalan-jalan.

Sekarang, setelah ucapannya hari itu, aku mulai berpikir kembali. Pernikahan yang aku kira akan bahagia nyatanya tidak sama sekali.

Jangankan diberi kehidupan layaknya seorang ratu, pembantu rumah tangga saja tidak ada yang digaji lima belas ribu sehari. Lantas, apa lagi yang bisa kujadikan penahan diri untuk tetap meyakini kalau Bang Agam adalah imam yang baik?

“Ima?” Aku tersentak, kaget karena mendengar seruan lantang barusan.

Buru-buru aku mengedarkan pandangan, khawatir jika panggilan kasar yang tertuju padaku berasal dari Bang Agam. Tidak ada yang tidak mungkin, bisa saja pria itu mengekoriku sejak tadi.

“Bener, kamu rupanya. Ngapain di sini malam-malam?” Suara yang tidak asing itu kembali mengudara.

Di bangku panjang yang aku isi sendirian sejak tadi, di bawah tenda persegi sebuah warung penyetan, seorang pria muncul dari arah trotoar. Dia buru-buru menempatkan diri di sebelahku, lalu memesan sepiring makanan.

“Ma, perempuan kok kelayapan?” ujarnya kembali usai melepas jaket.

Kuhela napas. Inilah pria biang kerok yang hampir membongkar statusku di depan Bang Agam tadi siang. Andai saja tidak ada teman Bang Agam, bisa jadi pekerjaan sampinganku sudah diketahui oleh suamiku.

“Mau makan?”

“Tidak, aku makan di rumah saja.” Aku memutus ucapan dengan segera.

Tepat setelahnya, aku beranjak menuju kasir, kesal dengan pria itu yang mengganggu lamunanku. Kubayar segelas teh hangat dan memesan makan malam agar dibungkuskan.

Warung penyet sederhana ini sangat riuh, suara denting dari wajan yang diketuk, deru gas yang menyala hingga desis ayam yang digoreng dalam minyak panas bersahut-sahutan. Tiga pekerja juga sangat sibuk melayani para pelanggan. Hanya seorang pria dengan kopiah duduk di balik meja kecil, sibuk menghitung uang-uang yang diterima dari para pelanggan.

“Pak, aku pesan penyetan satu, dibungkus saja!” pintaku.

Pria itu mengernyit, mungkin bingung sebab aku tidak jadi makan di tempat usai memesan segelas teh. Tapi, tidak kujelaskan apa pun padanya dan langsung membayar harga makanan.

Tidak lama setelahnya, aku berbalik, memacu motor di bawah langit malam serta rembulan penuh yang terang. Sendirian, disapu angin malam yang menusuk kulit. Kini, aku ingin pulang ke rumah Bang Agam dan melihat apa yang terjadi dengan dua orang itu.

Tiba-tiba saja diri ini jadi begitu bersemangat, membayangkan nasib dan keadaan, lalu menertawakan orang-orang yang selalu membuatku bermandikan air mata.

“Assalamualaikum?” Sapaku menyalak di ambang pintu rumah yang terbuka.

Kulangkahkan kaki ke dalam bangunan yang dipenuhi cahaya lampu itu. Tidak gentar, tidak juga ragu.

“Ima, baru pulang kamu?” Bang Agam langsung menodongku dengan ucapan yang tajam. “Kami belum makan sejak tadi.”

Dia berdiri, menyisipkan dua tangan di saku celana longgarnya yang berwarna abu. Wajahnya bersih, rambutnya setengah basah, kaosnya berwarna merah gelap.

“Oh!” sahutku dingin. “Begitu, ya?”

“Kamu bawa apa itu?” Intonasi bicara tidak berubah, kasar dan juga ketus.

“Penyetan, dari warung Pak Ben.”

Lekas aku beranjak menuju meja makan, membuka bungkus makanan hingga aroma gurih dari nasi uduk serta sambal terasi menyeruak seantero rumah. Aku sengaja sekali melakukan hal ini.

Suamiku mengekor dari belakang, dia berdiri di sisi meja, menatap nasi serta ayam goreng yang masih mengepulkan asap. Tidak butuh waktu lama, ibu mertua muncul dari kamarnya.

