Bab 5: Membalas Suami dan Mertuaku
Hal pertama yang paling ingin kulakukan setelah Bang Agam pergi adalah membuktikan betapa mampunya diriku hidup tanpa uluran tangan suami dan mertuaku. Mereka selama ini terlampau memandang sebelah mata hingga tidak bisa melihat perbedaan antara hak dan kewajiban.
Sebab itulah, aku memilih menjejak dengan tegak di atas lutut sendiri. Tidak boleh menunggu dan berharap lagi pada dua sosok itu.
“Bismillah!” Aku bergumam keras saat keluar dari rumah mewah ini.
Jaket tebal membalut tubuh, berwarna hitam dan hijau. Helem juga melindungi kepala, sedang sebagian muka tertutup oleh masker. Segalanya membuatku begitu yakin dan siap untuk menjalani hari ini tanpa sepengetahuan mertua dan suamiku.
Setelahnya, aku turun ke jalan. Bertemu dengan puluhan orang lain yang sama sibuknya denganku.
Kami berkejaran dengan waktu, mencoba menemukan celah untuk mendapat rezeki di bawah ribuan titik debu serta panasnya matahari. Saling sapa, bertanya juga mengumbar senyum, seolah tidak ada peluh yang membanjiri tubuh.
“Mbak, udah dapat berapa?” Seorang pria menegurku di lampu merah kota ini.
Aku menoleh ke arahnya. Lalu melambaikan tangan karena mengenal sosok jakung di sebelahku itu.
“Tadi sudah orderan kesepuluh, Bang. Tok cer hari ini!”
“Waduh, aku sudah dapat lima belas. Ini … sekalian bisa tidak tolong diantar ke Perusahaan A&B Start up? Soalnya saya agak kebelet, Mbak.”
Aku mengernyit. Bukan karena kaget mendapat rezeki nomplok secara tiba-tiba. Tapi ….
“A&B?”
“Iya, Mbak. Tolong, ya?” ulangnya.
Tanpa seizinku sekalipun, pria jakung tersebut langsung menyodorkan dua box makanan mahal dari sebuah restoran. Dia juga menitipkan pesan jika orang yang mengorder makanan beraroma memikat itu adalah sosok penting di Perusahaan, bertubuh tegap dan rupawan, memakai kacamata.
Ah … aku ingin sekali menolaknya.
Belum sempat kuutarakan hal tersebut, pria yang kukenal dengan nama ‘Patrio’ itu langsung mengebut saat lampu berganti hijau. Dia meninggalkan deru yang mengejutkan beberapa pengendara motor lain di belakang, serta sekelebat bayangan yang tidak bisa dihindarkan mata.
“Aduh!” keluhku mengudara sembari menenteng plastic di tangan.
Terpaksa, dengan sangat terpaksa aku menurunkan kaca helem, menarik gas lalu meluncur jauh ke sebuah tempat yang disebut dengan A&B Startup. Ada banyak kemungkinan di dunia ini, semoga saja kemungkinan yang kuhindari tidak pernah terjadi.
Aku duduk di ruang tunggu tanpa melepas helem dan masker di wajah. Mata mengitari setiap bagian dari kantor yang modern ini. Bahkan sofa dan lukisan yang ada di dinding juga sangat futuristik. Tidak ada yang akan menyangka jika orang-orang yang bekerja di dalamnya akan berwajah masam seperti beberapa sosok yang baru saja melintas di depanku.
Kuhela napas. Lelah luar biasa.
Mengais rezeki di bawah panasnya matahari, berkejaran dengan sesama pencari nafkah, hingga resiko demi resiko yang harus kuhadapi. Semuanya … semuanya hanya karena suamiku yang bergaji tujuh belas juta itu tidak tahu apa tugasnya.
Ting!
Gawai di tanganku berdenting. Notifikasi dari aplikasi yang menaungi hidupku muncul di layar, membuatku mengulas sebuah senyum karena tulisan yang tertera di dalamnya.
