Bab 10: Membalas Mertua dan Suamiku
Aku menantu jahat? Sepertinya begitu yang akan terdengar andai orang-orang tahu jika ibu mertua dibawa ke rumah sakit dengan ambulance dan diriku enggan ikut.
Sesaat lalu, bunyi sirene ambulance memekakkan telinga. Ibu mertua jatuh pingsan karena mendengar tuntutan ku pada Bang Agam.
Walau demikian, aku tahu benar kelakuan perempuan paruh baya itu. Ibu mertua sangat sehat, sulit diterima akal jika tiba-tiba dia jatuh pingsan.
"Dek, ikut ke rumah sakit!" Perintah dari Bang Agam bagai angin lalu. Pria itu berdiri di ambang pintu, menatap nyalang padaku yang enggan berganti baju.
Sekalipun aku tidak bergerak sampai Bang Agam menyerah dan meninggalkanku sendirian di rumah. Akhirnya aku berhasil bersikap egois pada mereka setelah sekian lama mengalah.
Malam ini, tidurku sangat nyenyak meski sendiri
Bab 11: Membalas Mertua dan Suamiku“Agam, Ibu juga mau. Kenapa hanya kamu belikan Ima dan tidak belikan buat Ibu?”Keesokan harinya Ibu mertua berteriak. Beliau tidak terima saat aku melempar batu ke arah Bang Agam usai memamerkan sepasang pakaian baru di badan untuk kondangan.“Bu, jangan salah paham.” Bang Agam mengelak kembali. Tentu saja dia tidak tahu akan hal ini. Seluruh barang yang ada di badan kubeli diam-diam dengan uang yang kudapatkan hasil ojol, satu per satu, sampai terkumpul satu set lengkap. Di hadapan keduanya, aku mengumbar secara berlebihan seolah-olah seisi lemari adalah pakaian branded seperti ini.“Apanya yang salah paham? Jelas-jelas kamu
Bab 12: Membalas Mertua dan Suamiku“Tidak ada, mobil Bang Agam tidak ada di garasinya. Ini sudah berapa bulan?” Aku menggerutu sendirian, abai dengan teriakan ibu mertua dari dalam, juga seruan Bang Agam yang bertanya kenapa ada hujan uang di dalam rumah. Aku sibuk memerhatikan garasi, selama ini hanya diisi oleh motor tuaku seorang diri. Ke mana dia membawa mobil mewahnya?“Apa yang dilakukan pria itu sebenarnya di belakangku selama ini?” “Bu, tolong kumpulkan dulu uangnya sebentar, aku harus menemui Ima.” Suara Bang Agam terdengar perlahan dari dalam rumah. Jelas pria itu panik dan gelisah.Saat aku berbalik arah, Bang Agam sudah berdiri di belakangku. Wajahnya merah, putus asa jelas tergambar di sana.Kuulas senyum, sengaja mengejek pria yang kalang-kabut itu.“Dek, tolong jangan begini. Aku sudah bilang, ini yang terakhir kali. Bulan depan ....”“Bulan depan kenapa? Aku sudah tidak tahan lagi, Bang. Hidup saja berdua sama ibumu!” ketusku pada Bang Agam. Meski bibir menjawab pria
Bab 13-A: Membalas Mertua dan Suamiku“Dek, kita mau berangkat, jangan bertengkar dengan Ibu. Lebih baik berdoa supaya selamat sampai tujuan,” tegur Bang Agam.Pria itu menatap diriku melalui jendela mobil. Sesaat sebelum dirinya bergabung di jok kemudi, Bang Agam sempat melirik ke arah rumah, kemudian padaku. Hal yang tidak kumengerti sama sekali namun sepertinya penuh makna.“Agam, nanti di jalan, kita beli buah dan kue buat adikmu.” Ibu mertua berujar. “THR dapat full juga, kan? Jumlahnya sudah dua kali kalau ditambah dengan gaji. Apa THRnya dua kali gaji, Gam? Bukannya posisi besar seperti kamu dapat begitu?”“Hitung terus, Bu!” sahutku dari arah belakang. “Terus Ibu pikirkan mau minta apa lagi sama anak laki-laki Ibu, kemarin sudah berlian, sekarang minta rumah atau mobil, jangan lupa.”