Denting gelang emasnya berbunyi, menyulut nyeri di ulu hati ini. Bukannya aku tidak rela Bang Agam membahagiakan ibu mertua, tapi setidaknya berikan hak yang pantas untuk kudapatkan sebagai istrinya. Bukannya begini, bahkan mengemis saja juga tidak membuatkan mendapatkan apa-apa.

“Ima, kamu beli ayam penyet?” Ibu mertua berseru riang. Beliau menaikkan lengan daster hingga gelang barunya terlihat. Begitu berkilau, kuning dan terlihat tebal.

“Hu-um!”

“Wah, Alhamdulillah. Duduk, Gam ... akhirnya kita bisa makan.” Ibu mertuaku menarik kursi, lalu mengorek isi plastik yang sebenarnya kosong. “Dari tadi Ibu nungguin kamu, Ma. Ibu dan Agam lapar sekali, Nak. Syukurlah kamu pulang bawa makanan enak.”

Seketika wajahnya mengkerut.

“Maaf, Ibu. Maaf juga, Bang. Aku hanya beli satu, soalnya uangnya cuma cukup buat satu bungkus.”

Related chapters

  • Membalas Mertua dan Suamiku   Bab 8: Membalas Mertua dan Suamiku

    Bab 8: Membalas Mertua dan Suamiku“Maksudmu apa, Ima?” Bang Agam terus menodongku dengan perkataan yang lebih tajam.Dia berdiri di sebelah meja, menatap diriku dengan ekspresi seolah ingin menerkam. Ditambah lagi, perlahan-lahan terdengar rintihan putus asa dari mulut ibu mertua. Beliau mulai memainkan lakon hanya untuk membuat diriku semakin buruk di depan Bang Agam.“Kenapa hanya beli satu porsi padahal di rumah ini ada tiga orang? Apa tidak paham kalau kamu tidak masak, itu berarti kami tidak makan! Kalau beli makanan, ingat juga pada suami dan ibu mertuamu,” sambungnya kembali.Kuulas senyum, kemudian memutar keran air untuk mencuci tangan di wastafel. Sikap masih kuatur sedemikian lembut dan anggun agar emosi yang ada di dalam diri Bang Agam semakin memuncak.“Tidak cukup uangnya,” sahutku. Ringan sekali, seolah sedang m

    Last Updated : 2024-05-18
  • Membalas Mertua dan Suamiku   Bab 9: Membalas Mertua dan Suamiku

    Bab 9: Membalas Mertua dan SuamikuBeliau terhenyak mendengarku berkata dengan suara ketus. Diletakkannya seuntai gelang ke atas meja, kemudian ibu mertua terlihat mengatur napas sebelum memandang balas diriku.Sungguh, aku muak sekali. Terlihat jelas beliau sepertinya sengaja melakukan hal ini pada kami. Dia tahu benar jika Bang Agam sangat tidak suka kalau ibu mertua merasa sedih, dan hal itu dimanfaatkan olehnya.“Kenapa Ibu lakukan hal sejahat ini padaku dan Bang Agam kalau Ibu sendiri tidak mau hal ini terjadi pada diri sendiri?” seruku kembali dengan nada yang lebih tinggi.“Loh, kok kamu ngomongnya begitu, Ima? Ini Ibu, loh. Ini Ibunya Agam, mertuamu sendiri,” balas Ibu mertua.Beliau mengusap dada, seolah-olah kata yang kuutarakan barusan telah menembus relung dadanya. Padahal, aku yakin benar, beliau peduli saja tida

    Last Updated : 2024-05-19
  • Membalas Mertua dan Suamiku   Bab 10: Membalas Mertua dan Suamiku

    Bab 10: Membalas Mertua dan SuamikuAku menantu jahat? Sepertinya begitu yang akan terdengar andai orang-orang tahu jika ibu mertua dibawa ke rumah sakit dengan ambulance dan diriku enggan ikut.Sesaat lalu, bunyi sirene ambulance memekakkan telinga. Ibu mertua jatuh pingsan karena mendengar tuntutan ku pada Bang Agam.Walau demikian, aku tahu benar kelakuan perempuan paruh baya itu. Ibu mertua sangat sehat, sulit diterima akal jika tiba-tiba dia jatuh pingsan."Dek, ikut ke rumah sakit!" Perintah dari Bang Agam bagai angin lalu. Pria itu berdiri di ambang pintu, menatap nyalang padaku yang enggan berganti baju.Sekalipun aku tidak bergerak sampai Bang Agam menyerah dan meninggalkanku sendirian di rumah. Akhirnya aku berhasil bersikap egois pada mereka setelah sekian lama mengalah.Malam ini, tidurku sangat nyenyak meski sendiri