[Saya lagi menuju ke situ, tolong tunggu sebentar.]
“Syukurlah,” seruku sembali memejamkan mata.
Aku bahagia, membayangkan tugas yang mendebarkan ini akan menemui titik akhirnya. Sebab, ada hal yang sangat ingin kuhindari di Perusahaan ini.
“Mas yang ….”
“Loh, Mbak rupanya. Aku kira Mas-Mas!” Seorang pria dengan kacamata tebal mengulas senyum padaku.
Dia mengecek sekali lagi gawainya yang bagus. Aku meneguk ludah, persis dengan milik suamiku. Ternyata, Perusahaan ini memang sangat memanjakan karyawannya.
“Iya, tadi dititip sama temen, Mas. Ini pesanannya, sudah beres semua.” Aku menjelaskan tanpa membuka masker di wajah.
Bahaya sekali andai ada yang mengenali hadirku di tempat ini. Sebab, aku tidak ingin ada yang tahu pekerjaanku, agar segalanya bisa berjalan dengan lancar sesuai rencana di awal.
“Oke, tidak masalah. Ini, Mbak … tips dari saya.”
Tiba-tiba saja pria itu mengulurkan selembar uang berwarna biru. Masih sangat baru, tidak terlihat tanda kejamnya dunia pada lembaran tersebut. Berbeda dengan nominal di bawahnya yang sudah mengecap pahit manisnya kehidupan.
Aku menolak, malu rasanya jika harus menerima tips yang sebenarnya adalah hak rekan kerjaku. Namun, pria itu memaksa.
“Baiklah, terima kasih. Saya terima uangnya. Saya balik dulu, Mas.”
Aku tersenyum terakhir kali. Saat hendak berbalik, hadapku beradu dengan sebuah sosok yang memerhatikan dari ujung kepala hingga kaki. Tatapan matanya tajam, memicing jelas hingga keningnya yang halus berkerut. Entah sejak kapan dirinya sudah di sana.
“Kenapa, Gam? Serius amat!” Pria di belakangku memanggil rekan kerjanya.
Tidak ada jawaban apa pun. Sunyi menerpa, pria itu masih menelisik diriku dengan tidak sopannya.
Aku tersinggung? Bukan, lebih tepatnya takut dengan tatapan yang tajam itu. Takut andai kedokku yang tertutup rapi selama ini terbongkar hanya karena sebuah pesanan ke Perusahaan ini.
Oh tidak! Aku tidak ingin ini terjadi.
“Kenapa, sih? Gam … balik, Gue laper!” Pria itu menyeru kembali.
Ya, Agam nama pria di hadapanku saat ini. Pria yang seharusnya menjadi suami kebanggaanku sebab bekerja di sebuah perusahaan besar dengan penghasilan fantastis. Nyatanya, kini kami berhadapan begini. Aku sebagai tukang ojol dan dirinya calon pelanggan yang sewaktu-waktu bisa saja membuat pesanan.
“Enggak, Gue agak ….”
Bang Agam memicingkan mata sekali lagi. Dia mencoba menelusuri diriku dengan liar hingga tubuhnya menunduk. Tidak lupa, Bang Agam juga memandangi sepatu lusuh yang kupakai, barang lama yang kubeli saat masih diratukan olehnya.
“Gam, ayolah ….” Pria itu terus menggerutu.
Aku mengatup bibir, jangan sampai deru napas apa lagi suara terdengar olehnya. Bang agam akan langsung mengenali diriku. Jika sudah begitu, maka impianku mencapai kesuksesan tinggal mimpi semata.
“Sebentar, Gue kenal deh sama ….”
“Lo punya kenalan ojol Perempuan? Setahu Gue, ojol Perempuan itu langka!” sahut pria itu lagi.
Meski sudah ditegur sedemikian, Bang Agam bergeming. Dia masih memerhatikan diriku, sedetik … dua detik.
Jujur, aku risih ditatap begitu olehnya. Ditambah, ada rasa khawatir andai kedokku benar-benar terbongkar.