Bab 13-B: Membalas Mertua dan Suamiku“Ima, kamu baru pulang?”Aku hanya melirik ke arah pintu. Jelas terdengar suara ibu mertuaku. Perempuan itu ada di dalam sedari tadi, tapi tidak peduli dengan keadaan rumah.“Ima, Agam nyariin kamu seharian. Harusnya kamu itu urus Agam dulu, baru pergi. Ini sudah tidak urus suami, malah keluyuran seharian,” omelnya tanpa membuka pintu. Mungkin ibu mertua mengintip dari balik jendela, entahlah aku tidak tertarik sama sekali.Aku beristirahat sendirian di luar hingga tiga puluh menit lamanya. Sampai, seseorang muncul dari arah gerbang sembari berjalan kaki. Pria itu pucat, kelelahan dan pakaiannya kusut.“Dek, ke mana saja kamu seharian?” ucapnya dengan suara yang tertahan. Bisa kutebak seberapa sulitnya dia mencariku hari ini.Bang Agam duduk di salah satu anak tangga, s
Bab 14-A: Membalas Mertua dan Suamiku “Buka puasa dulu, Kak?” Suara lembut itu datang dari arah pintu kamar.Aku sedang membereskan beberapa barang bawaan, termasuk milik ibu mertua yang dibebankannya padaku begitu saja. Perempuan berwajah manis itu tersenyum di ambang pintu, dia berdiri di sana, memerhatikan diriku.“Banyak banget barang bawaan Kak Ima dan Bang Agam!” ucapnya kemudian. Geraknya halus saat menyisir anak rambut ke belakang. “Apa Kakak butuh bantuan? Aku bisa bantuin.”“Ah, enggak. Kamu sudah capek masak, sebentar juga selesai, kok.” Aku menyahut setelahnya.Perempuan dengan dua anak yang imut dan cerdas itu langsung melangkah mundur. “Baiklah, Kak. Kami tunggu di meja makan, ya? Ibu juga sudah di sana.”Kuanggukkan kepala. Meski sudah dua jam tiba di rumah mertuaku,
Bab 14-B: Membalas Mertua dan Suamiku“Denger itu, Ima? Sudah, cuci piring dan masak sana! Biasa juga kamu yang kerjain.”Aku memanyunkan bibir saat mendapat serangan bertubi dari keduanya. Sepertinya, akan sedikit sulit untuk bertahan lebih lama di rumah ini.Tidak ingin memperpanjang masalah di awal, aku bergerak menuju dapur. Begitu berhadapan dengan wastafel, segunung piring kotor sudah menanti.Satu persatu kucuci, tidak berhenti meski Sari terus berbicara dari arah belakang. Perempuan itu mengeluh akan banyaknya pengeluaran dan pekerjaan saat aku dan Bang Agam muncul di rumah ini.“Jadi, kamu keberatan kalau kami tinggal lebih lama di sini?” hardikku usai membilas piring terakhir.Aku mengeringkan kedua tangan, kemudian melihat ke arah Sari. Punggung perempuan itu saja terlihat sebal, apa lagi wajahnya.Sari
Bab 15-A: Membalas Mertua dan Suamiku“Kamu ngomong apa sih, Dek? Mending bantu Sari berberes di dapur dan masak saja. Ibu bilang kamu tidak peduli dengan keadaan rumah ini, suka main hape sampai siang.”Aku tercengang mendengar penuturan Bang Agam. Pria itu melepaskan tanganku dari dirinya, kemudian mundur beberapa langkah hingga mencapai ranjang. Perlahan, Bang Agam duduk di tepian, memandang hampa ke arah lantai.“Bang, aku sudah dengar semuanya. Kamu mau mengelak lagi?” desakku tidak tahan dengan apa yang dilakukan olehnya.Kudekati Bang Agam. Pria itu malah menghindar.“Sudahlah, aku ngantuk banget. Kamu ganti baju dan bantu Sari di dapur. Semenjak kita ke sini kerjaan dia jadi banyak. Tidak enak kita numpang saja tapi tidak bantu sama sekali. Ibu juga bisa mengomel nantinya,” ucap Bang Agam.Pria itu
Bab 15-B: Membalas Mertua dan Suamiku“Ah, itu ... Kamu istrinya Agam, kan?” sahut perempuan lain. Wanita yang memakai topi seperti tudung saji itu mengangkat sedikit topinya hingga kedua matanya yang teduh terlihat.“Benar, Bu.” Aku menjawab malu-malu.Setelahnya, beberapa perempuan tersenyum padaku. Mereka membuka ruang, memberiku tempat untuk bergabung.“Udah lama di sini, Dek? Kenapa baru pulang ke sini?” Yang lain mengajakku bicara.Akhirnya aku membaur dengan perempuan-perempuan hebat itu hanya dalam beberapa menit. Mereka menerima hadirku dengan tangan terbuka, mengajak mengobrol hingga tidak terasa canggung sama sekali.Selangkah demi selangkah, kami berjalan bersama. Meninggalkan banyak rumah di belakang hingga pepohonan rindang serta hamparan tanah kebun mulai terlihat.Aku meras