    Last Updated : 2024-05-20
  • Membalas Mertua dan Suamiku   Bab 11: Membalas Mertua dan Suamiku

    Bab 11: Membalas Mertua dan Suamiku“Agam, Ibu juga mau. Kenapa hanya kamu belikan Ima dan tidak belikan buat Ibu?”Keesokan harinya Ibu mertua berteriak. Beliau tidak terima saat aku melempar batu ke arah Bang Agam usai memamerkan sepasang pakaian baru di badan untuk kondangan.“Bu, jangan salah paham.” Bang Agam mengelak kembali. Tentu saja dia tidak tahu akan hal ini. Seluruh barang yang ada di badan kubeli diam-diam dengan uang yang kudapatkan hasil ojol, satu per satu, sampai terkumpul satu set lengkap. Di hadapan keduanya, aku mengumbar secara berlebihan seolah-olah seisi lemari adalah pakaian branded seperti ini.“Apanya yang salah paham? Jelas-jelas kamu

    Last Updated : 2024-05-21
  • Membalas Mertua dan Suamiku   Bab 12: Membalas Mertua dan Suamiku

    Bab 12: Membalas Mertua dan Suamiku“Tidak ada, mobil Bang Agam tidak ada di garasinya. Ini sudah berapa bulan?” Aku menggerutu sendirian, abai dengan teriakan ibu mertua dari dalam, juga seruan Bang Agam yang bertanya kenapa ada hujan uang di dalam rumah. Aku sibuk memerhatikan garasi, selama ini hanya diisi oleh motor tuaku seorang diri. Ke mana dia membawa mobil mewahnya?“Apa yang dilakukan pria itu sebenarnya di belakangku selama ini?” “Bu, tolong kumpulkan dulu uangnya sebentar, aku harus menemui Ima.” Suara Bang Agam terdengar perlahan dari dalam rumah. Jelas pria itu panik dan gelisah.Saat aku berbalik arah, Bang Agam sudah berdiri di belakangku. Wajahnya merah, putus asa jelas tergambar di sana.Kuulas senyum, sengaja mengejek pria yang kalang-kabut itu.“Dek, tolong jangan begini. Aku sudah bilang, ini yang terakhir kali. Bulan depan ....”“Bulan depan kenapa? Aku sudah tidak tahan lagi, Bang. Hidup saja berdua sama ibumu!” ketusku pada Bang Agam. Meski bibir menjawab pria

    Last Updated : 2024-05-21
  • Membalas Mertua dan Suamiku   Bab 13-A: Membalas Mertua dan Suamiku

    Bab 13-A: Membalas Mertua dan Suamiku“Dek, kita mau berangkat, jangan bertengkar dengan Ibu. Lebih baik berdoa supaya selamat sampai tujuan,” tegur Bang Agam.Pria itu menatap diriku melalui jendela mobil. Sesaat sebelum dirinya bergabung di jok kemudi, Bang Agam sempat melirik ke arah rumah, kemudian padaku. Hal yang tidak kumengerti sama sekali namun sepertinya penuh makna.“Agam, nanti di jalan, kita beli buah dan kue buat adikmu.” Ibu mertua berujar. “THR dapat full juga, kan? Jumlahnya sudah dua kali kalau ditambah dengan gaji. Apa THRnya dua kali gaji, Gam? Bukannya posisi besar seperti kamu dapat begitu?”“Hitung terus, Bu!” sahutku dari arah belakang. “Terus Ibu pikirkan mau minta apa lagi sama anak laki-laki Ibu, kemarin sudah berlian, sekarang minta rumah atau mobil, jangan lupa.”