“Maaf, bisa minggir?” tegurku usai mengubah nada bicara menjadi lebih berat.
Efeknya, Bang Agam terkejut. Pria itu melangkah mundur, kemudian melirik dengan ekor mata sebelum bergabung dengan rekan kerjanya.
“Udah, ikut Gue makan!”
“Aneh, Gue yakin pernah lihat tuh orang!” sambut Bang Agam.
Jantungku berpacu lagi. Kutepis gundah, lalu mengayun Langkah agar menjauh darinya. Apa pun itu, aku tidak ingin ketahuan olehnya hari ini.
“Tunggu!” Bang Agam mencegatku.
Aku terhenti, namun tidak berbalik.
Perlahan-lahan, derap langkahnya mendekat. Bang Agam menghampiri diriku yang kini berjarak kurang dari satu meter darinya.
Entah apa lagi yang ingin dilakukan oleh pria itu, aku sendiri tidak tahu. Kenapa dia bisa begitu terusik dengan kehadiran sosok seperti ini.
“Mau keluar, kan?” tanyanya.
Kuanggukkan kepala agar cepat berlalu. Lalu, Bang Agam mengangkat tanganku yang terbungkus sarung tangan, kemudian mengisi genggaman dengan sebuah kotak kecil yang telah kandas isinya.
“Minta sekalian buang.”
Zrash! Bak disambar petir. Bang Agam lekas berbalik dan merangkul temannya.
Sedang diriku hanya bisa menggenggam bungkus beraroma cengkeh itu demi meluapkan kekesalan. Sungguh, tidak kuduga jika suamiku punya sifat sejelek ini bahkan pada orang asing.
Awas saja kamu, Bang. Tunggu pembalasanku.
Bab 6: Membalas Mertua dan SuamikuJam empat sore, aku tiba di rumah mewah itu lagi. Hela napasku mengudara berat, mendorong motor tua yang kubawa sebelum menikahi Bang Agam menuju garasi. Sendirian, usai berjuang dengan panas dan jalanan. Ditambah lagi, suamiku baru saja menghina dengan memintaku membuangkan bungkus kretek bekasnya. Tidak ingin meninggalkan jejak, aku buru-buru membuka jaket kebesaran tersebut, lalu menyembunyikannya di bawah jok motor terlebih dulu untuk saat ini. Khawatir juga andai Ibu Mertua yang baik budi tersebut muncul dan memergoki apa yang telah kulakukan di luar sana selama ini. Setelahnya, aku bergerak menuju pintu masuk. Helaan napas ini memberat, gelisah menyerang membabi-buta. Ada sepasang sandal yang sangat kukenal telah terduduk manis di rak. Juga sepatu yang terlihat begitu arogan berada di sebelahnya. “Dari mana saja, Nak?” Lembut mendayu, sebuah suara menyapa diriku. Bukannya senang, tubuhku merinding luar biasa. Sekujur badan bergetar, seola
Bab 7: Membalas Mertua dan Suamiku “Kak, nurut kalau diingetin!” Tiga tahun lalu, aku mendengar ocehan itu sembari rebahan. Saa itu, aku membuat sebuah kesalahan besar di dalam hidup. Menetapkan kriteria yang tidak islami saat memilih calon suami, mengabaikan semua hal-hal penting yang harusnya menjadi pertimbangan hanya karena perkara duniawi semata. Teringat jelas olehku, kala itu .... “Kak, mending istikharah dulu sebelum ngambil keputusan!” Adikku yang berwajah rupawan muncul entah dari mana. Dia berdiri di ambang pintu kamarku, memandang dengan ekspresi tidak suka. Pria yang usianya lebih muda empat tahun dariku itu memicingkan mata. Ditatapnya gawai yang enggan kulepas sejak pagi. Padahal, selama ini aku tidak pernah candu dengan benda pipih yang menyala itu. Hidupku sudah sangat sibuk, bekerja di toko retail, kemudia
