Bab 5: Membalas Suami dan Mertuaku
Hal pertama yang paling ingin kulakukan setelah Bang Agam pergi adalah membuktikan betapa mampunya diriku hidup tanpa uluran tangan suami dan mertuaku. Mereka selama ini terlampau memandang sebelah mata hingga tidak bisa melihat perbedaan antara hak dan kewajiban.
Sebab itulah, aku memilih menjejak dengan tegak di atas lutut sendiri. Tidak boleh menunggu dan berharap lagi pada dua sosok itu.
“Bismillah!” Aku bergumam keras saat keluar dari rumah mewah ini.
Jaket tebal membalut tubuh, berwarna hitam dan hijau. Helem juga melindungi kepala, sedang sebagian muka tertutup oleh masker. Segalanya membuatku begitu yakin dan siap untuk menjalani hari ini tanpa sepengetahuan mertua dan suamiku.
Setelahnya, aku turun ke jalan. Bertemu dengan puluhan orang lain yang sama sibuknya denganku.
Kami berkejaran dengan waktu, mencoba menemukan celah untuk mendapat rezeki di bawah ribuan titik debu serta panasnya matahari. Saling sapa, bertanya juga mengumbar senyum, seolah tidak ada peluh yang membanjiri tubuh.
“Mbak, udah dapat berapa?” Seorang pria menegurku di lampu merah kota ini.
Aku menoleh ke arahnya. Lalu melambaikan tangan karena mengenal sosok jakung di sebelahku itu.
“Tadi sudah orderan kesepuluh, Bang. Tok cer hari ini!”
“Waduh, aku sudah dapat lima belas. Ini … sekalian bisa tidak tolong diantar ke Perusahaan A&B Start up? Soalnya saya agak kebelet, Mbak.”
Aku mengernyit. Bukan karena kaget mendapat rezeki nomplok secara tiba-tiba. Tapi ….
“A&B?”
“Iya, Mbak. Tolong, ya?” ulangnya.
Tanpa seizinku sekalipun, pria jakung tersebut langsung menyodorkan dua box makanan mahal dari sebuah restoran. Dia juga menitipkan pesan jika orang yang mengorder makanan beraroma memikat itu adalah sosok penting di Perusahaan, bertubuh tegap dan rupawan, memakai kacamata.
Ah … aku ingin sekali menolaknya.
Belum sempat kuutarakan hal tersebut, pria yang kukenal dengan nama ‘Patrio’ itu langsung mengebut saat lampu berganti hijau. Dia meninggalkan deru yang mengejutkan beberapa pengendara motor lain di belakang, serta sekelebat bayangan yang tidak bisa dihindarkan mata.
“Aduh!” keluhku mengudara sembari menenteng plastic di tangan.
Terpaksa, dengan sangat terpaksa aku menurunkan kaca helem, menarik gas lalu meluncur jauh ke sebuah tempat yang disebut dengan A&B Startup. Ada banyak kemungkinan di dunia ini, semoga saja kemungkinan yang kuhindari tidak pernah terjadi.
Aku duduk di ruang tunggu tanpa melepas helem dan masker di wajah. Mata mengitari setiap bagian dari kantor yang modern ini. Bahkan sofa dan lukisan yang ada di dinding juga sangat futuristik. Tidak ada yang akan menyangka jika orang-orang yang bekerja di dalamnya akan berwajah masam seperti beberapa sosok yang baru saja melintas di depanku.
Kuhela napas. Lelah luar biasa.
Mengais rezeki di bawah panasnya matahari, berkejaran dengan sesama pencari nafkah, hingga resiko demi resiko yang harus kuhadapi. Semuanya … semuanya hanya karena suamiku yang bergaji tujuh belas juta itu tidak tahu apa tugasnya.
Ting!
Gawai di tanganku berdenting. Notifikasi dari aplikasi yang menaungi hidupku muncul di layar, membuatku mengulas sebuah senyum karena tulisan yang tertera di dalamnya.
[Saya lagi menuju ke situ, tolong tunggu sebentar.]
“Syukurlah,” seruku sembali memejamkan mata.
Aku bahagia, membayangkan tugas yang mendebarkan ini akan menemui titik akhirnya. Sebab, ada hal yang sangat ingin kuhindari di Perusahaan ini.
“Mas yang ….”
“Loh, Mbak rupanya. Aku kira Mas-Mas!” Seorang pria dengan kacamata tebal mengulas senyum padaku.
Dia mengecek sekali lagi gawainya yang bagus. Aku meneguk ludah, persis dengan milik suamiku. Ternyata, Perusahaan ini memang sangat memanjakan karyawannya.