    Last Updated : 2024-05-22
  • Membalas Mertua dan Suamiku   Bab 13-B: Membalas Mertua dan Suamiku

    Bab 13-B: Membalas Mertua dan Suamiku“Ima, kamu baru pulang?”Aku hanya melirik ke arah pintu. Jelas terdengar suara ibu mertuaku. Perempuan itu ada di dalam sedari tadi, tapi tidak peduli dengan keadaan rumah.“Ima, Agam nyariin kamu seharian. Harusnya kamu itu urus Agam dulu, baru pergi. Ini sudah tidak urus suami, malah keluyuran seharian,” omelnya tanpa membuka pintu. Mungkin ibu mertua mengintip dari balik jendela, entahlah aku tidak tertarik sama sekali.Aku beristirahat sendirian di luar hingga tiga puluh menit lamanya. Sampai, seseorang muncul dari arah gerbang sembari berjalan kaki. Pria itu pucat, kelelahan dan pakaiannya kusut.“Dek, ke mana saja kamu seharian?” ucapnya dengan suara yang tertahan. Bisa kutebak seberapa sulitnya dia mencariku hari ini.Bang Agam duduk di salah satu anak tangga, s

    Last Updated : 2024-05-22
  • Membalas Mertua dan Suamiku   Bab 14-A: Membalas Mertua dan Suamiku

    Bab 14-A: Membalas Mertua dan Suamiku “Buka puasa dulu, Kak?” Suara lembut itu datang dari arah pintu kamar.Aku sedang membereskan beberapa barang bawaan, termasuk milik ibu mertua yang dibebankannya padaku begitu saja. Perempuan berwajah manis itu tersenyum di ambang pintu, dia berdiri di sana, memerhatikan diriku.“Banyak banget barang bawaan Kak Ima dan Bang Agam!” ucapnya kemudian. Geraknya halus saat menyisir anak rambut ke belakang. “Apa Kakak butuh bantuan? Aku bisa bantuin.”“Ah, enggak. Kamu sudah capek masak, sebentar juga selesai, kok.” Aku menyahut setelahnya.Perempuan dengan dua anak yang imut dan cerdas itu langsung melangkah mundur. “Baiklah, Kak. Kami tunggu di meja makan, ya? Ibu juga sudah di sana.”Kuanggukkan kepala. Meski sudah dua jam tiba di rumah mertuaku,

    Last Updated : 2024-05-23

Latest chapter

  • Membalas Mertua dan Suamiku   (TAMAT) Bab 40: Membalas Mertua dan Suamiku

    Bab 40: Membalas Mertua dan Suamiku Aku dan Qais pulang ke rumah lama kami dengan tergesa-gesa usai mendapatkan kabar dari Bang Agam. Kami tiba setelah mengebut di jalanan dengan perasaan tidak karuan. Di depan pagar, aku terdiam untuk sesaat. Rumah mewah yang dibeli oleh Bang Agam kini ramai dengan orang-orang. Mereka berduyun-duyun masuk, sibuk berbicara tentang ibu mertua yang meninggal di rumah sakit. “Sudah tiga hari di rumah sakit, katanya sejak ngerebut rumah ini dari anak mantunya, tiap malam seperti didatengin setan, Bu. Tidak bisa tidur, malah teriak-teriak kayak kerasukan.” Dua perempuan yang dulu menjadi teman karib ibu mertuaku saling berbisik. “Azab kali, Bu. Duh, saya juga sudah denger dari Bu RT. Selama ini Ima dan Agam difitnah, mereka diperlakukan seperti sapi perah, sampe akhirnya Agam yang minta keluar dari rumah ini. Terus, malah bawa anak keduanya ke sini!” “Betul, Bu. Saya juga dengar. Nauzubillah banget ternyata kelakuannya. Saya kira semua omongann

  • Membalas Mertua dan Suamiku   Bab 39: Membalas Mertua dan Suamiku

    Bab 39: Membalas Mertua dan Suamiku “Agam!”“Aku minta maaf, Ibu. Aku minta maaf sekali,” lirih Bang Agam. Pria itu memejamkan kedua mata. Dari tempatku berdiri, terlihat penyesalan dan rasa sedih yang begitu dalam, bahkan urat tebal muncul di bawah pelipisnya.Pada akhirnya, hubungan kami jadi semakin rumit. Semua cara yang aku lakukan di masa lalu, termasuk membalas kelakuan Ibu mertua dan menyadarkan Bang Agam tidak membuahkan banyak hasil.“Agam, kamu mau tinggal di mana kalau bukan di rumah itu?” cegah Ibu mertua seraya menarik lengan Bang Agam.Suamiku tidak menjawab. Bibirnya hanya diam, terkatub terlalu rapat.“Bang, kita ....”“Kita bereskan barang, Dek. Bawa semua baju, tas, sepatu, riasan, milikmu, milikku, milik Qais, juga beberapa bungkus