Bab 8: Membalas Mertua dan Suamiku“Maksudmu apa, Ima?” Bang Agam terus menodongku dengan perkataan yang lebih tajam.Dia berdiri di sebelah meja, menatap diriku dengan ekspresi seolah ingin menerkam. Ditambah lagi, perlahan-lahan terdengar rintihan putus asa dari mulut ibu mertua. Beliau mulai memainkan lakon hanya untuk membuat diriku semakin buruk di depan Bang Agam.“Kenapa hanya beli satu porsi padahal di rumah ini ada tiga orang? Apa tidak paham kalau kamu tidak masak, itu berarti kami tidak makan! Kalau beli makanan, ingat juga pada suami dan ibu mertuamu,” sambungnya kembali.Kuulas senyum, kemudian memutar keran air untuk mencuci tangan di wastafel. Sikap masih kuatur sedemikian lembut dan anggun agar emosi yang ada di dalam diri Bang Agam semakin memuncak.“Tidak cukup uangnya,” sahutku. Ringan sekali, seolah sedang m
Bab 9: Membalas Mertua dan SuamikuBeliau terhenyak mendengarku berkata dengan suara ketus. Diletakkannya seuntai gelang ke atas meja, kemudian ibu mertua terlihat mengatur napas sebelum memandang balas diriku.Sungguh, aku muak sekali. Terlihat jelas beliau sepertinya sengaja melakukan hal ini pada kami. Dia tahu benar jika Bang Agam sangat tidak suka kalau ibu mertua merasa sedih, dan hal itu dimanfaatkan olehnya.“Kenapa Ibu lakukan hal sejahat ini padaku dan Bang Agam kalau Ibu sendiri tidak mau hal ini terjadi pada diri sendiri?” seruku kembali dengan nada yang lebih tinggi.“Loh, kok kamu ngomongnya begitu, Ima? Ini Ibu, loh. Ini Ibunya Agam, mertuamu sendiri,” balas Ibu mertua.Beliau mengusap dada, seolah-olah kata yang kuutarakan barusan telah menembus relung dadanya. Padahal, aku yakin benar, beliau peduli saja tida
Bab 10: Membalas Mertua dan SuamikuAku menantu jahat? Sepertinya begitu yang akan terdengar andai orang-orang tahu jika ibu mertua dibawa ke rumah sakit dengan ambulance dan diriku enggan ikut.Sesaat lalu, bunyi sirene ambulance memekakkan telinga. Ibu mertua jatuh pingsan karena mendengar tuntutan ku pada Bang Agam.Walau demikian, aku tahu benar kelakuan perempuan paruh baya itu. Ibu mertua sangat sehat, sulit diterima akal jika tiba-tiba dia jatuh pingsan."Dek, ikut ke rumah sakit!" Perintah dari Bang Agam bagai angin lalu. Pria itu berdiri di ambang pintu, menatap nyalang padaku yang enggan berganti baju.Sekalipun aku tidak bergerak sampai Bang Agam menyerah dan meninggalkanku sendirian di rumah. Akhirnya aku berhasil bersikap egois pada mereka setelah sekian lama mengalah.Malam ini, tidurku sangat nyenyak meski sendiri
Bab 11: Membalas Mertua dan Suamiku“Agam, Ibu juga mau. Kenapa hanya kamu belikan Ima dan tidak belikan buat Ibu?”Keesokan harinya Ibu mertua berteriak. Beliau tidak terima saat aku melempar batu ke arah Bang Agam usai memamerkan sepasang pakaian baru di badan untuk kondangan.“Bu, jangan salah paham.” Bang Agam mengelak kembali. Tentu saja dia tidak tahu akan hal ini. Seluruh barang yang ada di badan kubeli diam-diam dengan uang yang kudapatkan hasil ojol, satu per satu, sampai terkumpul satu set lengkap. Di hadapan keduanya, aku mengumbar secara berlebihan seolah-olah seisi lemari adalah pakaian branded seperti ini.“Apanya yang salah paham? Jelas-jelas kamu