“Iya, tadi dititip sama temen, Mas. Ini pesanannya, sudah beres semua.” Aku menjelaskan tanpa membuka masker di wajah.
Bahaya sekali andai ada yang mengenali hadirku di tempat ini. Sebab, aku tidak ingin ada yang tahu pekerjaanku, agar segalanya bisa berjalan dengan lancar sesuai rencana di awal.
“Oke, tidak masalah. Ini, Mbak … tips dari saya.”
Tiba-tiba saja pria itu mengulurkan selembar uang berwarna biru. Masih sangat baru, tidak terlihat tanda kejamnya dunia pada lembaran tersebut. Berbeda dengan nominal di bawahnya yang sudah mengecap pahit manisnya kehidupan.
Aku menolak, malu rasanya jika harus menerima tips yang sebenarnya adalah hak rekan kerjaku. Namun, pria itu memaksa.
“Baiklah, terima kasih. Saya terima uangnya. Saya balik dulu, Mas.”
Aku tersenyum terakhir kali. Saat hendak berbalik, hadapku beradu dengan sebuah sosok yang memerhatikan dari ujung kepala hingga kaki. Tatapan matanya tajam, memicing jelas hingga keningnya yang halus berkerut. Entah sejak kapan dirinya sudah di sana.
“Kenapa, Gam? Serius amat!” Pria di belakangku memanggil rekan kerjanya.
Tidak ada jawaban apa pun. Sunyi menerpa, pria itu masih menelisik diriku dengan tidak sopannya.
Aku tersinggung? Bukan, lebih tepatnya takut dengan tatapan yang tajam itu. Takut andai kedokku yang tertutup rapi selama ini terbongkar hanya karena sebuah pesanan ke Perusahaan ini.
Oh tidak! Aku tidak ingin ini terjadi.
“Kenapa, sih? Gam … balik, Gue laper!” Pria itu menyeru kembali.
Ya, Agam nama pria di hadapanku saat ini. Pria yang seharusnya menjadi suami kebanggaanku sebab bekerja di sebuah perusahaan besar dengan penghasilan fantastis. Nyatanya, kini kami berhadapan begini. Aku sebagai tukang ojol dan dirinya calon pelanggan yang sewaktu-waktu bisa saja membuat pesanan.
“Enggak, Gue agak ….”
Bang Agam memicingkan mata sekali lagi. Dia mencoba menelusuri diriku dengan liar hingga tubuhnya menunduk. Tidak lupa, Bang Agam juga memandangi sepatu lusuh yang kupakai, barang lama yang kubeli saat masih diratukan olehnya.
“Gam, ayolah ….” Pria itu terus menggerutu.
Aku mengatup bibir, jangan sampai deru napas apa lagi suara terdengar olehnya. Bang agam akan langsung mengenali diriku. Jika sudah begitu, maka impianku mencapai kesuksesan tinggal mimpi semata.
“Sebentar, Gue kenal deh sama ….”
“Lo punya kenalan ojol Perempuan? Setahu Gue, ojol Perempuan itu langka!” sahut pria itu lagi.
Meski sudah ditegur sedemikian, Bang Agam bergeming. Dia masih memerhatikan diriku, sedetik … dua detik.
Jujur, aku risih ditatap begitu olehnya. Ditambah, ada rasa khawatir andai kedokku benar-benar terbongkar.
“Maaf, bisa minggir?” tegurku usai mengubah nada bicara menjadi lebih berat.
Efeknya, Bang Agam terkejut. Pria itu melangkah mundur, kemudian melirik dengan ekor mata sebelum bergabung dengan rekan kerjanya.
“Udah, ikut Gue makan!”
“Aneh, Gue yakin pernah lihat tuh orang!” sambut Bang Agam.
Jantungku berpacu lagi. Kutepis gundah, lalu mengayun Langkah agar menjauh darinya. Apa pun itu, aku tidak ingin ketahuan olehnya hari ini.
“Tunggu!” Bang Agam mencegatku.
Aku terhenti, namun tidak berbalik.
Perlahan-lahan, derap langkahnya mendekat. Bang Agam menghampiri diriku yang kini berjarak kurang dari satu meter darinya.
Entah apa lagi yang ingin dilakukan oleh pria itu, aku sendiri tidak tahu. Kenapa dia bisa begitu terusik dengan kehadiran sosok seperti ini.
“Mau keluar, kan?” tanyanya.