  • Membalas Mertua dan Suamiku   Bab 38: Membalas Mertua dan Suamiku

    Bab 38: Membalas Mertua dan SuamikuKami tiba di rumah Pak RT beberapa menit kemudian. Bang Agam bahkan tidak sempat berganti pakaian olahraganya hanya untuk mengecek keadaan ibu mertua yang diisukan sudah ada di kota.“Bang, yakin sudah antar Ibu ke desa?” tanyaku dengan suara berbisik.Aku turun dari boncengan motor, kemudian membawa Qais bersamaku. Bang Agam juga memarkirkan motornya agar tidak menghalanginya jalan keluar masuk di rumah Pak RT.“Iya, Dek. Aku juga memberi Ibu uang saku. Tidak mungkin aku membuat Ibu menderita dengan meninggalkannya di jalanan,” balas Bang Agam dengan mata yang membulat.Jika dia saja sekaget ini, aku yakin benar kalau ucapannya tidaklah dusta. Sepertinya, memang ada yang dilakukan oleh ibu mertua usai Bang Agam kembali ke kota semalam.“Kita masuk dulu dan tem

  • Membalas Mertua dan Suamiku   Bab 37: Membalas Mertua dan Suamiku

    Bab 37: Membalas Mertua dan SuamikuBang Agam tidak gentar meski terus mendengar penolakan. Pria itu sudah mengambil keputusan tegas untuk membawa pulang Ibu dan keluarga Iqmal ke desa.Saat Ibu mertua terus memohon supaya Bang Agam melunak, pria itu malah menelepon taksi agar menjemput sampai ke rumah. Dia menelepon dua taksi, satu untuk keluarga ibu mertua, satunya lagi untuk adikku.“Gam, Ibu enggak mau pulang ke desa. Ibu mau di sini sama kamu,” rintih ibu mertua lagi. Perempuan itu memeluk lengan Bang Agam sekuat mungkin.Sejujurnya, aku terenyuh melihat ibu mertua sampai menangis. Perempuan itu memang sering kali membuat diriku kesal di rumah ini, tapi memaksa mereka kembali di malam hari juga kurang bijak menurutku.Di saat yang bersamaan, aku juga tidak bisa menentang Bang Agam. Pria itu menetapkan keputusan bukan tanpa alasan

  • Membalas Mertua dan Suamiku   Bab 36: Membalas Mertua dan Suamiku

    Bab 36: Membalas Mertua dan SuamikuBegitulah semuanya selesai. Ibu mertua dan keluarganya yang menghadapi rasa malu jadi enggan beradu tatap denganku. Mereka juga tidak mau makan malam di meja yang sama, malah membawa makanan dan menghabiskannya di kamar bersama-sama.Aku juga tidak memaksa, membiarkan mereka melakukan apa yang mereka suka hingga Bang Agam kembali ke rumah ini. Jangan sampai duniaku yang nyaman dibolak-balik oleh mereka sekali lagi.“Kak, sampai kapan keluarga Bang Agam di sini?” Adikku berujar dengan suara lebih rendah. “Kemarin cuma Ibunya Bang Agam yang tinggal di sini, sekarang semuanya pindah ke sini?”Dia mengusaikan makan malamnya. Pria itu mencuci piring yang dipakai di wastafel lalu menyimpannya kembali di rak piring. Sungguh, aku tidak menduga jika pria muda itu akan punya sikap seperti ini.&ld