Bab 12: Membalas Mertua dan Suamiku“Tidak ada, mobil Bang Agam tidak ada di garasinya. Ini sudah berapa bulan?” Aku menggerutu sendirian, abai dengan teriakan ibu mertua dari dalam, juga seruan Bang Agam yang bertanya kenapa ada hujan uang di dalam rumah. Aku sibuk memerhatikan garasi, selama ini hanya diisi oleh motor tuaku seorang diri. Ke mana dia membawa mobil mewahnya?“Apa yang dilakukan pria itu sebenarnya di belakangku selama ini?” “Bu, tolong kumpulkan dulu uangnya sebentar, aku harus menemui Ima.” Suara Bang Agam terdengar perlahan dari dalam rumah. Jelas pria itu panik dan gelisah.Saat aku berbalik arah, Bang Agam sudah berdiri di belakangku. Wajahnya merah, putus asa jelas tergambar di sana.Kuulas senyum, sengaja mengejek pria yang kalang-kabut itu.“Dek, tolong jangan begini. Aku sudah bilang, ini yang terakhir kali. Bulan depan ....”“Bulan depan kenapa? Aku sudah tidak tahan lagi, Bang. Hidup saja berdua sama ibumu!” ketusku pada Bang Agam. Meski bibir menjawab pria
Bab 13-A: Membalas Mertua dan Suamiku“Dek, kita mau berangkat, jangan bertengkar dengan Ibu. Lebih baik berdoa supaya selamat sampai tujuan,” tegur Bang Agam.Pria itu menatap diriku melalui jendela mobil. Sesaat sebelum dirinya bergabung di jok kemudi, Bang Agam sempat melirik ke arah rumah, kemudian padaku. Hal yang tidak kumengerti sama sekali namun sepertinya penuh makna.“Agam, nanti di jalan, kita beli buah dan kue buat adikmu.” Ibu mertua berujar. “THR dapat full juga, kan? Jumlahnya sudah dua kali kalau ditambah dengan gaji. Apa THRnya dua kali gaji, Gam? Bukannya posisi besar seperti kamu dapat begitu?”“Hitung terus, Bu!” sahutku dari arah belakang. “Terus Ibu pikirkan mau minta apa lagi sama anak laki-laki Ibu, kemarin sudah berlian, sekarang minta rumah atau mobil, jangan lupa.”
Bab 40: Membalas Mertua dan Suamiku Aku dan Qais pulang ke rumah lama kami dengan tergesa-gesa usai mendapatkan kabar dari Bang Agam. Kami tiba setelah mengebut di jalanan dengan perasaan tidak karuan. Di depan pagar, aku terdiam untuk sesaat. Rumah mewah yang dibeli oleh Bang Agam kini ramai dengan orang-orang. Mereka berduyun-duyun masuk, sibuk berbicara tentang ibu mertua yang meninggal di rumah sakit. “Sudah tiga hari di rumah sakit, katanya sejak ngerebut rumah ini dari anak mantunya, tiap malam seperti didatengin setan, Bu. Tidak bisa tidur, malah teriak-teriak kayak kerasukan.” Dua perempuan yang dulu menjadi teman karib ibu mertuaku saling berbisik. “Azab kali, Bu. Duh, saya juga sudah denger dari Bu RT. Selama ini Ima dan Agam difitnah, mereka diperlakukan seperti sapi perah, sampe akhirnya Agam yang minta keluar dari rumah ini. Terus, malah bawa anak keduanya ke sini!” “Betul, Bu. Saya juga dengar. Nauzubillah banget ternyata kelakuannya. Saya kira semua omongann