Kuanggukkan kepala agar cepat berlalu. Lalu, Bang Agam mengangkat tanganku yang terbungkus sarung tangan, kemudian mengisi genggaman dengan sebuah kotak kecil yang telah kandas isinya.
“Minta sekalian buang.”
Zrash! Bak disambar petir. Bang Agam lekas berbalik dan merangkul temannya.
Sedang diriku hanya bisa menggenggam bungkus beraroma cengkeh itu demi meluapkan kekesalan. Sungguh, tidak kuduga jika suamiku punya sifat sejelek ini bahkan pada orang asing.
Awas saja kamu, Bang. Tunggu pembalasanku.
Bab 6: Membalas Mertua dan SuamikuJam empat sore, aku tiba di rumah mewah itu lagi. Hela napasku mengudara berat, mendorong motor tua yang kubawa sebelum menikahi Bang Agam menuju garasi. Sendirian, usai berjuang dengan panas dan jalanan. Ditambah lagi, suamiku baru saja menghina dengan memintaku membuangkan bungkus kretek bekasnya. Tidak ingin meninggalkan jejak, aku buru-buru membuka jaket kebesaran tersebut, lalu menyembunyikannya di bawah jok motor terlebih dulu untuk saat ini. Khawatir juga andai Ibu Mertua yang baik budi tersebut muncul dan memergoki apa yang telah kulakukan di luar sana selama ini. Setelahnya, aku bergerak menuju pintu masuk. Helaan napas ini memberat, gelisah menyerang membabi-buta. Ada sepasang sandal yang sangat kukenal telah terduduk manis di rak. Juga sepatu yang terlihat begitu arogan berada di sebelahnya. “Dari mana saja, Nak?” Lembut mendayu, sebuah suara menyapa diriku. Bukannya senang, tubuhku merinding luar biasa. Sekujur badan bergetar, seola
Bab 7: Membalas Mertua dan Suamiku “Kak, nurut kalau diingetin!” Tiga tahun lalu, aku mendengar ocehan itu sembari rebahan. Saa itu, aku membuat sebuah kesalahan besar di dalam hidup. Menetapkan kriteria yang tidak islami saat memilih calon suami, mengabaikan semua hal-hal penting yang harusnya menjadi pertimbangan hanya karena perkara duniawi semata. Teringat jelas olehku, kala itu .... “Kak, mending istikharah dulu sebelum ngambil keputusan!” Adikku yang berwajah rupawan muncul entah dari mana. Dia berdiri di ambang pintu kamarku, memandang dengan ekspresi tidak suka. Pria yang usianya lebih muda empat tahun dariku itu memicingkan mata. Ditatapnya gawai yang enggan kulepas sejak pagi. Padahal, selama ini aku tidak pernah candu dengan benda pipih yang menyala itu. Hidupku sudah sangat sibuk, bekerja di toko retail, kemudia
Bab 8: Membalas Mertua dan Suamiku“Maksudmu apa, Ima?” Bang Agam terus menodongku dengan perkataan yang lebih tajam.Dia berdiri di sebelah meja, menatap diriku dengan ekspresi seolah ingin menerkam. Ditambah lagi, perlahan-lahan terdengar rintihan putus asa dari mulut ibu mertua. Beliau mulai memainkan lakon hanya untuk membuat diriku semakin buruk di depan Bang Agam.“Kenapa hanya beli satu porsi padahal di rumah ini ada tiga orang? Apa tidak paham kalau kamu tidak masak, itu berarti kami tidak makan! Kalau beli makanan, ingat juga pada suami dan ibu mertuamu,” sambungnya kembali.Kuulas senyum, kemudian memutar keran air untuk mencuci tangan di wastafel. Sikap masih kuatur sedemikian lembut dan anggun agar emosi yang ada di dalam diri Bang Agam semakin memuncak.“Tidak cukup uangnya,” sahutku. Ringan sekali, seolah sedang m
Bab 9: Membalas Mertua dan SuamikuBeliau terhenyak mendengarku berkata dengan suara ketus. Diletakkannya seuntai gelang ke atas meja, kemudian ibu mertua terlihat mengatur napas sebelum memandang balas diriku.Sungguh, aku muak sekali. Terlihat jelas beliau sepertinya sengaja melakukan hal ini pada kami. Dia tahu benar jika Bang Agam sangat tidak suka kalau ibu mertua merasa sedih, dan hal itu dimanfaatkan olehnya.“Kenapa Ibu lakukan hal sejahat ini padaku dan Bang Agam kalau Ibu sendiri tidak mau hal ini terjadi pada diri sendiri?” seruku kembali dengan nada yang lebih tinggi.“Loh, kok kamu ngomongnya begitu, Ima? Ini Ibu, loh. Ini Ibunya Agam, mertuamu sendiri,” balas Ibu mertua.Beliau mengusap dada, seolah-olah kata yang kuutarakan barusan telah menembus relung dadanya. Padahal, aku yakin benar, beliau peduli saja tida