  • Membalas Mertua dan Suamiku   Bab 35: Membalas Mertua dan Suamiku

    Bab 35: Membalas Mertua dan Suamiku “Ya Allah, aku enggak mimpi, kan?” lirihku.Sosok di depanku ini, kenapa dia ada di sini? Kami dipisahkan oleh benua, lautan, dan darat yang sangat luas. Lantas, kenapa tiba-tiba dia ada di rumahku? Tidak ada kabar soal kepulangannya yang selama ini masih menjadi misteri bagiku. Anak ini, dia memilih menetap di negeri orang karena kecewa dengan keputusanku yang tetap memilih untuk menikahi Bang Agam dulu.“Kak Ima, kenapa nangis, sih?” balasnya. Pria itu tidak melirik diriku meski aku yang berbicara dengannya. “Kamu kenapa di sini, Dek?”“Aku pulang, memangnya kenapa lagi?” Pria muda itu masih menatap Qais lebih dalam. Dia juga mengusap pipi gembul anak lelaki itu sebelum kemudian berdiri tegak seperti semula. “Kakak mau ke mana? Bang Agam mana?” tanyanya seray

  • Membalas Mertua dan Suamiku   Bab 34: Membalas Mertua dan Suamiku

    Bab 34: Membalas Mertua dan Suamiku“Kamu mau ke mana, Gam?” Ibu mertuaku berseru keras saat Bang Agam keluar dari kamar dengan sebuah koper berukuran sedang.Aku di belakangnya hanya diam, memegang tangan Qais yang masih berusaha beradaptasi dengan lingkungan yang riuh ini. Tidak berbicara, juga tidak menolehkan muka. Biar Bang Agam saja yang mengurusi keluarganya.“Bu, hari ini aku harus ke Jakarta. Setelah pulang, nanti aku antar Ibu dan Iqmal ke desa!” sahut suamiku sembari menatap perempuan yang sudah melahirkannya itu.Bang Agam menggulung lengan kemeja hitamnya. Dia masih menunggu respon dari ibu mertua yang seperti sedang berpikir keras.“Kapan pulangnya?” Ibu mertuaku bertanya lagi. Perempuan yang memakai daster bermotif daun talas itu melenggang ke depan, dia mulai menghampiri Bang Agam dengan ekspresi riang yang tidak kumengerti alasan

  • Membalas Mertua dan Suamiku   Bab 33: Membalas Mertua dan Suamiku

    Bab 33: Membalas Mertua dan Suamiku“Tidak perlu sekeras itu dengan adik iparmu, Gam. Kami itu keluargamu, bukan pengemis.” Ibu mertua menyahut. Beliau muncul, berdiri di sampingku dengan wajah penuh kekesalan.Bang Agam terlihat menghela napas, pundaknya naik, kemudian turun. Pria itu tidak berbalik, malah merebahkan tubuhnya di ranjang tepat di sebelah Qais dengan posisi tertelungkup. Sudah tidak ada lagi perkataan dan omelan yang didengarnya, pria itu menutup kepala dengan bantal dan menekannya sekuat mungkin.Ibu mertua langsung mencebik melihat Bang Agam begitu.“Sari, keluarlah! Bang Agam mau tidur,” pintaku seraya menarik tangan Sari yang seperti tidak peka dengan keadaan. Entah siapa yang salah sekarang, semuanya jadi rumit dan panas. Bang Agam juga terlihat tidak nyaman hingga terus meninggikan suara.

  • Membalas Mertua dan Suamiku   Bab 32: Membalas Mertua dan Suamiku

    Bab 32: Membalas Mertua dan SuamikuKriet ...Aku membuka pintu meski Bang Agam belum membalas pesan. Mengurusi tamu yang datang tanpa diundang itu jauh lebih penting, dari pada kami jadi tontonan tetangga karena kegaduhan yang terus terjadi.“Ima, buka pintu saja lama banget! Kamu mau kami kram berdiri di luar seperti orang bodoh?” Segera, omelan menjadi pembuka pertemuan kami kembali setelah sekian lama.Di hadapanku, perempuan yang kupanggil ibu mertua itu berdiri dengan berkacak pinggang. Ekspresinya tidak ramah, jelas dia kesal. Begitu pula dengan anak dan menantu, hanya dua cucunya yang tersenyum padaku.“Iya, Bu. Da-dari mana, Bu?” balasku masih mencoba mengontrol diri.Ini adalah pertemuan kami setelah sekian lama, jelas aku terkejut. Ibu mertua pergi dengan Iqmal sekeluarga, hilang bak ditelan bumi. Tiba-tiba saja me

DMCA.com Protection Status