Bab 39: Membalas Mertua dan Suamiku “Agam!”“Aku minta maaf, Ibu. Aku minta maaf sekali,” lirih Bang Agam. Pria itu memejamkan kedua mata. Dari tempatku berdiri, terlihat penyesalan dan rasa sedih yang begitu dalam, bahkan urat tebal muncul di bawah pelipisnya.Pada akhirnya, hubungan kami jadi semakin rumit. Semua cara yang aku lakukan di masa lalu, termasuk membalas kelakuan Ibu mertua dan menyadarkan Bang Agam tidak membuahkan banyak hasil.“Agam, kamu mau tinggal di mana kalau bukan di rumah itu?” cegah Ibu mertua seraya menarik lengan Bang Agam.Suamiku tidak menjawab. Bibirnya hanya diam, terkatub terlalu rapat.“Bang, kita ....”“Kita bereskan barang, Dek. Bawa semua baju, tas, sepatu, riasan, milikmu, milikku, milik Qais, juga beberapa bungkus
Bab 38: Membalas Mertua dan SuamikuKami tiba di rumah Pak RT beberapa menit kemudian. Bang Agam bahkan tidak sempat berganti pakaian olahraganya hanya untuk mengecek keadaan ibu mertua yang diisukan sudah ada di kota.“Bang, yakin sudah antar Ibu ke desa?” tanyaku dengan suara berbisik.Aku turun dari boncengan motor, kemudian membawa Qais bersamaku. Bang Agam juga memarkirkan motornya agar tidak menghalanginya jalan keluar masuk di rumah Pak RT.“Iya, Dek. Aku juga memberi Ibu uang saku. Tidak mungkin aku membuat Ibu menderita dengan meninggalkannya di jalanan,” balas Bang Agam dengan mata yang membulat.Jika dia saja sekaget ini, aku yakin benar kalau ucapannya tidaklah dusta. Sepertinya, memang ada yang dilakukan oleh ibu mertua usai Bang Agam kembali ke kota semalam.“Kita masuk dulu dan tem
Bab 37: Membalas Mertua dan SuamikuBang Agam tidak gentar meski terus mendengar penolakan. Pria itu sudah mengambil keputusan tegas untuk membawa pulang Ibu dan keluarga Iqmal ke desa.Saat Ibu mertua terus memohon supaya Bang Agam melunak, pria itu malah menelepon taksi agar menjemput sampai ke rumah. Dia menelepon dua taksi, satu untuk keluarga ibu mertua, satunya lagi untuk adikku.“Gam, Ibu enggak mau pulang ke desa. Ibu mau di sini sama kamu,” rintih ibu mertua lagi. Perempuan itu memeluk lengan Bang Agam sekuat mungkin.Sejujurnya, aku terenyuh melihat ibu mertua sampai menangis. Perempuan itu memang sering kali membuat diriku kesal di rumah ini, tapi memaksa mereka kembali di malam hari juga kurang bijak menurutku.Di saat yang bersamaan, aku juga tidak bisa menentang Bang Agam. Pria itu menetapkan keputusan bukan tanpa alasan
Bab 36: Membalas Mertua dan SuamikuBegitulah semuanya selesai. Ibu mertua dan keluarganya yang menghadapi rasa malu jadi enggan beradu tatap denganku. Mereka juga tidak mau makan malam di meja yang sama, malah membawa makanan dan menghabiskannya di kamar bersama-sama.Aku juga tidak memaksa, membiarkan mereka melakukan apa yang mereka suka hingga Bang Agam kembali ke rumah ini. Jangan sampai duniaku yang nyaman dibolak-balik oleh mereka sekali lagi.“Kak, sampai kapan keluarga Bang Agam di sini?” Adikku berujar dengan suara lebih rendah. “Kemarin cuma Ibunya Bang Agam yang tinggal di sini, sekarang semuanya pindah ke sini?”Dia mengusaikan makan malamnya. Pria itu mencuci piring yang dipakai di wastafel lalu menyimpannya kembali di rak piring. Sungguh, aku tidak menduga jika pria muda itu akan punya sikap seperti ini.&ld