Bab 10: Membalas Mertua dan SuamikuAku menantu jahat? Sepertinya begitu yang akan terdengar andai orang-orang tahu jika ibu mertua dibawa ke rumah sakit dengan ambulance dan diriku enggan ikut.Sesaat lalu, bunyi sirene ambulance memekakkan telinga. Ibu mertua jatuh pingsan karena mendengar tuntutan ku pada Bang Agam.Walau demikian, aku tahu benar kelakuan perempuan paruh baya itu. Ibu mertua sangat sehat, sulit diterima akal jika tiba-tiba dia jatuh pingsan."Dek, ikut ke rumah sakit!" Perintah dari Bang Agam bagai angin lalu. Pria itu berdiri di ambang pintu, menatap nyalang padaku yang enggan berganti baju.Sekalipun aku tidak bergerak sampai Bang Agam menyerah dan meninggalkanku sendirian di rumah. Akhirnya aku berhasil bersikap egois pada mereka setelah sekian lama mengalah.Malam ini, tidurku sangat nyenyak meski sendiri
Bab 11: Membalas Mertua dan Suamiku“Agam, Ibu juga mau. Kenapa hanya kamu belikan Ima dan tidak belikan buat Ibu?”Keesokan harinya Ibu mertua berteriak. Beliau tidak terima saat aku melempar batu ke arah Bang Agam usai memamerkan sepasang pakaian baru di badan untuk kondangan.“Bu, jangan salah paham.” Bang Agam mengelak kembali. Tentu saja dia tidak tahu akan hal ini. Seluruh barang yang ada di badan kubeli diam-diam dengan uang yang kudapatkan hasil ojol, satu per satu, sampai terkumpul satu set lengkap. Di hadapan keduanya, aku mengumbar secara berlebihan seolah-olah seisi lemari adalah pakaian branded seperti ini.“Apanya yang salah paham? Jelas-jelas kamu
Bab 12: Membalas Mertua dan Suamiku“Tidak ada, mobil Bang Agam tidak ada di garasinya. Ini sudah berapa bulan?” Aku menggerutu sendirian, abai dengan teriakan ibu mertua dari dalam, juga seruan Bang Agam yang bertanya kenapa ada hujan uang di dalam rumah. Aku sibuk memerhatikan garasi, selama ini hanya diisi oleh motor tuaku seorang diri. Ke mana dia membawa mobil mewahnya?“Apa yang dilakukan pria itu sebenarnya di belakangku selama ini?” “Bu, tolong kumpulkan dulu uangnya sebentar, aku harus menemui Ima.” Suara Bang Agam terdengar perlahan dari dalam rumah. Jelas pria itu panik dan gelisah.Saat aku berbalik arah, Bang Agam sudah berdiri di belakangku. Wajahnya merah, putus asa jelas tergambar di sana.Kuulas senyum, sengaja mengejek pria yang kalang-kabut itu.“Dek, tolong jangan begini. Aku sudah bilang, ini yang terakhir kali. Bulan depan ....”“Bulan depan kenapa? Aku sudah tidak tahan lagi, Bang. Hidup saja berdua sama ibumu!” ketusku pada Bang Agam. Meski bibir menjawab pria
Bab 13-A: Membalas Mertua dan Suamiku“Dek, kita mau berangkat, jangan bertengkar dengan Ibu. Lebih baik berdoa supaya selamat sampai tujuan,” tegur Bang Agam.Pria itu menatap diriku melalui jendela mobil. Sesaat sebelum dirinya bergabung di jok kemudi, Bang Agam sempat melirik ke arah rumah, kemudian padaku. Hal yang tidak kumengerti sama sekali namun sepertinya penuh makna.“Agam, nanti di jalan, kita beli buah dan kue buat adikmu.” Ibu mertua berujar. “THR dapat full juga, kan? Jumlahnya sudah dua kali kalau ditambah dengan gaji. Apa THRnya dua kali gaji, Gam? Bukannya posisi besar seperti kamu dapat begitu?”“Hitung terus, Bu!” sahutku dari arah belakang. “Terus Ibu pikirkan mau minta apa lagi sama anak laki-laki Ibu, kemarin sudah berlian, sekarang minta rumah atau mobil, jangan lupa.”