Bab 35: Membalas Mertua dan Suamiku “Ya Allah, aku enggak mimpi, kan?” lirihku.Sosok di depanku ini, kenapa dia ada di sini? Kami dipisahkan oleh benua, lautan, dan darat yang sangat luas. Lantas, kenapa tiba-tiba dia ada di rumahku? Tidak ada kabar soal kepulangannya yang selama ini masih menjadi misteri bagiku. Anak ini, dia memilih menetap di negeri orang karena kecewa dengan keputusanku yang tetap memilih untuk menikahi Bang Agam dulu.“Kak Ima, kenapa nangis, sih?” balasnya. Pria itu tidak melirik diriku meski aku yang berbicara dengannya. “Kamu kenapa di sini, Dek?”“Aku pulang, memangnya kenapa lagi?” Pria muda itu masih menatap Qais lebih dalam. Dia juga mengusap pipi gembul anak lelaki itu sebelum kemudian berdiri tegak seperti semula. “Kakak mau ke mana? Bang Agam mana?” tanyanya seray
Bab 34: Membalas Mertua dan Suamiku“Kamu mau ke mana, Gam?” Ibu mertuaku berseru keras saat Bang Agam keluar dari kamar dengan sebuah koper berukuran sedang.Aku di belakangnya hanya diam, memegang tangan Qais yang masih berusaha beradaptasi dengan lingkungan yang riuh ini. Tidak berbicara, juga tidak menolehkan muka. Biar Bang Agam saja yang mengurusi keluarganya.“Bu, hari ini aku harus ke Jakarta. Setelah pulang, nanti aku antar Ibu dan Iqmal ke desa!” sahut suamiku sembari menatap perempuan yang sudah melahirkannya itu.Bang Agam menggulung lengan kemeja hitamnya. Dia masih menunggu respon dari ibu mertua yang seperti sedang berpikir keras.“Kapan pulangnya?” Ibu mertuaku bertanya lagi. Perempuan yang memakai daster bermotif daun talas itu melenggang ke depan, dia mulai menghampiri Bang Agam dengan ekspresi riang yang tidak kumengerti alasan
Bab 33: Membalas Mertua dan Suamiku“Tidak perlu sekeras itu dengan adik iparmu, Gam. Kami itu keluargamu, bukan pengemis.” Ibu mertua menyahut. Beliau muncul, berdiri di sampingku dengan wajah penuh kekesalan.Bang Agam terlihat menghela napas, pundaknya naik, kemudian turun. Pria itu tidak berbalik, malah merebahkan tubuhnya di ranjang tepat di sebelah Qais dengan posisi tertelungkup. Sudah tidak ada lagi perkataan dan omelan yang didengarnya, pria itu menutup kepala dengan bantal dan menekannya sekuat mungkin.Ibu mertua langsung mencebik melihat Bang Agam begitu.“Sari, keluarlah! Bang Agam mau tidur,” pintaku seraya menarik tangan Sari yang seperti tidak peka dengan keadaan. Entah siapa yang salah sekarang, semuanya jadi rumit dan panas. Bang Agam juga terlihat tidak nyaman hingga terus meninggikan suara.
Bab 32: Membalas Mertua dan SuamikuKriet ...Aku membuka pintu meski Bang Agam belum membalas pesan. Mengurusi tamu yang datang tanpa diundang itu jauh lebih penting, dari pada kami jadi tontonan tetangga karena kegaduhan yang terus terjadi.“Ima, buka pintu saja lama banget! Kamu mau kami kram berdiri di luar seperti orang bodoh?” Segera, omelan menjadi pembuka pertemuan kami kembali setelah sekian lama.Di hadapanku, perempuan yang kupanggil ibu mertua itu berdiri dengan berkacak pinggang. Ekspresinya tidak ramah, jelas dia kesal. Begitu pula dengan anak dan menantu, hanya dua cucunya yang tersenyum padaku.“Iya, Bu. Da-dari mana, Bu?” balasku masih mencoba mengontrol diri.Ini adalah pertemuan kami setelah sekian lama, jelas aku terkejut. Ibu mertua pergi dengan Iqmal sekeluarga, hilang bak ditelan bumi. Tiba-tiba saja me